• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengalaman religius para penganut sapta darma yang telah berpengalaman melakukan sujud.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengalaman religius para penganut sapta darma yang telah berpengalaman melakukan sujud."

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

vii ABSTRAK

Pengalaman Religius Para Penganut Sapta Darma Yang Telah Berpengalaman Melakukan Sujud

Helios Satryo Aryo Dewo 029114021

Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Pengalaman religius dikatakan sebagai suatu sensasi luar biasa akan Tuhan yang mampu merubah kehidupan seseorang. Pengalaman religius ini dapat difasilitasi oleh ritual, salah satunya adalah ritual sujud yang menjadi bagian dalam ajaran Sapta Darma. Oleh para praktisinya, sujud hanya dapat dipahami dengan melakukannya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengalaman-pengalaman religius para penganut Sapta Darma yang difasilitasi oleh sujud serta pengaruhnya terhadap kehidupan mereka sehari- hari.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan dengan cara wawancara. Responden dalam penelitian ini berjumlah 3 orang, subyek pertama berusia 75 tahun dan sudah bergabung selama 50 tahun, subyek kedua berusia 51 tahun dan sudah bergabung selama 11 tahun, subyek ketiga berusia 60 tahun dan sudah melakukan sujud sejak umur 23 tahun. Dalam penelitian ini para responden menceritakan pengalaman-pengalaman religius yang mereka dapatkan melalui sujud.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sujud mampu untuk memfasilitasi pengalaman religius. Responden merasakan suatu sensasi fisik maupun psikologis dan merasakan suatu manfaat ketika melakukan sujud, subyek juga merasakan pertemuan dengan Tuhan nya. Pengalaman religius yang dialami ole h subyek memunculkan konsep tentang Tuhan yang menghasilkan suatu pengendalian diri di dalam penghayatan akan sifat-sifat Tuhan.

(2)

viii ABSTRACT

The Religious Experiences of Sapta Darma’s Followers Who Are Experienced With Sujud

Helios Satryo Aryo Dewo 029114021

Psychology Department Sanata Dharma University

Religious experience is being known as an extraordinary sensation of God in which it has the power of changing a human being’s life. This religious experience can be facilitated by rituals and one of them is called sujud (kneeling) ritual in which it is a part of Sapta Darma’s teaching. By its practitioners, sujud can only be understood when a person is actually experiences it. The purpose of this research paper is to describe the religious experiences of Sapta Darma’s followers which are being facilitated with sujud and also the influences to their daily life.

This research paper was done through qualitative method. The data were collected by doing interviews. Respondents in this research were divided into 3 people, first subject was 75 years old and had been joining since 50 years ago, second is a 51 year-old follower since 11 years ago, and the third one is 60 years old and had been doing sujud since the age of 23. In this research respondents were telling their religious experiences they achieve through sujud.

Research results show that sujud has the power to facilitate religious experiences. Respondents were felt a physical and/or psychological sensation and a great benefits when they were doing sujud, subjects also feel their meets with their God. The religious experiences being experienced by subjects finally produces a concept of God in which it creates a self control in terms of their special attentions toward God’s natural characteristics.

(3)

i

PENGALAMAN RELIGIUS

PARA PENGANUT SAPTA DARMA YANG TELAH

BERPENGALAMAN MELAKUKAN SUJUD

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Helios Satryo Aryo Dewo - 029114021

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini untuk

1. Tuhan ku yang selalu melindungi dan membimbingku melalui para malaikat-malaikat Nya yang sampai saat ini telah sangat berjasa di hidupku.

2. Kedua orang tuaku yang telah memunculkanku di dunia ini, aku mencintai kalian berdua.

3. Seseorang yang sangat kusayangi yang telah sabar menantiku. 4. Saudara-saudara dan teman-teman yang aku kasihi dan aku

sayangi.

(7)

v

HALAMAN MOTTO

v Musim tidak saling berebut untuk berganti, awanpun tidak bertanding

melaju lebih cepat daripada angin. Alam lebih tahu k apan merek a harus

bek erja. (Dan Millman)

v Lebih baik tidak mengek spresik an apa-apa dari pada di salahartik an. (Karl

Kraus)

v Jik a Tuhan memberi k ita roti y ang k eras, mak a Ia ak an memberi k ita

gigi y ang tajam. (Peribahasa Jerman)

v Cuk up dengan hening, hadirk an Tuhan, hay ati sif at-si f at Ny a

di k ehi dupanmu dan ak an k au temuk an k ebahagiaan di dunia ini.

v Tantangan hidup y ang sebenarny a adal ah k eti k a k i ta berusaha bangk it

(8)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

(9)

vii ABSTRAK

Pengalaman Religius Para Penganut Sapta Darma Yang Telah Berpengalaman Melakukan Sujud

