• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desa Pecekelan Deskripsi Wilayah

Desa Pecekelan secara administrasi pemerintahan termasuk wilayah Kecamatan Sapuran, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah. Posisinya berada sejauh 20 km dari ibukota kabupaten dan sekitar 3 km dari ibukota kecamatan, pada jalur jalan raya antar kabupaten Wonosobo-Purworejo atau jalur jalan alternatif Wonosobo-Magelang. Luas wilayah desa 502,573 ha, terdiri atas enam dusun yaitu Gedangan, Kalilusi, Kliwonan, Pundung, Budan dan Panto. Desa Pecekelan berbatasan dengan Desa Sapuran (sebelah Utara), Desa Tempur Sari dan Desa Glagah (sebelah Timur), Desa Beran, Kecamatan Kepil (sebelah Selatan) dan Desa Karang Sari (sebelah Barat).

Sebagian besar topografi wilayah Desa Pecekelan adalah berbukit dengan kemiringan 15-40% pada ketinggian 600-800 m di atas permukaan laut. Menurut Peta Kemampuan Tanah Dinas Pertanian Kecamatan Sapuran, jenis tanah dominan adalah regosol dari batuan induk vulkan. Suhu udara rata-rata berkisar antara 24–30oC pada siang hari dan 20oC pada malam hari. Pada bulan Juli dan Agustus (setiap tahun), suhu akan turun menjadi 12-15oC pada malam hari dan 15-20oC pada siang hari. Curah hujan rata-rata tahunan sekitar 4.338 mm/tahun, dengan tipe iklim B menurut Schmidt dan Ferguson (nilai Q = 14,3-33,3, atas dasar curah hujan tahun 1994-2003).

Penggunaan Lahan dan Potensi Sumberdaya Alam

Sebagian besar penggunaan lahan di Desa Pecekelan adalah sebagai tegalan (41%), sawah (27%), hutan negara (17,90%) dan lainnya dalam jumlah yang lebih kecil untuk perumahan dan pekarangan. Pemanfaatan lahan desa Pecekelan dapat dilihat pada Tabel 8.

Lahan kering (tegalan) berbentuk agroforestri yaitu perpaduan antara tanaman keras (sengon, durian, mahoni, suren), tanaman perkebunan (kopi, cengkeh, kelapa) dan tanaman semusim (pisang, nanas, salak, talas). Sengon dan kopi merupakan komoditi utama dan mendominasi jenis tanaman agroforestri di Desa Pecekelan.

Tabel 8 Pola penggunaan lahan di Desa Pecekelan

No. Penggunaan lahan Luas lahan

(ha) Persentase (%) 1. Sawah 136,80 27,22 2. Pekarangan 38,00 7,56 3. Tanah kering/tegal 207,00 41,18 4. Tambak/kolam 2,01 0,40 5. Hutan negara 90,00 17,90 6. Lain-lain 28,80 5,74 Jumlah 502,61 100,00

Sumber : BPS Kecamatan Sapuran 2002

Lahan basah (sawah) ditanami oleh padi, palawija, buah-buahan dan sayur- sayuran dengan masa panen padi sebanyak dua kali setahun yang dikombinasikan dengan penanaman palawija.

Desa Pecekelan memiliki banyak potensi berupa pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, bahan galian, perikanan darat ikan tawar dan wisata. Hasil dari bidang pertanian berupa jagung, padi ladang, ubi kayu, ubi jalar, cabe, tomat dan kubis. Perkebunan terutama menghasilkan kopi dan kelapa. Produksi ternak desa Pecekelan berupa sapi, ayam, kambing, angsa, bebek dan telur. Sumber lain desa Pecekelan berupa bahan galian yang berupa pasir, dan batu kali. Dalam bidang perikanan, dilakukan budidaya menggunakan kolam dengan hasil berupa ikan mas, mujair, bawal, braskap dan lele. Wisata yang dapat dikembangkan berupa wisata hutan dan agrowisata. Sumber air untuk kebutuhan sehari-hari berasal dari mata air, sumur dan PAM. Kebutuhan air untuk pertanian dan sawah berasal dari tiga sumber yaitu sungai, mata air dan bendungan.

