• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARTIKA (Bintang), Raja harus mampu memberikan aturan-aturan hukum yang jelas, kepastian hukum bagi rakyat demi kesejahteraan,

Dalam dokumen SEJARAH MAJAPAHIT YANG TERLUPAKAN yamin (Halaman 24-72)

kemanusiaan, keadilan, bagaikan bintang gemintang yang mampu menunjukkan arah mata angin dengan pasti dikala malam menjalang.

Inilah “Delapan Janji Raja” yang disebut ASTHAVRATA (Astobroto; Jawa ). Dan menurut Sabdo Palon dan Naya Genggong, Prabhu Brawijaya telah lalai menjalankan janji sucinya sebagai AGNI.

Mendapati kondisi memanas seperti itu, Sunan Ampel mengeluarkan sebuah fatwa, Haram hukumnya menyerang Majapahit, karena bagaimanapun juga Prabhu Brawijaya-5 adalah Imam yang wajib dipatuhi. Setelah keluar fatwa dari pemimpin Islam se-Jawa, konflik mulai mereda.

Lukisan ilustrasi sebuah pasar tradisional di tepi sungai pada era Kerajaan Majapahit.

Islam Terpecah Menjadi Dua Kubu

Namun bagaimanapun juga, dikalangan orang-orang Islam diam-diam terbagi menjadi dua kubu. Yaitu:

Kubu Pertama, dipelopori oleh Sunan Giri, yang mencita-citakan berdirinya Kekhalifahan Islam Jawa. Kubu ini mengklaim, bahwa golongan mereka memeluk Islam secara kaffah, secara bulat-bulat, maka

pantas disebut “Putihan” (Kaum Putih). Dan mereka menyebut kubu yang dipimpin Sunan Kalijaga sebagai ABANGAN (Kaum Merah).

Kubu Kedua, dipelopori oleh Sunan Kalijaga, putra Adipati Tuban Arya Teja, keponakan Sunan Ampel, yang tidak menginginkan berdirinya Kekhalifahan itu. Mereka berpendapat dalam naungan Kerajaan Majapahit, yang notabene Shiva Buddha, ummat Islam diberikan kebebasan untuk melaksanakan ibadah agamanya. Bahkan, syari’at Islam pun boleh dijalankan didaerah-daerah tertentu.

Bibit perpecahan didalam orang-orang Islam sendiri mulai muncul. Hal ini hanya bagaikan api dalam sekam ketika Sunan Ampel masih hidup. Kelak, ketika Majapahit berhasil dijebol oleh para militan Islam dan ketika Sunan Ampel sudah wafat, kedua kubu ini terlibat pertikaian frontal yang berdarah-darah.

Yang paling parah dan memakan banyak korban, sampai-sampai para investor dari Portugis melarikan diri ke Malaka dan menceritakan di Jawa tengah terjadi situasi chaos dan anarkhis yang mengerikan, adalah pertikaian antara Arya Penangsang, santri Sunan Kudus, penguasa Jipang Panolan dari Kubu Putihan dengan Jaka Tingkir atau Mas Karebet, santri dari Sunan Kalijaga, penguasa Pajang dari Kubu Abangan.

Lukisan ilustrasi pertikaian antar dua Kubu Muslim. Arya Penangsang, santri Sunan Kudus, penguasa Jipang Panolan dari Kubu Putihan dengan Jaka Tingkir atau Mas Karebet, santri dari Sunan Kalijaga, penguasa

Berdirinya Ponorogo

Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker, sebenarnya masih keturunan bangsawan Majapahit. Beliau masih keturunan Raden Kudha Merta, ksatria dari Pajajaran yang melarikan diri bersama Raden Cakradhara alias Sri Kertawardhana (Ibu Hayam Wuruk). Raden Kudha Merta berhasil menikah dengan Shri Gitarja, putri Raden Wijaya (Raja / Penguasa Pertama Majapahit). Sedangkan Raden Cakradhara berhasil menikahi Tribhuwanatunggadewi, kakak kandung Shri Gitarja.

