• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak

4.2 Keadaan Lapangan

Keadaan hutan dalam KPH Bojonegoro berada pada lapangan yang datar sampai miring, makin ke selatan mendekati Gunung Pandan keadaan lapangan makin bergelombang sampai berbukit-bukit dan terpisah-pisah oleh jurang dengan ketinggian 100 – 900 m dpl. Bagian selatan dari Bagian Hutan Cerme, Temayang, dan Deling keadaan lapangannya sangat berbukit-bukit dan terpisah-pisah oleh jurang yang dalam, ditambah dengan jenis tanahnya yang mudah longsor (tanah mergel), mengakibatkan keadaan tegakan hutannya menjadi kurang baik.

Di bagian utara formasi geologinya berbeda, keadaan lapangan agak mendatar dimana akan membawa pengaruh terhadap kesuburan tempat tumbuh, kesimpulannya keadaan hutannya di bagian timur adalah lebih baik daripada yang ada di bagian selatan.

4.3 Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu daerah tertentu yang berbentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan suatu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam

fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber-sumber air lainnya yang penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum-hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut (PP. 33 tahun 1970, pasal 1, ayat 13), tentang Perencanaan Hutan.

DAS Bengawan Solo merupakan DAS yang terluas di Pulau Jawa, yaitu dengan sungai sepanjang kurang lebih 600 km mempunyai daerah aliran seluas 1.610.000 ha. KPH Bojonegoro seluruhnya berada pada DAS Bengawan Solo tersebut atau merupakan 3 % dari luas DAS, sebagai KPH terluas diantara KPH-KPH yang ikut menyusun DAS Bengawan Solo.

4.4 Tanah

Bagian utara adalah lapisan kapur dimana terdapat fosil-fosil yang turut membentuk lapisan kapur dan batu pasir. Tanah-tanah kapur yang berasal dari batu kapur bercampur dengan batu pasir terdapat di Bagian Hutan Ngorogunung, Dander, dan Deling bagian utara, bagian barat daya, timur, dan selatan utamanya di Bagian Hutan Clangap, Temayang, Cerme, dan Deling.

Bagian selatan adalah lapisan mergel, yang pelapukannya menjadi tanah margalit yang liat/lengket dan berwarna putih kelabu sampai kelabu kehitam-hitaman. Mergel yang bercampur dengan batu kapur, pasir dalam pelapukannya menjadi tanah mergel berpasir, berwarna coklat atau kelabu dan mempunyai susunan butir tanah yang baik, tanah tersebut baik untuk pertumbuhan jati.

Pada lembah Kali Gondang, Kali Tretes dan bagian atas Kalitidu adalah tanah liat hitam, yang keadaannya sedang sampai baik, dimana jati dapat tumbuh dengan cukup baik. Di bagian paling selatan mendekati Gunung Pandan, tanah berasal dari pelapukan breccie yang dangkal, berwarna hitam dan perlu dilindungi dari erosi. Di bagian Tenggara dari Bagian Hutan Deling terdapat pula tanah-tanah berasal dari pelapukan Tuf yang baik untuk jati.

4.5 Iklim

Iklim wilayah KPH Bojonegoro mempunyai perbedaan yang jelas antara musim hujan dengan musim kemarau. Dari stasiun pengamat hujan yang berada di sekitar hutan diperoleh kriteria bulan basah, bulan lembab, dan bulan kering.

Menurut SCHMIDT dan FERGUSON (1951), kriteria bulan basah, bulan lembab, dan bulan kering adalah sebagai berikut :

a) Bulan basah, dengan curah hujan : > 100 mm/bln b) Bulan lembab, dengan curah hujan : 60 – 100 mm/bln c) Bulan kering, dengan curah hujan : < 60 mm/bln.

Berdasarkan perbandingan bulan basah dan bulan kering, maka SCHMIDT dan FERGUSON menetapakan tipe iklim di Indonesia dengan mempergunakan rumus nilai Q sebagai berikut :

Jumlah rata-rata bulan kering

Q = x 100 % Jumlah rata-rata bulan basah

Berdasarkan jumlah rata-rata bulan kering dan bulan basah, maka dapat diketahui tipe iklim wilayah KPH Bojonegoro tahun 1992 s/d 2000 adalah sebagai berikut :

Jumlah rata-rata bulan kering

Q = x 100 % Jumlah rata-rata bulan basah

36,6

= x 100 % 59

= 62 % (termasuk tipe iklim D).

