• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEADAAN GEREJA KATOLIK PADA ABAD KE-16

KEADAAN GEREJA KATOLIK PADA ABAD KE-16

Gereja Katolik pada Abad Pertengahan makin mengarah ke Eropa Barat dan berpusat di Roma. Keadaan Gereja Katolik pada Abad Pertengahan mengalami ketidakharmonisan dan kekacauan yang makin memuncak pada abad ke-16. Adapun hal yang menyebabkan ketidakharmonisan dan kekacauan dalam Gereja Katolik antara lain terjadinya krisis kewibawaan Paus, krisis rohani dan merosotnya semangat keagamaan, serta penyelewengan wewenang Gereja. Keadaan Gereja Katolik yang kacau balau ini mengakibatkan di dalam kesatuan umat Kristiani terjadi perpecahan Gereja.

A. Krisis Kewibawaan Paus

Wibawa dari pemimpin tertinggi Gereja Katolik yaitu Paus terlihat melemah sejak tahun 1300. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya peristiwa yang membuktikan kewibawaan seorang Paus yang makin melemah. Adapun peristiwa-peristiwa itu antara lain:

1. Pertikaian antara Paus dengan Raja Perancis.

Pada tahun 1294, terpilihlah Paus baru yaitu Paus Bonifacius VIII. Paus Bonifacius VIII ialah seorang yang cerdik dan kuat bekerja. Ia juga mendirikan Universitas Roma. Paus Bonifacius VIII bermaksud mendamaikan seluruh Eropa dan membebaskan kembali Palestina. Namun, ia bukan seorang ahli politik dan ia bukan orang yang rendah hati. Justru hal inilah yang membuat Paus Bonifacius

VIII mempunyai banyak musuh di Roma dan di luar Roma. Paus itu bertikai dengan Edward I dari Inggris dan dengan Philips IV dari Perancis.1 Namun, pertikaian yang paling hebat yang terjadi dengan Philips IV.

Pada tahun 1296, Raja Philips IV mengenakan pajak atas segala milik Gereja, agar dapat membiayai peperangannya melawan Edward I dari Inggris. Paus Bonifacius VIII menentang peraturan itu dengan mengeluarkan Bulla “Clericis Laicos”, dimana beliau melarang para biarawan untuk membayar pajak kepada seorang awam tanpa ijin Paus. Philips IV menanggapi perlakuan Paus itu dengan tindakan, bahwa uang tidak boleh dibawa keluar negara dan orang asing tidak diperbolehkan masuk negara atau berdagang tanpa ijin pemerintah. Philips IV di hadapan rakyat bahwa ia meragukan kesahan pemilihan Paus Bonifacius VIII.2 Sebelum tahun 1300, raja-raja menganggap diri sebagai bawahan Paus. Namun, pada tahun 1300 situasi mulai berubah. Tahun 1300, raja-raja mulai merasa diri bebas dari kuasa tertinggi Paus. Para raja berpendapat bahwa kuasa politik raja-raja langsung berasal dari Allah, dan bukan merupakan pinjaman dari Paus.

Pertentangan antara Paus Bonifacius VIII dengan Raja Philips IV dikarenakan perbedaan mentalitas. Berdasarkan pada watak dan pendidikannya, Paus Bonofacius VIII menjadi pribadi yang keras, tidak fleksibel, dan tidak mengenal kondisi jaman yang berubah. Paus tidak bisa lagi mengklaim otoritasnya atas para raja. Raja Philips IV dari Perancis, di lain sisi menguasai benar masalah politik yang dihadapinya. Ia mendasarkan diri pada hukum Romawi yang diperbaharui

1

H.Embuiru, op.cit., hlm. 113.

2

pada Abad Pertengahan yaitu rex in suo regno est imperator, bahwa di dalam kerajaannya, raja adalah kaisar. Raja bebas dari penguasa lain baik itu kaisar maupun Paus. Dengan ini, Raja Philips IV di wilayah kerajaannya tidak mengakui otoritas Paus selain dalam bidang spiritual. Raja Philips IV akan mempertahankan posisinya yaitu dengan segala konsekuensinya.3

Pertikaian yang terjadi antara Raja Philips IV dengan Paus Bonifacius VIII adalah suatu hal prinsipil. Alasan pertikaian ini adalah mempersoalkan tentang pembayaran pajak oleh para rohaniawan kepada Raja Perancis. Hubungan yang sudah tidak baik itu dipertajam dengan diangkatnya seorang Nunzio untuk Perancis yang dikenal dengan anti Philips IV.

