• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kumpulan cerpen Lebaran di Karet, di Karet… karya Umar Kayam terdiri atas tigabelas judul. Namun, penulis hanya mengambil delapan dari tigabelas cerpen karya Umar Kayam ini. Delapan cerpen tersebut ialah “Ke Solo, Ke Njati”, “Ziarah Lebaran”, “Menjelang Lebaran”, “Lebaran Ini, Saya Harus Pulang”, “Marti”, “Mbok Jah”, “Lebaran di Karet, di Karet”, “Sardi”. Delapan cerpen tersebut mempunyai keterkaitan cerita mengenai Lebaran dari sudut pandang priayi dan wong cilik. Delapan cerpen tersebut akan dianalisis alur dan tokoh dengan menceritakan kehidupan setiap tokoh beserta peristiwa-peristiwa dan konflik-konflik yang terjadi. 2.1. “Ke Solo, ke Njati”

2.1.1 Alur

Cerpen ini menceritakan wong cilik dalam menyambut Lebaran. Banyak orang pulang kampung untuk merayakan Lebaran bersama keluarga dan kerabat dekat. Tradisi pulang kampung inilah disebut dengan mudik. Di Indonesia, orang mudik menggunakan angkutan umum. Sehingga alat transportasi menjadi masalah umum pada saat sebelum dan sesudah Lebaran.

Cerpen “Ke Solo, ke Njati”, cerita diawali dengan penggambaran tokoh ibu dengan kedua anaknya yang hijrah ke Jakarta. Tokoh ibu bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta. Ia dan kedua anaknya menempati kamar sewaan yang

kumuh di bilangan Kali Malang Jakarta. Pada saat Lebaran, tokoh ibu dalam cerpen

“Ke Solo, ke Njati” dengan kedua anaknya juga akan mudik ke Jawa.

Pada saat Lebaran, tokoh ibu dan dua anaknya (Ti dan si bungsu) sudah memiliki karcis bus menuju Wonogiri. Namun, mereka tidak bisa mudik karena tak pernah mampu masuk bus yang akan mereka tumpangi karena sangat banyak calon pemudik di terminal bus pada hari pertama Lebaran. Mereka mencobanya lagi pada saat hari kedua Lebaran. Namun, hari kedua Lebaran justru malah semakin penuh sesak dan berjubel. Peristiwa demi peristiwa disuguhkan pengarang dalam cerpen ini. Ternyata pada hari pertama dan kedua Lebaran masih banyak orang yang mudik. Logikanya, mudik dilakukan sebelum Lebaran tiba karena pada saat Lebaran mereka harusnya melakukan ritual Lebaran, seperti, sholat Ied dan sungkeman. Celakanya, tokoh ibu dan dua anaknya (Ti dan si bungsu) mengalami kesemrawutan saat mudik, itu terjadi bukan beberapa hari menjelang Lebaran, tetapi justru pada hari pertama dan kedua Lebaran.

Dari serangkaian peristiwa di atas, tokoh ibu dan kedua anaknya (Ti dan si bungsu), dengan ber-gentenyong-an barang, tidak mampu berdempet-dempetan dengan orang lain dan selalu terpinggirkan alias selalu gagal untuk bisa dapat masuk ke dalam bus.

Pada bagian berikutnya digambarkan suami tokoh ibu sudah meninggal. Secara flash back dikemukakan peristiwa akan kematian suaminya yang meninggal saat bekerja sebagai buruh bangunan. Terjadi pergolakan batin tokoh ibu yang kehilangan suaminya tiga tahun lalu saat bekerja sebagai buruh bangunan.

Seandainya suami dari tokoh ibu tidak meninggal saat bekerja sebagai buruh bangunan, si ibu mungkin tidak kerepotan dengan dua anak yang masih kecil-kecil yang akan mudik menggunakan bus. Akhirnya mereka terpaksa “pulang ke kamar sewaan yang terselip di tengah kampung agak kumuh di bilangan Kali Malang” (halaman. 2).

Setelah berbagai peristiwa demi peristiwa yang dikisahkan oleh pengarang dalam cerpen “Ke Solo, Ke Njati” ini, konflik muncul dan berkembang. Tokoh ibu yang gagal mudik karena tak bisa masuk dalam bus jurusan Wonogiri yang penuh sesak, jelas tak mau mengecewakan kedua anaknya (Ti dan si bungsu) yang sudah mencoba mudik di hari pertama dan kedua Lebaran , meskipun akhirnya gagal. Tokoh ibu berjanji akan mengajak kedua anaknya (Ti dan si bungsu) ke Kebun Binatang, esoknya. Namun, ia bingung akan memakai uang apa untuk dapat pergi kesana bersama anak-anaknya. Uangnya ludes, habis tak tersisa karena dipakai untuk membeli karcis dari calo, jajan, oleh-oleh, dan ongkos bolak-balik naik bajaj.

