• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebangkitan Islam Puritan

BAB IV ISLAM DI JAWA TENGAH BAGIAN SELATAN DEWASA INI

A. Kebangkitan Islam Puritan

Di era saat ini banyak terdapat klaim kontradiktif yang dibuat atas nama Islam. Gerakan purifikasi (pemurnian) Islam menjadi fenomena yang terus digulirkan dalam sejarah peradaban Islam di berbagai negara, termasuk Indonesia. Jika seseorang bertanya tentang Islam, maka berbagai tanggapan langsung bisa diperoleh begitu saja tergantung kepada siapa kita bertanya. Bangsa Barat acapkali mengeluh dengan sulitnya mempelajari apakah Islam mendukung atau menolak praktik penyanderaan, bom bunuh diri, jihad, dan kewajiban perempuan untuk berjilbab.

Hal ini ditemukan pada gerakan Puritanisme65 yang lahir sebagai paham baru yang dipelopori gerakan Wahabi pada abad ke-18 dan Salafi pada akhir abad ke-19. Gerakan ini bahkan masih aktif hingga abad ke-21 ini. Puritan menurut Karen Amstrong, merupakan agama yang diyakini oleh sekelompok orang yang sangat teguh berpegang pada peraturan-peraturan berdasarkan interpretasi harfiah murni yang bersumber dari kitab suci dan tradisi Islam pada masa-masa awal66. Puritanisme bertujuan untuk mengajak umat Islam kembali ke sebuah identitas Islam otentik melalui implementasi kembali hukum syariah. Menurutnya, tradisi yurisprudensi klasik hanya dianggap sebagai cara berpikir yang menyesatkan.

Sayyid Vali Reza Nasr dalam Syaiq Hasyim menyebut para puritan di belahan dunia Islam sebagai Islam revivalis. Menurutnya, istilah ini menyaratkan makna yang lebih dalam, tidak hanya menggambarkan fenomena gerakan penafsiran agama yang didasarkan kepada teks semata, akan tetapi merupakan gerakan yang sangat berkaitan dengan persoalan-persoalan politik umat, pembentukan identitas, persoalan kekuasaan dalam masyarakat yang plural. Dengan demikian, istilah revivalisme ini lebih luas jangkauannya karena pada kenyataannya kemunculan gerakan Islam radikal di negara-negara Islam di Timur Tengah maupun Asia memang tidak semata-mata didorong oleh

65 Sejarah Islam puritan lebih tepat dimulai dari kaum Wahabi. Bahkan setelah peristiwa 11 September 2001 dunia tersadar akan kekerasan yang dilakukan al-Qaeda sebagai dampak kaum Wahabi terhadap pemikiran Islam modern yang tak mungkin diukur.

66 Karen Amstrong, Islam: A Short History, terj. Ira Puspito Rini, cet. Ke-4 (Surabaya: Ikon Teralitera, 2004) hal. 159.

keinginan mereka untuk menerapkan makna literal dari teks-teks suci dalam kehidupan nyata, dan tidak hanya pula sekadar tandingan terhadap cengkeraman Barat, akan tetapi lebih filosois67.

Dasar-dasar teologi Wahhabi dibangun oleh seorang fanatik abad ke-18 yaitu

Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab68. Dengan semangat puritan, 'Abd al-Wahhab hendak membebaskan Islam dari semua perusakan yang diyakininya telah menggerogoti Islam, seperti tasawuf, tawassul, rasionalisme, ajaran Syiah dan berbagai praktek inovasi bid'ah. Wahhabi menyikapi teks-teks agama—al-Qur’an dan Sunnah—sebagai satu instruksi manual untuk menggapai model ideal dari negara kota Madinah yang telah dibangun Nabi. Menurut mereka, umat Islam akan terbebas dari keterbelakangan dan keterhinaan kolektif jika mau kembali berpegang pada ajaran Tuhan karena akan mendapatkan bantuan dan dukungan-Nya.