Pada tahun 1302, Raja Philips IV menyelenggarakan sidang umum dan berhasil mendapatkan persetujuan atas posisi politiknya yang bermusuhan dengan Roma. Paus Bonifacius VIII juga menegaskan posisinya melalui

Bulla Unam Sanctam yaitu perlunya kesatuan Gereja Katolik di bawah satu kepala, perlunya menjadi anggota Gereja demi keselamatan, perlunya subordinasi sipil kepada Gereja. Namun, Raja Philips tidak menghiraukan petunjuk Paus, maka Paus Bonifacius VIII mengucilkan Raja Philips IV. Tetapi, Raja Perancis malah mengirim sekelompok tentara untuk menangkap Paus Bonifacius VIII di Anagni. Anagni merupakan kota di mana Paus Bonifacius VIII tinggal. Di tempat itu Paus dianiaya dan diejek, namun ia diselamatkan rakyat Anagni sehingga Paus bebas. Paus dengan perlindungan

3

tentara diamankan ke Roma dan sebulan sesudahnya Paus meninggal di Roma. 4 Oleh karena penghinaan terhadap Paus dan kekalahan paus, maka kewibawaan Paus mengalami krisis.

2. Penawanan Paus di Avignon.( 1305-1377)

Paus Bonifacius VIII sudah wafat, namun pertentangan Paus dengan Raja Perancis belum juga dapat diselesaikan. Paus Clemens V sebagai pengganti Paus Bonifacius VIII dapat diterima oleh Raja Philips. Hal ini dikarenakan, Paus Clemens V merupakan seorang Uskup Agung di Bordeaux, maka secara langsung ia berkebangsaan Perancis. Paus Clemens V guna mempercepat perdamaian, lebih banyak menuruti kehendak Raja Philips daripada melakukan hal yang terbaik bagi Gereja Katolik.

Paus Clemens V tidak berusaha menghalang-halangi proses yang menentang Ordo Bait Allah, yang hendak dihancurkan oleh Raja Philips. Raja Philips merencanakan penghancuran Ordo Bait Allah dengan maksud untuk mengetahui harta kekayaan ordo tersebut. Proses itu berupa perongrongan hukum, dan tindakan Raja Philips yang sewenang-wenang membuktikan betapa kekuasaan Paus telah turun. Meskipun tuduhan mengenai ajaran sesat, penghujatan, dan kemesuman tidak dapat dibuktikan, namun tetap saja Paus Clemens V menghapuskan ordo tersebut.5

Pada tanggal 13 Oktober 1307, Paus Philips IV menyuruh menangkap segala anggota Ordo Bait Allah sebanyak 2000 orang dan mengambil alih milik ordo. Ada 138 orang yang dibunuh, sedangkan 54 orang yang lain dibakar hidup-hidup.

4

Kleopas Laarhoven, op.cit., hlm. 69.

5

Para anggota Ordo Bait Allah dituduh telah memberikan ajaran sesat dan melanggar adat istiadat. Paus Clemens V protes, namun sudah terlambat.6

Martabat seorang Paus dan Gereja Katolik semakin memprihatinkan di mana Paus Clemens V memutuskan untuk meninggalkan Roma dan tinggal di Avignon. Avignon adalah kota kepunyaan Paus, tetapi terletak di perbatasan Perancis. Pada tahun 1309, Paus Clemens V mulai pindah ke Avignon karena keadaan di Roma yang tidak aman.

Keputusan Paus Clemens V dianggap kurang bijaksana karena dengan pelarian Paus itu malah membuat keadaan di Roma semakin kacau, terutama karena Avignon adalah suatu tempat yang berada di bawah pengawasan raja-raja Perancis, dan di tempat tersebut dekat sekali dengan benteng-benteng pertahanan Perancis. Dengan demikian, kuasa Perancis dalam kepausan semakin kuat. Lagipula Paus Clemens V berkebangsaan Perancis dan kebanyakan Kardinal juga berkebangsaan Perancis, sehingga Paus tidak lagi dianggap Paus umum/universal, melainkan Paus Perancis. Hal ini mengakibatkan orang-orang Katolik di luar negara Perancis sebagian besar tidak lagi mau taat kepada Paus tersebut.

