• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN A.Jenis Penelitian

N. Norma-Norma Yang Diujikan

1. Keadilan Hukum Putusan MKRI No.: 100/PUU-X/2012

MK dengan alasan hak pemohon menuntut pembayaran upah pekerja dan segala hak yang timbul dari hubungan kerja karena pemohon telah melakukan pengorbanan berupa prestasi kerja. Sama halnya dengan hak kepemilikan benda, dalam hal ini hak kebendaan itu berwujud pekerjaan, sehingga memerlukan adanya perlindungan selama si pemilik hak tidak melepaskan haknya itu. Upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja merupakan hak buruh yang harus dilindungi sepanjang buruh tidak melakukan perbuatan yang merugikan pemberi kerja. Upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja tidak dapat hapus karena adanya lewat waktu tertentu.

Hal tersebut di atas sejalan dengan tujuan dibentuk/dibuat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dibentuk dalam sistem hukum ketenagakerjaan/perburuhan yang melindungi (protektif) terhadap kepentingan pekerja/buruh karena dalam relasi ketenagakerjaan/perburuhan dan dalam hubungan kerja, pekerja/buruh senantiasa berada posisi yang lemah.

Sesuai dengan Teori Keadilan Distributif maka pembentuk/pembuat undang-undang tersebut dalam hal ini negara bersifat superordinasi artinya antara yang mempunyai wewenang untuk membagi dan yang bersifat subordinasi atau yang mendapat bagian dalam hal ini pengusaha/perusahaan dan pekerja/buruh artinya yang membagi (negara) yang bersifat superordinasi terhadap lebih dari satu orang atau kelompok orang sebagai pihak yang menerima bagian yang sama-sama mempunyai kedudukan yang bersifat subordinasi terhadap yang membagi yakni pengusaha/perusahaan dan pekerja/buruh. Dengan adanya dua orang atau kelompok orang yang berkedudukan sama sebagai subordinat terhadap pihak yang membagi dapat dilihat apakah yang membagi telah berlaku adil berdasarkan tolok ukur dalam prinsip proporsionalitas dalam kerangka keadilan distributif yakni adalah jasa, prestasi, kebutuhan, dan fungsi. Dalam dunia nyata, pihak yang membagi adalah negara dan yang mendapat bagian adalah rakyatnya pengusaha/perusahaan dan pekerja/buruh. Berdasarkan pandangan ini, dilihat

dari keadilan distributif apakah suatu negara telah membuat undang-undang yang bersandarkan pada tolok ukur tersebut, apakah tindakan pemerintah juga demikian dan pengadilan juga menjatuhkan putusan yang memerhatikan ukuran-ukuran itu.

Dalam pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan jelas diamanat oleh negara sebagai superordinasi (yang membagi keadilan) bahwa tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak. Berdasarkan teori keadilan distributif negara telah membagi keadilan bahwa untuk segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja harus dan wajib dibayar oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan negara memberi tenggang waktu kepada pekerja/buruh. Hal ini berdasarkan tolok ukur keadilan distributif yakni adanya jasa, prestasi, kebutuhan, dan fungsi yang telah sama-sama dilaksanakan antara pekerja/buruh dengan pengusaha/buruh sehingga dalam hal ini hak pekerja/buruh tidak dapat dihilangkan begitu saja karena adanya lampau/batas/pengaruh waktu/kedaluwarsa apalagi hak pekerja/buruh merupakan hak dasar pekerja/buruh.

Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan juga telah memuat keadilan komutatif yakni terdapat pada hubungan yang bersifat koordinatif di antara pihak pengusaha/perusahaan dengan pihak pekerja/buruh karena untuk dapat melihat bekerjanya keadilan ini diperlukan adanya dua pihak yang mempunyai kedudukan yang sama. Pengusaha/perusahaan memberi upah kepada pekerja/buruhnya dan atau ganti kerugian/ganti rugi dalam relasi ketenagakerjaan atau dalam hubungan yangbersifat koordinatif, persamaan diartikan sebagai ekuivalensi, harmoni, dan keseimbangan.