Pengarang diakhir cerita memberikan dua penyelesaian sekaligus dari berbagai peristiwa yang dialami tokoh-tokohnya, konflik (pergolakan batin) ibu dan juga klimaks. Pengarang melakukan penyelesaian simbolik, dengan, antara lain, menciptakan suatu dunia imajiner tempat masalah yang mereka hadapi dapat hilang dan terselesaikan. Pertama, kegagalan dan kekecewaan kedua anaknya (Ti dan si bungsu) yang masih kecil-kecil diselesaikan dengan menciptakan sebuah lagu. Lagu ini ciptaan mereka yang telah gagal mudik di hari pertama dan kedua Lebaran. Lagu ciptaan mereka yang mereka beri judul “Solo, Solo, Solo. Njati, Njati, Njati…..”

(hlm. 7), dapat menggambarkan bahwa mereka seolah-olah sedang atau sudah pulang kampung. Kedua, tokoh ibu yang juga gagal mudik bersama dua orang anaknya, akhirnya menyelesaikan semua masalahnya dengan memutuskan kembali ke rumah majikannya. Itulah sebabnya, nyonya rumah dalam cerpen “Ke Solo, ke Njati” sangat senang ketika pembantunya (tokoh ibu) itu tidak jadi mudik karena tak bisa masuk ke bus yang akan mengangkutnya ke Wonogiri. “To, saya bilang apa. Saya bilang apa. Sokur tidak dapat bis kamu. Ayo sini bantu kami sini. Tuh piring-piring kotor masih menumpuk di dapur. Sana….” (hlm. 7).

Jika dilihat dari keseluruhan jalan cerita dalam cerpen “Ke Solo, ke Njati”, maka alur dalam cerpen ini adalah alur sorot balik atau flash back. Urutan peristiwa yang diceritakan tidak kronologis. Penceritaan di awali peristiwa tokoh Ibu yang mempunyai dua anak yang masih kecil-kecil (Ti dan si bungsu), ingin mudik Lebaran. Alat transportasi (bus) yang digunakan Ibu dan kedua anaknya untuk mudik penuh sesak dan berjejal pada hari pertama dan kedua Lebaran. Pada bagian berikutnya digambarkan secara flash back tentang suami dari tokoh ibu. Sang suami yang bekerja sebagai buruh bangunan, meninggal tiga tahun lalu karena kecelakaan saat bekerja. Kemudian cerita kembali ke masa kini, konflik mulai muncul dan berkembang. Oleh-oleh yang sudah dibeli, karcis beli dari calo, jajan, ongkos bolak-balik bajaj dan semua uang habis terkuras. Akhirnya, mereka benar-benar batal mudik dan memutuskan kembali pulang ke kamar sewaan yang kumuh di bilangan Kali Malang. Sang Ibu berjanji pada kedua anaknya, ia akan menggantinya dengan pergi ke Kebon Binatang, meski ia tak tahu akan pakai uang apa nanti untuk pergi ke

Kebon Binatang. Pengarang diakhir cerita memberikan dua penyelesaian sekaligus.

Pertama, kegagalan dan kekecewaan kedua anaknya (Ti dan si bungsu) , diselesaikan dengan menciptakan sebuah lagu. Kedua, tokoh ibu yang hanya bisa nrimo dan pasrah, akhirnya menyelesaikan semua masalahnya dengan kembali ke rumah majikannya.

2.1.2 Tokoh

Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, Nurgiyantoro (1995: 176) membagi tokoh menjadi dua bagian, yaitu tokoh utama (main character) dan tokoh tambahan (peripheral character). Yang termasuk tokoh utama (main character) dalam cerpen “Ke Solo, ke Njati” adalah tokoh Ibu. Tokoh ibu dalam cerpen ini merupakan tokoh penting yang paling sering diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Tokoh ibu ditampilkan terus menerus dari awal cerita, tengah, maupun diakhir cerita sehingga mendominasi hampir seluruh bagian dalam cerita.