Mulai tahun 1309, tahta kepausan berpindah ke Avignon. Di sini para Paus menikmati perlindungan dari Perancis terhadap anarki pemerintahan di Roma. Akan tetapi, secara tidak langsung para Paus menjadi alat kebijakan kerajaan Perancis. Selama para Paus tinggal di Avignon, kepausan mengembangkan sistem pengumpulan dana dari berbagai wilayah kegerajaan, sehingga terjadi korupsi.7

6

H. Embuiru, op.cit., hlm. 115.

7

Eddy Kristiyanto, Visi Historis Komprehensif Sebuah Pengantar, Yogyakarta, Yayasan Kanisius, 2003, hlm. 81.

Paus Clemens V dan Paus berikut yang nantinya menjadi penerus Paus Clemens V tinggal di Avignon selama enam puluh sembilan tahun lamanya. Ketidakhadiran Paus di Roma malah turut memperkeruh keadaan di Roma yang sudah kacau balau, karena dengan tinggalnya Paus di Avignon yang cukup lama merupakan pelarian tanggung jawab. Roma tanpa Paus menjadi kota yang terlantar dan Gereja Katolik menjadi terlantar sejak pemimpin tertingginya tidak lagi mempedulikan Roma.

Keadaan dalam Gereja Katolik dan kehormatan terhadap Paus semakin merosot, maka Paus Gregorius XI sebagai pemimpin tertinggi seluruh umat Katolik di seluruh dunia, mengambil keputusan untuk kembali ke Roma pada tanggal 17 Januari 1377.

Akibat dari penawanan itu, Paus dianggap sebagai seorang yang memihak, kuasanya yang umum makin hilang. Paus tidak berhasil mendamaikan Perancis dengan Inggris yang sudah hampir seratus tahun berperang. Paus tidak sanggup mempersatukan negara-negara Kristiani untuk mengadakan Perang salib, melawan orang Islam yang pada waktu itu siap sedia menyerang Eropa. Kemewahan rumah tangga kepausan di Avignon meminta biaya yang sangat besar, sehingga Paus mulai menagih pajak yang sangat tinggi dari umat Kristiani.8 Akhirnya, dalam Kolese Kardinal timbul pembentukan partai yaitu satu Partai Perancis dan yang satunya Partai Anti-Perancis. Kedua partai itu saling bertentangan, sehingga dengan munculnya kedua partai itu merupakan penyebab awal mula skisma Barat.

8

3. Skisma Besar Gereja Barat (1378-1417)

Paus Gregorius IX kembali ke Roma dan memimpin di Roma tahun 1377. Namun, setahun kemudian paus meninggal. Orang-orang Roma mulai unjuk rasa karena takut bahwa Paus yang baru akan kembali ke Avignon. Mereka menginginkan agar Paus yang baru itu adalah orang Roma, atau paling tidak orang Italia. Berdasarkan desakan oleh rakyat Roma, maka terpilihlah Bartolomeo Prignano, Uskup Bari, Italia Selatan. Ia tidak hadir di dalam Konklaf karena ia bukan kardinal, namun banyak Kardinal yang cukup mengenal sebab Bartolomeo Prignano sudah bekerja di bawah Paus Gregorius XI.

Paus Urbanus VI sesungguhnya seorang yang baik hati, namun dia kurang lincah dan terlalu anti Perancis. Paus Urbanus VI bertindak kurang bijaksana dan cenderung tidak seimbang. Ia tidak hanya mengkritik para kardinal karena kemewahan mereka, tetapi cara penyampaiannya jauh dari bijaksana. Para kardinal Perancis yang ingin agar Paus baru kembali ke Avignon merasa kecewa dan mereka menyingkir ke Anagni.

Bersama dengan rekan Kardinal Italia dan atas dasar proses pemilihan tiga belas kardinal membuat pernyataan dan mengirim surat kepada Paus dan seluruh umat beriman bahwa pemilihan Paus Urbanus VI tidak sah karena di bawah tekanan massa. Kemudian para Kardinal Perancis dan tiga Kardinal Italia berkumpul di kota Fondi dan memilih Kardinal Robertus dari Geneva yang masih sepupu Raja Perancis, dan menjadi Paus dengan nama Paus Clemens VII pada tanggal 20 September 1378. Setelah gagal mengambil alih Roma, Paus Clemens VII menuju ke Avignon. Dengan ini Gereja Barat terpecah ke dalam dua kubu

