• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAU TIDAK HARUS MENUNGGU

Dalam dokumen bidadari bidadari surga (Halaman 79-83)

TETAPI DALIMUNTE kali ini memutuskan untuk bebal.

Dalimunte tidak mendengarkan kata-kata Kak Laisa. Dalimunte benar-benar membuat Cie Hui menunggu lama, terlalu lama malah. Tujuh tahun berlalu. Dan dia belum juga mengatakan perasaan itu. Meski hampir setiap pulang ke Lembah Lahambay, Cie Hui ikut serta. Bahkan gadis keturunan yang sekarang sudah berkerudung itu sudah dianggap Mamak menjadi anggota keluarga.

Lulus dari institut teknologi ternama itu, Dalimunte melanjutkan sekolah di universitas terbaik di Amerika. Mendapatkan beasiswa selama tiga tahun untuk menyelesaikan jenjang doktor ilmu fisikanya. Masa-masa itu bahkan Cie Hui lebih banyak lagi menghabiskan waktu di perkebunan strawberry. Menginap lama di sana. Ikut membantu Kak Laisa dan Mamak mengurus kebun. Dua tahun sejak pulang dari Amerika, dan memutuskan bekerja di laboratorium institut teknologi ternama, Dalimunte tetap tak kunjung mengatakan perasaannya. Cie Hui hanya bilang,

"Kami hanya teman biasa, Mak!" setiap kali Mamak atau Yashinta bertanya kapan. "Apa sebenarnya yang kau tunggu, Dali?"

Itu juga pertanyaan berkali-kali yang disampaikan Kak Laisa setiap dua bulan jadwal Dalimunte dan yang lain pulang ke lembah. Dan Dalimunte hanya diam, tidak menjawab.

Tentu saja Dalimunte amat menyukai Cie Hui. Cinta pertamanya. Tetapi urusan ini tidak mudah. Pelik. Dia sungguh tidak akan pernah bisa mengambil keputusan sepenting itu sebelum Kak Laisa menikah. Tabu sekali di lembah itu jika ada adik yang mendahului kakaknya menikah. Melintas. Akan menjadi gunjingan seumur hidup.

"Kau tidak harus menunggu aku, Dali!"

Laisa menggenggam erat lengan Dalimunte. Malam itu, malam yang kesekian mereka berdiri di lereng lembah, menatap bintang-gemintang. Di antara ribuan polybag strawberry. Malam itu, umur Kak Laisa sudah tiga puluh tiga tahun, Dalimunte dua puluh tujuh. Janji kehidupan yang lebih baik di luar lembah sudah sepenuhnya tiba. Dan kehidupan di lembah sendiri sudah jauh lebih baik dibandingkan masa kanak-kanak mereka.

Mereka selepas isya tadi, habis melakukan syukuran besar di rumah. Lulusnya Ikanuri dan Wibisana. Akhirnya, dua sigung nakal itu menyelesaikan kuliahnya. Warga kampung berkumpul. Tidak ada lagi wajah-wajah suram habis bekerja seharian, pakaian seadanya, dan semacam itu seperti mereka sering berkumpul di balai kampung dulu. Kehidupan di lembah jauh lebih baik sekarang.

"Kami lulus sarjana saja itu sudah menjadi keajaiban dunia ke delapan dan ke sembilan. Jadi jangan paksa kami untuk ambil S2 seperti Dalimunte — "

Ikanuri tertawa saat Kak Laisa menyuruh mereka melanjutkan sekolah lagi. Dan itu benar, beberapa minggu kemudian dari kelulusan universitas kota provinsi, dua sigung itu lebih memilih sibuk dengan hobi kecil mereka dulu. Membongkar-bongkar mesin mobil. Mereka sekarang punya bengkel besar di kota provinsi. Kak Laisa yang memberikan modal.

Sementara Yashinta benar-benar tumbuh menjadi gadis yang menawan. Cantik luar biasa. Umurnya sekarang dua puluh. Tahun kedua di jurusan Biologi universitas ibukota. Malam ini ia jug a pulang. Lihatlah, Yashinta, dengan rambut tergerai panjang, mata hitam indah dan tubuh tinggi semampai, terlihat seperti bidadari di rumah panggung itu. Amat kontras dengan Kak Laisa. Gadis itu juga tumbuh dengan pemahaman yang baik atas hidup. Mencintai kehidupan sekitar.Menghabiskan waktu dengan kegiatan mendaki gunung, menyelami lautan, konservasi alam. Setiap kali ia pulang, itu saja dengan berhari-hari menghabiskan waktu di hutan rimba dekat lembah. Menginventarisir satwa di dalamnya. Hasil jepretan kameranya sudah ribuan lembar. Yashinta amat atletis untuk urusan ini. Ia bahkan dua kali lebih atletis dibanding Kak Laisa.

