• Tidak ada hasil yang ditemukan

SESEORANG A. Visum et Repertum Sebagai Alat Bukti

C. Kausalitas dari Peristiwa Pidana dengan Meninggalnya Korban

1. Pentingnya Ajaran Kausalitas 52

S.R. Sianturi,Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, (Jakarta; Babinkum TNI, 2012), hal. 487.

Tiap-tiap peristiwa pasti selalu ada sebabnya, tidak mungkin dapat terjadi begitu saja dapat menimbulkan suatu peristiwa lain. Disamping hal tersebut dapat juga terjadi suatu peristiwa sebagai akibat suatu peristiwa atau beberapa peristiwa yang lain. Pencarian penyebab tidak terbatas hanya pada hanya suatu tindakan, melainkan semua jejak kejadian atau peristiwa.

Apabila dilihat dari cara merumuskannya, tindak pidana dibedakan antara tindak pidana yang dirumuskan secara formil, disebut tindak pidana formil (formeel delicten), dan tindak pidana yang dirumuskan secara ,materil, disebut dengan tindak pidana materil (materieel delicten).

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan melarang melakukan tingkah laku tertentu, artinya dalam rumusan itu secara tegas disebutnya wujud perbuatan tertentu yang terlarang. Perbuatan tertentu inilah yang menjadi pokok larangan dalam tindak pidana formil. Dalam hubungannya dengan penyelesaian tindak pidana formil, kriterianya ialah pada perbuatan yang dilarang tersebut. Apabila perbuatan terlarang selesai dilakukan, maka selesai pulalah tindak pidana, tanpa melihat atau tergantung pada akibat apa dari perbuatan itu. Contohnya pencurian (Pasal 362 KUHP) apabila perbuatan mengambil telah selesai, maka pencurian itu selesai.

Tindak pidana materiil, adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan melarang menimbulkan akibat tertentu disebut akibat terlarang. Titik beratnya larangan pada menimbulkan akibat terlarang (unsur konstitutif) . Walaupun dalam rumusan tindak pidana disebut juga unsur tingkah laku, misalnya menghilangkan nyawa pada pembunuhan (Pasal 338 KUHP), namun untuk penyelesaian tindak pidana tersebut tidak bergantung pada selesainya mewujudkan tingkah laku. Akan tetapi

apakah dari wujud tingkah laku telah menimbulkan akibat terlarang atau tidak. Misalnya mewujudkan tingkah laku menghilangkan nyawa dengan menusuk dengan pisau. Apabila perbuatan menusuk tersebut tidak melahirkan akibat matinya korban, maka tidak terjadi tindak pidana pembunuhan.

Percobaan tindak pidana materiil juga tergantung pada unsur akibat konstitutif, bukan pada tingkah laku. Tingkah laku telah diwujudkan, misalnya dengan melepaskan tembakan, tetapi wujud tingkah laku itu tidak atau belum menimbulkan akibat terlarang yakni matinya korban, maka yang terjadi barulah percobaan pembunuhan. Terwujudnya tindak pidana materiil secara sempurna adalah apabila akibat terlarang telah terwujud dari tingkah laku.

Terwujudnya tindak pidana materiil secara sempurna diperlukan tiga syarat esensial, yaitu:

a. Terwujudnya tingkah laku;

b. Terwujudnya akibat (akibat konstitutif atau contitutief govolg);

c. Ada hubungan kausal (Causal Verband) antara wujud tingkah laku dengan akibat konstitutif.53

Tiga syarat inilah satu kesatuan yang tidak terpisahkan untuk terwujudnya tindak pidana materiil. Untuk menentukan (dalam praktek digunakan istilah untuk membuktikan) terwujudnya tingkah laku dengagn terwujudnya akibat, tidaklah terdapat kesukaran. Akan tetapi untuk menentukan bahwa suatu akibat yang timbul itu apakah benar disebabkan oleh terwujudnya tingkah laku adalah mendapatkan kesukaran, berhubung disebabkan oleh banyak faktor yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Contohnya seorang bapak mengendarai

53

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2011), hal. 214.