yang mengakui Paus Clemens VII yaitu negara Perancis, Spanyol, Skotlandia, dan Napoli. Sedangkan yang mengakui Paus Urbanus VI yaitu negara Italia Selatan, Italia Tengah, Inggris, Irlandia, Bohemia, Polandia, Hongaria, dan Jerman.9 Peristiwa ini menimbulkan suatu kekacauan yang luar biasa karena beberapa negara taat kepada Roma, dan beberapa negara taat kepada Avignon. Keuskupan kebanyakan terjadi dua uskup yang saling bertentangan yaitu satu dari Roma dan satu dari Avignon. Di dalam biara dan di paroki terdapat dua pastor kepala dan dua pimpinan biara. Kedua Paus ini masing-masing memiliki orang-orang kudusnya sendiri, bila Chatarina dari Siena untuk Roma, maka Vincentius Ferrer untuk Avignon. Dengan demikian, kewibawaan Gereja Katolik semakin merosot. Pada tahun 1409, Roma telah mempunyai Paus yang ketiga, sedangkan Avignon terdapat Paus kedua. Berbagai usaha untuk mendamaikan selalu gagal karena pihak Paus dengan gigih tidak mau melepaskan hak mereka yang sudah berlaku. Sebaliknya, baik Paus di Roma maupun di Avignon nampaknya tidak mampu membina kembali kesatuan umat. Hal itu menunjukkan ketidakmampuan Paus untuk memerintah Gereja. Hal itu menimbulkan krisis kekuasaan yang belum dan tak pernah dialami Gereja.10

Munculnya dua orang Paus yang masing-masing menyatakan dirinya wakil Kristus dan pengganti Petrus, menggoncangkan iman di dalam hal kebenaran yang didukung oleh kekuasaan Paus-Paus. Lagipula, hal itu mempermudah tersiarnya teori yang menganjurkan kekuasaan konsili.

4. Muncul Gerakan Konsiliarisme (1409-1460)

9

Fl. Hasto Rosariyanto, op.cit., hlm. 9.

10

Sejak kedudukan Paus semakin merosot, banyak ahli yang memberikan pendapat baru bahwa bukan Paus yang memegang kuasa yang tertinggi dalam Gereja, melainkan konsililah yang mempunyai kuasa tertinggi. Pendapat itu terkenal dengan istilah teori konsilier.11

Teori konsiliar mendasarkan eklesiologinya pada pandangan filosofis yang biasa disebut nominalisme. Menurut pandangan ini, orang beriman yang menjadi dan membangun Gereja, dan oleh karena itu mereka atau para uskup mereka yang berkumpul dalam suatu konsili memiliki otoritas tertinggi dalam semua urusan baik dotrin maupun moral.12

Teori konsilier ini kemudian dipraktekkan oleh beberapa kardinal dari Roma dan dari Avignon. Pada tahun 1409, berkumpulah sejumlah kardinal dari Roma dan Avignon di Pisa, Italia Utara. Dua dewan kardinal ini menyerukan agar diadakan konsili yaitu Konsili Pisa. Konsili ini menurunkan kedua Sri Paus itu dari jabatan mereka dan memilih Paus Alexander V yang wafat pada tahun berikutnya, dan diganti oleh Paus Yohanes XXIII. Namun, karena kedua Paus yang diturunkan dari tahtanya itu tetap memiliki pendukung, mengakibatkan pada waktu yang sama muncul tiga Paus yang memimpin.

Pada tahun 1415, pada Konsili Konstanz, yang diserukan secara besar-besaran atas desakan Kaisar Roma Sigismund. Yohanes XXIII, Paus pilihan Konsili Pisa enggan menyetujui pemanggilan konsili itu, tetapi setelah jelas bahwa seruan itu tidak bersedia mendukung posisinya sebagaimana yang diharapkan, dan lebih mencari diturunkannya ketiga Paus itu dari tahta, maka ia ketakutan dan lari.

11

Kleopas Laarhoven, op.cit., hlm. 71.