Sesuai dengan kriteria SCHMIDT dan FERGUSON, iklim wilayah KPH Bojonegoro termasuk tipe iklim D.

4.6 Sosial Ekonomi

a. Pengembangan Desa Hutan

Tingkat kemampuan suatu desa dalam penyelenggaraan yang berkaitan dengan sosial ekonomi dinyatakan dengan tingkat pengembangan desanya dengan status swakarya, swadaya, dan swasembada. Hutan sebagai bagian dari lingkungan himpunan masyarakat di sekitar hutan, maka kawasan dari tingkat desa-desa itu akan berpengaruh yang berbeda pula mengenai sikap masyarakatnya terhadap hutan. Jumlah desa hutan di wilayah Perhutani KPH Bojonegoro sebanyak 139 desa, 4 desa swakarya, 3 desa swadaya, dan 132 desa swasembada.

b. Penyebaran Penduduk

Jumlah penduduk dalam kecamatan-kecamatan yang masuk dalam wilayah kerja KPH Bojonegoro ± 420.969 orang terdiri dari 49,7 % dan 50,3 % perempuan.

c. Mata Pencaharian

Mata pencaharian penduduk dekat wilayah hutan KPH Bojonegoro adalah sebagai petani, pedagang, industri/kerajinan, buruh, pegawai/TNI, dan lain-lain.

4.7 Bagian Hutan

Bagian Hutan adalah suatu areal hutan yang ditetapkan sebagai Kesatuan Produksi dan Kesatuan Eksploitasi. Dengan demikian diharapkan dapat menghasilkan kayu setiap tahun secara terus-menerus, dalam jumlah yang memenuhi syarat pengelolaan hutan yang baik dan sesuai dengan azas kelestarian hutan. KPH Bojonegoro wilayah hutannya seluas 50.145,4 ha, dibagi dalam enam Bagian Hutan yaitu :

a. Bagian Hutan Clangap luas 3.475,8 ha b. Bagian Hutan Dander luas 6.181,6 ha c. Bagian Hutan Ngorogunung luas 7.427 ha d. Bagian Hutan Cerme luas 8.459,7 ha e. Bagian Hutan Temayang luas 15.713,4 ha

f. Bagian Hutan Deling luas 8.887,9 ha

Masing-masing Bagian Hutan ini dibagi dalam petak-petak yang berfungsi sebagai kesatuan manajemen dan kesatuan administrasi, dengan demikian petak harus memenuhi syarat, antara lain : luasnya tertentu, lokasinya, batas dan nomornya tetap. Lokasi petak tersebut dibatasi dengan alur yang dibuat sedemikian rupa, sehingga pada saatnya dapat ditingkatkan sebagai jalan angkutan.

4.8 Tegakan

KPH Bojonegoro adalah merupakan kelas perusahaan jati yang didominasi oleh tanaman jati dan juga terdapat tanaman Mahoni, Sonokeling, Sonosiso, Sonobrit,

Gmelina arborea dan Johar. KPH Bojonegoro dengan alamnya yang baik untuk pertumbuhan jati. Posisi distribusi jenis tanman di KPH Bojonegoro adalah jenis- jenis :

a. Jati : 87 % b. Mahoni : 7 % c. Sonokeling : 2 % d. Rimba : 3 %

Dalam pengelolaan direncanakan jenis-jenis yang presentasenya kecil akan dirombak menjadi jenis jati paling tidak diganti jenis-jenis yang merupakan substitusi kayu jati misalnya mahoni atau sonokeling.