sepeda motor hendak menyebrang – mengambil jalur lain dengan berbelok kekanan tanpa memperhatikan kendaraan dari arah belakang – dan ketika itu ada sebuah mobil yang melaku dari arah belakang. Menghadapi keadaan itu si pengendara mobil menginjak rem sekuat tenaga sehingga mengeluarkan suara gesekan ban di jalan yang keras, yang mengakibatkan bapak tersebut pun terkejut. Walaupun mobil tidak sampai menabrak/membentur keras sepeda motor, namun tiba-tiba didepan mobil yang berhenti dan masih duduk di atas sadel sepeda motor, bapak itu rubuh dan jatuh pingsan. Kemudian segera dilarikan ke rumah sakit. Di rumah sakit ia tidak segera mendapatkan pertolongan, setengah jam kemudian meninggal dunia.

Penyidikan dilakukan terhadap pengendara mobil dengan sangkaan kurang hati-hati menyebabkan orang lain meninggal dunia (Pasal 359 KUHP). Hasil otopsi menyebutkan bahwa “Kematian korban, disebabkan karena serangan jantung”. Terbukti secara medis, bapak tadi mengidap penyakit jantung yang sewaktu-waktu dapat kambuh dan menyebabkan kematiannya. Dengan berdasarkan hasil otopsi tersebut, penyidikan dihentikan.

Peristiwa diatas merupakan satu contoh yang sulit dalam praktek hukum untuk menentukan ada tidaknya Causaal Verband antara wujud perbuatan (pada contoh diatas: mengemudikan kendaraan dengan tiba-tiba menginjak rem) dengan akibat yang timbul yakni kematian bapak tadi. Pada peristiwa tersebut terdapat faktor-faktor yang berpengaruh sehingga akhirnya menimbulkan kematian. Rangkaian faktor itu adalah:

a. Korban berbelok kanan – menyebrang dengan tiba-tiba; b. Pengemudi mobil dengan sekuat tenaga menginjak rem

c. Adanya bunyi keras dari gesekan ban dengan aspal; menyebabkan d. Korban terkejut; menyebabkan

e. Kambuhnya penyakit jantung korban;

f. Tidak segera mendapatkan pertolongan medik

Dalam peristiwa diatas ada enam faktor yang ikut mempengaruhi sehingga pada ujungnya ada akibat kematian. Dalam hubunganmya dengan penentuan pertanggungjawaban pidana, tidaklah mudah untuk menentukan faktor yang manakah yang menyebabkan kematian. Dalam menghadapi persoalan mencari dan menetapkan adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat semacam contoh diatas, ajaran kausalitas menjadi penting. Ajaran kausalitas adalah ajaran yang berusaha mencari jawaban dari masalah seperti peristiwa diatas. 54

Ajaran kausalitas dapat membantu para praktisi hukum terutama hakim dalam mencari dan menentukan ada atau tidaknya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat yang timbul. Ajaran kausalitas selain penting dalam hal mencari dan untuk menentukan adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dan akibat dalam tindak pidana materiil, juga penting dalam hal mencari dan menentukan adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat dalam tindak pidana yang dikualifisir oleh unsur akibatnya. Tindak pidana yang dikualifisir oleh unsur akibatnya ialah suatu tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten) yang ditambah denga satu unsur khusus yakni unsur akibat yang timbul dari perbuatan, baik unsur akibat yang menjadikan tindak pidana lebih berat maupun lebih ringan.55

54

Ibid.,hal. 216. 55

Contoh unsur akibat yang menjadikan lebih berat dari bentuk pokoknya adalah pada penganiayaan (Pasal 351 ayat (1) KUHP) yang mengakibatkan luka berat (Pasal 351 ayat (2) KUHP), atau yang menimbulkan kematian (Pasal 351 ayat (3) KUHP). Luka berat atau kematian adalah unsur khusus dari penganiayaan (Pasal 351 ayat (1) KUHP) yang menyebabkan penganiayaan itu lebih berat dari pada bentuk pokoknya. Untuk menentukan apakah luka berat atau kematian, disebabkan oleh wujud tingkah laku misalnya memukul dengan kayu dalam penganiayaan, juga ajaran kausalitas benting dan berguna.