Pada posisi di atas dapat dikemukan bahwa pasal 96 Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan telah memenuhi unsur yang terdapat pada keadilan distributif yakni adanya superordinasi yang membagi keadilan yakni negara sebagai pembentuk/pembuat undang-undang dan yang mendapat bagian keadilan yakni pengusaha/perusahaan dan pekerja/buruh dan telah

memenuhi unsur yang terdapat pada keadilan komutatif yakni terdapat pada hubungan yang bersifat koordinatif antara pihak pengusaha/perusahaan dengan pihak pekerja/buruh yang mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum Pengusaha/perusahaan memberi upah kepada pekerja/buruhnya dan atau ganti kerugian/ganti rugi dalam relasi ketenagakerjaan atau dalam hubungan yang bersifat koordinatif, persamaan diartikan sebagai ekuivalensi, harmoni, dan keseimbangan.

Namun dalam kasus ini jelas menyebutkan fakta hukum dalam putusan menyebutkan bahwa Pekerja/Buruh/Pemohon merasa dirugikan dengan kebijakan legislasi yang tidak protektif terhadap pekerja/buruh dalam Pasal 96 UU No. 13 Tahun 2003 dengan adanya batas waktu atau pengaruh waktu untuk 2 (dua) tahun menuntut dan hal iniPekerja/Buruh/Pemohon menganggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) karena di dalam Pasal 28D ayat (2) menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Maka dari bunyi Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut menurut Pemohon bahwa setiap orang berhak untukbekerja dan menerima imbalan dari pekerjaan tersebut tanpa menerima pembayaran apa-apa terkait pemutusan hubungan kerja tersebut.

Dalam putusan ini disebutkan dicontohkan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa kedaluwarsa penggunaan hak untuk menggunakan upaya hukum adalah adanya ketentuan mengenai batas waktu pengajuan upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa dalam suatu proses pengadilan yang biasanya dihitung sejak pemberitahuan amar putusan, kedaluwarsa merupakan kesempatan untuk melakukan atau tidak melakukan upaya hukum lanjutan, bukan pada penggunaan hak penuntutan.

Menurut Mahkamah Konstitusi, sehubungan dengan yang demikian hak pemohon untuk menuntut pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja adalah hak yang timbul karena pemohon telah melakukan pengorbanan berupa adanya prestatie kerja sehingga hubungan antara hak tersebut dengan Pemohon adalah sebagai pemilik hak. Sama halnya perlakuannya dengan hak kepemilikan terhadap

benda atau hak kebendaan tersebut berwujud pekerjaan yang sudah dilakukan sehingga memerlukan adanya perlindungan terhadap hak tersebut selama si pemilik hak tidak menyatakan melepaskan haknya tersebut.

Selanjutnya menurut Mahkamah Konstitusi bahwa upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja merupakan hak buruh yang harus dilindungi sepanjang buruh tidak melakukan perbuatan yang merugikan pemberi kerja. Oleh sebab itu upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja tidak dapat hapus karena adanya lewat waktu tertentu. Oleh karena apa yang telah diberikan oleh buruh sebagai prestatie harus diimbangi dengan upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja sebagai

tegen prestatie. Upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja adalah merupakan hak milik pribadi dan tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun, baik oleh perseorangan maupun melalui ketentuan peraturan perundang-undangan hal tersebut menurut Mahkamah, Pasal 96 UU Ketenagakerjaan terbukti bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.

Dalam mendengar keterangan dari DPR yang berpendapat bahwa menurut DPR, keberadaan Pasal 96 Undang-Undang Ketenagakerjaan sama sekali tidak akan menghilangkan hak buruh atau pekerja untuk dapat menuntut upah yang menjadi haknya. Hal ini dikaitkan dengan keberadaan Pasal 1946 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi, “Kedaluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.” Lebih lanjut, ketentuan Pasal 1968 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menegaskan, “Tuntutan para buruh yang upahnya dalam uang harus dibayar tiap-tiap kali setelah lewatnya waktu yang kurang daripada satu triwulan untuk mendapat pembayaran upah mereka beserta jumlah kenaikan upah” itu menurut Pasal 1602Q, semua itu berkedaluwarsa dengan lewatnya waktu satu tahun. Ketentuan ini dipertegas dengan ketentuan Pasal 1969 yang menyebutkan, “Tuntutan para buruh dengan ketentuan mereka yang dimaksud dalam Pasal 1968 untuk pembayaran upah mereka beserta jumlah kenaikan upah” itu

menurut Pasal 1602Q, semua itu berkedaluwarsa dengan lewatnya waktu dua tahun.

