Salah satu unsur penting terbentuknya masyarakat hukum adat menurut Barend Ter Haar (Rahardjo, 1979 : 53), adalah adanya kelompok masyarakat yang bertindak sebagai satu kesatuan ke dalam maupun ke luar. Kelompok masyarakat atau
kelompok orang dalam desa pakraman\ni\ah yang disebut unsurpawongan{wong = orang). Kelompok orang yang merupakan satu kesatuan dalam wadah desa pakraman itu disebut pakraman, yang merupakan anggota dari desa pakraman. Anggota dari desa pakraman\n\\ah yang lazim disebut krama desa. Sistem pakraman (keanggotaan) desa pakraman yang ada di Bali bervariasi, tetapi dalam garis besarnya dapat dikeiompokkan dalam tiga garis besar, yaitu :
1.
Sistem pakraman berdasarkan ngemong karang ayahan. Sistem ini umumnya dianut pada desa pakraman yang masih kuat pengaruh dari tanah adatnya (tanah hak ulayat). Ngemong karang ayahan berarti memegang/menguasai tanah milik desa {tanah ayahan desa'atau tanah karang desa). Berdasarkan sistem ini maka status keanggotaan desa pakraman {krama desa) akan dibedakan menjadi dua kelompok,yaitu pertama kelompok krama yang menguasai tanah milik desa sehingga dikenakan kewajiban {ayahan) penuh kepada desa. Kelompok kramaM disebut krama ngarepatau istilah lainnya sesuai dengan adat {dresta) setempat. Kedua, kelompok kramayaug tidak menguasai tanah milik desa sehingga tidak dikenakan kewajiban penuh kepada desa. Kewajiban-kewajiban yang dikenakan terhadap krama pengele ini bervariasi antara desa pakraman yang satu dengan desa pakraman lainnya sesuai dengan awig-awigyang berlaku di desa tersebut. Kelompok krama ini disebut krama pengele, krama roban, dan sebagainya.2.
Sistem pakraman berdasarkan maplkurenan. Mapikurenanartinya berumah tangga. Berdasarkan sistem ini maka keanggotaan seseorang menjadi krama desa dimulai setelah yang bersangkutan berumah tangga (kawin). Dalam sistem ini tidak ada perbedaan status kramadesa seperti dalam sistem ngemong karang ayahan, sehingga semuakrama desa mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap desa. Desa pakramandengan sistem ini umumnya
dianut oleh desa pakraman yang tidak mempunyai tanah adat atau tidak kuat pengaruh tanah adatnya.
areal kuburan desa adat. Mempunyai nilai ekonomi atau tidak dalam hal ini tentunya dilihat dari sudut pandang orang Bali yang beragama Hindu. Milik desa adat yang tampak dan mempunyai nilai ekonomi dapat berupa tanah, bangunan, tabungan, tumbuh-tumbuhan dan berbagai barang-barang yang lainnya. Tanah desa terdiri dari: tanah pelaba pura(m\\\k pura), telajakan pura (tanah-tanah yang ada disekitar pura), karang ayahan desa (rumah tinggal penduduk yang tidak termasuk karang gunakaya atau tanah milik pribadi), tanah lapang, telajakan desa{tanah kosong yang ada di beberapa sudut desa), sampih dan tangkid(tanah tak bertuan yang ada dipinggir jurang atau sungai). Duweda\arx\ wujud bangunan milik desa, antara lain dapat berupa : ruko (rumah dan toko yang disewakan), balai wantilan desa, balai banjar, pasardesa dan bangunan lainnya yang dibangun oleh desa. Uang milik desa dapat berupa kas (tunai), dan tabungan/deposito.
Pengelolaan harta kekayaan desa pakraman dilakukan oleh prajuru desa sesuai dengan awig-awig desa pakraman masing-masing. Setiap pengalihan/perubahan status harta kekayaan desa pakramanharus mendapat persetujuan paruman{sangkepan) desa. Pengawasan harta kekayaan desa pakraman dilakukan oleh krama desa pakraman. Salah satu harta kekayaan desa pakraman yang disebutkan dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 adalah tanah Desa Pakraman, yang tidak boleh disertifikatkan atas nama pribadi.