2. Macam-Macam Ajaran Kausalitas

Tidaklah mudah untuk mencari faktor mana yang menjadi penyebab suatu akibat, karena faktor-faktor itu tidak berdiri sendiri. Dalam rangka mencari faktor mana dalam peristiwa kematian, digunakanlah ajaran kausalitas. Ada beberapa macam ajaran kausalitas, yang dapat dikelompokkan ke dalam 3 teori yang besar, yaitu:

a. Teori conditio sine qua non;

b. Teori-teori yang mengindividualisir; c. Teori-teori yang menggeneralisis;56

1)

Teori ini berasal dari Von Buri, seorang ahli hukum Jerman yang pernah menjabat sebagai Presiden Reichtgerich (Mahkamah Agung Jerman). Menurut teori ini, tidak membedakan mana faktor syarat dan yang mana faktor penyebab, segala sesuatu yang masih berkaitan dengan suatu peristiwa sehingga melahirkan suatu akibat adalah termasuk menjadi penyebabnya. Oleh karena itu, menurut teori ini, keenam faktor yang menjadi contoh dalam peristiwa matinya bapak tadi, diantara

Teori Conditio Sine Qua Non

56

sekian rangkaian faktor, tidak ada yang merupakan syarat, semuanya menjadi faktor penyebab. Semua faktor dinilai sama pengaruhnya atau andil/peranannya terhadap timbulnya akibat yang dilarang. Tanpa salah satu atau dihilangkannya salah satu dari rangkaian faktor tersebut tidak akan terjadi akibat menurut waktu, tempat, dan keadaan senyatanya dalam peristiwa itu.

Teori ini disebut teori ekivalensi (Aquivalenz-theorie) atau bedingungtheorie. Disebut dengan teori ekivalensi, oleh karena ajaran Von Buri ini menilai semua faktor sama pentingnya terhadap timbulnya suatu akibat. Disebut dengan bedinguntheorie oleh karena dalam ajaran ini tidak membedakan antara faktor syarat (bedingung) dengan faktor penyebab (causa).

Kelemahan dari ajaran ini adalah pada tidak membedakan antara faktor syarat dengan faktor penyebab, yang dapat menimbulkan ketidakadilan.pada contoh tadi, sipengemudi dipertanggungjawabkan atas kematian bapak tadi, dipandang tidak adil, karena pada dirinya tidak adan kesalahan (kesengajaan maupun kealpaan) dalam hal terjadinya kematian bapak tadi, dan artinya bertentangan dengan azas hukum pidana tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld).

Walaupun ada kelemahan pada ajaran ini, tetapi dengan mudah dapat digunakan dan diterapkan pada segala peristiwa dan para praktisi hukum tidaklah perlu bersebat panjang dan bersusah payah memikirkan untuk mencari faktor penyebab yang sebenarnya (secara objektif) atau faktor yang paling kuat baik secara akal maupun ilmu pengetahuan yang menjadi penyebab atas timbulnya suatu akibat tertentu.

Untuk mengatasi kelemahan ajaran von Buri ini, maka Van Hamel, salah satu seorang penganutnya melakukan penyempurnaan dengan menambah kedalam

ajaran von Buri, ialah tentang ajaran kesalahan. Menurut van Hamel, ajaran von Buri sudah baik, akan tetapi haruslah dilengkapi lagi dengan ajaran tentang kesalahan (schuldleer). Bahwa tidak semua orang yang perbuatannya menjadi salah satu faktor diantara rangkaian sekian faktor dalam suatu peristiwa yang melahirkan akibat terlarang harus bertanggung jawab akibat timbulnya akibat itu, melainkan pada diri si pembuatnya dalam mewujudkan tingkah lakunya itu terdapat unsur kesalahan baik kesengajaan maupun kealpaan. Berdasarkan pendapat van Hamel ini maka dalam contoh diatas tadi si pengendara mobil tidak perlu dipertanggungjawabkan atas kematian bapak itu, karena pada peristiwa itu tidak ada unsur kesalahan (kesengajaan maupun kealpaan) dari si pengendara mobil.

2)

Disamping ajaran Von Buri terdapat berbagai ajaran lainnya, yang pada intinya dalam mencari sebab dari pada suatu akibat dibatasi pada satu atau beberapa peristiwa/faktor saja yang dianggap berpadanan, paling dekat atau seimbang dengan dengan timbulnya suatu akibat. Berlainan dari teori von Buri, Traeger mengadakan pembedaan antara rangkaian peristiwa-peristiwa tersebut, yang paling dekat menimbulkan akibat yang terlarang itu oleh undang-undang. Ia tidak menganggap semua peristiwa yang mendahului sebagai syarat dari timbulnya akibat. Ia membedakan antara syarat dan alasan (voorwaarde en aanleiding). Traeger hanya mencari satu peristiwa saja, yang harus dianggap sebagai sebab daripada akibat itu.