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Struktur Kelas Hutan

KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Bojonegoro merupakan kelas perusahaan jati berdasarkan jenis kayu dan ditetapkan sebagai kelas perusahaan tebang habis berdasarkan bentuk tebangan. Struktur kelas hutan KPH Bojonegoro selama empat jangka terakhir yaitu jangka 1975-1984, 1982-1991, 1992-2001, dan 2002-2011 dievaluasi dengan menggunakan metode pengaturan hasil (metode Burns) dengan mempertimbangkan berbagai kondisi tingkat kerusakan, sehingga dapat diprediksi kelestarian tegakan dan kelestarian produksi kayu jati KPH Bojonegoro.

Data pada Tabel 1. menyajikan daftar struktur kelas hutan KPH Bojonegoro selama empat jangka terakhir, baik kelas hutan produktif maupun kelas hutan non produktif. Perubahan luas wilayah KPH Bojonegoro dari 50.099,8 ha menjadi 50145,4 ha mulai jangka 1992-2001 disebabkan karena mulai jangka tersebut ada pengaturan kembali beberapa wilayah kerja RPH mengenai luas dan jumlah petak hutannya serta pemisahan wilayah RPH Ringinanom dari BKPH Clangap digabungkan ke BKPH Nglambangan. Penurunan luas hutan produktif terlihat pada jangka 2002-2011, sebagai akibat besarnya tingkat kerusakan pada jangka 1992-2001.

Gambaran luas hutan produktif selama empat jangka dibanding dengan kondisi saat ini adalah sebagai berikut :

1. Jangka perusahaan tahun 1975 – 1984 : ( 32673,4 : 50099,8 ) x 100 % = 65 % 2. Jangka perusahaan tahun 1982 – 1991 : ( 35816,2 : 50099,8 ) x 100 % = 71 % 3. Jangka perusahaan tahun 1992 – 2001 : ( 35996,8 : 50145,4 ) x 100 % = 72 % 4. Jangka perusahaan tahun 2002 – 2011 : ( 26187,2 : 50145,4 ) x 100 % = 52 % 5. Kondisi saat ini tahun 2007 : ( 30705,8 : 50145,4 ) x 100 % = 61 %

Dari kondisi struktur kelas hutan tersebut dapat disimpulkan bahwa dinamika tegakan yang mungkin terjadi, meliputi : alih tumbuh (perpindahan tegakan dari suatu kelas umur ke kelas umur di atasnya), kerusakan dan penurunan potensi tegakan (adanya gangguan hutan dapat menyebabkan hilangnya luasan suatu tegakan kelas umur untuk tumbuh menjadi tegakan kelas umur berikutnya), dan penambahan

tanaman baru (luasan areal non produktif yang ditanami dan menjadi tegakan kelas umur I pada jangka berikutnya) (Perum Perhutani 2007).

Tabel 1 Struktur kelas hutan KPH Bojonegoro dari tahun 1975 sampai 2007

Kelas hutan Luas areal (ha) pada tiap jangka

I (1975-1984) II (1982-1991) III (1992-2001) IV (2002-2011) V (2007) a. Produktif

Kelas umur I (1-10) 10492,2 12084,9 4729,7 6460,9 18390,7 Kelas umur II (11-20) 5760,6 8511,1 9638,6 4725,9 3767,7 Kelas umur III (21-30) 2464,9 4340,8 6630,3 6136,3 3600,3 Kelas umur IV (31-40) 2103,6 1889,5 3691,8 3073,2 2010,2 Kelas umur V (41-50) 1936,1 1573,9 1492,1 1537,4 755,1 Kelas umur VI (51-60) 1784,9 1688,0 1361,2 477,3 396,0 Kelas umur VII (61-70) 2773,9 1872,7 1444,9 597,2 82,1 Kelas umur VIII (71-80) 1537,7 1212,7 947,7 462,4 144,3 Kelas umur IX (81-90) 117,1 280,8 70,0 6,3 16,9 Kelas umur X (91-100)