Helios Satryo Aryo Dewo 029114021

Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Pengalaman religius dikatakan sebagai suatu sensasi luar biasa akan Tuhan yang mampu merubah kehidupan seseorang. Pengalaman religius ini dapat difasilitasi oleh ritual, salah satunya adalah ritual sujud yang menjadi bagian dalam ajaran Sapta Darma. Oleh para praktisinya, sujud hanya dapat dipahami dengan melakukannya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengalaman-pengalaman religius para penganut Sapta Darma yang difasilitasi oleh sujud serta pengaruhnya terhadap kehidupan mereka sehari- hari.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan dengan cara wawancara. Responden dalam penelitian ini berjumlah 3 orang, subyek pertama berusia 75 tahun dan sudah bergabung selama 50 tahun, subyek kedua berusia 51 tahun dan sudah bergabung selama 11 tahun, subyek ketiga berusia 60 tahun dan sudah melakukan sujud sejak umur 23 tahun. Dalam penelitian ini para responden menceritakan pengalaman-pengalaman religius yang mereka dapatkan melalui sujud.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sujud mampu untuk memfasilitasi pengalaman religius. Responden merasakan suatu sensasi fisik maupun psikologis dan merasakan suatu manfaat ketika melakukan sujud, subyek juga merasakan pertemuan dengan Tuhan nya. Pengalaman religius yang dialami ole h subyek memunculkan konsep tentang Tuhan yang menghasilkan suatu pengendalian diri di dalam penghayatan akan sifat-sifat Tuhan.

(10)

viii ABSTRACT

The Religious Experiences of Sapta Darma’s Followers Who Are Experienced With Sujud

Helios Satryo Aryo Dewo 029114021

Psychology Department Sanata Dharma University

Religious experience is being known as an extraordinary sensation of God in which it has the power of changing a human being’s life. This religious experience can be facilitated by rituals and one of them is called sujud (kneeling) ritual in which it is a part of Sapta Darma’s teaching. By its practitioners, sujud can only be understood when a person is actually experiences it. The purpose of this research paper is to describe the religious experiences of Sapta Darma’s followers which are being facilitated with sujud and also the influences to their daily life.

This research paper was done through qualitative method. The data were collected by doing interviews. Respondents in this research were divided into 3 people, first subject was 75 years old and had been joining since 50 years ago, second is a 51 year-old follower since 11 years ago, and the third one is 60 years old and had been doing sujud since the age of 23. In this research respondents were telling their religious experiences they achieve through sujud.

Research results show that sujud has the power to facilitate religious experiences. Respondents were felt a physical and/or psychological sensation and a great benefits when they were doing sujud, subjects also feel their meets with their God. The religious experiences being experienced by subjects finally produces a concept of God in which it creates a self control in terms of their special attentions toward God’s natural characteristics.

(11)

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat, kasih dan karunia yang telah dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjud ul “Pengalaman Religius Para Penganut Sapta Darma Yang Difasilitasi Oleh Ritual Sujud”.

Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak mungkin terlaksana dengan baik tanpa bantuan, dukungan dan dorongan serta kerja sama dari berbagai pihak yang terkait, oleh karena itu perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada :

1. Tuhan, yang telah membantuku dalam pengerjaan skripsi ini dengan cara Nya yang kadang masih susah kupahami.

2. My Big Boss alias bokap, atas dukungan finansial yang telah diberikan. 3. Mamah yang penuh dengan permasalahan hidup tapi masih mau

membantuku menyelesaikan sebagian permasalahan dalam rumah tangga, Keep Fight Mom!!!.

(12)

x

5. Mbak Wahyu yang telah merelakan waktunya untuk membantu saya dengan mengenalkan saya kepada bapak tuntunan dan para anggota Sapta Darma.

6. Bapak Tuntunan dan anggota Sapta Darma yang sudi menjadi responden di dalam penelitian ini.

7. Viki, atas bantuan pinjaman laptop dan printernya serta “cambuk” yang memacuku di dalam penyelesaian skripsi ini.

8. R. M. Harcanie yang telah mengutus abdi dalemnya untuk mencari info mengenai lokasi pusat dari Sapta Darma.

9. Teman-teman kerjaku di shooternet, atas bantuan yang kalian berikan untuk mengisi jatah kerjaku disaat aku ingin fokus ke penyelesaian skripsi ini.

10.Semua dosen psikologi yang telah menambah pengetahuan saya tentang dinamika manusia.

11.Semua karyawan-karyawan di Fakultas Psikologi Sanata Dharma, Mas Dony, Mas Gandung, Mas Muji, Mbak Nani dan pak Gie atas bantuan dan peran serta kalian di dalam penyelesaian skripsi ini.

12.Teman-temanku psikologi angkatan 2002 yang telah mendukungku untuk menyelesaikan skripsi ini.

13.Danang dan Suko yang telah banyak sekali membantuku baik melalui dukungan serta fasilitas yang telah kalian berikan.

