• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Spesies dan Famili di Lokasi Penelitian 45

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 20

5.2. Pembahasan 45

5.2.2. Keanekaragaman Spesies dan Famili di Lokasi Penelitian 45

Tingkat kekayaan spesies burung di bawah tajuk di lokasi penelitian termasuk tinggi jika dibandingkan dengan penelitian serupa yang dilakukan oleh Novarino (2008) di wilayah Sipisang, Sumatera yang hanya memperoleh nilai sebesar 2,42. Meskipun demikian dari segi keanekaragaman spesies hasil yang diperoleh Novarino (2008) lebih tinggi yaitu 3,77. Perbedaan ini dapat terjadi sebagai akibat perbedaan jumlah waktu pengoperasian jaring kabut. Pada penelitian tersebut jaring kabut dioperasikan selama 51.120 jaring jam kabut. Waktu pengoperasian jaring kabut yang lebih lama mengakibatkan lebih banyak spesies yang tertangkap. Jika dibandingkan dengan penelitian lain yang dilakukan oleh Waltert et al. (2005) di Sulawesi dengan waktu pengoperasian jaring kabut yang lebih lama yaitu 3400 jam jaring kabut, keanekaragaman spesies di Taman Nasional Bukit Barisan (TNBBS) terlihat lebih tinggi. Perbedaan nilai indeks tersebut selain disebabkan oleh perbedaan lama waktu pengoperasian jaring kabut,

juga karena secara alami TNBBS memiliki jumlah spesies yang lebih tinggi. Menurut Novarino (2008), faktor yang mempengaruhi besaran indeks keanekaragaman spesies di suatu lokasi antara lain: lamanya usaha penangkapan, cara peletakan jaring kabut, kondisi vegetasi dan kekayaan jumlah spesies burung pada masing-masing lokasi. Menurut Magurran (1988) perbedaan ukuran sampel akan berpengaruh terhadap besaran indeks, yaitu semakin besar sampel yang digunakan akan cenderung memiliki indeks yang tinggi.

Dominasi jumlah individu famili Nectariniidae di lokasi penelitian terjadi karena penelitian dilaksanakan pada awal musim berbunga tumbuh-tumbuhan di hutan. Famili Nectariniidae tersusun oleh spesies-spesies yang memanfaatkan nektar sebagai sumber pakan. Dominasi famili Nectariniidae di dalam hutan juga dijumpai oleh Sodhi et al. (2005b) pada penelitiannya di daerah Linggoasri, Jawa Tengah. Jumlah pakan yang berlimpah berupa nektar memberikan kesempatan bagi famili burung ini untuk meningkatkan populasinya. Menurut Novarino (2008) dominasi Nectariniidae pada suatu habitat berkaitan dengan pola daerah sebaran famili ini yang luas. Nectariniidae merupakan burung yang sangat umum pada daerah permukiman, perkebunan dan hutan (MacKinnon et al. 1997).

Tingginya jumlah individu Nectariniidae yang tertangkap juga dapat disebabkan oleh pertambahan jumlah individu baru pada akhir musim berbiak. Novarino (2008), melaporkan bahwa individu-individu baru lebih banyak tertangkap pada akhir musim penghujan. Pada waktu tersebut burung-burung dewasa yang tertangkap juga umumnya memiliki brood patch yang merupakan indikasi adanya aktivitas berbiak.

Di sisi lain, famili Timaliidae merupakan famili dengan jumlah spesies yang paling banyak tertangkap. Timaliidae merupakan spesies yang beraktivitas pada bagian strata tajuk bawah dan lantai hutan. Famili ini merupakan kelompok murni pemakan serangga yang umumnya hidup di bagian bawah tajuk. Banyaknya jumlah spesies ini juga menunjukkan ketersediaan artropoda yang melimpah pada bagian lantai hutan. Hasil serupa juga dilaporkan oleh Wong (1986) di hutan Dipeterokarpa Malaysia. Kondisi hutan yang yang memiliki tingkat penutupan tajuk yang tinggi merupakan habitat yang ideal bagi Timaliidae. Anggota famili

ini merupakan spesies-spesies yang sangat sensitif terhadap gangguan berupa pembukaan tajuk (Novarino 2008).