"Kau tidak harus menunggu aku, Dali—"

Kak Laisa menghela nafas panjang. Mengulang kalimatnya. Memecah lenyap. Mendekap pinggang Dalimunte yang tiga jengkal lebih tinggi darinya.

Dalimunte hanya menunduk, menelan ludah. Bagaimanalah? Dulu Kak Laisa bahkan tega mempermalukan diri sendiri agar adik-adiknya tidak mendapat malu. Kak Laisa bekerja- keras di masa kecilnya demi adik-adiknya. Bagaimanalah dia sekarang sampai hati mendahului Kak Laisa? Justru mempermalukan Kak Laisa? Itu akan jadi aib besar di lembah. Belum menikah di usia tiga puluh tiga tahun saja cukup sudah membuat tetangga banyak bertanya, apalagi jika adik-adiknya melintas.

"Kau sudah cukup umur Dali. Punya pekerjaan hebat di ibukota. Cie Hui amat menyukaimu. Kau tahu, selama ini ia bahkan lebih banyak menghabiskan waktu di sini dibandingkan di rumah orang tuanya di kota kecamatan, bukan?" Tertawa.

Dalimunte ikut tertawa kecil. Semerbak wangi perkebunan di malam hari menyergap ujung hidung. Malam sudah amat larut. Pukul dua pagi. Dia selalu menemani Kak Laisa menghabiskan malam setiap kali pulang ke lembah. Menatap pemandangan lembah yang indah. Dulu waktu mereka kecil, Kak Laisa juga suka melakukannya. Dan Dalimunte tahu persis itu.

Dulu Kak Laisa menghabiskan malam dengan berpikir tentang sekolah adik-adiknya. Bagaimana mencari uang agar adik-adiknya tidak putus sekolah. Membantu Mamak yang setiap hari terpanggang matahari di ladang. Sekarang? Dalimunte menghela nafas pelan, Kak Laisa tidak pernah sekalipun mendapat bagian untuk merasakan bahagia dalam hidupnya. Apa yang sekarang Kak Laisa pikirkan? Usianya? Kesendiriannya?

"Berjanjilah kau tidak akan membuat Cie Hui menunggu lebih lama lagi. Berjanjilah, Dali—" Suara Kak Laisa kembali memecah sepi.Dalimunte hanya menatap senyap hamparan kebun strawberry. Urung menanyakan hal penting tersebut.

Mobil jemputan kedua tiba di Lembah Lahambay. Juwita dan Delima berteriak-teriak ribut saat turun. Bertengkar soal sepeda BMX mereka. Ummi mereka berdua menghela nafas, berusaha melerai. Kehabisan akal. Gara-garanya sepele, mereka bertengkar soal sepeda siapa yang duluan harus diturunkan. Tetangga yang sedang berkumpul di beranda rumah panggung berkerumun, ikut bingung mencari solusinya.

"Lihat, lihat, Bak Wo Jogar turunkan dua-duanya serempak. Satu-dua-tiga-..."

Bang Jogar tertawa, tangan kekarnya mengangkat kedua sepeda itu sekaligus dari atas mobil, ikut berseru meningkahi seruan kedua sigung kecil tersebut. "Nah, adil, kan?"

Juwita dan Delima hanya nyengir. Bilang terima kasih (setelah dicubit Ummi masing- masing). Mendorong masuk sepeda mereka ke garasi, sebelah rumah.

Mereka lagi-lagi berisik saat naik ke rumah panggung. Ribut soal siapa yang duluan salaman dengan Eyang Lainuri dan Wawak Laisa. Saling dorong saat masuk kamar. Tidak mempedulikan tatapan tetangga yang sedang mengaji yasin. Tetapi dua sigung kecil itu seketika terdiam saat melihat ke dalam kamar. Melihat infus, belalai, dan peralatan medis

lainnya.

Menelan ludah. Benar-benar terdiam.

Juwita dan Delima malah takut-takut melangkah masuk. Menatap sekitar penuh tanda- tanya. Aduh, kenapa jadi begini? Kalau begini mana ada coba acara keliling perkebunan pakai sepeda BMX. Balapan dengan Wawak Laisa? Lupa dengan pertengkaran mereka barusan. Siapa yang lebih dulu menyalami Wak Laisa?

Wak Laisa sedang tidur.

Jatuh tertidur saat Dalimunte menceritakan penelitian Elektromagnetik Antar Galaksi satu jam lalu. Ia awalnya berusaha mendengarkan dengan sungguh-sungguh, berusaha untuk mengerti apa yang sedang dijelaskan Dalimunte, tapi fisiknya semakin lemah, konsentrasinya menghilang, Laisa akhirnya jatuh tertidur.