Masak tebang 1135,7 7,9

Miskin riap 3702,4 1226,1 863,7 1158,4 1542,5 Hutan alam jati miskin riap

(HAJMR) 5118,9 1551,9

Jumlah produktif (a) 32673,4 35816,2 35996,8 26187,2 30705,8

b. Non-produktif

Lapangan tebang habis jangka

lampau (LTJL) 1225,3 516,5 497,4 451,3 46,1 Tanaman kayu lain (TKL) 4,3 1763,4 9187,8 1056,7 Tanah kosong (TK) 1044,7 9,2 1231,6 974,6 4490,7 Hutan alam kayu lain (HAKL) 888,3 356,4 374,6 132,9 90,2 Tanaman jati bertumbuhan

kurang (TJBK) 1131,4 17,0 2975,8 5041,1 8530,0 Hutan alam jati bertumbuhan

kurang (HAJBK) 114,3 171,3 846,0 1487,5 Tidak baik untuk perusahaan

tebang habis (TBPTH) 7588,4 7586,8 779,5 777,3 661,5 Tanah kosong tidak baik untuk

jati (TKTBJ) 301,5 29,3 80,0 14,2 Hutan alam kayu lain tidak baik

untuk jati (HAKLTBJ) 260,5 100,6 Tanaman jati merana (TJM) 124,4

Tanaman jenis kayu lain

(TJKL) 2381,6 3040,8 3072,8 3146,5 1884,1 Hutan lindung terbatas (HLT) 5,7

Tidak baik untuk penghasilan

(TBP) 635,5 670,3 694,6 193,3 197,2 Lapangan dengan tujuan

istimewa (LDTI) 126,8 219,6 821,9 805,9 Suaka alam (SA)

Hutan lindung (HL) 1120,5 1070,1 1051,4 1051,4 1050,4 Alur 610,0 607,8 612,6 612,6 612,6

Jumlah non-produktif (b) 17426,4 14283,6 14148,6 23958,2 19439,6

Total (a+b) 50099,8 50099,8 50145,4 50145,4 50145,4

Sumber : Buku RPKH jangka 1975-1984, buku RPKH jangka 1982-1991, bukuRPKH jangka 1992- 2001, buku RPKH jangka 2002-2011 dan Hasil Audit 2007

Tegakan pada kelas umur I, kelas umur II, dan kelas umur III yang mengalami kerusakan menjadi tanah kosong (TK) dan tanaman jati bertumbuhan kurang (TJBK). Sementara untuk tegakan kelas umur IV, kelas umur V, dan kelas umur VI yang mengalami kerusakan selain menjadi tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang, juga mengalami penurunan potensi tegakan menjadi miskin riap (MR).

Penurunan luas hutan produktif diduga terjadi karena adanya pencurian yang terus-menerus dan penjarahan terutama pada kelas umur III ke atas. Untuk mendapat gambaran seberapa besar tingkat kelestarian dan tingkat kerusakan dinamika tegakan jati KPH Bojonegoro maka dibandingkan kondisi kelas umur pada tahun t dan setelah tumbuh menjadi kelas umur berikutnya pada tahun t + 10.

5.2 Tingkat Kelestarian dan Kerusakan

Tingkat kelestarian dan kerusakan yang digambarkan berdasarkan kondisi tegakan selama periode 1975-2007 digunakan dalam memprediksi luas suatu kelas umur yang beralih menjadi kelas umur berikutnya ataupun yang rusak menjadi tanah kosong, tanaman jati bertumbuhan kurang, dan miskin riap.

Berdasarkan struktur kelas hutan dari tahun 1975 sampai 2007 dapat dihitung besarnya tingkat kelestarian dan kerusakan kelas hutan KPH Bojonegoro seperti tertera pada Tabel 2. Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat kerusakan terbesar terdapat pada kondisi III-IV dan IV-V. Hal ini disebabkan karena kondisi hutan pada saat itu merupakan kondisi hutan setelah masa reformasi atau kondisi terburuk dengan laju kerusakan terbesar dan tidak terkendali. Jika dilihat dari struktur kelas hutan pada kondisi III-IV dan IV-V lebih kecil potensi kelas umur muda dan kelas umur tua dibanding pada kondisi I-II dan II-III.