Sedangkan Pemerintah berpendapat sama dengan DPR yakni kedaluwarsa yang terkait dengan hubungan kerja atau hubungan hukum melakukan pekerjaan sejak dulu diatur dalam hubungan keperdataan, baik dalam hukum perdata adat maupun yang tidak tertulis dalam hukum perdata barat, yang diatur kasus perkasus dan pasal perpasal, antara lain:

1. Tuntutan para buruh untuk mendapatkan pembayaran upah mereka beserta jumlah kenaikan upah itu kedaluwarsa dengan lewat waktu satu tahun atau vide Pasal 1968.

2. Tuntutan para buruh untuk pembayaran upah mereka beserta jumlah kenaikan upah itu dalam kaitannya dengan lewatnya waktu dua tahun, 1969.

3. Tuntutan tukang-tukang kayu, tukang-tukang batu untuk pembayaran bahan-bahan yang mereka berikan dan upah-upah mereka kedaluwarsa dengan lewatnya waktu dua tahun. Vide Pasal 1971.

Pada sidang mendengar keterangan yang disampaikan Apindo sebagai yang mewakili pengusaha dalam risalah sidang tanggal 28 Januari 2013 berpendapat bahwa waktu 2 tahun kiranya adalah waktu yang cukup bagi seorang pekerja/buruh untuk menggunakan haknya saat ketika haknya yang timbul dari hubungan kerja sudah dapat dilakukan penagihan. Namun, saat pekerja/buruh tidak menggunakan waktu tersebut, ini memberikan pengertian bahwa pekerja/buruh sudah melepaskan segala haknya dan kelalaian pekerja/buruh untuk menggunakan haknya. Sangat tidak adil untuk dibebankan kepada pengusaha dan tidak pula adil seorang pengusaha dibebani kewajiban-kewajiban tanpa ada batasan waktu, tentu akan membebani pengusaha sepanjang masa. Hal ini tentu akan menimbulkan hukum yang tidak berkeadilan dan menyampingkan kepastian.

Telaah dari keterangan/pendapat baik dari DPR RI, Pemerintah, dan Apindo tersebut di atas bila dikaitkan tidak dapat menyangkal keadilan hukum baik distributif maupun komutatif yang terdapat pada pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena

negara telah membagi keadilan kepada subordinasi bahwa untuk segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja harus dan wajib dibayar oleh pengusaha kepada pekerja/buruh. Hal ini berdasarkan tolok ukur keadilan distributif yakni adanya jasa, prestasi, kebutuhan, dan fungsi yang telah sama-sama dilaksanakan antara pekerja/buruh dengan pengusaha/buruh sehingga dalam hal ini hak pekerja/buruh tidak dapat dihilangkan begitu saja karena merupakan hak dasar pekerja/buruh. Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga telah memenuhi unsur keadilan komutatif dimana untuk dapat melihat bekerjanya keadilan ini diperlukan adanya dua pihak yang mempunyai kedudukan yang sama dan terdapat hubungan atau adanya relasi ketenagakerjaan yang bersifat koordinatif di antara pihak pengusaha/perusahaan dengan pihak pekerja/buruhsehingga sangatlah wajar dan wajib bagi pengusaha/perusahaan memberi upah kepada pekerja/buruhnya dan atau ganti kerugian/ganti rugi demi terhaganya ekuivalensi, harmoni, dan keseimbangan antara pengusaha/perusahaan dengan pekerja/buruh dengan demikian maka terciptalah keadilan hukumnya, walaupun Hakim Anggota Hamdan Zoelva mengemukakan pendapat yang berbeda agar tercapai keadilan hukum yaitu untuk memberikan kepastian hukum yang adil, seharusnya Mahkamah tidak menyatakan ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan karena hal itu akan menimbulkan ketidakpastian hukum baru dalam hukum ketenagakerjaan, sehingga tidak menyelesaikan masalah. Seharusnya untuk memberikan keadilan dalam kasus seperti yang dihadapi Pemohon, Mahkamah hanya mengabulkan permohonan Pemohon dengan menentukan syarat keberlakuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan, yaitu bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dikecualikan bagi pengusaha yang tidak membayar seluruh hak pekerjanya karena itikad buruk. Dengan adanya persyaratan yang demikian, bagi pekerja yang mengajukan tuntutan hak setelah lewatnya masa kedaluwarsa 2 (dua) tahun tetap dibenarkan untuk menuntut sepanjang dibuktikan lewatnya waktu tersebut karena adanya itikad buruk dari

pengusaha yang sengaja mengundur-undur waktu dan enggan membayar hak-hak pekerjanya.