(13)

xi

(14)

xii DAFTAR ISI

Halaman Judul... i

Halaman Persetujuan Pembimbing... ii

Halaman Pengesahan... iii

Halaman Persembaha n... iv

Halaman Motto... v

Pernyataan Keaslian Karya... vi

Abstrak... vii

Abstract... viii

Kata Pengantar... ix

Daftar Isi... xii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 5

C. Tujuan Penelitian... 5

D. Manfaat Penelitian... 6

BAB II. LANDASAN TEORI A. Pengalaman Religius... 7

B. Ritual... 11

C. Kebatinan 1. Kebatinan Secara Umum... 13

2. Konsep Tuhan Dalam Kebatinan... 16

(15)

xiii

D. Sapta Darma... 19

E. Sujud Sebagai Yang Memfasilitasi Pengalaman Religius... 24

F. Pertanyaan Penelitian... 26

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian... 27

B. Definisi Operasional... 27

C. Metode Pengumpulan Data... 28

D. Data Dalam Penelitian... 29

E. Subyek Penelitian... 30

F. Pedoman Wawancara... 30

G. Analisis Data... 31

BAB IV. PELAKSANAAN DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN A. Pelaksanaan Penelitian... 34

B. Proses Perkenalan dan Gambaran Komunitas Sapta Darma... 35

C. Ritual Sujud Penggalian... 37

1. Gambaran Singkat Mengenai Ritual Sujud Penggalian... 37

2. Tujuan Sujud Penggalian... 38

3. Inti Penggalian... 38

4. Tata Tertib Penggalian... 39

5. Bahan-Bahan Penggalian... 42

(16)

xiv

1. Sy... 48

2. Sn... 49

3. Wm... 49

F. Hasil Analisis Data 1. Narasi Subyek a. Sy... 50

b. Sn... 56

c. Wm... 60

2. Kategori Hasil Penelitian... 65

G. Pembahasan 1. Pembahasan Tiap Kategori a. Latar Belakang Subyek Melakukan Sujud... 68

b. Sensasi Fisik Yang Dirasakan Subyek Ketika Sujud... 69

c. Sensasi Psikologis Yang Dirasakan Subyek Ketika Sujud... 70

d. Pengalaman Akan Tuhan Ketika Sujud... 71

e. Manfaat Yang Dirasakan Ketika Sujud... 72

f. Pengaruh Ke Dalam Kehidupan Sehari- hari... 73

g. Pengalaman Di Dalam Relasi Mereka Dengan Tuhan nya... 74

(17)

xv

Dan Pengalaman Akan Tuhan... 75

BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan... 83

B. Keterbatasan Penelitian... 84

C. Implikasi Untuk Psikologi... 85

D. Saran... 87

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Akhir-akhir ini baik di televisi maupun di media- media komunikasi lain, sering dijumpai kisah-kisah seseorang yang menceritakan pengalaman-pengalaman religius yang dia alami, salah satunya adalah acara Solusi yang ditayangkan di SCTV. Mereka mengatakan bahwa pengalaman mereka telah merubah semua kehidupannya, mereka percaya bahwa Tuhan telah membimbing mereka di dalam menyelesaikan semua permasalahan kehidupannya dan bahkan mereka juga merasakan keajaiban-keajaiban Nya. Pengalaman religius dianggap sebagai suatu sensasi yang luar biasa yang telah merubah hidup seseorang menjadi lebih baik dan hal ini menjadi sangat penting bagi kehidupan manusia karena bisa membuat hidup manusia menjadi lebih mudah dan lebih bahagia dan bila memang benar bahwa pengalaman religius menjadi salah satu media untuk menyelesaikan sebagian permasalahan manusia, pengalaman religius menjadi sangat vital untuk diteliti.

(19)

kesadaran dari yang disucikan dalam konteks tradisi religius yang khusus (Habel dkk, 1993). Paloutzian menambahkan bahwa pengalaman religius adalah salah satu aspek yang paling inti dan yang paling penting dari keagamaan dan yang paling sulit dan yang paling cepat berlalu untuk dipelajari (1996).

Pengalaman religius sering dihubungkan dengan ritual, ritual juga diklaim sebagai salah satu kunci untuk mencapai penga laman mistik, spiritual dan religius (Rappaport; Bloch dalam Cross Currents, 2003). Ritual dianggap sebagai suatu aturan budaya yang mendasari semua kehidupan manusia yang mampu membantu manusia untuk mengembangkan dirinya ketika berhadapan dengan permasalahan-permasalahan yang mendasar dalam hidupnya (Malinowski; Eliade dalam Diaz & Sawatzky, 1995). Ada anggapan bahwa ritual harus ada di dalam suatu kelompok masyarakat karena peran ritual di dalam suatu kelompok yaitu sebagai yang mendorong keharmonisan dalam suatu kelompok dan sebagai penopang dan yang melindungi mereka dari kehancuran (van Gennep; McManus dalam Diaz & Sawatzky, 1995).

(20)

mengindikasikan awal kehancuran dari suatu ideologi yang telah menopang mereka (dalam Diaz & Sawatzky, 1995).