Dalam sejarah gerakan Islam puritan global ditunjukkan oleh Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab.69 Gerakan-gerakan tersebut mengobsesikan secara romantik adanya persatuan Islam atas dasar penyeragaman konsep teologis akan kemurnian keyakinan berketuhanan. Oleh karenanya, di dalam sistem budaya kelompok sosial Islam puritan antara lain berusaha menjauhkan tradisi sinkretis yang mengandung takhayul, bid’ah, dan khurafat, seperti slametan, tahlilan, Yasinan, ziarah, metik, tedun, wayangan, golek dina, sesaji, ngalap berkah, cari dukun, dan sebagainya. Mereka menganggap selamatan dan sejenisnya meskipun dimasukkan nilai Islam di dalamnya tetaplah tidak dibenarkan karena membahayakan tauhid. Doa terbaik bukan yang dibaca saat selamatan tersebut, melainkan doa yang dipanjatkan setelah shalat wajib.

Semangat purifikasi tidak hanya berbentuk pergulatan ide dan gagasan, tetapi telah berwujud gerakan. Menurut Idahram, gerakan ini makin semarak sejak awal tahun 1980-an70, yang mana pada saat itu terjadi perkembangan dakwah yang memberikan warna berbeda di Indonesia. Saat itu mulai berdatangan elemen-elemen pergerakan dakwah Islam dari luar negeri ke Indonesia hingga bermunculan beberapa

67 Syaiq Hasyim, “Fundamentalisme Islam: Perebutan dan Pergeseran Makna” dalam Jurnal

Tashwirul Afkar, Edisi no. 13 tahun 2002, hlm. 8.

68 Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi Mustofa Jakarta: Serambi Pustaka, 2006 hal. 61

69 Sutiyono, Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis, Jakarta: Kompas, 2010 hal. 6

70 Umma Farida, ISLAM PRIBUMI DAN ISLAM PURITAN: Ikhtiar Menemukan Wajah Islam Indonesia Berdasar Proses Dialektika Pemeluknya dengan Tradisi Lokal, Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan, Volume 3 No. 1 Juni 2015, hal 146

gerakan seperti Ikhwanul Muslimin, Majelis Mujahidin Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia, Front Pembela Islam, Laskar Jihad, Jamaah Salafi dan sebagainya.

Islam puritan sering dianggap tidak mempertimbangkan proses asimilasi dan akulturasi adat dan kepercayaan setempat. Akibatnya, banyak kalangan yang berpandangan bahwa Islam puritan terinspirasi oleh Wahabisme yang sangat gencar melawan semua bentuk apresiasi terhadap adat dan tradisi lokal. Persoalan yang mengganggu adalah segala hal yang diamalkan oleh kaum puritan akan dijustifikasi dan dilegitimasi sebagai hukum Tuhan yang bersifat mutlak, absolutisme, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pertanyaan atau apalagi gugatan apapun tidak diizinkan, interpretasi tidak diberi ruang kebebasan sedikit pun, dan proses penalaran kritis dibungkam. Seluruh sikap dan tindakan kaum puritan oleh mereka secara internal akan didaulat atas nama Tuhan, sehingga segala perilaku mereka seolah-olah mengimplikasikkan hukuman Tuhan yang mesti berlaku dan siapa pun mesti tunduk kepadanya.

Dalam persoalan hadis, mereka sering menyandarkan suatu hukum terhadap satu hadis ansich yang ditemukan dari sekian sumber yang mendokumentasikan hadis-hadis tersebut. Dalam paradigma Muhammad Ghazali, kaum puritan tidak lebih dari sekadar pelempar hadis—yakni melemparkan hadis-hadis kepada lawan-lawan mereka untuk menyalahkannya. Para pelempar hadis karena kebodohan mereka akan teori dan metodologi yurisprudensi, memperlakukan hukum dengan gaya oportunistik dan tak karuan. Mereka melacak ribuan hadis demi menemukan apa pun yang bisa mereka gunakan untuk mendukung sikap yang sudah terbentuk dan ditentukan sebelumnya.71