Dengan demikian, harta desa pakraman harta yang sudah ada maupun harta yang didapat kemudian. Pendapatan desa pakraman didapat dari beberapa sumber, antara lain : pawedalan\paturunan) dari kramadesa, hasil pengelolaan kekayaan desa pakraman, hasil usaha Lembaga Perkreditan Desa (LPD), bantuan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pendapatan lainnya yang sah (seperti saham dalam berbagai
bidang usaha, donasi rutin dari perusahaan milik pribadi yang ada di wilayah desa pakraman) dan sumbangan pihak ketiga yang tidak mengikat (Pasal 10).
3,5. Koordinasi Desa Pakraman dan Desa Dinas Sebelum membicarakan masalah koordinasi kiranya perlu membaca beberapa kutipan yang menyangkut masalah Adat Bali, karena bagaimanapun juga Adat Bali merupakan pijakan dari masyarakat Hindu dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengkoordinasikan Desa Pakraman dengan Desa Dinas perlu merevitaliasi Adat Bali (adat kebiasaan) dengan beberapa alasan ;
1.
Untuk menfilter budaya asing, antara desa pakraman dan desa dinas melakukan koordinasi desa pakaraman diberikan tugas menerima laporan awa! atas kehadiran tamu asing yang menginap, atau yang melakukan bisnis, atau kegiatan lain yang dapat mempengaruhi ketertiban dan keamanan masyarakat. Sedangkan desa dinas sebagai pihak yang berwenang dalam pengurusan administrasi, memberikan catatan dan pengawasan bekerja sama dengan pecalang dan petugas kepolisian dalam melakukan Kamtibmas.2.
Aturan adat yang mengekang aktivitas masyarakat untuk mencarai sesuap nasi perlu diatur disosialisasikan oleh desa dinas, sebagai wujud keperdulian akan Kamtibmas, sehingga secara etik moral menuju Bali yang mempunyai masa depan yang lebih baik. Sangatlah disadari, ketatnya adat dari masimg-masing desa pakraman adalah tidak lain untuk mempertahankan keluhuran dan jati diri dari masing-masing desa pakraman dari hal-hal yang bersifat negatif. Tetapi dalam kenyataannya ada aturan adat yang demikian "ego" sehingga melahirkan konflik yang berkepanjangan antar masyarakat sendiri. Sudah saatnya Bali dengan adatnya 26demikian ketat dan dihormati, berpihak pada mereka yang menuntut kehidupan yang lebih baik dengan memberlakukan adat secara ketat dan fanatik dianggap
27 72
melanggar adat, padahal pelanggaran itu bukan ada unsur kesengajaan, tapi demi menyambung hidup keluarga masa depan. Sehingga berimplikasi dengan kemajuan secara global dan merata di semua desa pakraman di Bali.
3.
Makin maraknya cafe-cafe yang ijinnya dikeluarkan oleh Pemerintah Kota dan sebagai perpanjangan tangan adalah desa dinas, perlu dikoordinasikan dengan deesa pakraman dan ini menunjukan iemahnya pihak-pihak yang berwenang yang semestinya berkoordinasi dengan desa pakraman, sehingga cafe-cafe masuk desa pakraman lebih banyak menimbulkan konflik secara menyeluruh dan komplek. Ini juga akibat wewenang yang disalah gunakan karena ujung-ujungnya duit.4.
Penyerobotan lahan-lahan oleh investor terjadi karena ada dua hal pokok (ada pembeli dan ada penjual), perlu koordinasi desa pakraman dengan desa dinas dalam memberikan batas wilayah, dari pura, atau kawasan yang disucikan oleh umat, sehingga tidak terjadi benturan dengan "investor", ujung-ujungnya merugikan masyarakat adat umumnya. Semua ini bisa ditanggulangi apabila antara desa pakraman berkoordinasi pada instansi terkait. namun apakah pihak yang berwenang tidak bisa menanggulanginya ? Kalau memang Pemerintah desa dinas dan desa pakraman yang berkoordinasi dan bersatu padu dalam menata ruang yang baik dan benar, sesuai dengan aturan atau awig-awig yang telah disepakati oleh "Krama Desa" baik desa dinas maupun desa pakraman itu bukanlah hal yang sulit untuk • lilaksanakan. Semua itu adalah demi anak cucu kelak, untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik, dengan mempertahankan hak-hak tanah yang melekat didalamnya.Adat Bali tidak hanya perlu direvitalisasi, tetapi juga perlu di rekontruksi agar Bali yang sudah terkenal dengan keindahan pulaunya serta keramah-tamahan masyarakatnya, jangan sampai orang Bali dikagumi tempatnya bekerja, entah diluar negeri atau diluar daerah, tapi setelah meninggal justru dipersoalkan oleh komunitas sendiri.