Menurut Perum Perhutani (2007), untuk keperluan proyeksi pada berbagai tingkat gangguan hutan dapat ditentukan nilai rata-rata tingkat kelestarian dan kerusakan yang mencerminkan kondisi normal (rata-rata dari persentase kelestarian atau kerusakan dari tahun 1968 hingga 1991), harapan (kondisi normal tetapi persentase kerusakan pada tiap kelas umur ditargetkan maksimum 20 % per jangka atau 2% per tahun), dan pesimis (rata-rata / terboboti perbedaan lama jangka dari

persentase kelestarian atau kerusakan dari tahun 1991 hingga 2006). Oleh sebab itu, kondisi I-II dan II-III dikelompokkan menjadi kondisi normal karena tingkat kelestarian pada kondisi tersebut lebih besar, sedangkan kondisi III-IV dan IV-V. merupakan kondisi pesimis disebabkan tingkat kelestarian yang lebih kecil.

Tabel 2 Persentase tingkat kelestarian dan kerusakan hutan di KPH Bojonegoro selama periode 1975-2007

No. Kelas Umur Tingkat kelestarian (%) Tingkat kerusakan (%) I-II II-III III-IV IV-V I-II II-III III-IV IV-V

1 Kelas umur I (1-10) - - - - - - -

2 Kelas umur II (11-20) 81,1 79,8 99,9 58,3 18,9 20,2 0,1 41,7

3 Kelas umur III (21-30) 75,4 77,9 63,7 76,2 24,6 22,1 36,3 23,8

4 Kelas umur IV (31-40) 76,7 85,0 46,4 32,8 23,3 15,0 53,6 67,2

5 Kelas umur V (41-50) 74,8 79,0 41,6 24,6 25,2 21,0 58,4 75,4

6 Kelas umur VI (51-60) 87,2 86,5 32,0 25,8 12,8 13,5 68,0 74,2

7 Kelas umur VII (61-70) 100,0 85,6 43,9 17,2 0,0 14,4 56,1 82,8

8 Kelas umur VIII (71-80) 43,7 50,6 32,0 24,2 56,3 49,4 68,0 75,8

Keterangan : I = jangka 1975-1984, II = jangka 1982-1991, III = jangka 1992-2001, IV = jangka 2002-2011

Data pada Gambar 2. menjelaskan bahwa kondisi harapan dengan tingkat kerusakan maksimum 2 % per tahun, tingkat kelestariannya lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi normal dan pesimis.

Gambar 2 Tingkat kelestarian kelas hutan atas kelas umur pada kondisi ideal, harapan, normal, dan pesimis untuk proyeksi tegakan di KPH Bojonegoro.

Tingkat kelestarian yang ditunjukkan kondisi normal pada kelas umur VII-VIII mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena pada kelas umur VII ke atas banyak tanaman yang tidak berhasil tumbuh menjadi kelas umur berikutnya pada jangka selanjutnya serta adanya gangguan keamanan. Selain itu, kelas umur VII ke atas

I-II II-III III-IV IV-V V-VI VI-VII VII-VIII Ideal 100 100 100 100 100 100 100 Harapan 80,3 80,0 81,6 80,0 86,8 91,5 80,0 Normal 80,3 76,9 81,6 77,3 86,8 91,5 47,8 Pesimis 86,1 67,8 41,8 36,0 29,9 35,0 29,4 0 20 40 60 80 100 120 T in gk at k el es tar ian ( % ) (al ih t u m b u h , % )

merupakan kelas umur yang sudah layak ditebang, mengingat daur yang digunakan KPH Bojonegoro adalah 60 tahun. Tingkat kerusakan berdasarkan kelas hutan KPH Bojonegoro selama periode 1975-2007 yang mencerminkan kondisi ideal, harapan, normal, dan pesimis ditunjukkan pada Gambar 3. Tingkat kerusakan ini menggambarkan adanya gangguan hutan yang dapat menyebabkan hilangnya luasan suatu tegakan kelas umur untuk tumbuh menjadi tegakan pada kelas umur berikutnya. Dalam hal ini, kondisi ideal disertakan sebagai pembanding yang menunjukkan kondisi hutan tanpa disertai faktor kerusakan.

Gambar 3 Tingkat kerusakan kelas hutan atas kelas umur pada kondisi ideal, harapan, normal, dan pesimis untuk proyeksi tegakan di KPH Bojonegoro.