Dari perkawinan antara Raden Cakradhara dengan Tribhuwanatunggadewi inilah lahir Prabhu Hayam Wuruk yang terkenal itu. Sedangkan Raden Kudha Merta, menjadi penguasa daerah Wengker, yang sekarang dikenal dengan nama Ponorogo. Sedangkan Ki Ageng Kutu adalah keturunan dari Raden Kudha Merta dan Shri Gitarja.

Melihat Majapahit, dibawah pemerintahan Prabhu Brawijaya-5 bagaikan harimau yang kehilangan taringnya, Ki Ageng Kutu, memaklumatkan perang dengan Majapahit!

Prabhu Brawijaya-5 atau Prabhu Kertabhumi menjawab tantangan Ki Ageng Kutu dengan mengirimkan sejumlah pasukan tempur Majapahit dibawah pimpinan Raden Bathara Katong, putra selir beliau.

Pertarungan Majapahit dengan Ki Ageng Kutu terjadi. Pasukan Majapahit terpukul mundur. Hal ini disebabkan, banyak para prajurid Majapahit yang membelot dari kesatuannya dan memperkuat barisan Wengker. Pasukan yang dipimpin Raden Bathara Katong kocar-kacir.

Raden Bathara Katong yang merasa malu karena telah gagal menjalankan tugas Negara, konon tidak mau pulang ke Majapahit. Dia bertekad, bagaimanapun juga, Wengker harus ditundukkan. Inilah sikap seorang Ksatria sejati.

Lukisan ilustrasi Perang Paregreg (1404-1406)

Ada seorang ulama Islam yang tinggal di Wengker yang mengamati gejolak politik itu. Dia bernama Ki Ageng Mirah. Situasi yang tak menentu seperti itu, dimanfaatkan olehnya. Dia mendengar Raden Bathara Katong tidak pulang ke Majapahit, dia berusaha mencari kebenaran berita itu. Dan usahanya menuai hasil. Dia berhasil menemukan tempat persembunyian Raden Bathara Katong.

Dia menawarkan diri bisa memberikan solusi untuk menundukkan Wengker karena dia sudah lama tinggal disana. Raden Bathara Katong tertarik. Namun diam-diam, Ki Ageng Mirah, menanamkan doktrin ke-Islam-an dibenak Raden Bathara Katong. Jika ini berhasil, setidaknya peng-Islam-an Wengker akan semakin mudah, karena Raden Bathara Katong mempunyai akses langsung dengan militer Majapahit.

Jika-pun tidak berhasil membuat Raden Bathara Katong memeluk Islam, setidaknya, kelak dia tidak akan melupakan jasanya telah membantu memberitahukan titik kelemahan Wengker. Dan bila itu terjadi, Ki Ageng Mirah pasti akan menduduki kedudukan yang mempunyai akses luas

menyebarkan Islam di Wengker. Dan ternyata, Raden Bathara Katong tertarik dengan agama baru itu.

Selanjutnya, Ki Ageng Mirah mengatur rencana. Raden Bathara Katong harus pura-pura meminta suaka politik di Wengker. Raden Bathara Katong harus mengatakan untuk memohon perlindungan kepada Ki Ageng Kutu. Dia harus pura-pura membelot dari pihak Majapahit.

Ki Ageng Kutu pasti akan menerima pengabdian Raden Bathara Katong. Ki Ageng Kutu pasti akan senang melihat Raden Bathara Katong telah membelot dan kini berada di pihaknya.

Lukisan ilustrasi tampak seorang komandan tempur sedang melaporkan keadaan kepada seorang pejabat tinggi di Kerajaan Majapahit.

Manakala rencana itu sudah berhasil, Raden Bathara Katong harus mengutarakan niatnya untuk mempersunting Ni Ken Gendhini, putri sulung Ki Ageng Kutu sebagai istri.

Mengingat status Raden Bathara Katong sebagai seorang putra Raja Majapahit, lamaran itu pasti akan disambut gembira oleh Ki Ageng Kutu. Dan bila semua rencana berjalan mulus, Raden Bathara Katong harus mampu menebarkan pengaruhnya kepada kerabat Wengker. Dia harus jeli dan teliti mengamati titik kelemahan Wengker. Ni Ken Gendhini, putri Ki Ageng Kutu bisa dimanfaatkan untuk tujuan itu.