Sementara Cie Hui memijat kaki Mamak yang juga rebahan di kursi panjang dekat ranjang. Mamak juga lelah setelah hampir seminggu senantiasa terjaga menemani Kak Laisa. Intan masih duduk di atas ranjang, sebelah Wak Laisa. Menatap wajah wawak-nya yang meski pucat pasi, begitu tenang dalam tidumya.

Dalimunte menyalami Jasmine dan Wulan. Menyilahkan mereka mendekat ke ranjang besar tersebut. Bang Jogar menyuruh beberapa pemuda tanggung membawa plastik tambahan masuk. Dokter memeriksa ulang panel panel peralatan. Suster menyiapkan beberapa suntikan dan obat.

"Apakah Kak Lais akan baik-baik saja?" Wulan sambll mendekap kepala Juwita (yang mendadak alim) bertanya lirih.

"Aku tidak tahu—" Dalimunte menelan ludah.

"Apakah Kak Lais akan baik-baik saja?" Jasmine mengulang pertanyaan serupa. Lebih lirih. Menggigit bibir.

Dalimunte menggeleng. Hening sejenak.

"Ikanuri dan Wibisana sudah di Paris, tadi sempat telepon—" Dalimunte mengangguk. Memberikan kursi.

Sementara Intan pelan melambaikan tangannya ke Juwita dan Delima agar mendekat, duduk bertiga di atas ranjang besar Wak Laisa. Ketiga gadis kecil itu, malam ini untuk pertama kalinya rukun. Mana pernah coba Intan mau memberikan posisi duduk ke adik- adiknya, selama ini yang ada juga Intan galak mengusir mereka jauh-jauh!

26

MELINTAS

WAKTU BERLALU. Dan urusan Dalimunte-Cie Hui berubah serius sekali. Jika Dalimunte bisa keukeuh bertahan menunggu Kak Laisa menikah bertahun-tahun lagi, tapi ada yang tidak bisa. Cie Hui.

Enam bulan selepas syukuran syukuran Ikanuri dan Wibisana, Cie Hui datang ke perkebunan strawberry sambil menangis. Bersimpuh di pangkuan Mamak dan Kak Laisa. Perjodohan. Keluarga Cie Hui di kota kecamatan memutuskan untuk menjodohkan Cie Hui dengan kerabat mereka di China.

Benar-benar rusuh perkebunan itu.

"Aku sudah bilang, Kak Lais.... Aku sudah bilang ke Dalimunte. Tapi, tapi ia tetap tidak bisa mengambil keputusan...."

Gadis manis berkerudung lembut itu menangis di pangkuan Kak Laisa.

"Ayah memaksaku menikah segera. Kak Lais tahu, di keluarga kami tidak ada anak gadis yang belum menikah hingga usiaku. Ayah memaksaku memilih.... Jika Dalimunte tidak ingin menikah denganku.... Jika Dalimunte tidak—" Cie Hui terisak mengadu.

Siang itu juga Kak Laisa menyuruh Dalimunte pulang ke Lembah Lahambay. Meneleponnya langsungke laboratorium,

"Kau naik pesawat pertama dari sana, DALI! Malam ini juga kau sudah harus tiba di perkebunan strawberry! KAU DENGAR?"

Sudah lama Kak Laisa tidak berkata setegas itu di hadapan adik-adiknya. Apalagi kepada Dalimunte yang sejak kecil menurut. Perintah itu juga menyebar ke yang lain. Karena Cie Hui sudah dianggap seperti anggota keluarga di rumah panggung itu, Yashinta juga ikut pulang dari kota provinsi. Juga Ikanuri dan Wibisana. Semua berkumpul.

Ruang depan yang dulunya dipakai Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana tidur beralaskan tikar pandan itu senyap. Malam itu, hujan gerimis membasuh lembah. Dalimunte yang terakhir tiba di rumah, dan langsung diajak bicara. Yang lain sudah menunggu sejak sore tadi. Cie Hui masih menenangkan diri di kamar. Tadi sore, utusan keluarganya dari kota kecamatan memaksa pulang. Hanya karena Kak Laisa bilang,

"Semua akan baik-baik saja! Bilang ke Kokoh, tunggu hingga malam ini berakhir." Kerabat Cie Hui mengalah.

Mereka tertunduk. Pelan menghela nafas. Kak Laisa menatap wajah adik-adiknya satu persatu. Lamat-lamat.

"Kakak tidak pernah meminta kalian menunggu. Tidak pernah,"

Kak Laisa memecah senyap. Ini kali pertama mereka membicarakan masalah yang super- sensitif tersebut bersama-sama.