Tokoh ibu digambarkan sangat kuat dalam cerpen ini. Tokoh ibu dengan dua anak (Ti dan si bungsu) yang masih kecil-kecil harus hidup dengan serba keterbatasan dikota besar yaitu Jakarta. Mereka bisa disebut sebagai wong cilik karena tokoh ibu bekerja banting tulang sebagai pembantu rumah tangga untuk menyambung hidup. Sang suami meninggal saat bekerja tiga tahun lalu. Karakter dari tokoh ibu yang

nrimo dan pasrah dalam menghadapi dan memeperjuangkan hidup sangat kuat. Misalnya, saat ia dan dua anaknya gagal naik bus saat hari pertama Lebaran, mereka mencobanya lagi di hari kedua Lebaran meskipun gagal. Dengan kegagalan ini, tokoh

ibu tetap tegar menghadapi semua permasalahan Tokoh ibu tidak berdiam diri, ia akhirnya memutuskan kembali ke rumah majikannya.

Tokoh ibu diceritakan melalui peristiwa demi peristiwa secara terus menerus dan juga mendominasi diawal cerita. Dalam peristiwa yang diceritakan, terdapat juga tokoh tambahan yang mendukung cerita. Tokoh tambahan adalah Ti (berumur enam tahun) dan si bungsu. Berikut kutipannya.

“Bis jurusan Wonogiri mulai bergerak meninggalkan terminal. Habis sudah harapannya untuk ikut dan terangkut. Orang begitu berjejal, berebut masuk. Tidak mungkin dia akan dapat peluang, betapa pun kecil itu, untuk dapat menyeruak masuk di antara desakan berpuluh manusia yang mau naik. Bawaannya ber-genteyong-an di pundak dan punggungnya, belum lagi tangannya yang mesti menggandeng kedua anak-anaknya yang masih kecil.”

“Bu, kita jadi mudik ke Njati, ya, Bu?Anaknya yang besar, yang berumur enam tahun, bertanya.”

“Wah nampaknya susah, Ti. Lihat tuh penuhnya orang.” “Kita nggak jadi mudik, ya, Bu.” (halaman 1-2)

Setelah tidak berhasil naik bus untuk mudik, tokoh ibu sebagai tokoh utama tetap diceritakan secara terus menerus sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian.

“Pulang. Itu berarti pulang ke kamar sewaan yang terselip di tengah kampung yang agak kumuh di bilangan Kali Malang. Anak-anaknya yang sudah lelah menurut saja digandeng ibunya dan kemudian didorong masuk ke sebuah bajaj yang pada sore hari itu memungut biaya entah berapa kali lipat daripada biasa. Anaknya yang kecil langsung tidur begitu bajaj bergerak. Anaknya yang besar diam, entah membayangkan atau memikirkan apa.” (halaman 3)

Tokoh utama dalam cerpen “Ke Solo, ke Njati” senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan peristiwa. Diakhir cerita pun, tokoh utama masih ditampilkan dan menentukan perkembangan plot secara keseluruhan.

“Di gedong, nyonya rumah berteriak waktu melihat dia masuk rumah lewat pintu samping.”

To, saya bilang apa. Saya bilang apa. Sokur tidak dapat bis kamu. Ayo sini bantu kami sini. Tuh pring-piring kotor masih menumpuk di dapur. Sana…..” (halaman 7)

Tokoh tambahan (peripheral character) juga ada dalam cerpen “Ke Solo, ke

Njati” karya Umar Kayam ini. Tokoh tambahan, menurut Nurgiyantoro (1995: 176)

adalah tokoh yang hanya dimunculkan beberapa kali saja dan dalam porsi pendek. Tokoh tambahan (peripheral character) dalam cerpen ini adalah kedua anak dari tokoh ibu yaitu Ti dan si bungsu, serta majikan (si nyonya rumah) tokoh ibu. Mereka hadir sebagai pendukung tokoh utama cerita.

2.2. “Ziarah Lebaran” 2.2.1 Alur

Cerpen ini menceritakan tentang Yusuf, seorang duda beranak satu. Istrinya yang bernama Siti telah meninggal dunia, sedangkan anaknya (Eko) tinggal bersama mertuanya. Pada saat Lebaran, Yusuf mudik kerumah mertuanya atau Eyang dari Eko anaknya. Acara Lebaran yang dialami Yusuf dari tahun ke tahun selalu sama yaitu sembahyang Ied, sungkem kepada keluarga atau ke tetangga-tetangga, saling bermaaf-maafan, makan pagi bersama, ziarah ke makam ayah mertuanya dan makam Siti (istrinya).