Bila semua sudah mulus berjalan, dan bila waktunya sudah tepat, maka Raden Bathara Katong harus sesegera mungkin mengirimkan utusan ke

Majapahit untuk meminta pasukan tempur tambahan. Bila semua berjalan lancar, Wengker pasti jatuh!

Raden Bathara Katong melaksanakan semua rencana yang disusun Ki Ageng Mirah. Dan atas kelihaian Raden Bathara Katong, semua berjalan lancar. Ki Ageng Kutu, yang merasa masih mempunyai hubungan kekerabatan jauh dengan Raden Bathara Katong, dengan suka rela berkenan memberikan suaka politik kepadanya. Ditambah, ketika Raden Bathara Katong mengutarakan niatnya untuk mempersunting Ni Ken Gendhini, Ki Ageng Kutu serta merta menyetujuinya. Rencana bergulir. Umpan sudah dimakan. Tinggal menunggu waktu.

Ni Ken Gendhini mempunyai dua orang adik laki-laki, yaitu Sura Menggala dan Sura Handaka. (Sura Menggala = baca Suromenggolo, sampai sekarang menjadi tokoh kebanggaan masyarakat Ponorogo. Dikenal dengan nama Warok Suromenggolo).

Ni Ken Gendhini dan putranya Sura Menggala berhasil masuk pengaruh Raden Bathara Katong, sedangkan Sura Handaka tidak. Raden Bathara Katong berhasil mengungkap segala seluk-beluk kelemahan Wengker dari Ni Ken Gendhini.

Inilah yang diceritakan secara simbolik dengan dicurinya Keris Pusaka Ki Ageng Kutu, yang bernama Keris Kyai Condhong Rawe oleh Ni Ken Gendhini dan kemudian diserahkan kepada Raden Bathara Katong.

Condhong Rawe hanya metafora. Condhong berarti ‘Melintang’ (Vertikal) dan Rawe berarti ‘Tegak’ (Horisontal). Arti sesungguhnya adalah, kekuatan yang tegak dan melintang dari seluruh pasukan Wengker, telah berhasil diketahui secara cermat oleh Raden Bathara Katong atas bantuan Ni Ken Gendhini. Struktur kekuatan militer ini sudah bisa dibaca dan diketahui semuanya.

Lukisan ilustrasi, tampak seorang prajurit sedang memegang sebilah Keris, senjata andalan ciri khas kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara.

Dan manakala waktu sudah dirasa tepat, dengan diam-diam, dikirimkannya utusan kepada Ki Ageng Mirah. Utusan ini menyuruh Ki Ageng Mirah, atas nama Raden Bathara Katong, memohon tambahan pasukan tempur ke Majapahit.

Mendapati kabar Raden Bathara Katong masih hidup, Prabhu Brawijaya segera memenuhi permintaan pengiriman pasukan baru. Majapahit dan Wengker diadu! Majapahit dan Wengker tidak menyadari, ada pihak ketiga bermain disana, ironis sekali.

Peperangan kembali pecah. Ki Ageng Kutu yang benar-benar merasa kecolongan, dengan marah mengamuk dimedan laga bagai bantheng ketaton, bagai banteng yang terluka. Demi Dharma, dia rela menumpahkan darahnya diatas Bumi Pertiwi. Walau harus lebur menjadi abu, Ki Ageng Kutu, beserta segenap pasukan Wengker, maju terus pantang mundur!

Namun bagaimanapun, seluruh struktur kekuatan Wengker telah diketahui oleh Raden Bathara Katong. Pasukan Wengker, yang terkenal dengan nama Pasukan Warok itu terdesak hebat! Namun, Ki Ageng Kutu beserta seluruh pasukannya telah siap untuk mati. Siap mati habis-habisan, siap menumpahkan darahnya diatas hamparan pangkuan Ibu

Pertiwi! Dengan gagah berani, pasukan ksatria ini terus merangsak maju, melawan pasukan Majapahit.

