• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kategori Berita: Pendapat Pakar/Tokoh

Dalam dokumen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang (Halaman 94-130)

GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

3. Kategori Berita: Pendapat Pakar/Tokoh

m. Berita Tempo.co dengan judul “Sinergi Bendung Pornografi dan Narkoba di Aceh”, 13 Mei 2016 / 14:04 WIB

Sinergi Bendung Pornografi dan Narkoba di Aceh

Untuk menangkal maraknya penyebaran pornografi dan narkoba, anggota Komisi VIII DPR RI Rahayu Saraswati Dhirakanya Djojohadikusumo mendorong sinergi antara Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Aceh dan Dinas Syariah Aceh. Hal ini ia ungkapkan saat kunjungan kerja ke kantor P2TP2A Provinsi Aceh.

Rahayu mengaku prihatin karena, ketika membicarakan anak-anak muda Aceh, kerap kali identik dengan ganja. Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak juga masih cukup tinggi. Faktor tingginya penyebaran dan

95 pemakaian narkoba (ganja) di kalangan anak muda Aceh tentu bisa menjadi pemicu maraknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak-anak.

“Konseling kejiwaan bagi para korban kasus kekerasan dan pelecehan seksual serta program rehabilitasi para pecandu narkoba sudah menjadi kebutuhan mendesak untuk menekan penyebarannya,” ujar Rahayu. Selain itu, Rahayu menambahkan, pemahaman akan efek negatif teknologi informasi melalui media sosial yang mengandung konten pornografi, cyber sex, paham radikal, dan aliran sesat tidak hanya ditujukan kepada anak-anak, tapi juga orang tua.

“Gaya berpakaian masyarakat tidak sepenuhnya bisa menjamin dari ancaman kasus pemerkosaan jika berbagai sumber pemicu, seperti pornografi di media sosial dan narkoba, tidak secara serius dibendung dan diberantas. Kasus pemerkosaan di Pakistan, yang notabene penduduknya juga mayoritas muslim dengan pakaian tertutup, juga tinggi,” kata wakil rakyat dari Jawa Tengah ini.

Sehingga butuh solusi kreatif, misalnya melalui pendidikan kesehatan untuk meredam dampak dari pergaulan bebas. Perlu dijelaskan tentang risiko tertular berbagai penyakit berbahaya, seperti HIV/AIDS jika melakukan seks pranikah secara tidak bertanggung jawab.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ledia Hanifa Amaliah mengungkapkan, jika diberi ketrampilan yang cukup, para perempuan bisa membantu suami mereka menghidupkan roda perekonomian keluarga sehingga kasus menelantarkan anak bisa diredam. “Terkait kekerasan dan pelecahan seksual, saya yakin para korban banyak yang tidak berani melaporkan kasusnya karena menjadi aib keluarga. Sering kali pola penyelesaian kasusnya hanya dengan cara kekeluargaan saja, tidak sampai ke ranah hukum,” ujar Ledia.

Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Aceh Dahlia, didampingi Ketua P2TP2A Aceh Dian Marina, mengungkapkan, penerapan syariah Islam di bawah pengawasan Dinas Syariah Aceh

96 perlahan tapi pasti mampu berkontribusi menurunkan angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

“Secara umum masyarakat Aceh mendukung penerapan syariah, terlihat dengan kian diminatinya PAUD IT. Gerakan Subuh berjamaah oleh berbagai kelompok masyarakat juga makin ramai, sedangkan pertentangan syariah lebih banyak muncul dari luar Aceh,” ujar Dahlia, menerangkan. (*)

(https://dpr.tempo.co/index.php/dpr/konten/537/Sinergi-Bendung-Pornografi-dan-Narkoba-di-Aceh, diakses pada tanggal 25 Desember 2017)

Define Problems. Dalam berita ini membahas tentang anak-anak muda di Aceh kerap kali identic dengan permasalahan ganja, kasus kekerasan perempuan maupun anak juga masih terbilang tinggi. Define Problems terdapat pada paragraf berikut:

Rahayu mengaku prihatin karena, ketika membicarakan anak-anak muda Aceh, kerap kali identik dengan ganja. Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak juga masih cukup tinggi. Faktor tingginya penyebaran dan pemakaian narkoba (ganja) di kalangan anak muda Aceh tentu bisa menjadi pemicu maraknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak-anak.