12

Kaisar Roma Sigismund berhasil mengusahakan Konsili di Konstanz di mana Paus Yohanes XXIII, pengganti Paus Alexander V sebagai Paus tandingan di Pisa mudah dipaksa untuk turun tahta. Paus Gregorius, Paus Roma melepaskan kedudukannya dengan sukarela, sedangkan Paus Benediktus tetap bersikeras menolak, akan tetapi pendukungnya hanya sedikit dan hanya empat kardinal. Dalam sidang kardinal memilih Paus Martinus V. Dengan demikian berakhirlah skisma Barat.13

Paus Martinus V mengalami adanya ketegangan antara arus bawah dan arus atas di dalam Gereja. Ketegangan ini tentu saja menghambat pelaksanaan keputusan konsili untuk reformasi. Pada tahun 1431, Paus Martinus V memanggil Konsili Basel. Konsili Basel ini dibuka oleh penggantinya, Eugenius IV (1431-1447). Tanda-tanda semakin kuatnya konsiliarisme langsung terasa dan dalam bentuk yang lebih radikal yaitu dekrit-dekrit Konsili Konstanz tentang superiotas konsili terhadap Paus dikonfirmasi.14

Untuk menyembuhkan diri dari skisma, dan juga untuk mereformasi Gereja, gerakan konsiliarisme tampil ke depan, sambil mengharapkan bahwa sebuah konsili seluruh Gereja dapat memastikan Paus manakah yang sah. Gerakan ini berhasil mengakhiri skisma, dan semua pihak menyetujui satu Paus. Tetapi, kemudian konsili sendiri terbagi sedemikian rupa sehingga saat itu ada satu Paus dan ada dua konsili. Para Paus juga segera terpengaruh oleh semangat renaissance, yang membuat mereka lebih cenderung menaruh perhatian pada usaha memperindah kota Roma, membangun istana-istana indah, dan menyatakan

13

Norman P Tanner, Konsili-konsili Gereja Sebuah Sejarah Singkat, Yogyakarta, Yayasan Kanisius, 2003, hlm. 84.

14

perang terhadap sejumlah orang berkuasa di Italia, daripada berusaha meningkatkan kehidupan spiritual mereka.15

B. Krisis Rohani dan Merosotnya Semangat Keagamaan

Zaman antara tahun 1300-1517, kehidupan masyarakatnya banyak dipengaruhi oleh pendapat-pendapat dan ide-ide yang tidak berasal dari latar belakang Kristiani. Hal itu menyebabkan orang-orang mulai berpikir secara sendiri-sendiri dan lebih bebas. Akibat-akibatnya bukan hanya kelihatan dalam bidang politik, melainkan juga dalam hidup rohani orang Kristiani16

Menjelang akhir abad ke-13, iman umat Katolik betul-betul kuat dan Gereja sebagai lembaga sangat kuat. Tetapi, pada abad ke-15 semangat iman berkurang, karena Gereja menjadi kaya dan terlibat dalam banyak urusan duniawi. Selain itu, kerusuhan politik, sosial, dan ekonomi mengubah pola hidup masyarakat. Dengan demikian, hal tersebut turut menyebabkan semangat keagamaan merosot.

Sejak puncak Abad Pertengahan, dua abad sebelumnya, Eropa telah terjatuh ke dalam masa-masa yang sulit. Inggris berperang dengan Perancis selama 100 tahun. Para bangsawan Inggris mengadakan komplotan dan saling berperang di negeri sendiri untuk memperebutkan mahkota kerajaan. Para petani di Perancis, Inggris, maupun Jerman berontak melawan tuannya untuk menuntut kebebasan yang lebih besar dan kehidupan yang lebih nyaman. Rakyat yang terikat kepada tanah dan tunduk kepada ulah tingkah alam selalu percaya kepada takhayul. Mereka cenderung untuk membujuk dewa-dewi yang tak dapat diduga

15

Eddy Kristiyanto, op.cit., hlm. 24.

16

kemauannya dengan jampi-jampi dan mengusir setan jahat dengan kutukan. Ketakutan terjadi dimana-mana.17

Kaum awam bersaing dengan kaum rohaniawan, untuk menarik diri dari pola theologis dan memperkembangkan menempuh arah menurut kodrat, dan mulailah renaissance. Akan tetapi, religiositas mereka agak kurang sehat dan tidak seimbang. Kehidupan pada waktu itu tidak mampu menghindarkan terjadinya keruntuhan yang mendalam di lapangan moral, baik dalam penghayatan perkawinan maupun dalam melaksanakan cinta kasih terhadap sesama, dalam segi cara hidup dan peradaban lahir.18

Krisis rohani yang terjadi pada Abad Pertengahan sungguh memprihatikan. Devosi yang dilakukan pada akhir Abad Pertengahan cenderung untuk melepaskan diri dari ajaran iman, padahal iman merupakan yang menjadi dasar utama. Terjadi pula pemberontakan kehidupan politik melawan Paus dan pemberontakan akal budi melawan ajaran-ajaran iman, terutama terdapat pemberontakan perasaan melawan agama yang resmi yaitu Katolik.