Kondisi Sosial dan Ekonomi

Berdasarkan data isian potensi Desa Pecekelan tahun 2003, jumlah penduduk tercatat sebanyak 4.223 jiwa yang terdiri 1.189 KK, dengan jumlah laki-laki 2.143 jiwa (51%) dan perempuan 2.080 jiwa (49%) atau kepadatan penduduk rata-rata 841 jiwa/km2.

Secara umum tingkat pendidikan masyarakat masih rendah. Hanya 5% saja yang sampai kejenjang SLTA/sederajat, sementara 70% lebih hanya menamatkan jenjang SD atau pernah bersekolah di SD.

Sektor pertanian dan perdagangan/industri memegang peranan penting sebagai pendukung mata pencaharian utama di Desa Pecekelan (Tabel 9).

54

Penduduk yang menggantungkan hidupnya dari pertanian sebesar 54 %, terdiri atas 43% petani pemilik lahan dan 11% sebagai buruh tani. Sedangkan penduduk yang menekuni kegiatan perdagangan dan industri mencapai 27%.

Tabel 9 Sebaran sumber mata pencaharian utama penduduk Desa Pecekelan tahun 2002

No. Mata pencaharian Jumlah penduduk

(jiwa) Persentase (%) 1. Petani sendiri 618 43,15 2. Buruh tani 155 10,82 3. Pedagang 255 17,80 4. Industri 140 9,78 5. Bangunan 64 4,47 6. Angkutan 31 2,16 7. PNS/TNI 77 5,38 8. Pensiunan 18 1,26 9. Lain-lain 74 5,18 Jumlah 1.432 100,00

Sumber : BPS Kecamatan Sapuran 2002

Riwayat dan Sistem Pengelolaan Agroforestri

Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2002, luas agroforestri hutan rakyat diDesa Pecekelan telah mencapai luas 207 ha berbentuk tegalan atau kebun. Luas ini relatif tidak terlalu berbeda dengan kondisi tahun 1994. Hutan rakyat di Pecekelan sudah dipraktekkan cukup lama dan proses perkembangannya tidak bisa dilepaskan dengan adanya program penghijauan pemerintah yang dimulai pada tahun 1976. Sebelumnya lahan tegalan banyak ditanam dengan kopi monokultur dan pohon cengkeh. Adanya program penghijauan bersamaan dengan jatuhnya harga kopi memotivasi petani untuk mulai menanam tegalannya dengan pohon berkayu, terutama sengon diantara tanaman kopi yang sudah ada.

Hutan rakyat disini dibagi dua macam yaitu hutan rakyat swadaya seluas 100,5 ha dan hutan rakyat dampak seluas 103,5 ha. Hutan rakyat swadaya adalah hutan rakyat yang dikelola Kelompok Tani Jaya yang berdiri tanggal 16 November 1981, yang sebetulnya berperan banyak sebagai patner pemerintah dalam program penghijauan. Hutan rakyat dampak adalah hutan rakyat yang berada di luar hutan rakyat swadaya yang dikelola secara perorangan. Menurut lokasinya, hutan rakyat swadaya terbagi atas dalam dua blok yaitu blok Tanggulasi seluas 67,6 ha dan blok Patean seluas 54,7 ha.

Berdasarkan laporan Desa Pecekelan tahun 2000 (informasi dari tahun 1990 s/d 1994), luas tanaman sengon dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Namun perkembangannya relatif sudah tidak terdata lagi, terutama sejak Kelompok Tani Jaya sudah tidak terlalu aktif lagi.