Rappaport mengatakan bahwa hanya dengan melakukan ritual, kita baru bisa memahami apa yang sesungguhnya bisa diekspresikan olehnya (Rappaport dalam Cross Currents, 2003). Ini mungkin erat kaitannya dengan ritual sujud yang dilakukan oleh penganut salah satu aliran kejawen, aliran Sapta Darma. Melalui para praktisinya, mereka percaya bahwa kebenaran sejati dari Sapta Darma hanya dapat diekspresikan dan dialami langsung dengan melakukan sujud yang dianggap sebagai media untuk berinteraksi dengan diri sendiri, orang lain, alam, dan Tuhan-nya.

(21)

menjadikan manusia dapat bersekutu dan mendapat bagian dari sifat-sifat Hyang Maha Kuasa (Pawenang, 1962).

(22)

disadari sehingga meningkatkan kualitas pribadi yang mengarah pada realisasi diri.

Dalam penelitian ini, yang akan menjadi fokus adalah pengalaman religius ketika seseorang melakukan ritual sujud. Sujud sebagai salah satu contoh ritual dianggap mampu memfasilitasi sua tu pengalaman religius. Adapun yang akan menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah pengalaman religius seperti apakah yang diperoleh para penganut Sapta Darma yang telah berpengalaman melakukan sujud mengingat dibutuhkannya suatu penelitian di dalam memahami sujud itu sendiri dan apa pengaruh pengalaman religius tersebut di dalam kehidupan mereka?

B. Rumusan Masalah

Setelah melihat latar belakang di atas, maka yang akan menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah, “Apa pengalaman religius para penganut Sapta Darma yang telah berpengalaman melakukan sujud dan apa pengaruh pengalaman itu terhadap kehidupan mereka?”

C. Tujuan Penelitian

(23)

D. Manfaat Penelitian

(24)

BAB II

LANDASAN TEORI

Bab ini membahas pemahaman akan apa itu pengalaman religius dan komponen-komponen apa yang harus ada agar suatu pengalaman dapat disebut sebagai pengalaman religius; gambaran dan elemen-elemen yang ada di dalam ritual sujud; penjelasan mengenai kebatinan dan konsep Tuhan menurut kebatinan baru kemudian masuk ke Sapta Darma dan sujud baik itu tata cara maupun tujuannya; kemudian akan dilanjutkan dengan penjelasan dari peneliti mengenai ritual sujud sebagai yang memfasilitasi pengalaman religius; dan diakhir bab ini adalah pertanyaan dari penelitian ini.

A. Pengalaman Religius

(25)

Pengalaman religius harus dibedakan dengan pengalaman biasa, pengalaman religius memang sulit untuk didefinisikan, James mendefinisikan pengalaman religius sebagai semua perasaan, tingkah laku dan pengalaman dari seseorang sejauh mereka melihat diri mereka sendiri di dalam relasi mereka dengan apapun yang mereka pandang sebagai Tuhan mereka (James, 1958). Pengalaman religius juga dikatakan sebagai pengalaman yang spesifik yang mencakup rasa kagum terhadap alam yang tak terbatas, keterpesonaan sekaligus misteri menanggapi kehadiran Yang Suci, ketergantungan terhadap kekuatan Tuhan atau perintah dari yang tak tampak, perasaan bersalah dan kegelisahan yang menemani kepercayaan dalam keputusan Tuhan dan perasaan damai yang mengikuti keyakinan dalam pengampunan Tuhan (religious-experience). Otto memberi syarat kepada pengalaman agar dapat disebut sebagai pengalaman religius (Otto, 1959):

1. Adanya keterpesonaan kepada Numinous yang merupakan suatu dunia atau dimensi dari realita yang misterius dan mempesona.

2. Adanya suatu daya tarik yang mampu mengatasi ketakutan

3. Adanya suatu perasaan misteri dan rasa ingin tahu yang menjadi satu dan bisa dikatakan merupakan sentuhan manusia dengan “Wholly Other”

(26)

spesial, kelompok-kelompok religius, obyek-obyek tertentu atau dari alam. Sedangkan pengalaman religius yang tidak melalui media apapun mereka dapat melalui dewa atau Tuhan nya secara langsung (Habel dkk, 1993).

Pengalaman religius tidak dapat dipisahkan dari apa yang kita sebut sebagai pengalaman mistik, mistik dianggap sebagai suatu proses identifikasi terhadap suatu kekuatan dan realita dan semua ketidak rasionalan yang tertinggi (Otto, 1959). James menggunakan istilah “bagian mistik dari kesadaran” untuk meliputi seluruh bagian-bagian dari pengalaman, baik pengalaman yang tidak religius maupun pengalaman yang sangat religius sekalipun. Mistik dibagi menjadi 4 tanda yang menjadi bagian dari pengalaman yaitu (James, 1958):

a) lebih menggambarkan suatu perasaan yang tak terlukiskan yang muncul dari pengalaman yang tidak dapat dibagikan kepada yang lain

b) munculnya insight yang lebih kita kenal sebagai pencerahan atau wahyu yang merupakan susunan dari pengetahuan yang kita pelajari dari waktu ke waktu

c) tidak bertahan lama d) bersifat pasif

(27)

pengindraan lainnya. Tidak mungkin ditemukan adanya pengalaman religius yang tidak berhubungan dengan penginderaan karena sensasi dan perasaan-perasaan diproduksi oleh organ-organ internal dalam tubuh dan oleh reaksi-reaksi dalam tubuh (Wuff, 1997).