Peristiwa dimulai saat Yusuf yang bekerja di Jakarta memutuskan untuk mudik pada saat Lebaran ke rumah mertuanya. Di sana hanya tinggal mertuanya dan Eko, anak semata wayangnya dari Siti (istrinya) yang sudah meninggal. Saat Lebaran tiba, Yusuf, Eko (anaknya), dan mertuanya melakukan ritual Lebaran sama seperti Lebaran tahun-tahun yang lalu. Mulai dari makan hidangan khas yang dimasak eyang putri yaitu opor ayam, sambal goreng ati, dendeng ragi, dan lontong, beserta bubuk ragi. Kemudian ritual Lebaran dilanjutkan dengan mengunjungi makam Siti (istrinya) dan ayah mertuanya.

Penceritaan berikutnya secara flash back menampilkan peristiwa Yusuf bersama Yati. Yusuf sering bertemu Yati. Mereka biasanya berkencan dengan melihat film, makan di restoran, dan bahkan sekali dua kali menginap di hotel. Yusuf berbicara dengan Yati dari hati ke hati. Yusuf mengungkapkan keinginannya untuk menikah dengan Yati. Yusuf meminta Yati menjadi istri dan ibu dari Eko

Cerita kembali ke ke masa kini, masa Yusuf sedang berada di rumah mertuanya untuk merayakan Lebaran sekaligus bertemu dengan Eko. Konflik mulai muncul saat Yusuf bimbang untuk mengungkapkan keinginannya akan menikah lagi kepada mertuanya. Jauh hari sebelum Lebaran, Yusuf sudah punya teman dekat wanita yang bernama Yati, teman sejawatnya di Jakarta. Yusuf ingin mengakhiri masa dudanya dan sudah berjanji akan menikahi Yati. Akan tetapi, Yusuf tidak punya keberanian untuk mengemukakan niat hatinya kepada mertuanya pada saat Lebaran. Hal ini di sebabkan jika Yusuf jadi menikah dengan Yati, otomatis Eko akan dibawa serta ke Jakarta. Namun, karena mertuanya juga sudah menjanda, dan Eko adalah

cucu satu-satunya, Yusuf tidak tega untuk mengungkapkan perasaannya kepada ibu mertuanya. Dalam cerpen ini terlihat konflik batin tokoh Yusuf yang tidak tega mengungkapkan keinginannya kepada mertuanya dan di satu sisi, Yusuf sudah berjanji akan menikahi wanita pilihannya yaitu Yati. Pengarang menceritakan tokoh Yusuf mengalami konflik dengan batinnya sendiri karena tidak dapat memutuskan bagaimana cara terbaik untuk mengungkapkannya kepada mertuanya. Keadaan yang dilematis dialami Yusuf dalam cerita ini.

Cerita sampai pada klimaksnya, saat Yusuf memutuskan untuk kembali bekerja di Jakarta setelah Lebaran. “Dalam perjalanan pulang ke Jakarta, di kereta api yang penuh sesak orang-orang yang baru pulang dari mudik, Yusuf mendesah. Udara pengap, gerah, keringat di tubuhnya terasa lengket, bau apak dan penguk lagi” (halaman 11-12). Yusuf, dalam “Ziarah Lebaran”, memutuskan untuk menunda usahanya menyampaikan keinginannya untuk menikah lagi dengan Yati dan mengambil Eko dari mertuanya di tahun depan. Sampai akhirnya, Yusuf kembali ke Jakarta menggunakan alat transportasi kereta api yang penuh sesak dengan segala macam kegalauan hatinya.

Pengarang, dalam “Ziarah Lebaran” tidak mengungkapkan penyelesaian dari semua peristiwa-peristiwa, konflik yang muncul, dan klimaks yang dialami oleh tokoh Yusuf. Pengarang seakan-akan memberikan ruang kosong bagi pembaca untuk menafsirkan sendiri akhir dari cerita dalam cerpen ini. Cerita kisah Yusuf dalam cerpen ini terkesan mengambang tanpa memberikan penyelesaian yang konkret. Akhir dari cerita dalam cerpen “Ziarah Lebaran” yaitu saat Yusuf di dalam kereta

api menatap jendela. Ia membayangkan dapat menatap sekilas senyum Yati yang dia harap dapat merangsang birahinya. Tetapi Yusuf tidak menemukan senyum Yati dalam bayangannya. “Yang terlihat hanya sawah-sawah kebanjiran, jembatan-jembatan putus, dan jalan-jalan yang semrawut oleh bus dan mobil” (halaman 12). Yusuf pun kembali ke Jakarta menggunakan kereta api dengan membawa segala kegalauan, kebimbangan, kegelisahan, kegundahan yang terendap di hatinya.