Banyak kepala pasukan Majapahit yang menangis melihat mereka harus bertempur dengan saudara sendiri. Banyak yang meneteskan air mata, melihat mayat-mayat prajurid Wengker bergelimpangan bermandikan darah. Dan pada akhirnya, Wengker berhasil dijebol. Wengker berhasil dihancurkan!

Kabar kemenangan itu sampai di Majapahit. Namun, Prabhu Brawijaya-5 berkabung mendengar kegagahan pasukan Wengker. Mendengar kegagahan Ki Ageng Kutu, seluruh Pejabat Majapahit berkabung. Sabdo Palon dan Naya Genggong berkabung. Kabar kemenangan itu membuat Majapahit bersedih, bukannya bersuka cita.

Para pejabat Majapahit menangis sedih melihat sesama saudara harus saling menumpahkan darah karena campur tangan pihak ketiga, karena disebabkan adanya pihak ketiga. Ki Ageng Kutu adalah seorang Ksatria yang gagah berani. Ki Ageng Kutu adalah salah satu sendi kekuatan militer Majapahit. Kini, Ki Ageng Kutu harus gugur ditangan pasukan Majapahit sendiri. Haduh, betapa memilukan!

Kadipaten Wengker kini dikuasai oleh Raden Bathara Katong. Surat pengukuhan telah diterima dari pusat. Dan Wengker lantas dirubah namanya menjadi Kadipaten Ponorogo. Wengker yang Shiva Buddha, kini telah berhasil menjadi Kadipaten Islam.

Sunan Kalijaga atau Sunan Kalijogo adalah seorang tokoh Wali Songo yang sangat lekat dengan Muslim di Pulau Jawa, karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam tradisi Jawa. Makamnya

berada di Kadilangu, Demak. (wikimedia)

Seorang ulama berdarah Majapahit, yang lahir di Kadipaten Tuban, yang sangat dikenal dikalangan masyarakat Jawa Islam yaitu Sunan Kalijaga, mati-matian membendung gerakan militansi Islam.

Beliau seringkali mengingatkan, bahwasanya membangun akhlaq lebih penting daripada mendirikan sebuah Negara Islam.

Sunan Kalijaga adalah putra Adipati Tuban, Arya Teja. Adipati Arya Teja adalah keturunan Senopati Agung Majapahit masa lampau, Adipati AryaRanggalawe atau Rangga Lawe (wafat: 1295) adalah salah satu pengikut Raden Wijaya yang berjasa besar dalam perjuangan mendirikan Kerajaan Majapahit, namun meninggal sebagai pemberontak pertama dalam sejarah kerajaan ini.

Nama besar Adipati Arya Ranggalawe dikenang sebagai pahlawan oleh masyarakat Tuban sampai saat ini. Ia adalah salah satu tangan kanan Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit. Ia juga yang berhasil memimpin pasukan Majapahit mengalahkan pasukan Tiongkok Mongolia yang hendak menguasai Jawa.

Adipati Arya Teja berhasil di Islamkan oleh Sunan Ampel. Bahkan kakak kandung beliau dinikahi Sunan Ampel. Dari pernikahan Sunan Ampel dengan kakak kandung Adipati Arya Teja, lahirlah Sunan Bonang, Sunan Derajat, Sunan Lamongan, dan lima putri yang lain (seperti yang telah saya tulis pada bagian pertama).

Para pengikut Sunan Giri yang tidak sepaham dengan para pengikut Sunan Kalijaga, sering terlibat konflik-konflik terselubung. Di pihak Sunan Giri, banyak ulama yang bergabung, seperti Sunan Derajat, Sunan Lamongan, Sunan Majagung (sekarang dikenal dengan Sunan Bejagung), Sunan Ngundung dan putranya Sunan Kudus, dll.

Dipihak Sunan Kalijaga, ada Sunan Murya (sekarang dikenal dengan nama Sunan Muria), Syeh Jangkung, Syeh Siti Jenar, dan lain-lain.