Setelah melihat penjelasan di atas mengenai pengalaman religius, maka dapat dikatakan bahwa suatu pengalaman dapat dikatakan sebagai pengalaman religius bila memiliki semua komponen-komponen di bawah ini: a. Setiap pengalaman religius menceritakan pengalaman akan pertemuan

dengan Tuhan nya atau yang di Tuhan kan atau yang transenden. Maka jelas komponen utama yang harus ada dalam pengalaman religius adalah adanya kehadiran Tuhan atau apapun yang di Tuhan kan.

b. Pertemuan dengan Tuhan nya biasanya akan memunculkan suatu perasaan yang kadang sulit untuk dijelaskan. Maka yang menjadi komponen kedua adalah adanya perasaan yang muncul ketika bersentuhan dengan Tuhan nya baik itu kekaguman, ketergantungan, kegelisahan dan sampai ke ketakutan sekalipun tergantung bagaimana seseorang memandang Tuhan nya sebagai yang mempesona (fascinosum) atau sebagai yang maha dahsyat (tremendum).

(28)

d. Suatu pengalaman religius cenderung pasif dimana seseorang merasa disentuh oleh kekuatan dari luar yang dirasa sebagai kehadiran dari Tuhan mereka.

e. Yang menjadi komponen terakhir dalam pengalaman religius adalah adanya suatu perubahan yang cukup berarti di dalam kehidupannya setelah pengalaman akan pertemuannya dengan Tuhan nya dan perubahan itu cenderung mengarah ke perubahan yang lebih baik meskipun tidak menutup kemungkinan itu tidak mempengaruhi hidupnya sama sekali.

B. Ritual

Ritual merupakan susunan dari tingkah laku yang memiliki nilai- nilai simbolik yang pelaksanaannya ditentukan oleh suatu agama atau budaya dari suatu kelompok masyarakat tertentu (Ritual).

Ritual sujud yang nantinya akan diteliti dalam penelitian ini merupakan ritual faktitif yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan dan juga tindakan religius dari para anggotanya (Dhavamony, 1995). Ritual memiliki elemen penting di dalamnya yang juga tampak dalam ritual sujud (Erikson dalam Wuff, 1997), yaitu:

a. The Numinous

(29)

sampai ke menjadi pemujaan dan ini justru merupakan perubahan ke arah yang lebih buruk.

b. The Judicious

Istilah- istilah yang dipilih yang bisa memberi sugesti perbedaan antara yang benar dan yang salah.

c. The Formal

Aspek ini meyakinkan bahwa susunan bagian-bagian dari suatu ritual tampak begitu sempurna yang kadang oleh para psikoanalis ini justru dianggap sebagai model- model dari ritual.

d. The Ideological

Berbeda dengan elemen-elemen sebelumnya yang dimulai pada masa anak-anak. Elemen ini menegaskan bahwa anggota-anggota yang sudah dewasa dapat secara penuh menjadi anggota dalam suatu kelompok ritual dan sudah bisa membuat suatu komitmen bagi kelompoknya serta membagikan pandangannya tentang dunia yang dia inginkan.

e. The Affiliative

Elemen ini berhubungan dengan ego yang diekspresikan dalam persahabatan, cinta dan pekerjaan.

f. The Integral

(30)

Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa ritual seperti sujud merupakan suatu tradisi dari para leluhur yang memiliki nilai filosofi dan ideologi tersendiri yang selalu terhubung oleh sesuatu yang berbau dengan mistik sebagai ciri mereka dan ada kecenderungan dimana ritual hanya dapat dipahami dengan melakukan dan membuka diri terhadap pengalaman yang dimunculkan dalam ritual. Ada peran-peran penting yang harus dimainkan dala m ritual oleh anggota-anggotanya dalam hubungannya dengan kelompok tersebut. Tujuan dari ritual ada bermacam- macam, mereka mencakup pemenuhan untuk kewajiban atau pemikiran-pemikiran yang idealis akan religiusitas mereka, pemuasan dari kebutuhan emosi dan spiritualitas para praktisi, mempereta tali sosial dalam masyarakat, demonstrasi dari rasa hormat atau kepatuhan, menyatakan bergabungnya seseorang dalam suatu kelompok, mendapatkan pengakuan dari kelompok, atau kadang hanya untuk kepuasan ritual itu sendiri (Ritual).

C. Kebatinan

1. Kebatinan Secara Umum

(31)

(Mulder, 1983). Geertz mengartikan batin sebagai “dunia-dalam dari pengalaman manusia” (1963).

