• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

C. Kebatinan

1. Kebatinan Secara Umum

Aliran kebatinan lebih dikenal sebagai kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan suatu sistem kepercayaan atau sistem spiritual yang ada di Indonesia selain agama, aliran, faham, sekte atau madzab dari agama tersebut, serta bukan pula termasuk kepercayaan adat (Sofwan, 1999). Kata kebatinan itu sendiri berasal dari kata Arab, batin yang berarti sebelah dalam, inti, bagian dalam, di dalam hati, tersembunyi dan misterius

(Mulder, 1983). Geertz mengartikan batin sebagai “dunia-dalam dari pengalaman manusia” (1963).

Dengan lebih singkat Kamil (1985) merumuskan kebatinan sebagai olah batin yang macam apapun. Kebatinan itu sendiri seperti yang telah dirumuskan dalam kongres BKKI (Badan Kongres Kebatinan Indonesia) kedua di Sala pada tahun 1956 yang menyatakan bahwa kebatinan ialah “Sumber Azaz dan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa untuk mencapai budi luhur, guna kesempurnaan hidup.” Untuk mencapainya kebatinan berprinsip agar manusia selalu berusaha membersihkan diri dengan semboyan “sepi ing pamrih rame ing gawe”.

Djojodigoeno (Giri, 2003) menambahkan bahwa kebatinan mempunyai 4 unsur yang penting yaitu :

a. Ilmu gaib

Ilmu yang menitik beratkan pada penggunaan ilmu- ilmu gaib untuk melayani keperluan manusia.

b. Union mistik

Usaha untuk menyatukan jiwa manusia dengan Tuhan. c. Sangkan paraning dumadi

Bertujuan mengenal Tuhan dan menembus alam rahasia mengenai darimana manusia datang dan kemana manusia pergi.

d. Budi luhur

Menciptakan masyarakat yang saling menghargai dan saling mencintai sesuai perintah Tuhan.

Mukti Ali (Soesilo, 2004) juga mengemukakan 5 sifat kebatinan, yaitu: 1) Bersifat “batin”, yaitu yang dipergunakan sebagai keunggulan kekuatan

lahir, peraturan hukum yang diharuskan dari luar oleh pendapat umum. 2) Bersifat subyektif, yaitu mementingkan rasa atau pengalaman rohani. 3) Sifat keaslian, yang merupakan ciri khas kebatinan, lebih mengutamakan

gaya hidup dan kesopanan timur. 4) Hubungan erat antar para warganya.

5) Sifat kelima adalah faktor ahklak atau budi luhur.

Kebatinan tidak akan terlepas dari mistik, karena pada dasarnya kebatinan adalah mistik, yang berupaya menembus pengetahuan mengenai alam raya dengan tujuan mengadakan suatu hubungan langsung antara individu dengan Yang Maha Kuasa (Endraswara, 2003).

Ada begitu banyak aliran kebatinan yang ada di Indonesia, menurut catatan yang ada pada Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) Departemen Agama, jumlah aliran kebatinan pada tahun 1950 an mencapai kurang lebih 400 aliran. Aliran-aliran tersebut baru benar-benar terorganisir setelah kemerdekaan. Aliran kebatinan tersebut memiliki ajaran yang berbeda-beda serta motivasi dan tujuan yang berberbeda-beda-berbeda-beda pula, bahkan ada diantaranya yang menyatakan diri sebagai agama atau minta diakui sebagai agama seperti Aliran Sapta Darma sehingga pemerintah merasa perlu untuk melakukan pengawasan terhadap aliran-aliran kebatinan tersebut.

Menurut Mulder kebangkitan kebatinan Jawa secara fenomenal dalam tahun-tahun sesudah kemerdekaan tidak dapat diterangkan dengan suatu

alasan sederhana saja. Ada 2 interpretasi yang muncul, yang pertama adanya perasaan muak terhadap bentuk-bentuk tingkah laku religius agama tertentu. Bagi penganut kebatinan, “Tuhan” ada dalam hati manusia dan hidup manusia sendiri harus menjadi doa terus menerus kepada Yang Mahakuasa. Interpretasi kedua yang dianut luas menganggap bahwa bangkitnya kebatinan merupakan reaksi melawan serangan gencar modernisasi dan sehubungan dengan itu, kemerosotan moral bangsa (Hadiwijono, 1967).

Setelah melihat unsur dan sifat kebatinan maka dapat disimpulkan bahwa kebatinan merupakan usaha manusia yang terus menerus dalam mengolah batinnya sehingga manusia dapat bersatu dengan Tuhan untuk mencapai kesempurnaan hidup.