Beberapa faktor yang melatarbelakangi mudahnya spirit pembaharuan Wahabi diterima oleh beberapa ulama Indonesia di antaranya adalah karena medan dakwah nusantara yang berhadapan langsung dengan ajaran animisme, dinamisme, dan pengaruh Hindu-Budha. Faktor inilah yang menjadikan para pembaharu Wahabi mudah mengadopsi doktrin pemurnian tauhid, dengan harapan agar umat Islam Indonesia dapat lebih cermat dalam menjalankan ajaran Islam, sehingga tidak tercampur dengan budaya lokal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang murni.

Secara geografis Banyumas merupakan wilayah pedalaman yang terletak di bagian barat Jawa Tengah. Daerah itu membentang dari perbatasan Kabupaten Kebumen di sebelah timur ke arah barat sampai lembah Sungai Citanduy yang

71 Khaled Abou El-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan. terj. Helmi Mustofa. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006.

berbatasan dengan daerah Jawa Barat bagian selatan. Kondisi tanahnya terdiri dari lapisan vulkanis muda dan sebagian besar wilayahnya berupa persawahan yang subur dan sangat cocok untuk budi daya padi. Berdasarkan pengamatan peneliti terdapat dua organisasi keislaman yang puritan yang berkembang di wilayah ini, adalah Majelis Tafsir Al Quran (MTA) dan Al Irsyad.

1. Berkembangnya Majelis Tafsir Al Quran di Banyumas

Pasca reformasi di negeri ini yaitu pada tahun 1998, banyak bermunculan gerakan keagamaan baik tingkat nasional maupun lokal. Surakarta merupakan salah satu kota penting dalam gerakan soaial keagamaan di Indonesia, sebab dalam sejarahnya sejak lama kota ini menjadi basis dari gerakan radikal maupun gerakan yang moderat. Salah satu gerakan lokal di Surakarta yang perkembangannya sangat pesat pasca reformasi adalah Yayasan Majelis Tafsir Al Quran (MTA).

Majlis Tafsir al Quran (MTA) didirikan oleh Abdullah Thafail Saputra di Solo pada 19 September 1972. Setelah sekian lama berjalan, MTA kini dipimpin

oleh Ustadz Ahmad Sukina, dengan berjalannya waktu demi waktu, jama’ahnya

semakin berkembang dan kuantitas pengikut mereka sema kin banyak, mulai dari Solo Raya, (meliputi Karanganyar, Wonogiri, Klaten, Sragen, Surakarta, dan Sukaharjo). Sekarang merambah ke Blora, Cepu, Purwodadi, Yogyakarta, Magelang, Purwokerto, Ngawi, Bojonegoro, Nganjuk, Demak, dan Salatiga. Bahkan sampai di luar Jawa, seperti Medan, dan luar negeri. MTA dirintis dengan tujuan mengajak masyarakat untuk kembali kepada al Quran72.

MTA memfokuskan kajian pada tafsir Alquran, dengan slogan: ”ngaji al Quran sak manknane.” Doktrin utama MTA adalah pemurnian dengan jalan

mengembalikan perilaku masyarakat yang selama ini dianggap telah ”keluar” dari

ajaran Islam pada Alquran dan Sunnah, serta menjalin ukhuwah Islamiyah73. MTA selama ini mendeklarasikan dirinya untuk tidak mengikuti salah satu dari empat madzhab yang ada, karena mereka hanya ingin semua amaliah fiqh praktisnya dikembalikan serta dirujuk langsung dari Alquran dan Hadits. Hal ini MTA dinilai tidak mengikuti pola madzhab tertentu dalam hal mengikuti konstruksi fiqh. Fiqh sebagai panduan praktis (fiqh al-’amaly) dalam beribadah, menurut MTA sudah jadi satu dengan tuntunan yang ada dalam Alquran dan Sunnah, maka tidak perlu