Teori-Teori yang Mengindividualisir

57

57

Ajaran ini disebut sebagai ”Teori khusus” atau individualiserende theorie. Menudian teori khusus ini berkembang dan yang termasuk padanya antara lain adalah:

a) Teori pengaruh terbesar atau “die meist Bedingung” atas nama Birkmeyer. Sarjana ini menentukan sebagai sebab dari suatu akibat adalah peristiwa yang paling besar pengaruhnya kepada timbulnya akibat itu. Sebagai contoh apa yang diajukan van Hamel yaitu kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda. Masing-masing kuda sendiri sendiri tidak akan dapat menarik kereta tersebut, tetapi hanya dengan bersamalah mereka baru dapat menggerakkannya. b) Teori yang paling menentukan die doorslag geert; de theorie van

het “Gleichgewicht”; Overwicht van positieve over negatieve voorwaarden atas nama Binding. Sarjana ini mengatakan, peristiwa yang harus dianggap sebagai sebab adalah peristiwa positif (yang menjurus kepada timbulnya akibat) yang lebih menentukan dari pada peristiwa negative (yang menahan supaya akibat tidak timbul)

c) Teori kepastian; die Art des Werdens atas nama Kohler. Dikatakannya bahwa yang harus dianggap sebagai sebab adalah peristiwa yang pasti menimbulkan suatu akibat. Diutarakannya bahwa jika kita menanam bibit bungan dan kemudian berkembang, maka peristiwa-peristiwa/syarat-syarat untuk pertumbuhannya dapat disebut antara lain, hujan, sinar matahari, tanah dan lain-lain. Tetapi yang paling menentukan perkembangannya adalah bibit

bunga tersebut. Teori ini lebih menonjol jika peristiwa/syarat-syarat itu hampir sama nilainya. Misalnya jika seseorang sangat peka dengan keracunan tertentu, lalu dimakankan kepadanya sejumlah racun tertentu yang non-maliter tidak mengakibatkan matinya orang, maka jika ia mati, “kepekaannya” itulah yang memastikanakan timbulnya akibat itu dari pada racun itu.58

3)

Teori yang menggeneralisir adalah teori yang dalam mencari sebab (causa) dari rangkaian faktor yang berpengaruh atau berhungungan dengan timbulnya akibat adalah dengan melihat dan menilai pada faktor mana yang secara wajar dan menurut akal serta pengalaman pada umumnya dapat menimbulkan suatu akibat.

Teori-teori yang Menggeneralisir

59

Penggunaan ini dapat diberikan contoh ialah, karena jengkel pada bawahannya yang berbuat salah, bawahannya itu ditempelengnya dengan tangan kosong yang secara wajar menurut akal dan pengalaman orang pada umumnya tidak akan menimbulkan kematian, tetapi kemudian korban meninggal. Menurut teori ini, kematian bawahan ini bukanlah disebabkan oleh perbuatan menempeleng atasannya, karena secara wajar dan akal serta pengalaman orang pada umumnya perbuatan menempeleng tidaklah menimbulkan akibat kematian. Kematian itu mestilah diakibatkan oleh selain perbuatan menempeleng, mungkin karena sebab Jadi, untuk mencari faktor penyebab dan menilainya tidak berdasarkan pada faktor setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya, tetapi pada pengalaman pada umumnya menurut akal dan kewajaran atau disebut secara abstracto, tidak secara inconcreto.

58

Ibid., hal. 126. 59

penyakit seperti jantung atau darah tinggi. Perbuatan menempeleng hanyalah sekedar faktor syarat belaka.