Diagnose Cause. Dalam paragraph lain terdapat pernyataan bahwa konseling kejiwaan bagi para korban kasus kekerasan dan pelecehan seksual serta program rehabilitasi untuk para pecandu sudah menjadi kebutuhan mendesak untuk penekanan penyebarannya. Diagnose Cause terdapat pada paragraph berikut:

“Konseling kejiwaan bagi para korban kasus kekerasan dan pelecehan seksual serta program rehabilitasi para pecandu narkoba sudah menjadi kebutuhan mendesak untuk menekan penyebarannya,” ujar Rahayu. Selain itu,

97 Rahayu menambahkan, pemahaman akan efek negatif teknologi informasi melalui media sosial yang mengandung konten pornografi, cyber sex, paham radikal, dan aliran sesat tidak hanya ditujukan kepada anak-anak, tapi juga orang tua. Make Moral Judgement. Terkait tindakan kekerasan dan pelecehan seksual sering kali para korban tidak berani melaporkan kasusnya karena itu akan menjadi aib keluarga. Maka dari itu dibutuhkan solusi kreatif seperti melalui pendidikan kesehatan untuk meredam dampak dari pergaulan bebas. Make Moral Judgementterdapat pada paragraph berikut:

Sehingga butuh solusi kreatif, misalnya melalui pendidikan kesehatan untuk meredam dampak dari pergaulan bebas. Perlu dijelaskan tentang risiko tertular berbagai penyakit berbahaya, seperti HIV/AIDS jika melakukan seks pranikah secara tidak bertanggung jawab.Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ledia Hanifa Amaliah mengungkapkan, jika diberi ketrampilan yang cukup, para perempuan bisa membantu suami mereka menghidupkan roda perekonomian keluarga sehingga kasus menelantarkan anak bisa diredam. “Terkait kekerasan dan pelecahan seksual, saya yakin para korban banyak yang tidak berani melaporkan kasusnya karena menjadi aib keluarga. Sering kali pola penyelesaian kasusnya hanya dengan cara kekeluargaan saja, tidak sampai ke ranah hukum,” ujar Ledia.

Treatment Recommendation. Selanjutnya disini diungkapkan penerapan syariah Islam di bawah pengawasan Dinas Syariah Aceh perlahan tapi pasti mampu berkontribusi menurunkan angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Treatment Recommendation terdapat pada paragraf berikut:

Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Aceh Dahlia, didampingi Ketua P2TP2A Aceh Dian Marina, mengungkapkan, penerapan

98 syariah Islam di bawah pengawasan Dinas Syariah Aceh perlahan tapi pasti mampu berkontribusi menurunkan angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Dari berita yang berjudul “Sinergi Bendung Pornografi dan Narkoba di Aceh” tersebut, penulis menggunakan data-data sesuai temuan diatas, kemudian merangkum data tersebut kedalam analisis framing Robert N. Entman. Berikut ini adalah tabulasinya: Tabel 3.13 Pembingkaian Berita Tempo.co dengan judul “Sinergi Bendung

Pornografi dan Narkoba di Aceh”

Kerangka Analisis Indikator

Define Problem Rahayu mengaku prihatin karena, ketika membicarakan anak-anak muda Aceh, kerap kali identik dengan ganja. Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak juga masih cukup tinggi. Faktor tingginya penyebaran dan pemakaian narkoba (ganja) di kalangan anak muda Aceh tentu bisa menjadi pemicu maraknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak-anak.

Diagnose Cause “Konseling kejiwaan bagi para korban kasus kekerasan dan pelecehan seksual serta program rehabilitasi para pecandu narkoba sudah menjadi kebutuhan mendesak untuk menekan penyebarannya,” ujar Rahayu. Selain itu, Rahayu menambahkan, pemahaman akan efek negatif teknologi informasi melalui media sosial yang mengandung konten pornografi, cyber sex, paham radikal, dan aliran sesat tidak hanya ditujukan kepada anak-anak, tapi juga orang tua. Make Moral

Judgement

Sehingga butuh solusi kreatif, misalnya melalui pendidikan kesehatan untuk meredam dampak dari pergaulan bebas. Perlu dijelaskan tentang risiko tertular berbagai penyakit berbahaya, seperti HIV/AIDS jika melakukan seks pranikah secara tidak bertanggung jawab.