72 Nur Hidayat Muhammad, Meluruskan Doktrin MTA Kritik atas Dakwah Majlis Tafsir al Quran di Solo, Muara Progresif, Surabaya 2013, hal.1

adanya imam madzhab, dan mengikuti madzhab merupakan perbuatan yang taqlid buta, tidak ada usaha untuk ijtihad, dan tidak belajar langsung pada sumbernya,

yaitu al Quran dan as Sunnah, karena: ”hanya al Quran dan as Sunnah yang benar.”.74

Islam yang dikembangkan oleh MTA adalah Islam yang murni (pure, kaffah) berdasarkan pada Alquran dan Sunnah, selain dari dua hal tersebut

dianggap sebagai “laisa minal Islam”, artinya agama Islam yang dibawa oleh

ulama generasi salaf maupun khalaf adalah tidak benar, dan akan masuk ke neraka75.

Untuk mencapai cita-citanya tersebut gerakan yang dilaksanakan oleh MTA antara lain melalui program dakwah, ekonomi, pendidikan, gerakan sosial, pembukaan rumah sakit, serta kursus secara berkala dengan bekerjasama dengan Balai Latihan Kerja Surakarta (BLK). Gerakan Dakwah melalui pengjian khusus dan pengajian umum. Pengjian umum yang dilaksanakan setiap hari minggu pagi diselenggarakan oleh MTA pusat, saat ini bertempat di halaman gedung MTA pusat di Mangkunegaran. Materi yang disampaikan dalam pengajian ini adalah pengalaman beragama sehari-hari, yaitu bagaimana masyarakat bisa memahami Alquran dan Sunnah sehingga menjadi muslim yang benar. Sedangkan pengajian khusus adalah pengajian yang khsusus diikuti oleh jamaah MTA yang biasa disebut siswa MTA. Pengajian ini merupakan sarana kaderisasi di dalam organisasi MTA. Pengajian ini diselenggarakan seminggu sekali baik di pusat maupun di cabang-cabang.76

Berkembangnya MTA di Jawa Tengah menyebar hingga ke daerah selatan dan barat Jawa Tengah yaitu di daerah Cilacap, Banyumas dan Kebumen. Munculnya MTA di Purwokerto berawal dari sekitar tahun 2000. Pada saat itu beberapa mahasiswa UNSOED yang berasal dari daerah Surakarta yang tentunya sudah bergabung dengan MTA di daerah masing-masing mengadakan belajar kelompok di sebuah kos-kosan dengan mempelajari brosur-brosur yang diterbitkan oleh MTA Pusat. Belajar kelompok dilaksanakan dengan rutin dan istiqomah, menarik teman-temannya untuk ikut bergabung belajar bersama. Dalam

74 Anas Aijudin, Transformasi Sosial Gerakan Islam di Surakarta (Laporan Penelitian Puslitbang Depag RI Tahun 2008), hlm.79.

75 Nur Hidayat Muhammad, Meluruskan …., hlm. 155. 76 Sekretariat MTA

perjalanannya menegakkan kebenaran tentunya disana-sini terjadi gejolak dari warga sekitar yang menolak/tidak setuju diadakannya belajar kelompok/ pengajian di tempat tersebut.

Belajar kelompok selanjutnya dilaksanakan berpindah-pindah terkadang dilaksanakan juga di masjid-masjid sekitar UNSOED dan mulai dibina dari Perwakilan Banjarnegara. Pada tahun 2002 tempat pengajian berpindah di sebuah kontrakan Perumahan Tanjung Elok. Pengajian tetap berjalan rutin, pesertanya semakin bertambah tidak hanya dari mahasiswa UNSOED namun beberapa orang dari daerah sekitar Banyumas yaitu Cilacap, Purbalingga, yang berprofesi sebagai pedagang. Pada tahun 2005 pengajian pindah lagi di sebuah kontrakan di daerah Sokaraja.