Khusus mengenai Syeh Siti Jenar atau Raden Abdul Jalil, juga dikenal dengan nama Sunan Jepara, Sitibrit, Syekh Lemahbang, Syekh Lemah Abang atau juga disebut Sunan Kajenar, beliau adalah ulama murni yang menekuni spiritualitas. Beliau sangat-sangat tidak menyetujui gerakan ‘Kaum Putih’ yang merencanakan berdirinya Negara Islam Jawa.

Pertikaian ini mencapai puncaknya ketika Syeh Siti Jenar, menyatakan keluar dari Dewan Wali Sangha. Syeh Siti Jenar menyatakan terpisah dari Majelis Ulama Jawa itu. Beliau tidak mengakui lagi Sunan Ampel sebagai seorang Mufti. Didaerah Cirebon, Syeh Siti Jenar banyak memiliki pengikut.

Manakala menjelang awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat dan kedudukan Mufti digantikan oleh Sunan Giri, keberadaan Syeh Siti Jenar dianggap sangat membahayakan Islam.

Semua dinamika ini, terus diamati oleh intelejen dari Majapahit. Gerakan-gerakan militansi Islam mulai merebak dipesisir utara Jawa. Mulai Gresik, Tuban, Demak, Cirebon dan Banten. Para pejabat daerah telah mengirimkan laporan kepada Prabhu Brawijaya-5. Tapi Prabhu Brawijaya tetap yakin, semua masih dibawah kontrol beliau.

Keturunan di Pengging

Pernikahan Dewi Anarawati dengan Prabhu Brawijaya-5 semakin dikukuhkan dengan diangkatnya Putri Champa ini sebagai permaisuri. Keputusan yang sangat luar biasa ini menuai protes. Kesuksesan besar bagi Dewi Anarawati membuat para pejabat Majapahit resah.

Bisa dilihat jelas disini, bila kelak Prabhu Brawijaya wafat, maka yang akan menggantikannya sudah pasti putra dari seorang permaisuri. Dan sang permaisuri beragama Islam. Dapat dipastikan, Majapahit akan berubah menjadi Negara Islam.

Makam Putri Campa di Trowulan (foto diambil pada tahun 1870-1900) (wikimedia / COLLECTIE_TROPENMUSEUM)

Dari luar Istana, Sunan Giri menyusun strategi memperkuat barisan militansi Islam. Dari dalam Istana, Dewi Anarawati mempersiapkan rencana yang brilian. Jika Sunan Giri gagal merebut Majapahit dengan cara pemberontakan, dari dalam istana, Majapahit sudah pasti bisa dikuasai oleh Dewi Anarawati. Bila rencana pertama gagal, rencana kedua masih bisa berjalan.

Tapi ternyata, apa yang diharapkan Dewi Anarawati menuai hambatan. Dari hasil perkawinannya dengan Prabhu Brawijaya-5, lahirlah tiga orang anak. Yaitu:

1. Yang sulung seorang putri, dinikahkan dengan Adipati Handayaningrat IV, penguasa Kadipaten Pengging (sekitar daerah Solo, Jawa Tengah sekarang).

2. Putra kedua bernama Raden Lembu Peteng (Ki Ageng Tarub II) atau Bondan Kejawan (1478 – ), berkuasa di Madura (daerah Sampang sekarang, di pulau Madura).

3. Dan yang ketiga Raden Gugur, masih kecil dan tinggal di Istana. Kelak, Raden Gugur inilah yang terkenal dengan julukan Sunan Lawu, dipercaya sebagai penguasa mistik Gunung Lawu, yang terletak didaerah Magetan, hingga sekarang.

Hambatan yang dituai Dewi Anarawati adalah, putri sulungnya tidak tertarik memeluk Islam, begitu juga dengan Raden Gugur. Hanya Raden Lembu Peteng yang mau memeluk Islam.

Dari pernikahan putri sulung Dewi Anarawati dengan Adipati Handayaningrat IV, lahirlah dua orang putra, Kebo Kanigara dan Kebo Kenanga.

Keduanya juga tidak tertarik memeluk Islam. Si sulung bahkan pergi meninggalkan kemewahan Kadipaten dan menjadi seorang pertapa di Gunung Merapi (didaerah Jogjakarta sekarang). Sampai sekarang, petilasan bekas pertapaan beliau masih ada dan berubah menjadi sebuah makam yang seringkali diziarahi.