Tabel 10 Potensi sengon pada hutan rakyat di Desa Pecekelan No. Tahun Potensi sengon

(m3) 1. 1990 59.937 2. 1991 111.052 3. 1992 156.608 4. 1993 190.435 5. 1994 254.435

Sumber : Laporan Desa Pecekelan 2000

Hutan rakyat di Pecekelan memiliki variasi umur yang beragam dari tegakan umur yang muda sampai yang tua, bahkan ada yang dibiarkan hingga lebih 15 tahun. Hutan rakyat dikerjakan secara agroforestri yaitu perpaduan antara tanaman keras (sengon, durian, mahoni, suren), tanaman perkebunan (kopi, cengkeh, kelapa) dan tanaman semusim (pisang, nanas, salak, talas). Sengon dan kopi merupakan komoditas utama dan mendominasi jenis tanaman agroforestri di Desa Pecekelan.

Beberapa praktek silvikultur yang diterapkan untuk pengelolaan hutan rakyat telah mengalami banyak kemajuan. Perbanyakan tanaman sengon selain cara trubusan juga dilakukan dengan mencangkok. Penggunaan bibit umumnya dilakukan untuk menambah jumlah tanaman atau untuk pembukaan lahan baru. Pemeliharaan trubusan atau mencangkok lebih disukai karena pertumbuhan pohon jauh lebih cepat dari pada dengan bibit. Dari tunggak sengon biasanya muncul dua sampai tiga trubusan, petani kemudian menyeleksi dan memelihara salah satu dari trubusan hingga bisa dipanen kembali atau salah satu batang trubusan tersebut oleh petani diplih untuk dicangkok, setelah keluar akarnya batang dipotong dan ditanam dilahan kosong yang lain. Sebagian petani juga telah mengoptimal tanaman kopinya dengan menyambungnya dengan kopi unggul (kopi arabika) untuk mendapatkan hasil buah yang lebih baik. Kopi merupakan andalan utama petani selain menunggu hasil kayu sengon.

56

Petani melakukan pemeliharaan tanaman agroforestrinya dengan pembersihan lahan, memelihara teras, pengawasan terhadap serangan hama sengon dan pemupukan. Pembersihan lahan yang dimaksud berupa pendangiran rumput yang dilakukan secara rutin maupun tidak. Terasering dilakukan karena hutan desa Pecekelan berbukit-bukit dengan tujuan untuk mencegah erosi dan longsor selain juga untuk menahan pupuk agar tidak cepat tercuci. Pemupukan yang dilakukan petani sebenarnya untuk tanaman kopi, tetapi karena jarak yang dekat antara sengon dengan kopi maka otomatis sengon juga ikut merasakan pupuk tersebut. Jenis pupuknya beragam dari pupuk kandang, pupuk hijau dan pupuk buatan. Di antara jenis pupuk tersebut pupuk hijau lebih sering digunakan karena pengadaannya lebih mudah dan murah. Sedangkan pupuk jenis lain harus didatangkan dari luar daerah sehingga membutuhkan biaya lebih mahal. Pengadaan pupuk ini hanya dilakukan oleh beberapa petani tertentu saja. Penyakit yang sering menyerang sengon adalah uter-uter yaitu ulat pengerat batang sengon yang berakibat pada matinya pohon sengon.

Di Desa Pecekelan dan beberapa desa lain di sekitarnya telah berkembang industri penggergajian kayu sengon dengan pesat. Keadaan tersebut mendorong semakin mudahnya petani menjual kayu sengon yang dimilikinya. Kayu sengon ditebang dengan cara dipilih (tebang mipil) atau kadang-kadang dijual secara keseluruhan (tebang habis). Umumnya kayu dijual ketika masih berdiri kepada pengumpul/bakul kayu, dan selanjutnya dijual/diserahkan oleh pengumpul ke industri. Di Pecekelan telah terdapat pabrik kayu lapis yang menggunakan bahan baku kayu sengon. Tabel 11 memperlihatkan perkembangan harga jual kayu sengon pada tahun 2004.