Banyak bentuk devosi, yang pertumbuhannya harus dilawan oleh Gereja sejak permulaan Abad Pertengahan, namun tidak dapat dikendalikan oleh Gereja. Devosi justru berkembang dengan cara yang kadang-kadang sangat mencolok, yang tidak jarang menyeret kepada hal-hal takhayul. Pemujaan orang-orang kudus adalah salah satu diantaranya. Penjualan barang-barang relikwi tumbuh menjadi perdagangan dunia. Toko-toko besar terdapat sampai Konstantinopel. Persembahan misa kudus tidak begitu menarik perhatian, kecuali pada hari-

17

Edith Simon, op.cit., hlm. 11.

18

hari raya di luar Gereja.19

Kekrisisan rohani masih tetap berkelanjutan pada abad ke-16. Hal ini dikarenakan pada masa itu banyak terjadi bencana yang berlangsung terus menerus yaitu bencana perang, kelaparan, penyakit pes, dan pemerasan. Orang-orang pada abad ke-16 mulai mencari jalan keluar demi menyelesaikan bencana tersebut. Masyarakat bukannya memperkuat iman kepercayaan mereka kepada Allah dan berserah diri agar dilindungi dan diselamatkan dari bencana tersebut. Tetapi, masyarakat mulai meragukan kepercayaan akan iman, dan mempercayakan pada takhayul, ilmu tenung, dan ahli nujum.

Hidup keagamaan dalam Gereja juga sangat dipengaruhi oleh gejala percaya kepada takhayul. Penghormatan orang kudus dipengaruhi oleh takhayul, relikwi-relikwi banyak dipakai sebagai jimat dan diperdagangkan. Cerita-cerita ganjil tentang orang kudus jauh lebih laku daripada isi dari Injil. Perayaan misa dihadiri hanya supaya tidak berbuat dosa yang berat. Lukisan-lukisan ngeri tentang orang mati dan neraka dianggap sebagai senjata terakhir supaya membuat orang bertobat.

Kota Roma pada abad ke-16 terlihat sebagai kota yang megah dan memiliki keindahan tata kotanya. Di kota tersebut terdapat monumen-monumen orang suci dan martir, berpuluh-puluh Gereja dan beberapa makam orang suci. Pada abad ke-16, melakukan perjalanan ziarah merupakan pekerjaan yang melelahkan, karena menurut adat pada waktu itu orang mengunjungi ketujuh Gereja besar Roma dalam satu hari saja. Peziarah harus berpuasa agar dapat

19

menerima Ekaristi pada akhir putaran perjalanannya. Ritual ini tidak menjadi masalah bagi peziarah yang berasal dari luar Roma, tetapi yang menjadi permasalahan kemegahan istana-istana para kardinal yang memamerkan kemewahan dan terlebih kehidupan para Paus yang lebih memikirkan masalah-masalah kenegaraan daripada hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan rohani.20 Kehidupan orang-orang asli yang tinggal di Roma sama saja dengan kehidupan Pausnya yaitu lebih mementingkan hal-hal duniawi, dibandingkan kehidupan rohani mereka yang semakin merosot. Orang-orang tidak mempedulikan dan tidak tergerak oleh arti kudus kota Roma, mereka juga menertawakan kesalehan orang-orang di Eropa Utara, dan mereka juga mengolok-olok mengenai upacara-upacara Gereja.

Sementara kesalehan diabaikan di Roma, uang menjadi penentu segala sesuatu di Roma. Pelacur, dukun, dan pengemis jalanan ramai memenuhi jalanan. Kelambanan daerah Selatan dan tata cara Latin tidak menghambat sang imam Italia itu untuk mempersembahkan misa tujuh kali dalam waktu yang diperlukan oleh seorang imam yang saleh untuk mempersembahkan misa satu kali, setiap misa menghasilkan imbalan uang.21

C. Penyelewengan Wewenang Gereja

Kemunduran kehidupan rohani dan merosotnya semangat keagamaan menunjukkan kegagalan kaum rohaniwan, sebab kaum rohaniwan biasanya terpandang di masyarakat dan menjadi teladan bagi masyarakat umum.

20

Edith Simon, op.cit., hlm. 18.

21

Kegagalan kaum rohaniwan ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:

Dokumen terkait