Otomatis, yang kelak menggantikan Adipati Handayaningrat IV sebagai Adipati Pengging, bahkan juga jika Prabhu Brawijaya-5 mangkat, tak lain adalah adik Kebo Kanigara, yaitu Kebo Kenanga. Kelak, dia akan mendapat limpahan tahta Pengging maupun Majapahit!

Inilah pewaris sah tahta Majapahit. Kebo Kenanga lantas dikenal dengan nama Ki Ageng Pengging. Adiknya yang paling kecil, putra ketiga dari pernikahan putri sulung Dewi Anarawati dengan Adipati Handayaningrat IV pun lahir, ia bernama Kebo Amiluhur.

Peta persebaran Islam di Indonesia. (wikimedia)

Ki Ageng Pengging sangat akrab dengan Syeh Siti Jenar. Keduanya, yang satu beragama Shiva Buddha dan yang satu beragama Islam, sama-sama tertarik mendalami spiritual murni. Mereka berdua seringkali berdiskusi tentang ‘Kebenaran Sejati’. Dan hasilnya, tidak ada perbedaan diantara Shiva Buddha dan Islam.

Namun kedekatan mereka ini disalah-artikan oleh ulama-ulama radikal yang masih melihat kulit, masih melihat perbedaan. Syeh Siti Jenar dituduh mendekati Ki Ageng Pengging untuk mencari dukungan kekuatan. Dan konyolnya, Ki Ageng Pengging dikatakan sebagai murid Syeh Siti Jenar yang hendak melakukan pemberontakan keDemak Bintara.

Padahal Ki Ageng Pengging tidak tertarik dengan tahta. Walaupun sesungguhnya, memang benar bahwa beliau lah yang lebih berhak menjadi Raja Majapahit kelak ketika Majapahit berhasil dihancurkan oleh Raden Patah, dan juga, Ki Ageng Pengging bukanlah seorang muslim. Beliau dengan Syeh Siti Jenar hanyalah seorang ‘sahabat spiritual’.

Hubungan seperti ini, tidak akan bisa dimengerti oleh mereka yang berpandangan dangkal. Ki Ageng Pengging dan Syeh Siti Jenar adalah seorang spiritualis sejati. Kelak, setelah Majapahit berhasil dihancurkan para militant Islam, dua orang sahabat ini menjadi target utama untuk dimusnahkan. Baik Syeh Siti Jenar maupun Ki Ageng Pengging gugur karena korban kepicikan.

Dan, nama Ki Ageng Pengging dan Syeh Siti Jenar dibuat hitam. Sampai sekarang, nama keduanya masih terus dihakimi sebagai dua orang yang sesat dikalangan Islam. Namun bagaimanapun juga, keharuman nama keduanya tetap terjaga dikisi-kisi hati tersembunyi masyarakat Jawa, walaupun tidak ada yang berani menyatakan kekagumannya secara terang-terangan. Ironis.

Dari Ki Ageng Pengging inilah, lahir seorang tokoh terkenal di Jawa, yaitu Mas Karebatatau Jaka Tingkir. Dan kelak menjadi Sultan Pajang setelah Demak hancur dengan gelar Sultan Adiwijaya. Dalam tradisi Jawa, Jaka / Joko Tingkir atau Mas Karèbèt (atau ejaan Tionghoa: Peng King Kang), adalah pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Pajang yang memerintah tahun 1549-1582 dengan nama Hadiwijaya.

Permukiman Majapahit beratap genting dan berhias ukel. Dindingnya gedek, berlantai batu bata. Ada dua anak tangga kecil yang mengantarkan penghuninya melewati pintu. Halamannya pun dihiasi dengan gentong dan

jambangan. (Seni: Sandy Solihin/National Geographic Indonesia)

Keturunan di Tarub

Dikisahkan secara vulgar, suatu ketika Prabhu Brawijaya-5 terserang penyakit rajasinga atau syphilis. Para Tabib Istana sudah bekerja keras untuk berusaha menyembuhkan beliau, tapi penyakit beliau tetap membandel.