Tabel 11 Harga jual rata-rata kayu sengon pada tingkat petani di Desa Pecekelan tahun 2004

Jenis dan Kualitas Kayu Ukuran kayu/batang Harga jual (Rp)

Sengon, kualitas biasa Keliling 90 cm 200.000/batang

(pohon berdiri) Keliling 80 cm 100.000 – 150.000/batang

Keliling 60 cm 50.000/batang

Keliling 40 cm 15.000/batang

Sengon, kualitas super Diam. 25-50 cm 280.000/m3

(panjang 1,3 m) Diam. 20-24 cm 265.000/m3

Diam. 15-19 cm 160.000/m3

Hasil pengelolaan agroforestri yang cukup besar diperoleh dari hasil panen kopi yang diperoleh setiap tahun. Panen kopi yang cukup tinggi hingga mencapai panen 750 kg/ha/tahun diperoleh dari kopi unggul/okulasi, sedangkan rata-rata hanya 300 kg/ha/tahun dari hasil kopi lokal. Pada saat penelitian harga kopi kering rata-rata Rp 4.000/kg. Dalam waktu tertentu juga diperoleh kayu bakar hasil pembersihan batang kopi tua dan dijual dengan harga Rp 40.000/stapel (kurang lebih 0.75 m3).

Desa Kertayasa Deskripsi Wilayah

Desa Kertayasa secara administrasi pemerintahan termasuk wilayah Kecamatan Panawangan, Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat. Posisinya berada sejauh 29 km dari ibukota kabupaten dan sekitar 7 km dari ibukota kecamatan, pada jalur jalan raya yang menghubungkan Ciamis - Cirebon atau Ciamis - Kuningan. Luas wilayah desa 1087,460 ha, terdiri atas tujuh dusun yaitu Singgugu, Dayeuh Landeuh, Cirukem, Susuru, Cibariwal, Cilulumpang, dan Mekar Mulya. Desa Kertayasa berbatasan dengan Desa Indragiri dan Desa Karangpaningan (sebelah Utara), Desa Citeureup, Kecamatan Kawali (sebelah Selatan), Desa Sadewata, Kecamatan Kawali (sebelah Barat) serta Desa Panawangan dan Desa Purwasari, Kecamatan Panawangan (sebelah Timur).

Berdasarkan pembagian wilayah daerah aliran sungai (DAS), Desa Kertayasa berada di wilayah sub-DAS Cimuntur, DAS Citanduy. Sub-DAS Cimuntur berdasarkan letaknya menurut hulu-hilir pembagian DAS termasuk kelompok Sub-DAS Citanduy Hulu, sehingga sangat penting dari sisi konservasi tanah dan air. Sebagian besar topografi wilayah Desa Kertayasa adalah berbukit sampai bergunung dengan kemiringan 25-150%, pada ketinggian 500-700 m di atas permukaan laut. Menurut Peta Tanah Tinjau Kabupaten Ciamis, jenis tanah dominan adalah tanah latosol dan podsolik. Kedua macam tanah tersebut memiliki kandungan liat yang tinggi dan tergolong tanah yang sangat peka terhadap erosi. Curah hujan rata-rata tahunan selama 10 tahun (1994-2003) mencapai 3.076 mm/tahun dengan 184 hari hujan/tahun. Wilayah ini termasuk

58

dalam tipe iklim B menurut Schmidt dan Ferguson (nilai Q = 22%). Musim kemarau terutama terjadi dalam bulan Juli-September. Suhu udara rata-rata mencapai 32oC pada siang hari.

Penggunaan Lahan dan Potensi Sumberdaya Alam

Sesuai dengan tipologi wilayahnya yang umumnya berbukit hingga bergunung, maka penggunaan lahan di Desa Kertayasa sebagian besar berupa lahan kering/tegalan (75,24%) dan hanya sedikit (11,53%) yang memungkinkan untuk lahan sawah. Sebaran penggunaan lahan Desa Kertayasa dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Pola penggunaan lahan di Desa Kertayasa

No. Penggunaan lahan Luas lahan

(ha)

Persentase (%)

