• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 PENDAHULUAN

2.1 Karakteristik Wilayah Kepulauan

Menurut Wikipedia (2007), wilayah kepulauan atau yang sering disebut dengan archipelago, didefinisikan sebagai serangkaian atau sekelompok daratan non benua yang yang muncul dan tersebar dipermukaan laut sebagai akibat dari adanya proses geologi. Dengan perkataan lain karakteristik wilayah kepulauan, dapat digambarkan sebagai sekelompok luasan daratan yang terfragmentasi satu dengan lainnya oleh jarak dan lautan dengan ukuran luasnya yang sangat bervariasi. Jika daratan yang trefragmentasi oleh jarak dan lautan tersebut memiliki luas dibawah 2.000 km2, maka menurut UNESCO (1991), daratan dimaksud dikategorikan sebagai pulau kecil, ukurannya yang relatif kecil dan tata letaknya yang cenderung terpisah oleh laut, mengindikasikan akan adanya permasalahan dalam pengelolaan pulau kecil yang umumnya terkait dengan, terbatasnya lahan darat, rendahnya aksesibilitas, ketergantungan, serta rentannya pulau kecil terhadap perubahan. (Pelling & Uitto, 2001)

2.1.1 Ukuran Yang Relatif Kecil (Smallness)

Meskipun menurut beberapa literatur batasan ukuran pulau kecil bervariasi, Pemerintah Indonesia melalui SK Menteri Kelautan dan Perikanan No.41 Tahun 2000 (DKP, 2001) telah memberikan batasan pulau kecil sebagai pulau yang memiliki luas (A) kurang atau sama dengan 10.000 km2, sedangkan Bengen (2003) cenderung menyetujui batasan yang dikemukakan oleh UNESCO (1991) yang mendefinisikan pulau kecil sebagai pulau yang memiliki luas kurang atau sama dengan 2.000 km2, bahkan Bengen (2003) mengemukakan bahwa pulau dengan luas kurang atau sama dengan 100 km2 dikategorikan sebagai pulau sangat kecil. Sedangkan menurut Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 27, Tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.16/MEN/2008, tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, disebutkan

bahwa Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya.

Menurut Kusumastanto (2003), Ukurannya yang kecil, terkait dengan terbatasnya ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan seperti air tawar, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir dan satwa liar, sehingga pada gilirannya akan berpengaruh terhadap daya dukung pulau-pulau kecil tersebut didalam menopang kehidupan manusia serta segenap kegiatan pembangunan yang ada. Hal yang sama dikemukakan oleh Briguglio (2002), yang menyatakan bahwa, ukuran yang kecil (smallness) sering dikaitkan dengan kurangnya keragaan sumberdaya lahan daratan, serta rendahnya hubungan antar industri yang dimiliki oleh pulau kecil. Oleh karenanya pulau kecil cenderung mengimpor energi dan makanan dari luar wilayahnya dalam rangka memenuhi kebutuhan pertumbuhannya. Keterbatasan lahan dan rendahnya hubungan antar industri juga menyebabkan pulau kecil memiliki tingkat diversivikasi usaha yang relatif sangat rendah. Sebagai konsekuensinya pulau kecil memiliki peluang pasar yang relatif sangat sempit dan terbatas karena tidak memiliki pilihan atau alternatif produk lain yang dapat diekspor kewilayah-wilayah lain dalam rangka meningkatkan pendapatan wilayahnya.

2.1.2 Keterpencilan (Remoteness)

Menurut Purwadarminta (1976), kata keterpencilan (remoteness) diartikan sebagai suatu lokasi yang jaraknya relatif jauh untuk dapat di jangkau, atau suatu lokasi yang karena tata letak dan bentuk sebarannya, tidak mudah untuk di capai oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun belum ada kuantifikasi yang secara jelas mendefinisikan keterpencilan dari pulau-pulau kecil, akan tetapi dalam perspektif yang sama kuantifikasi dari definisi keterpencilan ini kemudian oleh Worldbank (2004) digambarkan sebagai kemampuan akses relatif (index) dari suatu lokasi terhadap beberapa fasilitas umum yang tersedia disekitarnya berdasarkan variabel : jarak (D), waktu tempuh (T), serta moda transportasi (M) yang diperlukan untuk mencapai fasilitas-fasilitas umum tersebut. Lebih jauh

dijelaskan bahwa secara operasional ukuran variabel jarak dikategorikan sebagai (0) untuk jarak 0 km dari lokasi, (1) untuk jarak 1 km, (2) untuk jarak 5 km, (3) untuk jarak 20 km, (4) untuk jarak 100 km, dan (5) untuk jarak diatas 100 km. sedangkan ukuran variabel moda transportasi dikategorikan sebagai (1) untuk jalan kaki, (2) untuk kendaraan, (3) untuk kapal laut, dan (4) untuk kapal terbang, demikian halnya dengan ukuran variabel untuk waktu tempuh yang besifat kontinyu. Menurut Worldbank (2004), formulasi umum yang dipergunakan untuk menggambarkan tingkat keterpencilan dari masing- masing variabel tersebut adalah :

min max min ~ X X X X X i    ………. ….. .(1)

Dimana, Xi = ukuran keterpencilan dari suatu lokasi (i), sedangkan Xmin dan Xmax = ukuran keterpencilan minimum dan maksimum dari lokasi-lokasi yang

ada terhadap fasilitas umum yang tersedia. Normalisasi dari ketiga nilai variabel tersebut diatas selanjutnya digambarkan dalam suatu tingkatan keterpencilan lokasi dalam bentuk sebaran nilai dari 0 yang artinya tidak terpencil atau nilai yang diasosiasikan sebagai nilai minimal yang dihasilkan oleh setiap variabel. Sebaliknya nilai 1 yang berarti sangat terpencil diasosiasikan sebagai nilai maksimal yang dihasilkan oleh setiap variabel.