Atas inisiatif beliau sendiri, setiap malam beliau tidur diarel Pura Keraton. Memohon kepada Mahadewa agar diberi kesembuhan. Dan konon, setelah beberapa malam beliau memohon, suatu malam, beliau mendapat petunjuk sangat jelas.

Dalam keheningan meditasinya, lamat-lamat beliau ‘mendengar’ suara: “Jika engkau ingin sembuh, nikahilah seorang pelayan wanita berdarah Wandhan. Dan, inilah kali terakhir engkau boleh menikah lagi.”

Mendapat ‘wisik’ yang sangat jelas seperti itu, Prabhu Brawijaya termangu-mangu. Dan beliau teringat, di Istana ada beberapa pelayan Istana yang berasal dari daerah Wandhan (Bandha Niera, di daerah Sulawesi).

Keesokan harinya, beliau memanggil para pelayan istana dari daerah Wandhan. Beliau memilih yang paling cantik. Ada seorang pelayan dari Wandhan, bernama Dewi Bondrit Cemara, sangat cantik. Diambillah dia sebagai istri selir. Dikemudian hari, Dewi Bondrit Cemara dikenal dengan nama Dewi Wandhan Kuning atau Putri Wandan Sari.

Begitu menikahi Dewi Wandhan Kuning, dan setelah melakukan senggama beberapa kali, penyakit Sang Prabhu berangsur-angsur sembuh. Namun Sang Prabhu merasa perkawinannya dengan Dewi Wandhan Kuning harus dirahasiakan. Karena apabila kabar ini terdengar sampai ke daerah Wandhan, pasti para bangsawan Sulawesi merasa terhina oleh sebab Sang Prabhu bukannya mengambil salah seorang putri bangsawan Wandhan, tapi malah mengambil seorang pelayan.

Dewi Wandhan Kuning mengandung, hingga akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki, putra ini lantas dititipkan kepada Kepala Urusan Sawah Istana, Ki Juru Tani (waktu itu, Istana memiliki areal pesawahan khusus yang hasilnya untuk dikonsumsi oleh seluruh kerabat Istana) Anak ini diberi nama Raden Bondhan Kejawen, adalah putra ke 14 Prabu Brawijaya-5, raja Kerajaan Majapahit terakhir dengan seorang Putri Wandan Sari (Bondhan perubahan dari kata Wandhan. Kejawen berarti yang telah berdarah Jawa).

Raden Bondhan Kejawen dibesarkan oleh Ki Juru Tani. Dan manakala sudah berangsur dewasa, atas perintah Sang Prabhu, Raden Bondhan Kejawen dikirimkan kepada Ki Ageng Tarub, seorang Pandhita Shiva

yang memiliki Ashrama di daerah Tarub ( sekitar Purwodadi, Jawa Tengah sekarang).

Jika anda pernah mendengar legenda Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan, maka inilah dia. Jaka Tarub yang konon mencuri selendang bidadari Dewi Nawangwulan yang kini lebih dikenal sebagai Lara Kidul Dewi Nawangwulan, (disingkat: Loro Kidul) yang lantas ditinggal oleh sang bidadari setelah sekian lama menjadi istri beliau karena ketahuan bahwa yang menyembunyikan selendang itu adalah Jaka Tarub sendiri.

Konon, Lara Kidul Dewi Nawangwulan adalah ratu sebuah kerajaan kecil pada masa Kerajaan Majapahit. Ia adalah keturunan raja Melayu yang diambil menantu oleh Raja Majapahit, Bhre Wengker (1456-1466), sementara ia sendiri menjadi salah satu dari tujuh bidadari yang mandi di telaga. (Saya tidak akan membedah simbolisasi legenda ini disini, karena tidak sesuai dengan topic yang saya bahas).

Sebuah gambar perumpamaan cerita Jaka Tarub. (wikimedia)

Dalam dokumen SEJARAH MAJAPAHIT YANG TERLUPAKAN yamin (Halaman 24-72)

Dokumen terkait