Dengan lebih singkat Kamil (1985) merumuskan kebatinan sebagai olah batin yang macam apapun. Kebatinan itu sendiri seperti yang telah dirumuskan dalam kongres BKKI (Badan Kongres Kebatinan Indonesia) kedua di Sala pada tahun 1956 yang menyatakan bahwa kebatinan ialah “Sumber Azaz dan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa untuk mencapai budi luhur, guna kesempurnaan hidup.” Untuk mencapainya kebatinan berprinsip agar manusia selalu berusaha membersihkan diri dengan semboyan “sepi ing pamrih rame ing gawe”.

Djojodigoeno (Giri, 2003) menambahkan bahwa kebatinan mempunyai 4 unsur yang penting yaitu :

a. Ilmu gaib

Ilmu yang menitik beratkan pada penggunaan ilmu- ilmu gaib untuk melayani keperluan manusia.

b. Union mistik

Usaha untuk menyatukan jiwa manusia dengan Tuhan. c. Sangkan paraning dumadi

Bertujuan mengenal Tuhan dan menembus alam rahasia mengenai darimana manusia datang dan kemana manusia pergi.

d. Budi luhur

(32)

Mukti Ali (Soesilo, 2004) juga mengemukakan 5 sifat kebatinan, yaitu: 1) Bersifat “batin”, yaitu yang dipergunakan sebagai keunggulan kekuatan

lahir, peraturan hukum yang diharuskan dari luar oleh pendapat umum. 2) Bersifat subyektif, yaitu mementingkan rasa atau pengalaman rohani. 3) Sifat keaslian, yang merupakan ciri khas kebatinan, lebih mengutamakan

gaya hidup dan kesopanan timur. 4) Hubungan erat antar para warganya.

5) Sifat kelima adalah faktor ahklak atau budi luhur.

Kebatinan tidak akan terlepas dari mistik, karena pada dasarnya kebatinan adalah mistik, yang berupaya menembus pengetahuan mengenai alam raya dengan tujuan mengadakan suatu hubungan langsung antara individu dengan Yang Maha Kuasa (Endraswara, 2003).

Ada begitu banyak aliran kebatinan yang ada di Indonesia, menurut catatan yang ada pada Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) Departemen Agama, jumlah aliran kebatinan pada tahun 1950 an mencapai kurang lebih 400 aliran. Aliran-aliran tersebut baru benar-benar terorganisir setelah kemerdekaan. Aliran kebatinan tersebut memiliki ajaran yang berbeda-beda serta motivasi dan tujuan yang berberbeda-beda-berbeda-beda pula, bahkan ada diantaranya yang menyatakan diri sebagai agama atau minta diakui sebagai agama seperti Aliran Sapta Darma sehingga pemerintah merasa perlu untuk melakukan pengawasan terhadap aliran-aliran kebatinan tersebut.

(33)

alasan sederhana saja. Ada 2 interpretasi yang muncul, yang pertama adanya perasaan muak terhadap bentuk-bentuk tingkah laku religius agama tertentu. Bagi penganut kebatinan, “Tuhan” ada dalam hati manusia dan hidup manusia sendiri harus menjadi doa terus menerus kepada Yang Mahakuasa. Interpretasi kedua yang dianut luas menganggap bahwa bangkitnya kebatinan merupakan reaksi melawan serangan gencar modernisasi dan sehubungan dengan itu, kemerosotan moral bangsa (Hadiwijono, 1967).

Setelah melihat unsur dan sifat kebatinan maka dapat disimpulkan bahwa kebatinan merupakan usaha manusia yang terus menerus dalam mengolah batinnya sehingga manusia dapat bersatu dengan Tuhan untuk mencapai kesempurnaan hidup.

2. Konsep Tuhan Dalam Kebatinan

Kebatinan mengakui Tuhan dimana wujud dan keberadaannya masih diluar jangkauan manusia sehingga Tuhan dipandang sebagai Zat yang tidak bisa digambarkan, tidak bisa dipikirkan seperti apa, yang lebih dikenal dengan istilah tan kena kinanya ngapa (Sofwan, 1999). Oleh Hadiwijono (1999), Tuhan dipandang sebagai Zat yang mutlak dalam arti falsafah yang menjadi sumber segala sesuatu.

(34)

tidak bisa digambarkan seperti apa yang oleh salah satu aliran kebatinan disebut sebagai terdahulu dari segala yang terdahulu, yang paling luar dari yang paling luar. Tuhan sebagai Dzat yang immanen artinya Tuhan ada di dalam alam ini, Tuhan tersembunyi, terlibat di dalam alam yang nyata bahkan Tuhan termasuk dalam susunan alam (Sofwan, 1999).

Pandangan tentang Tuhan sesungguhnya bertolak dari pengalaman individu menanggapi suatu Dzat Gaib, Yang Illahi. Pertama Yang Illahi diakui sebagai Fascinosum : yang menarik, yang mempesona, karib, mesra dan menimbulkan cinta pada Nya. Yang kedua, Ia diakui sebagai Tremendum : yang menakutkan, yang jauh, ya ng dashyat (Sofwan, 1999).