Data pada Gambar 3. menjelaskan bahwa tingkat kerusakan paling besar terjadi pada kondisi pesimis. Kondisi paling kritis yang ditunjukkan pada kondisi pesimis, menunjukkan tingkat kerusakan sebesar 70,6 %. Hal ini disebabkan semakin besar gangguan hutan pada kelas umur tua (kelas umur VII ke atas) karena selain kelas umur tersebut rawan terhadap pencurian, kelas umur VII ke atas sudah layak tebang sesuai daur yang digunakan KPH Bojonegoro.

Persentase tingkat kerusakan pada kelas umur I, kelas umur II, dan kelas umur III (Gambar 3.) menunjukkan besarnya potensi tanah kosong yang akan ditanami pada jangka berikutnya. Untuk kelas umur IV ke atas, total persentase tingkat kerusakan tersebut masih menunjukkan total potensi tanah kosong, tanaman jati bertumbuhan kurang, dan miskin riap.

I-II II-III III-IV IV-V V-VI VI-VII VII-VIII Ideal 0 0 0 0 0 0 0 Harapan 19,7 20,0 18,4 20,0 13,2 8,5 20,0 Normal 19,7 23,1 18,4 22,7 13,2 8,5 52,2 Pesimis 13,9 32,2 58,2 64,0 70,1 65,0 70,6 0 10 20 30 40 50 60 70 80 T in gk at k er u sak an ( % )

Data hasil audit sumberdaya hutan tahun 2007 pada Tabel 3. menunjukkan bahwa dari total luas tegakan berumur 40 tahun ke atas terdapat 89,4 % areal tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang dan 10,6 areal miskin riap. Besarnya potensi tanah kosong dan miskin riap diakibatkan karena kurangnya pemeliharaan dan pengamanan terhadap tegakan jati yang ada di KPH Bojonegoro.

Tabel 3 Luas dan persentase tanah kosong, tanaman jati bertumbuhan kurang dan miskin riap berdasarkan hasil audit sumberdaya hutan tahun 2007

Kelas hutan Luas (ha) Persentase (%)

Miskin Riap (MR) 1542,5 10,6

Tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan

kurang (TK dan TJBK) 13020,7 89,4

Jumlah 14563,2 100,0

Dugaan penurunan potensi hutan akibat kerusakan atau gangguan keamanan hutan ini tercermin dari meningkatnya kelas hutan tanah kosong (TK) dan tanaman jati bertumbuhan kurang (TJBK) yang cukup tinggi. Data realisasi dan rencana pada Tabel 4. menunjukkan persentase penambahan luas tanaman baru pada awal jangka 1992-2001 diasumsikan sebesar 38,4 % dan pada jangka 2002-2011 diasumsikan sebesar 57,7 % dari total luas areal non produktif (tanah kosong, tanaman jati bertumbuhan kurang, dan bekas tebangan), sehingga diperoleh rata-rata potensi tanaman baru (kelas umur I) yaitu sebesar 48,1 %. Hal ini menunjukkan bahwa hanya 48,1 % dari total kerusakan pada jangka sebelumnya yang ditanami kembali menjadi kelas umur I, sedangkan sisanya masih berupa tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang pada awal jangka berikutnya. Hal ini cukup logis karena pada jangka sebelumnya selalu ada areal non produktif yang tidak sepenuhnya dapat ditanami kembali menjadi kelas umur I pada jangka berikutnya.

Data realisasi luas tebangan dan tanaman jati selama periode 1992-2007 di KPH Bojonegoro disajikan pada Tabel 5. Data realisasi luas tebangan pada jangka 1992-2001 lebih besar daripada luas tanaman sehingga proporsi tanam terhadap tebangan sebesar 77,3 %. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan tanam tidak menutupi semua lahan yang telah ditebang.