Treatment Recommendation

Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Aceh Dahlia, didampingi Ketua P2TP2A Aceh Dian Marina, mengungkapkan, penerapan syariah Islam di bawah pengawasan Dinas Syariah Aceh perlahan tapi pasti mampu berkontribusi menurunkan angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

99 n. Berita Tempo.co dengan Judul “Nalar Syariah dan Gugatan ‘Qanun

Jinayat’ Aceh”, 24 Oktober 2017 / 15:00 WIB

Nalar Syariah dan Gugatan 'Qanun Jinayat' Aceh Menarik melihat ada sekelompok masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi Qanun Jinayat yang meminta pemerintah meninjau ulang Perda Syariat Islam di Aceh soal beberapa kasus hukuman pidana (jinayat) yang berpotensi melanggar HAM. Sejauh ini, masyarakat Indonesia tentu mengetahui, bahwa Aceh merupakan satu-satunya wilayah Istimewa yang diizinkan pemerintah pusat membuat ranah kekuasaan tersendiri, baik dari unsur legislatif, eksekutif dan tentu saja yudikatif. Perjanjian Helsinki seakan membawa dampak besar bagi masyarakat Aceh, dimana konflik berkepanjangan antara sekelompok bersenjata dengan militer, berakhir sudah. Akhir dari konflik berkepanjangan tentu saja bargaining, Aceh diizinkan membuat aturan dan berbagai lembaga politik tersendiri disesuaikan dengan kecenderungan masyarakatnya.

Perda Syariat Islam tentu saja dipilih oleh masyarakat Aceh dengan beragam perangkatnya dan berlaku secara khusus hanya untuk masyarakat setempat. Salah satunya adalah Qanun Jinayat (undang-undang pidana) yang telah diberlakukan secara resmi oleh pemerintah Aceh sejak Oktober 2015, yang tentu saja mengatur berbagai tindak pelanggaran yang dilakukan masyarakat lalu disesuaikan dengan aturan-aturan syariat hukum Islam. Dalam syariat Islam, misalnya diatur hukuman berupa cambuk atau denda kepada seseorang yang melanggar asusila, seperti berkhalwat (berduaan lain jenis di tempat sepi) atau perzinaan yang menghadirkan saksi lebih dari dua orang. Sejauh ini, hukuman cambuk yang dijalankan didepan publik terhadap para pelanggar ini, kemudian dipersoalkan oleh sekelompok masyarakat, karena dinilai telah melanggar HAM.

Koran Tempo (24/10/17) melansir, bahwa Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) telah merilis data hukuman cambuk kepada sebanyak 339 orang terpidana sejak Januari hingga November 2016. Sedangkan pada tahun ini, Mahkamah Syariah Aceh telah mengeksekusi 188 orang dengan hukuman yang sama, sehingga, bagi sekelompok masyarakat, hal ini jelas telah terjadi pelanggaran HAM akibat dari aturan hukum yang diberlakukan di wilayah Serambi Mekah ini. Melihat

100 fenomena hukuman berdasarkan syariat ini, tentu saja menarik, terlebih ditengah menguatnya fraksi-fraksi di DPR untuk menyepakati Perpu Ormas untuk dijadikan undang-undang. Tentu saja bukan pada persetujuan soal Perpunya, tetapi lebih kepada “nalar politik” yang ada di setiap kesepakatan pemberlakuan sebuah aturan perundang-undangan, tidak semata-mata “kesepakatan” bersifat manusiawi.

Bagi saya, syariat merupakan sebuah “produk hukum” Islam yang dalam perjalanan sejarahnya mengalami pasang-surut, karena menyesuaikan dengan nalar yang hidup mengitari dalam sebuah masyarakat dan waktu tertentu. Syariat bukan merupakan produk hukum yang berdiri sendiri, sehingga kemudian ketetapannya harus diterima dan diikuti sebagai bentuk hukum pasti yang tak mungkin bisa diubah. Merujuk pada pendapat As-Sihristani dalam kitabnya, “al-Milal wan Nihal”, berbicara soal syariat harus berjalin kelindan dengan pengetahuan tentang agama

(diin), millah, minhaj

al-Islam, hanifiyyah, sunnah dan jama’ah. Setiap hal yang disebutkan diatas, tentu saja memiliki makna berbeda, tetapi justru saling memiliki keterkaitan yang sangat erat. Berbicara syariat dalam konteks kekinian, berarti dia berbicara agama (Islam) dan setiap umat manusia tentu saja memiliki syariatnya sendiri-sendiri.