Akibat berbagai kelemahan yang timbul dalam masyarakat adat selama ini, maka muncuiian berbagai stigma terhadap orang Bali. Orang Bali dikatakan tidak bisa rukun satu sama lain, tetapi amat respekterhadap kaum pendatang. Stigma\a\n misalnya, orang luar gampang mengubur mayat di Bali, sementara orang Bali sendiri mengaiami hambatan iuar biasa. Di Iapangan, kondisi yang demikian itu bisa berdampak luas. Masyarakat marginal atau mereka yang tergolong miskin, dengan cara haius menunjukkan perlawanan dan ketidak setujuannya, tindakan mereka akhirnya lebih memilih keluar dari Desa Adat.
Seharusnya krama Bali tidak harus melarang kuburan (setra) untuk warganya sendiri sepanjang bisa dibijaksanai. Apalagi sampai menghalang-halangi prosesi orang yang hendak melakukan Pitra Yadnya/ Pengabenan. Selain memalukan, juga tampak seolah-olah sebagai masyarakat yang masih primitive. Bukankah profesi ritual kematian bagi orang Hindhu sifatnya sementara ? Orang Bali sendiri sering dipersulit, dihalang-halangi, bahkan dicegah ?. Kondisi ambivalen tersebut telah membuat banyak krama Baligerah. Mereka tidak lagi menemukan keteduhan menjadi umat Hindu. Parisada pun sering dituding tidak mampu mengayomi umat yang tertindih aturan adat. Padahal pokok persoalannya bukan terletak pada ke tidakmampuan Parisada, tetapi akibat ketentuan Adat yang masih menjunjung paradigma lama.
Adat secara tidak langsung telah banyak menjadi pemicu umat Hindhu "ioncat pagar" memilih kayakinan agama lain, mari lakukan koreksi atas segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat pada sistim sosial umat Hindu.
Jika umat Hindu berkeinginan menjadikan adat sebagai benteng budaya dan agama Hindu di Bali, maka yang perlu diperangi atau dibuat keras aturannya adalah soal perjudian, kehadiran cafe,
minuman keras, dan peredaran narkoba, dan sangatlah idial menjadi dambaan bersama iika adat sterii terhadap masalah-masaiah tersebut.
Pemikiran bijak sangat diperlukan untuk melestarikan Adat Bali, dengan memperhatikan perkembangan zaman dan pola hidup yang selalu bergerak secara dinamis. Penerapan adat bukan seharusnya menonjolkan kesan sakralnya, melainkan harus mempertimbangkan makna dari adat tersebut, apakah adat itu masih dapat memberikan rasa aman, nyaman dan sejahtra bagi penduduknya, ataukah sebaliknya, malah membuat para warganya merasa tertekan dan resah.
Pelanggaran adat yang terjadi hingga menimbulkan warganya terkena sanksi kesepekang, lebih sering menimbulkan citra buruk di-mata masyarakat umum, karena sanksi demikian terkesan kurang mendidik dan terkesan sangat arogan. Persoalan utama yang sering muncul dalam kasus-kasus adat adalah lemahnya kesisteman yang dimiliki adat Bali, sehingga tidak mampu memberikan solusi secara utuh dan terintegrasi. Sehingga tidak dapat dipastikan siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab terhadap suatu kasus adat yang muncul pada suatu desa pakraman kalau masalah itu menyangkut ritual agama, ayah-ayahan, iuran adat, kasepekang, tidak boleh mengubur mayat, menyangkut tanah adat (hak uiayat, A YDS, tanah pelaba pura).
Terhadap munculnya masalah inilah diperlukan "koordinasi"antara desa pakramantian desa dinas. Koordinasi yang dimaksudkan adalah kfij iMtan oprasional gabungan, penggabungan ini mempengaruhinya biasanya lebih besar dari pada jumlah total pengaruh masing-masing satu persatu. Sebagai contoh dapat diambil, keberadaan desa pakraman, diberikan tugas wewenang untuk menerima laporan awal terhadap kehadiran penduduk pendatang, karena desa
pakraman dianggap dekat dengan warganya hubunga satu dengan lainnya. Selanjutnya setelah menerima laporan dari salah satu warga desa pakraman, oleh Kelian Desa Adat mengecek kebenaran, benar tidaknya ada penduduk pendatang baru. Demikian halnya terjadinya ketegangan dalam hal kewenangan dan larangan penguburan mayat, kasepekang d a n sebagainya masyarakat mempertanyakan, apakah ini tugas dari PHDI, Sulinggih, Bendesa Adat, Kanwil Agama dan lembaga adat lainnya, manakaia ada kasus-kasus adat yang muncul kepermukaan. Bahwa ada kesan fungsi-fungsi itu tidak berjalan secara utuh, bergerak sendiri-sendiri sehingga kasus adat tidak bisa diselesaikan secara utuh.