Ajaran ke Tuhan an dalam kebatinan disimpulkan sebagai paham pantheisme. Pantheisme berasal dari kata pan (seluruh) dan Theos (Tuhan), bahwa seluruh yang ada ini adalah Tuhan, maka ciri khas dari ajaran ini adalah mengidentikkan Tuhan dengan akan satu keadaannya dalam dzat. Pentheisme mangajarkan bahwa Tuhan bukan sebagai obyek penyembahan atau kebaktian, tetapi Tuhan dipandang sebagai hukum yang merangkum keseluruhan sebagai satu kesatuan yang tak berkepribadian, kendatipun Ia dipandang sebagai yang hidup.

(35)

diharapkan adanya suatu keselarasan agar dapat tercipta suatu hubungan yang “satu” diantara keduanya. Manusia sebagai mikrokosmos harus mampu menyatu dalam keseluruhan dalam artian manusia yang berkedudukan sebagai “kawula” harus mampu menyatu dengan “Gusti”. Penyatuan ini yang nantinya lebih dikenal sebagai “Manunggaling Kawula Gusti”.

3. Manunggaling Kawula Gusti

“Manunggaling Kawula Gusti”, merupakan istilah untuk menggambarkan penyatuan atau peleburan manusia sebagai “kawula” dan Tuhan sebagai “Gusti”. Ajaran tersebut menghantarkan pada suatu kesimpulan bahwa manusia yang telah mencapai taraf penyatuan dengan Tuhan, tidak lagi terbebani hukum dan bebas dari hukum. Bagi mereka yang telah menemukan kesatuan dengan hakekat hidup atau Dzat Tuhan, segala peribadatan adalah kepalsuan. Karena Tuhan tidak terkena hukum kealaman, maka manusia yang menyatu dalam Dzat Tuhan akan mencapai keabadian seperti Tuhan yang terbebas dari semua kerusakan. Puncak penyatuan “Kawulo Gusti” oleh Syekh Siti Jenar disebutkan sebagai uninong aning unong (Soesilo, 2004).

(36)

kemampuan-kemampuan lain yang diluar akal manusia. Kelebihan ini diharapkan dapat digunakan sebijaksana mungkin oleh mereka yang telah mencapai tahapan itu.

D. Sapta Darma

Sapta Darma yang artinya 7 kewajiban suci merupakan wahyu yang diterima oleh bapak Hardjosapuro yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Sri Gutomo. Bapak Hardjosapuro dilahirkan di Pare, Kediri, Jawa Timur pada tanggal 27 Desember 1914. Beliau hanyalah rakyat biasa yang bekerja sebagai tukang cukur rambut ataupun sebagai tukang blangkon dan pedagang kecil karena beliau memang hanya berijazah sekolah rakyat (Giri, 2003).

Berikut adalah hasil penelitian yang diambil dari Giri (2003). Sujud menurut Wewarah Sapta Darma bila dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan dengan cara sujud yang sempurna, niscaya kita betul-betul akan mengerti apa yang dikatakan “pembangunan Rokhani” yang sesungguhnya. Karena sujud, selain membuktikan kebaktian umat terhadap Tuhan Yang Maha Esa, juga memberikan manfaat yang besar bagi tercapainya keluhuran budi dan lain sebagainya antara lain: ketenangan, kesadaran, kewaspadaan serta ketentraman hidup, yang akhirnya akan menuju kepada kebahagiaan dan kesempurnaan hidup di dunia dan di alam langgeng (Giri, 2003).

(37)

penting bukan banyak kalinya ia melakukan sujud tetapi kesungguhan sujudnya (emating sujud).

Sikap duduk

Duduk tegap menghadap ke timur (=timur/kawitan/asal), artinya di waktu sujud manusia harus menyadari/mengetahui asalnya. Bagi pria duduk bersila kaki kanan di depan kaki kiri. Bagi wanita bertimpuh. Namun diperkenankan, mengambil sikap duduk seenaknya asal tidak meninggalkan kesusilaan dan tidak mengganggu jalannya getaran rasa.

Tangan bersidakep, yang kanan di luar dan yang kiri di dalam.

Selanjutnya menenteramkan badan dan pikiran, mata melihat ke depan ke satu titik pada ujung kain sanggar yang terletak kurang lebih satu meter dari posisi duduk. Kepala dan punggung (tulang belakang) segaris lurus.

Setelah merasa tenang dan tenteram, serta adanya getaran (hawa) dalam tubuh yang berjalan merambat dari bawah ke atas. Selanjutnya getaran rasa tersebut merambat ke atas sampai dikepala, karenanya lalu mata terpejam dengan sendirinya. Kemudian setelah ada tanda pada ujung lidah terasa dingin seperti kena angin (Jawa = pating trecep) dan keluar air liurnya terus ditelan, lalu mengucap dalam batin:

Allah Hyang Maha Agung

Allah Hyang Maha Rokhim

(38)

Hal ini dimaksudkan:

a. Mengagungkan/meluhurkan nama Allah. b. Mengingat- ingat akan sifat keluhuran Allah.