Namun baru terlaksana sekitar dua bulan timbul gejolak dari masyarakat sekitar, karena ketidaktahuannya menganggap pengajian sesat, sehingga pengajian tidak boleh dilaksanakan di daerah tersebut. Pengajian pindah lagi ke perumahan Tanjung Elok sampai sekitar tahun 2007. Mulai tahun 2007 pengajian ditempatkan pada rumah warga yang beralamat di Karanglewas Kidul RT 5 rw 4 karanglewas, Banyumas, dilaksanakan setiap hari jum'at jam 15.30, WIB (bakda ashar) yang diampu Ustads Parmanto dari perwakilan Banjarnegara. Setelah mengusulkan permohonan peresmian, kemudian disetujui akan menjadi perwakilan Banyumas yang akan diresmikan tanggal 10 Juli 2010 di Gor Satria Purwokerto.77

Pelantikan pengurus MTA perwakilan Banyumas dilakukan oleh ketua umum MTA Al-ustadz Drs. Ahmad Sukina yang ditandai dengan penyerahan Surat Keputusan (SK) kepada masing-masing: Sumardi, SPd sebagai Ketua I, Ahmad Supono sebagai ketua II, Gunawan SPd sebagai Sekretaris I, Sudarno sebagai Sekretaris II dan Tukino selaku Bendahara. Adapun sekretariat MTA Banyumas berada di Desa Karangkemiri, Kecamatan Karanglewas, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah, Kode Pos 53161.

Tidak dipungkiri bahwa hari ini MTA menjadi gerakan yang melibatkan ratusan bahkan ribuan orang. Para pengikutnya datang dengan sukarela mengikuti pengajian dan berbagai cara berusaha mendisiplinkan diri agar tetap istiqamah. Ikatan kewargaan disepakati semata-semata untuk menjaga konsistensi pengajian, mulai dari kehadiran dalam pengajian sampai pada pengawasan pelaksanaan hasil

kajian dalam kehidupan sehari-hari peserta. Pengamalan suatu ajaran dengan pengawasan dari sesama pengikut ternyata efektif, lebih terpantau, terkontrol dan mudah dikoordinasi. Ikatan dan kesatuan internal warga MTA, dengan disiplin kelompok, sejatinya lebih didedikasikan untuk diri dan keluarganya, tetapi pada akhirnya menarik simpati dan minat orang lain menjadi pengikut78.

Beralihnya seseorang menjadi pengikut MTA tidak semata-mata karena daya tarik gerakan ini dalam hal pembinaan anggota dan rutintas pengajian, tetapi lebih dipengaruhi oleh aktivitas di organisasi yang diikuti sebelumnya kurang memenuhi harapan dalam aspek spiritual. Organisasi yang sudah mapan dengan aktivitas-aktivitas rutin dalam amal usaha tetapi tidak melakukan dakwah secara konsisten dan kreatif sangat rentan ditinggalkan oleh pengikutnya sendiri. Krisis yang terjadi dalam satu gerakan Islam akan mengusik kesetiaan pengikut dan menjadi pertimbangan kuat melirik ke gerakan lain yang dianggap lebih memberi jaminan kenyamanan dan memenuhi kebutuhan spiritualnya. Migrasi anggota satu organisasi ke organisasi lain dapat dipahami sebagai kritik internal agar ormas melakukan langkah-langkah revitalisasi perkaderan dan penguatan ideologi, seperti di Muhammadiyah ada program penguatan ideologi dan paham keagamaan menurut Muhammadiyah (Islam berkemajuan), sedangkan di NU ada program penguatan paham aswaja bagi anggotanya79.

2. Al Irsyad

Ada beberapa sudut pandang sebagai dasar analisis untuk melihat organisasi Al-Irsyad. Pertama, Al-Irsyad dapat diungkapkan sebagai organisasi Islam Indonesia yang dimotori oleh orang-orang etnis Arab asal Hadramaut, Yaman, yang sering disebut dengan kaum Hadrami. Sementara itu, kaum Hadrami yang ada di Indonesia adalah bagian dari masyarakat yang terdiaspora, sehingga terkadang ada permasalahan sendiri untuk melihatnya. Kedua, Al-Irsyad adalah organisasi Islam yang menitikberatkan pada bidang pendidikan, sosial, dan dakwah dalam gerakannya. Ketiga, Al-Irsyad adalah bagian dari organisasi yang ada di

Indonesia, yang mengusung jargon “pembaharu Islam”.