Setiap kelompok diantara manusia, tentu saja akan bersepakat ketika bergabung membentuk sebuah ikatan kemanusiaan (jama’ah) yang didahului oleh dibuatnya aturan-aturan bersama yang disepakati sebagai bentuk kebutuhan antara satu dan lainnya. Kebutuhan bersama ini tentu saja dalam hal mencegah, mewajibkan, melarang atau bahkan menghukum siapapun yang telah sepakat dalam jalinan komunitas tersebut. Bentuk kesepakatan bersama ini dalam sejarah kemanusiaan sebagaimana ditulis oleh Al-Quran disebut “millah”. Sedangkan cara-cara yang disebut sebagai jalan menuju “kesepakatan bersama” dikenal dengan istilah “minhaj” atau “syariat” atau “sunnah”.

Syariat dengan demikian berarti “cara” atau “jalan” menuju sebuah kesepakatan bersama dalam sebuah komunitas manusia. Sebuah cara atau jalan tentu saja berbeda-beda dalam mencapai tujuan utama yang dijalankan setiap orang, tak ada cara yang sama secara umum dalam menempuh sebuah perjalanan, karena itu merupakan “kebebasan

101 individu” setiap manusia. Oleh karenanya, Al-Quran menegaskan, “setiap umat diantara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang” (likullin ja’alna minkum syir’atan wa minhajan). Bagi saya, disinilah letak nalar syariat, bahwa syariat dibentuk atas dasar kesepakatan bersama, berasal dari norma dan nilai yang hidup dalam sebuah masyarakat tersebut. Maka, ketika Aceh dengan Perda Syariat Islam-nya sudah merupakan kesepakatan bersama, maka tentu saja itu merupakan hak warga Aceh yang harus dihormati.

Gugatan soal Qanun Jinayah diungkapkan oleh Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati yang menganggap terjadi pelanggaran HAM dan sarat diskrimasi terhadap perempuan. Argumentasi Asfinawati tentu saja bersifat normatif karena merujuk pada sisi universalitas HAM, sehingga penetapan atau eksekusi hukuman pidana berdasarkan agama semestinya tidak berlaku pada komunitas publik secara umum, melainkan kepada kelompok agama yang bersangkutan. Padahal, syariat adalah terminologi bahasa Arab yang tidak berlaku hanya untuk kalangan seagama saja, tetapi merupakan bentuk perjalanan tradisi kemanusiaan yang melingkupi berbagai kenyataan kesepakatan bersama dalam hal mencegah, menolak, mewajibkan atau bahkan menghukum seseorang yang melanggar aturan-aturan yang telah disepakati sebelumnya.

Walaupun tentunya, Aceh sebagai bagian dari Indonesia, memang lebih baik ikut dalam kesepakatan bersama dalam negara hukum NKRI yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945. Karena bagaimanapun, “syariat” Indonesia sudah disepakati bersama oleh para founding fathers kita sejak masa-masa kemerdekaan. Kesepakatan dalam membentuk komunitas kebangsaan dan keindonesiaan, tentu berdasarkan pemikiran yang panjang dan menggali dari nilai-nilai luhur kepribadian bangsa. Sebuah “kebaikan” yang telah disepakati secara bersama inilah yang direfleksikan oleh Nabi Ibrahim sebagai “millah al-kubro” yang sarat nilai-nilai keadilan (al-hanifiyyah) dan memiliki kecenderungan kebenaran atas dasar penerimaan bersama (taqaabal as-shodwah wal il-tadlodd).

Bukankah kemudian Nabi Muhammad

mengikuti millah Ibrahim? Ini karena Nabi Ibrahim menanamkan nilai-nilai keadilan dan kebersamaan yang kemudian menjelma menjadi bentuk hukum yang mengatur prilaku kemanusiaan.

102 Saya kira, membaca syariat Islam memang harus diselaraskan dengan nalar kemanusiaan, baik dalam konteks sejarah, nilai-nilai yang hidup dalam sebuah masyarakat dan kesepakatan bersama untuk membuat sebuah komunitas. Pembacaan syariat jangan melulu dikaitkan dengan aspek-aspek hukum Islam yang seringkali dipandang kaku oleh sebagian orang, karena syariat tentu saja berkait dengan banyak hal, terkait dengan sejarah pembentukan komunitas manusia itu sendiri. Kita tidak perlu juga merasa alergi terhadap terminologi syariat, yang seakan-akan sebuah konsep yang bertentangan dengan hukum-hukum positif yang sejauh ini telah menjadi kesepakatan bersama. Qanun Jinayah Aceh jelas terkait dengan sebuah “kesepakatan bersama” masyarakat Aceh, bukan sebuah aturan yang dibuat karena ingin memisahkan diri dari sebuah komunitas yang lebih besar. Perlu diingatkan, syariat jelas tidak untuk kalangan agama tertentu saja, tetapi mencakup komunitas lain karena sudah dibuat dan disetujui berdasarkan kesepakatan bersama. (https://indonesiana.tempo.co/read/118335/2017/10/24/syahirul alm/nalar-syariah-dan-gugatan-qanun-jinayat-aceh, diakses pada tanggal 09 November 2017)