Mengenai persoalan ini, maka timbullah dua pendirian, yakni pendirian yang subjektif yang disebut dengan teori adequat subjektif, dan pendirian objektif yang kemudian disebut dengan teori adequat objektif.

a) Teori Adequat Subjektif

Teori ini dipelopori oleh J. Von Kries, yang menyatakan faktor penyebab adalah faktor yang menurut kejadian yang normal adalah adequat (sebanding) atau layak dengan akibat timbul, yang faktor mana diketahui atau disadari oleh si pembuat sebagai adequat untuk menimbulkan akibat tersebut.60

b) Teori Adequat Objektif

Jadi dalam teori ini faktor subjektif atau sikap bathin sebelum si pembuat berbuat adalah amat penting dalam menentukan adanya hubungan kausal, sikap batin mana berupa pengetahuan (sadar) bahwa perbuatan yang akan dilakukan itu adalah adequat untuk menimbulkan akibat yang timbul, dan kelayakan ini harus didasarkan pada pengalaman manusia pada umumnya.

Pada ajaran adequat objektif ini, tidak memperhatikan bagaimana sikap batin si pembuat sebelum berbuat, akan tetapi pada faktor-faktor yang ada setelah (post factum) peristiwa senyatanya beserta akibatnya terjadi, yang dapat dipikirkan secara akal (objektif) faktor-faktor itu dapat menimbulkan akibat. Tentang bagaimana alam pikiran/sikap batin si pembuat sebelum ia berbuat tidaklah penting, melainkan bagaimana kenyataam objektif setelah peristiwa terjadi beserta

60

akibatknya, apakah faktor tersebut menurut akal dapat dipikirkan untuk menimbulkan akibat.

3. Hubungan Kausal Antara Sebab dan Akibat

Antara sebab (motif). Tindakan dan akibat (sebagai tujuan yang dikehendaki yang terjadi) harus ada hubungannya. Hubungan itu disebut dengan hubungan-kausal

(hubungan sebab akibat). Sebagai ilustrasi, jika seutas tali dihubungkan dengan timba dan ujung lainnya dihubungkan dengan penggerek, dengan mudah terlihat, bahwa tali itu yang menghubungkan antara timba dan penggerek. Tetapi dalam suatu kasus hubungan penyebab (motif), tindakan dan akibat hanya dapat dibayangkan dalam diri pelaku. Hubungan motif (penyebab) dengan tindakan ialah bahwa motif itu merupakan pendorong bagi pelaku untuk melakukan tindakan tersebut. Hubungan tindakan dengan akibat adalah bahwa akibat itu dalam beberapa hal (atau delik) merupakan perwujudan dari pelaku, sedangkan dalam hal lainnya, akibat itu adalah kelanjutan logis dari suatu tindakan yang merupakan sebab. Untuk tersebut dapat juga dikatakan sebagai akibat dari akibat, dimana akibat yang terakhir berada diluar kehendak pelaku. Demikianlah jika seorang dokter mengoperasi pasiennya, akibat dari pisau yang digunakan, terdapat luka pada pasien tersebut. Jika operasi gagal, dapat mengakibatkan pasien yang tentunya diluar kehendak sang dokter. Jika A hendak menyakiti B yang kemudian memukulinya, ada kemungkinan pemukulan itu kemudian mengakibatkan matinya B. Hal ini diluar kehendak A. Nyatalah bahwa pembedahan yang dilakukan oleh sang dokter, dengan terjadinya luka pada pasien mempunyai hubungan kausal, yaitu justru pembedahan sengaja dilakukan dalam rangka penyembuhan penyakit yang diderita pasien. Akan tetapi bahwa ternyata pasien

kemudian mati, tidak ada hubungan kausal dengan usaha sang dokter untuk menyembuhkan penyakit. Dalam hal ini kematian pasien adalah sebagai akibat dari akibat. Demikian juga pemukulan A terhadap B mempunyai hubungan kausal terhadap sakitnya B. Apabila kemudian ternyata B mati, maka kematiannya itu merupakan akibat. Dalam hal ini dalam suatu perumusan undang-undang, biasanya akibat (dari akibat) seperti itu dijadikan sebagai syarat atau unsur memberatkan ancaman pidana.

Hubungan satu sama lain antara sebab, tindakan dan akibat, dilihat dari sudut ajaran sebab akibat ada yang mempunyai hubungan kausal dalam pengertian hukum pidana tetapi ada juga yang mempunyai hubungan dalam arti luas, yang apabila tidak ada pembatasannya, maka akan lebih mengaburkan penerapan ketentuan-ketentuan hukum pidana. Sudah barang tentu, dalam rangka pemidanaan hal tersebut diatas, harus masih dikaitkan dengan kesalahan pelaku dan apakah tindakan itu bersifat melwan hukum atau tidak.