78 Mutohharun Jinan, PENETRASI ISLAM PURITAN DI PEDESAAN: Kajian tentang Pola Kepengikutan Warga Majlis Tafsir Al-Quran, PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 14, No. 2, Desember 2013: hal. 114.

Ada kesamaan dengan sebagian masyarakat Timur Tengah lainnya, bahwa silsilah terutama ditelusuri melalui garis laki-laki. Oleh karena itu, keturunan dari seorang pria Hadrami dan seorang wanita lokal Indonesia dapat dianggap sebagai Hadrami.80 Menurut mereka, Islam dari sebuah agama telah menjadi suatu kumpulan takhayul, kekacauan dan sebuah permainan, sehingga dunia Islam berada dalam kemunduran. Ketika agama komunitas itu rusak, maka segalanya akan menjadi rusak karenanya. Untuk itu, menurut kalangan Al-Irsyad satu-satunya solusi bagi dunia Islam adalah kembali pada Islam yang benar, yaitu kembali pada Al-Quran dan al-Hadits81.

Namun, yang penting dicatat adalah bahwa prinsip pendidikan Al-Irsyad dibuat menjadi sistem sekolah yang terpisah sebagai daya dorong untuk menyebarkan rasa ke-Hadrami-an di antara anak-anak sekolah Al-Irsyad. Sekolah itu dengan bebas memelihara dan mempromosikan suatu identitas. Sekolah Al-Irsyad dalam kenyataan membuat sistem yang bersifat parallel namun tidak bersinggungan dengan sistem pemerintah kolonial. Dalam hal ini, para siswa tidak bisa saling berpindah antara suatu sekolah Al-Irsyad dengan suatu sekolah pemerintah. Dengan demikian, ketika sistem pemerintah telah menanamkan perasaan kesatuan nasional bagi orang Indonesia, maka sekolah Al-Irsyad

menanamkan suatu perasaan “keterpisahan”82.

Hal terpenting yang ditanamkan sebagai nilai-nilai modern oleh sekolah Al-Irsyad pada siswa-siswanya adalah semangat patriotisme. Walaupun kurrikulum sekolah pada dasarnya tidak menyebutkan secara spesifik pengajaran watanniyyah, tetapi ada beberapa bukti yang diajarkan kepada para siswa bahwa mencintai tanah airnya (Hadramaut), menurut kalangan mereka, merupakan karakteristik esensial dari manusia modern83.

Dalam perspektif sosiologi, gerakan Al-Irsyad dapat dikategorikan sebagai bagian dari gerakan sosial. Gerakan sosial sendiri mengandung arti kolektivitas orang yang bertindak Bersama atau upaya kolektif untuk membangun tatanan kehidupan yang baru. Gerakan Sosial dapat diartikan pula dengan upaya kolektif

80 Frode F. Jacobsen, Hadrami Arabs in Present-day Indonesia: An Indonesia-oriented Group with an Arab Signature, (London and New York: Routledge, 2009), hlm. 19

81 Natalie Mobini-Kesheh, The Hadrami Awakening: Community and Identity in the Netherlands East Indies, 1900-1942, (Ithaca, New Tork: Southeast Asia Program Publication, 1999), hal. 75.

82Ibid, hal 74 83Ibid, hal 87

untuk mengubah tatanan sosial atau mengubah norma dan nilai. Adapun tujuan bersama tindakannya adalah perubahan tertentu dalam masyarakat dengan menetapkan partisipan menurut cara yang sama.84

Dikatakan pula, gerakan sosial adalah bagian sentral modernitas. Gerakan sosial menentukan ciri-ciri politik modern dan masyarakat modern. Gerakan social berkaitan erat dengan perubahan struktural mendasar yang telah terkenal sebagai

modernisasi yang menjalar ke bidang “sistem” dan kehidupan dunia.