Tabel 4 Persentase penambahan luas tanaman baru (kelas umur I) berdasarkan data rencana dan realisasi mulai tahun 1982-2011

Jangka RPKH

Lama jangka (tahun)

Luas awal jangka (ha) Luas tebangan (ha) Potensi rehabilitasi Luas kelas umur I (ha) jangka berikut Proporsi (%) kelas umur I / rehabilitasi TK TJBK A2 B+D 1992-2001 10 1231,6 2975,8 3872,0 4225,0 12304,0 4729,7 38,4 2002-2011 6 974,6 5041,1 1110,0 4064,0 11189,7 6460,9 57,7

Hasil realisasi selama enam tahun pada jangka 2002-20011 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan luas areal tanaman jati bahkan melebihi luas tebangan. Sehingga proporsi luas tanaman terhadap luas tebangan yang diperoleh meningkat sebesar 292,7 %. Hal ini menandakan adanya upaya penanaman dalam upaya meningkatkan potensi dan produksi jati.

Tabel 5 Rekapitulasi realisasi luas tebangan dan tanaman jati selama periode 1992- 2007 di KPH Bojonegoro

Luas tebangan Luas tanaman (ha) Proporsi Jangka

RPKH Tahun A2 (ha) B+D (ha) Proporsi B/A (%) Tumpangsari Banjar harian Total

tanam/tebang (%) 2002- 2011 2011 2010 2009 2008 2007 111 496 446,8 4832 4832 796,0 2006 237 157 66,2 2866 2866 727,4 2005 87 976 1121,8 1596 1596 150,1 2004 212 1299 612,7 1615 1615 106,9 2003 178 671 377,0 1018 1018 119,9 2002 285 465 163,2 3218 3218 429,1 Jumlah 1110,0 4064,0 366,1 15145,0 292,7 1992- 2001 2001 431 628 145,7 1376 1376 129,9 2000 408 418 102,5 1047 1047 126,8 1999 357 120 33,6 750 750 157,2 1998 470 53 11,3 469 469 89,7 1997 313 426 136,1 633 633 85,7 1996 474 458 96,6 422 422 45,3 1995 382 399 104,5 544 544 69,7 1994 432 603 139,6 534 534 51,6 1993 306 1120 366,0 482 482 33,8 1992 299 518 Jumlah 3872 4225 109,1 6257 77,3 Sumber : Buku Statistik Perum Perhutani Unit II Jawa Timur

5.3 Kelestarian Tegakan

Data hasil audit sumberdaya hutan tahun 2007 akan diprediksi kondisi struktur kelas hutan dan hasil (luas dan volume) tebangan untuk lima jangka ke depan. Dalam kajian ini akan dimasukkan berbagai kondisi tingkat kerusakan hutan, baik yang mencerminkan kondisi normal, harapan, maupun kondisi pesimis. Di samping itu, untuk memperoleh perbandingan maka dalam kajian ini disertakan kondisi ideal (tanpa faktor kerusakan).

Tegakan suatu hutan dikatakan lestari jika penyebaran kelas umur tegakan merata. Sehingga jika tegakan dimanfaatkan secara lestari maka setelah dilakukan penebangan, potensi tegakan tidak berkurang dibanding dengan sebelum dilakukan penebangan dan tebangan tahunan tidak mengurangi kapasitas hasil (Simon 2000). Pengelolaan hutan lestari berdasarkan aspek produksi menunjukkan terjaminnya keberlanjutan pemanfaatan hasil hutan dan usahanya.

Struktur kelas hutan pada jangka mendatang diprediksi dengan cara mengalikan luas masing-masing kelas hutan pada jangka sebelumnya dengan persentase tingkat kelestarian. Luas suatu kelas umur yang rusak menjadi tanah kosong, tanaman jati bertumbuhan kurang, atau miskin riap diprediksi dari persentase tingkat kerusakannya, sehingga potensi tanaman baru yang akan ditanam kembali menjadi kelas umur I berasal dari perkalian persentase penambahan tanaman baru terhadap besarnya potensi kerusakan.