"Dalimunte, kau sudah dua puluh delapan. Wibisana hampir duapuluh enam, Ikanuri dua puluh lima, dan Yashinta dua puluh dua. Kalian sudah tumbuh begitu dewasa. Tampan dan cantik. Seperti yang Kakak impi-impikan, kalian tumbuh dan memiliki kesempatan lebih besar dibandingkan lembah ini. Tidak menghabiskan hidup hanya menjadi pencari kumbang dan damar di rimba"

Suara Kak Laisa bergetar, membuat yang lain semakin tertunduk.

Di luar gerimis mulai menderas. Suara bilur air hujan membasuh rumput, genteng, bebatuan terdengar sakral menyenangkan.

" Kalian sudah cukup umur untuk mengambil kesempatan berikutnya. Sudah lebih dari cukup umur untuk menikah. Apa lagi yang kalian tunggu? Dali, bahkan Kakak sudah bilang enam tahun lalu agar kau tidak membuat Cie Hui menunggu terlalu lama—"

Dalimunte menelan ludah.

"Kau tidak perlu menunggu Kakak.... Sungguh. Sama sekali tidak perlu. Kelahiran, kematian, jodoh semua sudah ditentukan. Masing-masing memiliki jadwal. Giliran—"

"Aku tidak akan menikah sebelum Kakak menikah." Dalimunte memotong, dengan suara pelan tertahan. "Kau tidak perlu menunggu Kakak Dali!"

Kak Laisa Berkata tegas. Menatap tajam Dalimunte. "Aku tidak akan menikah—"

"Dengarkan Kakak bicara, Dali!" Kak Laisa menatap tajam.

Dalimunte tertunduk dalam-dalam. Ikanuri dan Wibisana mengusap wajahnya. Yashinta memeluk Mamak, matanya mulai berair.

"Buat apa kau memikirkan apa yang dipikirkan orang atas pernikahan kau. Buat apa kau memikirkan apa yang dipikirkan orang atas Kakak-mu. Buat apa kau memikirkan kekhawatiran, rasa cemas, yang sejatinya mungkin tidak pernah ada. Hanya perasan- perasaan. Lihatlah, Kakak baik-baik saja."

Dalimunte menyeka ujung-ujung mata. Itulah masalahnya, semua terlihat baik-baik saja. Bahkan sejak kecil dulu Kak Laisa selalu berusaha terlihat baik-baik saja di hadapan adik- adiknya. Memutuskan berhenti sekolah demi mereka sekolah. Bekerja keras. Dan semuanya tetap baik-baik saja.

"Jangan paksa Dali menikah.... Jangan paksa Dali...."

"Tidak ada yang memaksamu! TIDAK ADA! Tapi jika kau tetap keras kepala, kau akan kehilangan Cie Hui selamanya. Kau mencintainya, Cie Hui juga amat mencintai kau dan keluarga kita! Kau akan membuat semuanya binasa dengan segala kekeras-kepalaan dan omong-kosong melintas itu..." Kak Laisa berkata serak.

"Dali tidak akan menikah sebelum —" "Kau jangan membantah kakak, DALI!"

Suara Laisa yang meninggi tersedak diujungnya. Bergetar. Tubuhnya menggigil menahan sesak perasaan. Ya Allah, ia sungguh tidak pernah sampai hati membentak adik-adiknya,...

Yashinta sudah menangis sambil memeluk Mamak. Malam itu pembicaraan tersebut berakhir sia-sia.

Dalimunte tetap tak kuasa mengambil keputusan. Dia terlalu menghargai Kak Laisa. Mengalahkan akal sehat atas pendidikan hebat yang diterimanya selama ini Kak Laisa sudah melakukan banyak hal untuk mereka, jadi amat tidak adil jika dia mempermalukan Kak Laisa dengan melintas. Malam itu, saat hujan menderas, Cie Hui menangis menuruni anak tangga. Keluar dari kamamya. Berlari menerabas hujan. Amat mengharukan melihatnya. Sementara Dalimunte hanya tertunduk diam seribu bahasa. Ikanuri dan Wibisana mengantar Cie Hui pulang ke kota kecamatan. Tidak ada. Harapan itu benar-benar sirna. Perjodohan itu akan terjadi. Malam itu, di antara suara guntur menggelegar, Cie Hui kembali ke kota kecamatan membawa pusara hatinya. Menyisakan senyap di ruang depan rumah panggung.

Mamak akhirnya tak kuasa menahan tangis. Itu tangisan pertama sejak Babak dulu meninggal. Memeluk Kak Laisa dan Yashinta erat-erat. Mamak tahu. Tahu betapa Kak Laisa menanggung separuh beban keluarga ini sejak kecil. Menciumi wajah Kak Laisa (yang matanya juga berkaca-kaca).

27

Dalam dokumen bidadari bidadari surga (Halaman 79-83)