Sementara itu, peningkatan pendidikan adalah salah satu ciri modernitas. Partisipasi dalam gerakan sosial membutuhkan kesadaran, imajinasi, kepekaan moral, dan perhatian terhadap masalah publik dalam derajat tertentu serta kemampuan menggenalisirnya dari pengalaman pribadi dan lokal. Kesemuanya ini berkorelasi positif dengan tingkat pendidikan.85

Pendidikan Al-Irsyad pada masa awal dibuat menjadi sistem sekolah yang terpisah sebagai daya dorong untuk menyebarkan rasa ke-Hadrami-an di antara anak-anak sekolah Al-Irsyad tentu dapat dibenarkan. Sekolah itu dengan bebas memelihara dan mempromosikan suatu identitas. Sekolah Al-Irsyad dalam kenyataan membuat sistem yang bersifat paralel namun tidak bersinggungan dengan sistem pemerintah kolonial. Dalam hal ini, para siswa tidak bisa saling berpindah antara suatu sekolah Al-Irsyad dengan suatu sekolah pemerintah. Dengan demikian, ketika sistem pemerintah telah menanamkan perasaan kesatuan nasional bagi orang Indonesia, maka sekolah Al-Irsyad menanamkan suatu

perasaan “keterpisahan”.86

Demikian pula, identitas ke-Arab-an atau ke-Hadrami-an juga telah tampak sejak awal berdirinya Al-Irsyad. Misalnya, dikatakan bahwa organisasi Al-Irsyad menjuruskan perhatiannya pada bidang pendidikan, terutama pada masyarakat Arab, ataupun pada permasalahan yang timbul di kalangan masyarakat Arab, walaupun orang-orang Indonesia Islam bukan Arab ada yang menjadi anggotanya. Secara resmi organisasi ini bertujuan untuk mengumpulkan dana dan memeliharanya agar dapat digunakan untuk membiayai keperluan-keperluan,

84Piӧtr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, terj. Alimandan, (Jakarta: Prenada, 2005), hlm. 325. 85Ibid, hal. 331

86 Natalie Mobini-Kesheh, The Hadrami Awakening: Community and Identity in the Netherlands East Indies, 1900-1942, (Ithaca, New Tork: Southeast Asia Program Publication, 1999), hal. 74

seperti pertama, menyelenggarakan kebiasaan dan adat istiadat Arab menurut ajaran agama Islam, dan untuk menyebarkan dalam kalangan orang-orang Arab pengetahuan agama, Bahasa Arab, bahasa Belanda dan bahasa-bahasa lain. Kedua, membangun dan memelihara apapun juga untuk mencapai apa yang telah disebutkan, seperti rumah dan sebagainya untuk keperluan rapat, sekolah-sekolah, dan lain-lain yang berguna untuk umum. Ketiga, mendirikan perpustakaan.

Al Irsyad Al Islamiyyah mudah dikenal sebagai sebuah organisasi masyarakat yang memfokuskan diri pada pengelolaan pendidikan berbasis Islam. Al Irsyad Al Islamiyyah Purwokerto sendiri telah dikenal aktifitasnya sejak tahun 1932 terhitung sejak berdirinya sekolah Al Irsyad yang pertama di Purwokerto.

Secara resmi Al Irsyad Al Islamiyyah Purwokerto diakui sebagai lembaga pendidikan berdasarkan beberapa dokumen, yaitu87:

1. Surat Pengesahan Perguruan Agama dari Departemen Agama Republik

Indonesia Perwakilan Propinsi Jawa Tengah, nomor: K/201/IIb/’75 tanggal 1

Januari 1975 tentang M.I. Al-Irsyad I. Surat ini menegaskan pengakuan sebagai Perguaruan Agama Swasta dengan nomor induk 201.

2. Surat Pengesahan Perguruan Agama dari Departemen Agama Republik

Dokumen terkait