Kondisi hutan KPH Bojonegoro berdasarkan hasil prediksi struktur kelas hutan yang menggambarkan kondisi ideal disajikan pada Gambar 4. Potensi tegakan pada kondisi ideal pada dasarnya tidak menunjukkan adanya pengurangan potensi tegakan meskipun dilakukan penebangan pada jangka sebelumnya. Hal ini dikarenakan pada kondisi ini tidak memasukkan faktor kerusakan dalam memprediksi struktur kelas hutan, sehingga tiap tahunnya tanaman dianggap berhasil tumbuh. Meskipun demikian, terlihat bahwa struktur kelas hutan pada kondisi ini tidak menyebar merata. Potensi tegakan pada kelas umur muda lebih besar dibanding pada kelas umur tua. Hal ini diakibatkan proyeksi kondisi hutan yang digunakan pada awal jangka prediksi

menunjukkan kondisi hutan terakhir dari KPH Bojonegoro yang penyebaran kelas umurnya tidak merata.

Areal non produktif (tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang) masih terdapat pada kondisi ini meskipun semakin berkurang selama jangka prediksi. Hal tersebut cukup logis mengingat masih terdapat areal non produktif yang tidak sepenuhnya ditanami kembali pada jangka sebelumnya.

Gambar 4 Prediksi struktur kelas hutan pada kondisi ideal.

Konsep kelestarian yang digambarkan sebagai hutan normal sulit tercapai, namun bisa tercapai dalam jangka waktu tertentu. Kondisi hutan yang ideal tanpa faktor kerusakan hampir tidak mungkin dapat dicapai, sehingga persentase kerusakan pada tiap kelas umur ditargetkan maksimum 20 % per jangka (2 % per tahun). Kondisi hutan dengan nilai kerusakan tersebut dicerminkan sebagai kondisi harapan.

Prediksi struktur kelas hutan dengan angka kerusakan harapan (persentase kerusakan ditargetkan maksimum 2 % per tahun) seperti terlihat pada Gambar 5. menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pada kelas hutan produktif. Potensi kelas umur tua mengalami peningkatan tiap jangka sehingga besarnya potensi areal tebang meningkat. Hal ini disebabkan semakin merata penyebaran potensi hutan sehingga tidak hanya terkonsentrasi pada kelas umur muda saja.

Target kerusakan maksimum sebesar 2 % per tahun pada kondisi harapan, menggambarkan adanya potensi hutan miskin riap tiap jangka. Sama halnya dengan potensi areal non produktif (tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang) yang masih ditemui di tiap jangka meskipun nilainya lebih kecil dibanding awal

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 L ua s (ha ) Kelas hutan Kondisi ideal 2008-2017 2018-2027 2028-2037 2038-2047 2048-2057

jangka. Hal tersebut cukup logis karena potensi tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang masih terdapat pada jangka sebelumnya yang tidak sepenuhnya ditanami kembali menjadi kelas umur I pada jangka berikutnya.

Gambar 5 Prediksi struktur kelas hutan pada kondisi harapan.

Prediksi struktur kelas hutan dengan angka kerusakan normal berdasarkan Gambar 6. menunjukkan struktur kelas hutan produktif mengalami peningkatan. Potensi hutan pada kondisi normal tidak jauh berbeda dengan kondisi harapan, meskipun potensi hutan pada kondisi harapan lebih besar. Hal ini ditandai oleh tingkat kerusakan pada kondisi normal yang tidak berbeda bahkan sama pada kelas umur tertentu jika dibandingkan dengan kondisi harapan. Penyebaran struktur kelas hutan yang berangsur semakin merata antara kelas umur muda dan kelas umur tua menunjukkan ada kemungkinan tercapainya kelestarian tegakan.

Gambar 6 Prediksi struktur kelas hutan pada kondisi normal. 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 L u a s ( h a ) Kelas hutan Kondisi harapan 2008-2017 2018-2027 2028-2037 2038-2047 2048-2057 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 L ua s (ha ) Kelas hutan Kondisi normal 2008-2017 2018-2027 2028-2037 2038-2047 2048-2057

Prediksi struktur kelas hutan pada kondisi pesimis disajikan pada Gambar 7. Potensi hutan produktif pada kondisi pesimis mengalami peningkatan yang tidak normal. Potensi hutan pada kondisi ini lebih kecil dibanding pada kondisi harapan dan normal. Hal ini disebabkan karena tingkat kerusakan pada kondisi pesimis jauh

Dokumen terkait