Lebih jauh dikemukakan oleh Briguglio (2002), bahwa karena sifat-sifat geografisnya yang cenderung terpisah oleh lautan (Remoteness), maka pulau kecil memiliki tingkat aksesibilitas yang cenderung rendah terhadap pusat- pusat pertumbuhan. Hal ini biasanya terkait dengan biaya ekstra tinggi yang harus dikeluarkan persatuan unit transportasi, terutama untuk pulau-pulau kecil yang secara ekonomis tidak terjangkau oleh sistem transportasi yang ada. Konsekuensi dari kondisi ini selain berakibat terhadap tidak menentunya proses suplai energi dan makanan yang dibutuhkan pulau-pulau kecil tersebut dalam pertumbuhannya, juga mengakibatkan pulau-pulau kecil tersebut menjadi semakin terpencil. Keterpencilan juga diartikan sebagai suatu daerah yang terisolasi dari pusat pertumbuhan maupun dari daerah lain akibat tidak memiliki atau kekurangan sarana perhubungan sehingga menghambat pertumbuhan daerah tersebut (DPU, 2011) .

2.1.3 Ketergantungan (Dependence)

Menurut Fauzi (2002), selain smallness dan remoteness, terdapat beberapa sifat khas dari pulau kecil yang juga harus dipertimbangkan dalam melakukan penilaian ekonomi sumberdaya pulau-pulau kecil. Sifat-sifat tersebut adalah ketergantungan (dependence) dan kerentanan (vulnerability). Sifat ketergantungan pulau-pulau kecil ini pada dasarnya terbentuk sebagai tuntutan atas sifat-sifat dasar dari pulau-pulau kecil seperti “smallness” dan

remoteness”. Kondisi tersebut menunjukkan adanya keterbatasan

sumberdaya darat pulau kecil serta adanya hambatan jarak dan laut yang memisahkannya. Dengan demikian dalam rangka pertumbuhannya pulau kecil sangat membutuhkan bantuan dari wilayah lain atau dari pulau lain yang dianggap mampu mendukung pulau kecil tersebut sesuai dengan kebutuhannya. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa karena keterbatasan fisiknya pulau-pulau kecil cenderung memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap wilayah lain diluarnya yang diharapkan dapat memberikan dukungan secara fungsional dalam rangka pertumbuhannya.

2.1.4 Kerentanan (Vulnerable)

Pelling dan Uito (2002), mengemukakan bahwa kaidah dasar kerentanan pulau-pulau kecil sangat dipengaruhi oleh karakteristik pulau itu sendiri seperti halnya smallness dan remoteness yang kemudian memunculkan dependence. Dalam operasionalisasinya karakteristik pulau- pulau kecil ini disatu sisi mengekspose isu-isu pengelolaan seperti permasalahan sosial, ekonomi dan lingkungan yang bersifat eksternal. Sedangkan di sisi lain secara internal karakteristik ini juga dapat digambarkan sebagai kondisi aktual dari pulau-pulau kecil yang ada dengan segala kemampuannya untuk bertahan, mengatur, dan beradaptasi terhadap dampak eksternal yang muncul sebagai akibat dari tereksposenya permasalahan-permasalahan yang ada. Secara skematis interaksi antara pengaruh eksternal terhadap kemampuan internal dari suatu pulau-pulau kecil

kemudian digambarkan sebagai suatu desain struktur kerentanan pulau-pulau kecil sebagaimana ditunjukkan melalui Gambar 1 berikut ini.

Characteristic Exposure Sensitivitas Resilience

Ukuran Kecil Terpencil Pengaruh Lingkungan kuat Kekuatan Terbatas Demografi Ekonomi Skala Kecil

Characteristic Exposure Sensitivitas Resilience

SMALL ISLANDS Environment Factors Social Factors Economic Factors Resources Potentials and Disadvantage Economic Exposures Economic of Natural Disaster Economic Remoteness Potential Social Problem Demographic Problem INDICATORS Su sta in ab le Po lic ie s Vu ln er ab ili ty In d ex Risks & Impacts Adjustments & Adaptations Actual Conditions System Responses

Sumber : Pelling dan Uito (2002)

Gambar 1. Desain Struktur Kerentanan Pulau-Pulau Kecil

Dalam Gambar 1. diatas, Pelling dan Uito (2002), menjelaskan bahwa jika kemampuan internal untuk bertahan (resilience) dari suatu pulau kecil kemudian dihadapkan dengan dampak eksternal yang disebabkan oleh tereksposenya isu atau permasalahan dari pulau-pulau kecil tersebut sebagaimana dijelaskan pada paragraf sebelum ini, maka akan didapat suatu batas pengaruh yang muncul terhadap sistem respon pulau yang diukur sebagai suatu tingkat kepekaan (sensitivity) pulau-pulau kecil tehadap pengaruh eksternal maupun internal tersebut, yang selanjutnya dianggap sebagai batas kritis (critical path) yang dapat diperbolehkan agar pemanfaatan atau eksploitasi dari pulau-pulau kecil dapat terus berkelanjutan. Ukuran sensitivitas inilah yang kemudian dipakai sebagai dasar didalam melakukan “pengelolaan wilayah pulau-pulau kecil”.

Dokumen terkait