Penggunaan jaring kabut meskipun cukup efektif untuk mempelajari kehidupan burung-burung semak yang pemalu, namun di sisi lain juga memiliki bias. Alat ini terbukti tidak sepenuhnya efektif untuk menangkap beberapa spesies yang cukup sering terlihat beraktivitas di hutan seperti tangkar kambing

Platysmurus leucopterus, pelatuk pangkas Blythipicus rubiginosus, dan sempur

hujan-darat Eurylaimus ochromalus (Lampiran 2). Burung-burung yang memiliki tungkai pendek seperti angota famili Trogonidae biasanya sulit terjaring atau mampu melepaskan diri setelah menabrak jaring. Pada beberapa kasus burung yang tertangkap juga mampu untuk melepaskan diri dari jaring terutama sekali yang berukuran besar seperti delimukan zamrud Chalcophaps indica (121g).

Ukuran jaring yang digunakan dalam penelitian ini ialah 30mm, dan sebagian besar burung yang tertangkap memiliki bobot kurang dari 50g. Menurut Pardieck dan Waide (1992) burung dengan bobot lebih dari 50g lebih mudah tertangkap jika menggunakan jaring dengan ukuran mesh 36 mm, sedangkan burung dengan bobot kurang dari 50g lebih mudah ditangkap menggunakan jaring dengan ukuran

mesh 30 mm. Studi lainnya juga melaporkan bahwa ukuran mesh jaring kabut

bias terhadap bobot dan ukuran tubuh (Lövei et al. 2001).

Pada daerah yang terbuka, penggunaan jaring juga rawan terhadap bias. Jaring kabut yang tersinari oleh matahari menjadi lebih terlihat dan mudah dikenali oleh burung. Akibatnya beberapa burung cenderung menghindar dari lokasi pemasangan jaring kabut. Kondisi tersebut sangat sulit dihindari terutama apabila pemasangan dilakukan tepat di bawah tajuk yang terbuka.

Burung-burung penghuni tajuk yang tidak pernah turun ke bawah juga akan luput dari jaring kabut. Beberapa spesies yang tidak tertangkap jaring umumnya adalah burung penghuni tajuk salah satunya adalah Treron capellei. Spesies ini sering terlihat bertengger pada puncak tajuk pohon baik sendiri maupun berkelompok dan sangat mudah diidentifikasi melalui suara yang sering dikeluarkannya. Punai besar termasuk ke dalam spesies dengan kategori rentan terhadap kepunahan (BirdLife-International 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Rahman (2002), menunjukkan bahwa pemasangan jaring kabut pada bagian tajuk atas dan di bagian bawah tajuk menghasilkan tingkat similaritas spesies yang rendah. Jaring kabut yang dipasang pada bagian tajuk atas lebih sering menangkap burung yang hanya aktif di tajuk atas seperti Cuculidae, Capitonidae, Eurylaimidae, Campephagidae, Chloropseidae, Dicruridae dan Oriolidae. sedangkan jaring yang dipasang pada bagian bawah hutan menangkap spesies-spesies yang hidup di bawah tajuk. Fakta ini menunjukkan bahwa pemasangan jaring kabut pada bagian bawah tajuk memiliki tingkat efektifitas penangkapan yang berbeda terhadap famili burung tertentu.

Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan juga merupakan salah satu habitat beberapa burung hutan yang bermigrasi (O'Brien & Kinnaird 1996). Namun pada penelitian ini tidak satu pun burung hutan bermigrasi yang berhasil ditangkap. Hal ini karena pengumpulan data dilakukan pada akhir musim migrasi burung. Namun demikian di Sipisang Sumatera Barat, Novarino (2008) melaporkan bahwa burung bermigrasi masih dapat dijumpai meskipun penelitian dilakukan di akhir musim migrasi burung. Letak lokasi penelitian yang berbeda merupakan salah satu penyebab perbedaan hasil tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Novarino (2008) berlokasi pada bagian utara pulau Sumatera yang secara teoritis lebih dekat dengan daerah asal burung-burung hutan yang bermigrasi. Rentang waktu penelitian yang lama juga memungkinkan lebih banyak burung migrasi tertangkap.

Dokumen terkait