Sebagai contoh pertentangan antara Desa Pakraman Kayuputih dan Desa Pakraman Banyuatis, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, akibat tidak diberikan menguburkan mayat warga dari Desa Pakraman Banyuatis, oleh warganya berkehendak untuk membangun Kahyangan Tiga sendiri, sehingga tidak merupakan keharusan bagi warga Desa Pakraman Banyuatis dipaksakan untuk masuk warga "Desa Pakraman Kayuputih" karena palemahan dari beberapa warga Banyuatis secara administrative termasuk wilayah Desa Kayuputih. Tetapi oleh warga Desa Pakraman Banyuatis menolak, karena sejak lahir secara turun-temurun sudah menjadi krama di Desa Pakraman Banyuatis, bahkan ada arogansi Desa Pakraman Kayuputih untuk memaksakan kehendak dan mengancam untuk dibawa ke aparat Kepolisian. Tapi kini belum bisa terselesaikan, sehingga timbul pertanyaan, siapa yang punya kewenangan untuk memberikan suatu kepastian akan status warga yang bersangkutan.
Adanya konflik antara Desa Dinas dan Desa Pakraman Desa Banyuatis dengan Desa Kayuputih, perlu dilihat dari sudut ilmu hukum sebagai" Suigeneris "(spesifik), untuk mencapai keadilan, 30
diperlukan konsensus antara desa yang bersangkutan dengan mempergunakan teori khusus yaitu "Kebenaran Konsensus" lewat perareman6\ Desa dengan mempertemukan kedua pihak yang
bersengketa. Penduduk pendatang dan investor luar serta kejam pada krama sendiri hingga sulit mengembangkan diri, hal ini tercermin dari berbagai kasus adat
31 76
yang terjadi, dimana yang menjadi korban hanyalah krama Bali sendiri, sedangkan pendatang yang kesaiahannya jauh lebih berat tetap tenang dan nyaman tinggal. Bagaimana jumlah pendatang di suatu wilayah jauh lebih besar daripada kramaBaW sendiri, masihkah efektif hanya mengatur krama sendiri untuk menjaga Bali?.
Mungkin perlu dlpikirkan agar awig-awig6\ masing-masing desa pakramanJuga mengatur tentang penduduk pendatang, sehingga akan terjaga harmonisasi hidup yang lebih baikdi Bali ini. Penerapan awig-awig dan sanksi adat hendaknyalah disesuaikan denngan perkembangan keadaan masa kini sehingga nilai-nilai budaya dan kearifan Iokal bisa tetap tumbuh namun juga mampu memberi kesempatan yang cukup luas bagi krama-nya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki dan memberi kontribusi positif bagi desanya. Jika hal ini tak kunjung terwujud yang terjadi justru sebaliknya, dimana para pendatang akan dengan leluasa menguasai banyak bidang kehidupan diluar adat dan orang Bali yang diikat oleh adat yang sangat kuat hanya sibuk berkutat dengan urusan adatnya tanpa sempat mengembangkan potensi yang ada.
Konsep Tri Kona seharusnya dapat diterapkan dalam merevitalisasi adat di Bali. Tiga elemen tersebut yaitu : utpti (penciptaan) dituntut untuk mampu melahirkan konsep atau sistem yang mampu menjaga kelestarian dan keharmonisan tatanan alam dan masyarakatnya menyesuaikan dengan perkembangan yang ada.
Stiti (menjaga/memelihara) tetap mempertahankan nilai-nilai (kearifan Iokal) yang masih relevan dan memang baik untuk menjaga segala hal baik yang diperlukan.