2. Konsep Tuhan Dalam Kebatinan

Kebatinan mengakui Tuhan dimana wujud dan keberadaannya masih diluar jangkauan manusia sehingga Tuhan dipandang sebagai Zat yang tidak bisa digambarkan, tidak bisa dipikirkan seperti apa, yang lebih dikenal dengan istilah tan kena kinanya ngapa (Sofwan, 1999). Oleh Hadiwijono (1999), Tuhan dipandang sebagai Zat yang mutlak dalam arti falsafah yang menjadi sumber segala sesuatu.

Ada ambivalensi dalam pandangan tentang Tuhan menurut kebatinan. Disatu sisi Tuhan dipandang sebagai Dzat yang transenden namun disisi lain Tuhan dipandang sebagai sebagai Dzat yang immanen. Tuhan sebagai Dzat yang transenden tampak ketika ia dipandang sebagai Dzat yang mutlak yang

tidak bisa digambarkan seperti apa yang oleh salah satu aliran kebatinan disebut sebagai terdahulu dari segala yang terdahulu, yang paling luar dari yang paling luar. Tuhan sebagai Dzat yang immanen artinya Tuhan ada di dalam alam ini, Tuhan tersembunyi, terlibat di dalam alam yang nyata bahkan Tuhan termasuk dalam susunan alam (Sofwan, 1999).

Pandangan tentang Tuhan sesungguhnya bertolak dari pengalaman individu menanggapi suatu Dzat Gaib, Yang Illahi. Pertama Yang Illahi diakui sebagai Fascinosum : yang menarik, yang mempesona, karib, mesra dan menimbulkan cinta pada Nya. Yang kedua, Ia diakui sebagai Tremendum : yang menakutkan, yang jauh, ya ng dashyat (Sofwan, 1999).

Ajaran ke Tuhan an dalam kebatinan disimpulkan sebagai paham pantheisme. Pantheisme berasal dari kata pan (seluruh) dan Theos (Tuhan), bahwa seluruh yang ada ini adalah Tuhan, maka ciri khas dari ajaran ini adalah mengidentikkan Tuhan dengan akan satu keadaannya dalam dzat. Pentheisme mangajarkan bahwa Tuhan bukan sebagai obyek penyembahan atau kebaktian, tetapi Tuhan dipandang sebagai hukum yang merangkum keseluruhan sebagai satu kesatuan yang tak berkepribadian, kendatipun Ia dipandang sebagai yang hidup.

Dari pendapat-pendapat di atas maka dapat dilihat bahwa sesungguhnya dalam kebatinan, manusia dipandang sebagai mikrokosmos dan Tuhan sebagai makrokosmos yang mengatur kehidupan di dalamNya. Hubungan antara manusia dan Tuhan saling mempengaruhi karena manusia hidup di dalam Tuhan sebagai keseluruhan, sehingga diantara mereka

diharapkan adanya suatu keselarasan agar dapat tercipta suatu hubungan yang “satu” diantara keduanya. Manusia sebagai mikrokosmos harus mampu menyatu dalam keseluruhan dalam artian manusia yang berkedudukan sebagai “kawula” harus mampu menyatu dengan “Gusti”. Penyatuan ini yang nantinya lebih dikenal sebagai “Manunggaling Kawula Gusti”.

3. Manunggaling Kawula Gusti

“Manunggaling Kawula Gusti”, merupakan istilah untuk menggambarkan penyatuan atau peleburan manusia sebagai “kawula” dan Tuhan sebagai “Gusti”. Ajaran tersebut menghantarkan pada suatu kesimpulan bahwa manusia yang telah mencapai taraf penyatuan dengan Tuhan, tidak lagi terbebani hukum dan bebas dari hukum. Bagi mereka yang telah menemukan kesatuan dengan hakekat hidup atau Dzat Tuhan, segala peribadatan adalah kepalsuan. Karena Tuhan tidak terkena hukum kealaman, maka manusia yang menyatu dalam Dzat Tuhan akan mencapai keabadian seperti Tuhan yang terbebas dari semua kerusakan. Puncak penyatuan “Kawulo Gusti” oleh Syekh Siti Jenar disebutkan sebagai uninong aning unong (Soesilo, 2004).

Dalam konsep “Manunggaling Kawula Gusti”, manusia yang mampu bersatu dengan Tuhan diyakini akan memiliki sifat-sifat yang juga dimiliki oleh Tuhan. Manusia yang telah mencapai penyatuan dengan Tuhan nantinya juga akan memiliki kekuatan-kekuatan yang berasal dari Tuhan seperti kemampuan untuk menyembuhkan, kemampuan mencipta dan

kemampuan-kemampuan lain yang diluar akal manusia. Kelebihan ini diharapkan dapat digunakan sebijaksana mungkin oleh mereka yang telah mencapai tahapan itu.

Dokumen terkait