Define Problems. Dalam berita ini dinyatakan bahwa sudah sangat banyak masyarakat yang melanggar syariat Islam hingga mendapat hukuman yang semestinya.Define Problems terdapat pada paragraf berikut: Koran Tempo (24/10/17) melansir, bahwa Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) telah merilis data hukuman cambuk kepada sebanyak 339 orang terpidana sejak Januari hingga November 2016. Sedangkan pada tahun ini, Mahkamah Syariah Aceh telah mengeksekusi 188 orang dengan hukuman yang sama, sehingga, bagi sekelompok masyarakat, hal ini jelas telah terjadi pelanggaran HAM akibat dari aturan hukum yang diberlakukan di wilayah Serambi Mekah ini. Melihat fenomena hukuman berdasarkan syariat ini, tentu saja menarik, terlebih ditengah menguatnya fraksi-fraksi di DPR untuk menyepakati Perpu Ormas untuk dijadikan undang-undang. Tentu saja bukan pada persetujuan soal Perpunya,

103 tetapi lebih kepada “nalar politik” yang ada di setiap kesepakatan pemberlakuan sebuah aturan perundang-undangan, tidak semata-mata “kesepakatan” bersifat manusiawi.

Diagnose Cause. Disini juga ditegaskan bahwa dalam syariat Islam jika memang sudah bersalah dan terbukti dengan adanya berupa dua orang saksi atau lebih, maka hukuman tersebut akan dilakukan di depan publik. Diagnose Cause terdapat pada paragraph berikut:

Dalam syariat Islam, misalnya diatur hukuman berupa cambuk atau denda kepada seseorang yang melanggar asusila, seperti berkhalwat (berduaan lain jenis di tempat sepi) atau perzinaan yang menghadirkan saksi lebih dari dua orang. Sejauh ini, hukuman cambuk yang dijalankan didepan publik terhadap para pelanggar ini, kemudian dipersoalkan oleh sekelompok masyarakat, karena dinilai telah melanggar HAM. Make Moral Judgement. Disini juga dijelaskan bahwa syariat dibentuk bukan karena seseorang melainkan dari kesepakatan bersama, berdasarkan dari norma-norma dan nilai yang hidup dalam sebuah masyarakat tersebut. Make Moral Judgementterdapat pada paragraph berikut:

Sebuah cara atau jalan tentu saja berbeda-beda dalam mencapai tujuan utama yang dijalankan setiap orang, tak ada cara yang sama secara umum dalam menempuh sebuah perjalanan, karena itu merupakan “kebebasan individu” setiap manusia. Oleh karenanya, Al-Quran menegaskan, “setiap umat diantara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang” (likullin ja’alna minkum syir’atan wa minhajan). Bagi saya, disinilah letak nalar syariat, bahwa syariat dibentuk atas dasar kesepakatan bersama, berasal dari norma dan nilai yang hidup dalam sebuah masyarakat tersebut. Maka, ketika Aceh dengan Perda Syariat Islam-nya sudah merupakan kesepakatan bersama, maka tentu saja itu merupakan hak warga Aceh yang harus dihormati.

104 Treatment Recommendation. Selanjutnya disini diungkapkan juga syariat itu bukan merupakan produk hokum yang berdiri sendiri, sehingga ketetapannya harus diterima dan diikuti. Treatment Recommendation terdapat pada paragraf berikut:

. Syariat bukan merupakan produk hukum yang berdiri sendiri, sehingga kemudian ketetapannya harus diterima dan diikuti sebagai bentuk hukum pasti yang tak mungkin bisa diubah.