/^///^(pemusnahan), janganlah ragu untuk mengganti aturan-aturan yang justru merugikan dan menghambat kemajuan krama maupun lingkungan sosial sehingga
menganggu harmonisasi alam dan tatanan masyarakat Bali itu sendiri. Unsur-unsur yang mampu memfilter dan menangkal pengaruh buruk nilai-nilai asing yang masukseperti narkoba, kafe masuk desa, termasuk investasi
r
negative lainnya (seperti yang menyerobot lahan produktif) harus mampu dirumuskan dengan tegas dan tidak malu-malu namun layak dan efektif diimpiementasikan sehingga desa pakraman yang diyakini sebagai benteng terakhir masyarakat Bali mampu dengan kokoh membendung hai-hal negative yang menyeruak membanjiri Bali.
Koordinasi oleh. Wayan P. Windia diartikan kegiatan bersama atau kegiatan tergabung. Kalau kegiatan sendiri hasilnya 10 (sepuiuh ), dengan kegiatan bersama atau bersinergi, diharapkan dapat membawa hasil lebih dari pada 10 (sepuiuh) (Windia, 2008 : 1-2). Maksudnya apabila permasalahan diselesaikan sendiri tanpa melakukan koordinasi (dengan pendapat orang lain), maka hasil yang didapatkan kurang sempurna. Sebaliknya makin banyak yang memberikan pendapat, hasilnya akan lebih baik, dari pada suatu persoalan diselesaikan sendiri
Kenapa desa pakraman perlu koordinasi dengan desa dinas ?. Tanpa mengurangi atau mengecilkan arti dalam mewujudkan kesejahtraan masyarakat, semua ini merujuk dalam Surat Parum Bendesa Desa Pakraman ditentukan bahwa; Surat Parum Bendesa Desa Pakraman se Kota Denpasar No: 041/Pngs/PBKD/XII/2005 tertanggal, 14 Desember 2005, akan kehadiran penduduk pendatang yang bertempat tinggal tetap di Kota Denpasar, ditetapkan untuk proses pengurusan Kartu Indentitas Penduduk Sementara ( KIPS ) dan Surat Tanda Pendaftaran Penduduk Tempat Tinggal Sementara (STPPTS), pada tingkat Banjar Dinas/ Banjar Adat, bagi penduduk pendatang yang berasal dari Kabupaten luar Kota Denpasar dikenakan dana solidaritas bermasyarakat masing-masing Rp. 5.000,- bagi pendatang yang berasal dari luar Denpasar. sedang dalam Propensi Bali yang berasal luar Bali dikenakan Rp. 50.000,-.
Kepala Desa Dauh Puri Kaja, melakukan koordinasi dengan desa pakramannya6a\arr\ hal memantau
kehadiran penduduk pendatang. Desa pakraman dibawah kepemimpinan Bendesa Adat menerima
33 78
laporan dari warga yang mendatangkan tamiu (tamu), selanjutnya oleh Bendesa Adat meneruskan laporan itu kepada pada Kelian Dinas, oleh Kelian Dinas memberikan bianko sebagai persyaratan untuk diisi oleh penduduk yang baru datang, dan ditanda tangani oleh Bendesa Adat, diserahkan kembali ke Desa Dinas
Wujud kerja sama yang berkoordinasi dan terjadi di Desa Peguyangan Kangin, dan Desa Pakraman Peninjauan, hasil keuntungan Lembaga Perkreditan Desa ((LPD), dibagi secara proporsional; untuk Desa Dinas mendapatkan 30 %, Desa Pakraman 70 %. Pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat-istiadat serta lembaga, dilakukan secara bersama-sama antara Desa Dinas dan Desa Pakraman (Wawancara, tanggal 12 Juli 2008 dengan Kepala Desa Sukeratha, A. A. Sudlra Arta, Ngakan. Putu {Bendesa Adat) Desa Peguyangan Kangin, Desa Pakraman Peninjauan), dengan organisasi atau lembaga adat, pemerintah desa, dan Pemerintah Daerah.
Wujud kerjasama yang berkoordinasi dilakukan adalah dalam upaya melaksanakan pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat-istiadat dan lembaga adat, dan semua itu ditetapkan sebagai" kebijakan " dan langkah-langkah Kepala Desa dan Bendesa Adat yang efektif dengan berpedoman kepada Peraturan Daerah, setelah bermusyawarah secara bersama-sama, baik kepada pemimpin/ pemuka adat di wilayah masing-masing.