Keseluruhan cerita dalam cerpen “Ziarah Lebaran” ini beralur sorot balik/ flash back. Urutan peristiwa tidak kronologis dan tidak dimulai dari awal. Cerita diawali tokoh Yusuf yang mudik ke rumah mertuanya pada saat Lebaran tiba. Anak Yusuf yang bernama Eko, tinggal bersama mertuanya. Sedangkan istri Yusuf yang bernama Siti telah meninggal dunia, begitu juga ayah mertuanya. Penceritaan berikutnya secara flash back menampilkan peristiwa Yusuf bersama Yati saat berada di Jakarta. Kemudian cerita kembali ke masa kini dan konflik muncul. Konflik muncul sebelum Lebaran tiba, Yusuf sudah mempunyai seorang kekasih bernama Yati. Konflik semakin berkembang takkala Yusuf tidak berani mengutarakan niatnya kepada sang mertua, bahwa ia akan menikahi Yati. Yusuf tidak tega melihat mertuanya yang tinggal sendiri. Kalau Yusuf menikah dengan Yati, otomatis Eko, anaknya akan dibawa ke Jakarta, padahal selama ini Eko tinggal bersama eyangnya. Sampai pada klimaksnya, Yusuf memutuskan kembali pulang ke Jakarta setelah merayakan Lebaran di rumah sang mertua dengan kegalauan hatinya. Cerita selesai begitu saja tanpa adanya tahap penyelesaian.

2.2.2 Tokoh

Tokoh utama dalam cerpen “Ziarah Lebaran” adalah tokoh Yusuf. Tokoh Yusuf mendominasi seluruh bagian dalam cerita. Mulai dari awal, tengah dan akhir cerita, tokoh Yusuf selalu diceritakan dan berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Tokoh Yusuf sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Tokoh Yusuf selalu diceritakan sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian dan konflik.

Tokoh Yusuf dalam cerpen ini digambarkan sebagai priayi atau golongan menengah ke atas. Yusuf mempunyai pekerjaan tetap di sebuah perusahaan di Jakarta dan berpenghasilan lumayan. Yusuf cukup lama menduda karena istrinya (Siti) sudah meninggal. Namun, sifat dan karakter Yusuf yang tidak tega dan tidak berani mengungkapkan sesuatu hal, akhirnya menjadi bumerang dalam hidupnya.

Berikut kutipan tokoh Yusuf sebagai tokoh utama. Tokoh Yusuf mendominasi mulai dari awal cerita dalam cerpen “Ziarah Lebaran”. Meskipun di pihak lain, ada pemunculan tokoh-tokoh tambahan antara lain, ibu mertua Yusuf (ibu dari Siti, istrinya yang sudah meninggal), Eko (anak tunggalnya dengan Siti, istrinya yang sudah meninggal), dan kehadiran tokoh-tokoh tambahan ini mempunyai keterkaitan dengan tokoh utama.

“Yusuf selalu senang setiap kali dia datang menginap di rumah mertua perempuannya itu. Selain dia senang dapat melepas rindunya kepada Eko, anak tunggalnya itu, dia juga senang merasa ikut dimanja dengan berbagai hidangan dan penganan oleh mertuanya. Seakan hidup, bagi mertuanya itu, hanyalah memanjakan cucu tunggal dan menantunya. Kenapa tidak, desah Yusuf. Sejak Siti, istrinya , dan jauh sebebelum mertua laki-lakinya, meninggal, apalah kesibukan dan dan perhatian ibu tua itu selain tertumpu kepada cucu tunggal dan menantu yang menduda itu.” (halaman 8)

Tokoh Yusuf sebagai tokoh utama juga dapat dilihat saat Yusuf ber-flash back. Flash back-nya adalah ketika Yusuf teringat masa-masa saat bersama Yati (teman sejawatnya sekaligus sebagai kekasihnya). Berikut kutipannya.