Perumusan-perumusan delik sehubungan dengan motif, tindakan dan akibat, dilihat dari ajaran sebab akibat terdapat perbedaan-perbedaan. Umumnya motif itu tidak dimasukkan sebagai unsur dalam perumusan delik, walaupun adakalanya motif itu dapat dirasakan sebagai sebab (dari suatu tindakan).

Suatu tindakan yang dirumuskan dalam suatu delik, dapat juga dipandang sebagai sebab (oorzaak) dari suatu akibat tertentu dapat disimpulkan sebagai panduan dari sebab akibat, dan dapat pula dipandang hanya sebagai tindakan saja yang tidak mempersoalkan sebab dan akibat. Sedangkan mengenai perumusan akibat, adakalanya hanya dapat disimpulkan dari suatu tindakan saja yang dirumuskan, dengan catatan bahwa walaupun akibat itu belum terjadi, dengan terjadinya

tindakan tersebut, telah merupakan tindakan pidana yang sempurna. Misalnya Pasal 351 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 291, Pasal 213 KUHP dan sebagainya. Adakalanya tindakan itu baru merupakan tindak pidana yang sempurna setelah terjadi akibat seperti tersebut dalam Pasal 338 KUHP, dan adakalanya tindakan seseorang iru belum merupakan satu tindak pidana jika akibat yang ditentukan tidak ada.

4. Sebab Akibat dalam Praktek Hukum

Sering menjadi bahan perdebatan antara penuntut umum disatu pihak dengan terdakwa dan pembelanya dipihak yang lain dalam suatu persidangan pengadilan mengenai: sejauh manakah hakekat dari sebab akibat yang terkandung dalam perumusan suatu delik/kejahatan, dan sejauh manakah pengaruhnya untuk menentukan pertanggungjawaban terdakwa. Dalam delik-delik materiel pihak terdakwa sering tidak membatasi diri untuk hanya menanggapi perumusan suatu kelakuan/perbuatan/tindakan dalam undang-undang. Mereka cenderung untuk menjelajahi kejadian/perbuatan lainnya, situasi dan kondisi yang mendahului tindakan yang dilakukan yang sesuai dengan perumusan undang-undang. Hal ini dimaksudkan agar fakta/data itu dapat diterima sebagai sebab dari tindakan yang dilakukan itu, bahwa juga sebagai sebab dari akibat yang terlarang. Tentunya yang dikemukakannya itu adalah hal-hal/keadaan-keadaan yang akan menguntungkan pihak terdakwa. Dalam hal ini fakta/data yang dikemukakan itu ada kemungkinan dimaksudkan untuk memberikan “bukti-perlawanan” tentang ketidakadaan atau peniadaan kesalahan pelaku tersebut. Mungkin dan minimal sebagai keadaan-keadaan yang dapat memperingan pertanggungjawaban pidana pelaku atau dalam rangka permohonan clementie (belas kasihan) hakim. Bahkan tidak jarang

fakta/data semacam itu sengaja dikemukakan seakan-akan tidak pernah ada/terjadi, padahal tidak lain dari pada suatu khayalan atau suatu perandaian saja. Contoh, karena C menghina D, lalu D memukul C dan pemukulan itu mengakibatkan matinya C. Pemukulan itu merupakan sebab dari matinya C. Pihak terdakwa akan menggunakan delik penghinaan C sebagai penyebab dari terjadinya pemukulan dan kemudian sebagai salah satu dasar untuk meniadakan sifat melawan hukum dari pemukulan tersebut, atau setidak-tidaknya untuk memperingan pertanggungjawaban D. Penuntut umum sebaliknya menyoroti delik penghinaan tersebut sebagai suatu tindak pidana tersendiri. Selanjutnya penghinaan yang dilakukan oleh si C adalah sebagai motif atau dorongan bagi D untuk melakukan pemukulan tersebut yang dalam hal ini dinilai sebagai penentuan/pembuktian tingkat kesalahan dari D.

BAB IV

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DENGAN ADANYA VISUM ET