1. Permukiman & pekarangan 118,00 10,85

2. Fasilitas umum 12,00 1,10

3. Empang/kolam 14,00 1,29

4. Sawah 125,41 11,53

5. Tanah kering/tegalan 818,56 75,24

Jumlah 1087,96 100,00

Sumber : Kantor Desa Kertayasa, 2003

Kondisi lapangan yang umumnya berbukit sampai berbukit curam menyebabkan sebagian lahan tegalan di wilayah ini diusahakan dalam bentuk agroforestri kebun campuran, dimana penggunaan pohon lebih dominan dibandingkan dengan penggunaan tanaman pertanian semusim. Pohon yang ditanam di tegalan umumnya penghasil kayu (sengon, kayu afrika, mahoni), tanaman perkebunan (kopi), dan tanaman buah (nangka, kelapa). Tanaman semusim yang masih bisa diusahakan adalah ubikayu. Lahan datar umumnya hanya sedikit dijumpai yang berada pada daerah lembah di celah-celah bukit yang masih bisa diusahakan dengan tanaman sawah tadah hujan atau yang mendapat pengairan dari parit yang mengalir kedaerah yang lebih rendah. Pada saat musim kemarau sebagian sawah tidak bisa ditanami atau hanya mungkin ditanami dengan palawija. Pada daerah datar yang dekat dengan rumah tempat tinggal juga dimanfaatkan untuk empang/kolam pemeliharaan ikan.

Peternakan merupakan kegiatan penting selain mengusahakan kebun kayu. Hampir sebagian besar rumah tangga memelihara ternak domba, karena mudahnya memperoleh pakan ternak tersebut. Beberapa rumah tangga juga

melakukan kegiatan pembesaran ternak ayam potong untuk kebutuhan di luar daerah (Bandung/Jakarta).

Kondisi Sosial dan Ekonomi

Berdasarkan data monografi Desa Kertayasa tahun 2003, jumlah penduduk tercatat sebanyak 4.060 jiwa dengan 1.349 KK, terdiri atas laki-laki 2.020 jiwa dan perempuan 2.040 jiwa. Dibandingkan dengan luas wilayah desa, kepadatan penduduk rata-rata 373 jiwa/km2. Secara umum tingkat pendidikan masyarakat masih rendah. Sekitar 78% hanya berpendidikan sekolah dasar (SD), sementara yang mampu menyelesaikan hingga ke tingkat SMU/SLTA ke atas kurang dari 10%. Namun demikian penduduk usia sekolah yang tidak bersekolah relatif kecil (hanya 0.4%).

Sektor pertanian memegang peranan penting sebagai pendukung mata pencaharian utama di Desa Kertayasa (lihat Tabel 13). Penduduk yang menggantungkan hidupnya dari kegiatan pertanian mencapai jumlah lebih dari 75 %, terdiri atas 26% petani pemilik lahan dan hampir 50 % sebagai buruh tani. Kegiatan pertanian yang menonjol adalah pertanian lahan kering pada tanah tegalan untuk menghasilkan tanaman semusim (palawija).

Tabel 13 Sebaran sumber mata pencaharian utama penduduk Desa Kertayasa tahun 2002

No. Mata pencaharian Jumlah penduduk (jiwa) Persentase (%) 1. Petani sendiri 990 26,27 2. Buruh tani 1.870 49,63 3. Wiraswasta/Pedagang 250 6.63 4. Pertukangan 210 5,57 5. Pegawai/Karyawan 217 5,76 6. Sektor jasa 51 1,35 7. Pensiunan 180 4,78 Jumlah 1.432 100,00

Sumber : Monografi Desa Kertayasa 2003

Riwayat dan Sistem Pengelolaan Agroforestri

Wilayah Desa Kertayasa berada dalam wilayah DAS Citanduy Hulu, dan sebelumnya merupakan wilayah yang memiliki lahan terdegradasi yang sangat luas. Desa Kertayasa menjadi salah satu bagian kecil dari wilayah kerja Proyek DAS Citanduy yang dimulai tahun 1977. Bentuk lapangan yang hampir

60

seluruhnya miring sampai berbukit menyumbang erosi tanah yang besar ke daerah yang lebih rendah hingga terbawa ke Sungai Cimuntur (Sub DAS Sungai Citanduy Hulu). Pola penggunaan lahan yang telah berlangsung sangat lama menggunakan tanaman semusim (palawija) dan penanaman seraiwangi secara luas tanpa tindakan konservasi tanah telah membuat tanah semakin miskin dan gampang tererosi di musim penghujan dan krisis air di musim kemarau.