Demikian halnya yang disampaikan Kepala Desa Sanur Kaja, Ida Bagus Paramartha; lebih jauh dikatakan, bahwa kebijakan dalam mengkoordinasikan antara Desa Dinas (Kepala Desa/ Kelian Dinas) dapat disusun dalam bentuk keputusan Peraturan Desa (Perdes) i mi uk dijadikan pedoman dalam menangani penduduk pendatang, sedangkan pelaksanaan pada Desa
Pakraman diwujudkan dalam bentuk "awig-awig" dan awig-awig m a n a tidak boleh bertentangan dengan Perdes yang telah disepakati (Wawancara dengan Kepala Desa Sanur Kaja, Ida Bagus Paramartha, tanggal 14 Juli 2008).
Untuk memberdayakan lembaga adat dalam pengembangan adat-istiadat, antara desa dinas dan desa pakraman dilakukan koordinasi dalam memberdayakan hal diatas diarahkan pada hal-hal sebagai berikut.:
1.
Melakukan pembinaan masyarakat adat dan penduduk pendatang untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat.2.
Mewujudkan pelestarian kebudayaan, sesuai misi dan visi dari Kota Denpasar, Kota yang berwawasan budaya.3.
Terciptanya kebudayaan perkotaan yang berlandaskan Kebhinekaan Tunggal Ika, karena kemajemukan penduduk yang ada pada Desa /Desa Pakraman Pedungan.a. Mengkondislkan suasana yang dapat mendorong peningkatan peranan fungsi adat- istiadat (Wawancara dengan Kepala Desa Pedungan, I Nyoman Lodra, tanggal 16 Juli 2008). Berdasarkan informasi Kepala Desa Dauh Puri Kelod; I Made Wardana dan Kelian Dinas Drs. Made Suweta, bersama-sama dengan Bendesa Adat Desa Pakraman Dauh Puri Kelod I Gusti Putu Toger, koordinasi dalam penyelenggaraan tugas-tugas adalah :
1. Penanganan Penduduk pendatang atau sering disebut dalam awig-awig desa adat disebut dengan "Krama Tamiu", dalam penertiban penduduk pendatang sebagai amanat Peraturan Desa Dinas senantiasa koordinasi dengan Desa Adat, disamping tetap memberlakukan Undang-Undang Kependudukan dan awig-awig desa adat Setiap penduduk pendatang yang bermaksud tinggal lebih dari 2 X 24 jam
dalam wilayah Desa Dinas dan Desa Pakraman, wajib melaporkan diri atau diwakili oleh warga penerima tamu paling lambat 1 X 24 jam kepada Kelian Dinas setempat dengan melengkapi, nama, alamat, pekerjaan, dan data
penjamin penduduk pendatang. Kelian Dinas wajib menyampaikan hal tersebut kepada Kelian Adat, untuk diketahui
dan dilanjutkan kepada Kepala Desa guna dibuatkan " Kipem/ Domisili".
2.
Kipem/ Domosili berlaku untuk 3 bulan pertama, bisa diperpanjang tiap-tiap tiga bulan sampai menetap selama 1 tahun, baru bisa dimohonkan KTP.3.
Dalam periode tertentu paling tidak 6 bulan sekaii, Desa Pakraman dan Desa Dinas mengerahkan aparat terkait seperti; Hansip, Pecalang, Kelian Adat, Kelian Dinas, Bendesa Adat, Kepala Desa, Babinkamtibmas, mengadakan sidak kelokasi/ rumah-rumahyang dihuni oleh penduduk pendatang, guna penertiban penduduk, apakah ada penghuni baru yang tidak didaftarkan atau dilaporkan.4.
Dalam rangka penertiban penduduk pendatang, guna mengantisipasi laju perkembangannya, pada tingkatbanjarteHah dibentuk"Tim Penertiban Penduduk Pendatang"
yang terdiri dari unsur-unsur, Banjar Dinas, Banjar Adat, Prajuru Tempekan, dan Pecalang. Sesuai Perda Kota Denpasar No: 5 Tahun 2000, pasal 3 B diatur: bahwa setiap penduduk yang akan menyewa tanah/ rumah/kamardan atau bangunan lainnya diwajibkan melaporkan peristiwa hukum tersebut ke Perangkat Desa dan Bendesa Adat setempat melalui perangkat Banjar setempat. Dan jika terjadi pelanggaran atas pelaksanaan administrasi kependudukan dikenakan sanksi pidana dengan kurungan paling lama 3 bulan atau dengan denda paling banyak'Rp.