Dalam sidang perkara ini pemohon menghadirkan ahli A. Masyhur Effendi menegaskan di dalam ajaran-ajaran filsafat hukum bahwa keputusan yang baik itu adalah keputusan yang pertama kali adil, pasti, dan bermanfaat. Sehingga masalah keadilan ini lebih dulu diperhatikan daripada kepastian. Karena itu 2 tahun yang dituliskan di dalam pasal ini merupakan satu kondisi yang sangat memberatkan bagi buruh karena 2 tahun ini sangat singkat sekali, minimal menurut saya, minimal 6 tahun itu bisa dipakai sebagai pertimbangan. Yang lain lagi, adil, sekarang kita sudah banyak melihat teori-teori tentang keadilan yang terbaru, misalnya keadilan progresif, dimana sang hakim dimohonkan untuk bisa memberikan aspek ini dalam rangka mewakili suara rakyat yang unrepresented people. Sehingga benar-benar keputusan dari Majelis Hakim bisa mewakili rakyat-rakyat yang tidak bisa bicara, khususnya banyak para buruh yang kondisinya sangat memprihatinkan.

Pemohon juga mendatang ahli lain yakni Margarito Kamis yang pada intinya menegaskan bahwa perlakuan semena-mena terhadap pekerja itulah yang hendak dihentikan dengan melalui norma konstitusi yang terkandung dalam Pasal 28 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945. Sulit untuk tidak menyodorkan logika perlindungan kepada pekerja dari kemungkinan tindakan semena-mena, tidak layak, dan tidak adil dari pemberi kerja kepada mereka. Perlindungan terhadap pekerja memiliki makna kemanusiaan sebagai pengagungan terhadap harkat dan martabat manusia, tapi konteks sosiohistorisnya memang berkenaan dengan perlakuan tidak manusiawi sebagai satu gejala umum dalam dunia kerja di masa lalu dan agar negara ini benar beradab dengan cara memastikan perlindungan, tidak saja hukum melainkan sosial kepada pekerja yang buruh itu. Memberi pesangon kepada pekerja diberhentikan setelah bertahun-tahun bekerja tentulah merupakan pemaknaan dan/atau perwujudan dari perintah konstitusional yang terekam dalam Pasal 28D itu. Menolak memberi pesangon atau apapun istilahnya kepada pekerja yang diberhentikan setelah bertahun-tahun bekerja kepada

pemberi kerja jelas merupakan penyesatan terhadap perintah Undang-Undang Dasar 1945 (inskonstutisional).

Demikian pula pertimbangan MK yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan [vide Pasal 27 ayat (2) UUD 1945]. Pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan tersebut akan terpenuhi apabila mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja [vide Pasal 28D ayat (2) UUD 1945]. Dalam konsiderans (Menimbang) huruf d UU Ketenagakerjaan menyatakan, “... perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha”;

Hukum sebagai pengemban nilai keadilan menurut Radbruch menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya tata hukum, nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum, keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum, keadilan menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolok ukur sistem hukum positif, kepada keadilanlah hukum positif berpangkal, sedangkan konstitutif, tanpa keadilan sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum karena keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum sebagai hukum dalam hal tersebut telah diamanatkan dalam pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.Apalagi jika bercermin dengan realitas yang terjadi di masyarakat bahwa tidaklah pantas dan adil bila seorang pekerja/buruh yamg telah melakukan suatu prestasi atau melakukan kewajibannya untuk bekerja pada akhirnya tidak mendapat upah atau ganti kerugian atas prestasi tersebut, dapat dipastikan akan terjadi ketidakseimbangan dan ketidakharmonisan yang dapat menciptakan rasa ketidakadilan di dalam masyarakat.