Pada tahun 1977 Proyek DAS Citanduy membuat proyek percontohan konservasi tanah dan air di Kertayasa dalam bentuk pembangunan terasering. Proyek ini dilakukan bertahap dan berlangsung hingga akhir tahun 1980, dan mencakup beberapa desa di sekitar Desa Kertayasa. Proyek melibatkan sejumlah kelompok tani untuk pembuatan terasring hingga mencapai luas 250 ha lebih. Bersamaan dengan proyek tersebut, melalui proyek P3RPDAS yang dilakukan Departemen Pertanian juga diperkenalkan program reboisasi dan penghijauan. Lewat program ini masyarakat mendapat bantuan bibit tanaman pohon untuk ditanam selain tanaman pertanian semusim. Masa ini dianggap sebagai mulai dikenalnya agroforestri di wilayah ini. Sebelumnya perkebunan cengkeh rakyat cukup berkembang disini, tetapi sekitar 1995 sejalan dengan semakin jatuhnya harga cengkeh, hampir semua pohon cengkeh ditebang atau tidak diurus lagi dan diganti dengan pohon kayu-kayuan dan penghasil buah.

Umumnya agroforestri di Kertayasa dikelola tidak intensif dan lebih dianggap sebagai hasil sampingan. Pertumbuhan pohon sangat mengandalkan hasil trubusan, dan tidak ada perbaikan mutu pertumbuhan. Karena ruang yang ada tidak digunakan untuk penanaman jenis lain (misalnya tanaman semusim, pohon di bawah tegakan), maka pertumbuhan pohon umumnya rapat. Pemeliharaan tanaman mungkin hanya dilakukan ketika muda, dan sesudahnya dibiarkan. Walaupun potensi pupuk kandang cukup tinggi, tetapi sangat jarang petani yang memupuk tanamannya.

Pada saat ini, kayu merupakan sumber penghasilan penting bagi masyarakat yang mengelola lahan tegalan. Kayu yang diproduksi dan dijual ke industri umumnya kayu sengon dan mahoni, sedangkan jenis kayu yang lain umumnya untuk dipergunakan sendiri. Umumnya petani menjual kayu ketika pohon masih berdiri, melalui pengumpul. Kayu tersebut selanjutnya akan bawa ke industri

untuk diproses menjadi papan berbagai ukuran. Banyak industri penggergajian kecil yang beroperasi hingga kedalam wilayah desa, sehingga memudahkan petani untuk menjual hasil kayunya. Selain kayu sengon atau mahoni, kayu bakar dari pohon kopi atau pohon keras lain juga dihasilkan dari kebun kayu dan dijual untuk keperluan industri genteng di Jatiwangi. Harga kayu bakar bervariasi tergantung jenis kayunya. Kayu bakar dari jenis kopi, puspa dan cengkeh dibeli dengan harga Rp 27.000/m3 sedangkan kayu sengon hanya berharga Rp 20.000/m3. Tabel 14 memperlihatkan perkembangan harga jual beberapa jenis kayu yang umum diproduksi dari agroforestri di Kertayasa.

Tabel 14 Harga jual rata-rata kayu pada tingkat petani di Desa Kertayasa tahun 2004

Jenis dan Kualitas Kayu Ukuran kayu/batang Harga jual (Rp)

Mahoni Diam. 20-29 cm 80.000/pohon

(pohon berdiri) Diam. > 30 cm 125.000/pohon

Sengon (pohon berdiri) Diam. 10-14 cm Diam. > 15 cm Diam. > 20-24 cm Diam. 25-30 cm Diam. > 30 cm 25.000/pohon 35.000/pohon 50.000/pohon 70.000/pohon 100.000/pohon Mahoni Diam. > 20 cm 500.000/m3 (sortimen 1,5-3 m) Diam. 30-40 cm 1.000.000/m3 Diam. > 50 cm 1.200.000/m3

Puspa, tisuk Diam. > 30 cm 600.000/m3

Dokumen terkait