“Pelan-pelan, bertahap, Yusuf menyatakan cintanya kepada Yati. Diyakinkannya perempuan itu bahwa dia tidak mau hit and run dalam hubungan cinta mereka. Dia ingin mengawini Yati. Dia ingin Yati menjadi ibu Eko. Dan waktu Yati akhirnya menjawab: mau, mau,… Yusuf memutuskan untuk mengakhiri masa dudanya dan menggendong kembali Eko ke rumahnya.” (halaman 10)

Tokoh Yusuf mempunyai sifat dan karakter tidak tega dan tidak berani mengungkapkan sesuatu hal seperti keinginannya untuk mengungkapkan kepada mertuanya. Keinginannya adalahuntuk menikah lagi di tahun depan. Berikut kutipannya.

“Dalam perjalanan pulang ke Jakarta, di kereta api yang penuh sesak orang-orang yang baru pulang dari mudik, Yusuf mendesah. Udara pengap, gerah, keringat di tubuhnya tersa lengket. Bau apak dan

penguk lagi. Mungkin tahun depan , pada Lebaran lagi, dia akan lebih punya nyali, punya keberanian yang lebih mantap lagi untuk mengemukakan itu semua kepada ibu-mertuanya, kepada Eko. Bahwa dia akan mengawini Yati, bahwa dia akan menggendong Eko ke Jakarta. Ya, tahun depan. Pasti, tekadnya.” (halaman 12)

Tokoh tambahan (peripheral character) juga dijumpai dalam cerpen “Ziarah Lebaran” karya Umar Kayam ini. Tokoh tambahan yang dimunculkan untuk mendukung tokoh utama adalah Eko (anak Yusuf), ibu mertua Yusuf, dan Yati. Pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit.

2.3. “Menjelang Lebaran” 2.3.1 Alur

Cerpen “Menjelang Lebaran” ini pernah diterbitkan di Harian Kompas, 25 Januari 1998. Kemudian cerpen ini dikumpulkan ke dalam sebuah buku yang diberi judul Lebaran di Karet, di karet… karya Umar Kayam. Cerpen ini lahir saat Indonesia tengah mengalami krisis moneter. Cerpen ini menceritakan tokoh Kamil yang baru saja terkena PHK saat menjelang Lebaran. Ia terpaksa menggagalkan ritual mudiknya bersama keluarga yang selalu dilakukannya dari tahun ke tahun. Ia bekerja dan tinggal keluarganya di Jakarta.

Cerita diawali dari peristiwa kepulangan Kamil sekitar pukul lima sore menjelang waktu berbuka puasa. Kamil pulang dari tempatnya bekerja dengan murung. Hanya Sri (istrinya) yang dapat melihat gelagat murung dari suaminya, maklum mereka sudah lima belas tahun hidup berumah tangga. Kamil, istrinya (Sri), dan kedua anaknya (Mas dan Ade) memang sudah berencana mudik dari jauh-jauh hari. Mereka sekeluarga berencana akan mudik ke Jawa dengan menggunakan alat transportasi kereta api. Kedua anaknya malah sudah menyiapkan ransel dan membayangkan akan naik kereta api saat mudik nanti.

Cerita berikutnya mengemukakan peristiwa lain yang dialami oleh Kamil. Peristiwa itu adalah ia terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di tempatnya bekerja. Peristiwa itu terjadi pada saat menjelang Lebaran tiba.

Ternyata memang benar feeling Sri (istrinya), Kamil termasuk salah satu karyawan yang di-PHK. PHK yang dialami Kamil juga berimbas pada rencana

keluarga mudik ke Jawa, sehingga batallah rencana mudik keluarga Kamil. Persoalan demi persoalan tidak berhenti di situ saja. Pasalnya PHK itu juga menyisakan imbas dan kesedihan bagi pembantunya. Untuk sementara, Kamil tidak bisa membayar gaji pembantunya yang bernama Nah. Nah sudahbekerja hampir sepuluh tahun pada keluarga Kamil.

Pengarang mulai memunculkan sebuah konflik dalam cerita ini. Konflik dialami oleh Kamil dan Sri (istrinya) dengan Nah (pembantunya). Nah, terpaksa tidak digaji oleh Kamil lagi, namun ia boleh tetap tinggal di rumah itu (Kamil dan keluarga). Gaji yang biasa diterima oleh Nah dari keluarga Kamil sebesar seratus lima puluh ribu rupiah, tidak bisa diberikan lagi oleh Kamil yang terkena PHK.

Cerpen ini beralur padat. Peristiwa-peristiwanya terjadi saling susul menyusul dengan cepat. Akhir dari cerita ini adalah mereka sekeluarga (Kamil, Sri, Mas, dan

Dokumen terkait