Dari berita yang berjudul “Nalar Syariah dan Gugatan ‘Qanun Jinayat’ Aceh” tersebut, penulis menggunakan data-data sesuai temuan diatas, kemudian merangkum data tersebut kedalam analisis framing Robert N. Entman. Berikut ini adalah tabulasinya: Tabel 3.14 Pembingkaian Berita Tempo.co dengan judul “Nalar Syariah dan

Gugatan ‘Qanun Jinayat’ Aceh”

Kerangka Analisis Indikator

Define Problem Koran Tempo (24/10/17) melansir, bahwa Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) telah merilis data hukuman cambuk kepada sebanyak 339 orang terpidana sejak Januari hingga November 2016. Sedangkan pada tahun ini, Mahkamah Syariah Aceh telah mengeksekusi 188 orang dengan hukuman yang sama, sehingga, bagi sekelompok masyarakat, hal ini jelas telah terjadi pelanggaran HAM akibat dari aturan hukum yang diberlakukan di wilayah Serambi Mekah ini. Melihat fenomena hukuman berdasarkan syariat ini, tentu saja menarik, terlebih ditengah menguatnya fraksi-fraksi di DPR untuk menyepakati Perpu Ormas untuk dijadikan undang-undang. Tentu saja bukan pada persetujuan soal Perpunya, tetapi lebih kepada “nalar politik” yang ada di setiap kesepakatan pemberlakuan sebuah aturan perundang-undangan, tidak semata-mata “kesepakatan” bersifat manusiawi.

Diagnose Cause Dalam syariat Islam, misalnya diatur hukuman berupa cambuk atau denda kepada seseorang yang melanggar

105 asusila, seperti berkhalwat (berduaan lain jenis di tempat sepi) atau perzinaan yang menghadirkan saksi lebih dari dua orang. Sejauh ini, hukuman cambuk yang dijalankan didepan publik terhadap para pelanggar ini, kemudian dipersoalkan oleh sekelompok masyarakat, karena dinilai telah melanggar HAM.

Make Moral Judgement

Sebuah cara atau jalan tentu saja berbeda-beda dalam mencapai tujuan utama yang dijalankan setiap orang, tak ada cara yang sama secara umum dalam menempuh sebuah perjalanan, karena itu merupakan “kebebasan individu” setiap manusia. Oleh karenanya, Al-Quran menegaskan, “setiap umat diantara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang” (likullin ja’alna minkum syir’atan wa minhajan). Bagi saya, disinilah letak nalar syariat, bahwa syariat dibentuk atas dasar kesepakatan bersama, berasal dari norma dan nilai yang hidup dalam sebuah masyarakat tersebut. Maka, ketika Aceh dengan Perda Syariat Islam-nya sudah merupakan kesepakatan bersama, maka tentu saja itu merupakan hak warga Aceh yang harus dihormati. Treatment

Recommendation

Syariat bukan merupakan produk hukum yang berdiri sendiri, sehingga kemudian ketetapannya harus diterima dan diikuti sebagai bentuk hukum pasti yang tak mungkin bisa diubah.

o. Berita Republika.co.id dengan judul “Ulama Aceh Minta Pemerintah Cegah Kekerasan Seksual Terhadap Anak”, 17 April 2016 / 14:31 WIB

Ulama Aceh Minta Pemerintah Cegah Kekerasan Seksual Terhadap Anak

REPUBLIKA.CO.ID, TAPAK TUAN -- Tingginya tingkat kasus kekerasan seksual terhadap anak di Kabupaten Aceh Selatan mengundang keprihatinan para ulama. Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Selatan Tgk Attarmizi Hamid meminta pemerintah mengambil tindakan tegas untuk menanggulangi bencana moral yang merusak masa depan anak.

Attarmizi Hamid meminta kasus itu tidak dikesampingkan. "Kasus ini harus mendapat perhatian serius dari Pemerintah dan pihak terkait lainnya, karena kasus ini bukan lagi perkara sepele, melainkan sudah menjadi perkara krusial yang harus mendapat perhatian serius," ujar dia, di Tapak Tuan, Aceh Selatan, Ahad (17/4).

106 Dia menjelaskan, jika tidak ditanggulangi segera, tidak tertutup kemungkinan akan menjadi bom waktu di masyarakat yang akan meledak kapan saja. Bila hal itu sampai terjadi, maka rakyat Aceh Selatan siap-siap menghadapi masa suram dan kelam karena telah mewariskan generasi muda penerus bangsa yang tidak bermoral dan berakhlak mulia.

Menurut dia, kasus amoral yang terjadi di Aceh

Dalam dokumen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang (Halaman 94-130)

Dokumen terkait