Ucapan itu tidak hanya diucapkan dalam mulai sujud, tetapi juga diucapkan bila Warga Sapta Darma akan memulai samadi (ening).

Bila kepala sudah terasa berat, tanda bahwa rasa telah berkumpul di kepala. Hal ini menjadikan badan bergoyang dengan sendirinya. Kemudian dimulai dengan merasakan jalannya air sari yang ada di tulang ekor (Jawa: brutu atau silit kodok). Jalannya air sari merambat halus sekali, naik seolah-olah mendorong tubuh membungkuk ke muka. Membungkukknya badan diikuti terus (bukan karena kemampuan tapi karena ada rasa), sampai dahi menyentuh kain sanggar.

Setelah dahi menyentuh kain sanggar, dalam batin mengucap: “Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa” (3 kali). Hyang Maha Suci ialah sebutan bagi roh suci seorang manusia yang berasal dari Sinar Cahaya Allah ialah yang meliputi seluruh tubuh seorang manusia.

Maha berarti ter (=paling).

Kuasa berarti kuasa atau menguasai.

Maha Suci berarti meliputi/tersuci (terputih).

(39)

Hyang Maha Kuasa adalah sebutan Allah yang menguasai alam seisinya termasuk manusia baik rohaniah maupun jasmaniahnya.

Sujud berarti: penyerahan diri pada Hyang Maha Kuasa atau menyembah Hyang Maha Kuasa. Jadi berarti: Roh suci kita menyerahkan purbawasesa pada Hyang Maha Kuasa.

Selesai mengucapkan, kepala diangkat perlahan- lahan, hingga badan dalam sikap duduk tegak lagi seperti semula.

Mengulang lagi merasakan di tulang ekor seperti tersebut di atas, sehingga dahi menyentuh kain sanggar lagi. Setelah dahi menyentuh kain sanggar di dalam batin mengucap:

“Kesalahnnya Hyang Maha Suci Mohon Ampun Hyang Maha Kuasa”(3kali).

Maksudnya : setelah meneliti dan menyadari kesalahan-kesalahan (dosa-dosa) setiap harinya, maka selalu Roh Suci mohon ampun pada Nya akan segala dosa-dosanya tersebut.

Dengan perlahan- lahan tegak kembali, lalu mengulang, merasakan lagi di tulang ekor seperti tersebut di atas sampai dahi menyentuh kain sanggar yang ke tiga kalinya.

Kemudian dalam batin mengucap:

“Hyang Maha Suci bertobat Hyang Maha Kuasa”(3kali). Dimaksudkan untuk tidak berbuat kesalahan dan dosa lagi.

(40)

Sujud yang dilakukan dengan penuh kesungguhan akan memiliki dampak yang sangat besar sekali bila dilakukan minimal sehari sekali dan sungguh-sungguh.

Sebenarnya sujud menurut wewarah tersebut bila didalami serta diteliti sungguh-sungguh adalah membimbing/menuntun jalannya air sari. Air sari yang telah tersaring sungguh-sungguh, serta menuntun Sinar Cahaya yang ada/meliputi seluruh tubuh, diratakan sampai ke sel-sel yang sedalam-dalamnya.

Getaran atau Sinar Cahaya Allah adalah cahaya yang digambaran berwarna hijau muda (=maya) yang ada di dalam seluruh pribadi manusia.

Adapun air sari atau air putih/suci berasal dari sari bumi yang akhirnya menjadi bahan makanan yang di makan manusia. Sari-sari makanan tersebut mewujudkan air sari yang tempatnya di ekor (Jawa=Cetik/silit kodok/brutu). Bersatu padunya getaran sinar cahaya dengan getaran air sari yang merambat berjalan halus sekali di seluruh tubuh, menimbulkan daya kekuatan yang besar sekali. Daya kekuatan ini disebut: atom berjiwa yang ada pada pribadi manusia.

Jadi kekuatan ini mempunyai arti dan guna yang besar sekali seperti diantaranya:

- Dapat memberantas kuman-kuman penyakit dalam tubuh - Dapat menentramkan/menindas nafsu angkara

(41)

- Dapat memiliki kewaskitaan, seperti kewaskitaan akan penglihatan, pendengaran, penciuman, tutur kata atau percakapan serta kewaskitaan rasa.

Untuk mencapai itu semua maka syarat yang harus dilaksanakan adalah pengolahan/penyempurnaan budi pekerti yang menuju keluhuran pada sikap dan tindakan sehari- hari.

Setelah melihat penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa laku sujud ini bertujuan untuk membangkitkan suatu kekuatan yang luar biasa di dalam diri kita yang tertanam di tulang ekor kita yang mereka kenal sebagai inti atom berjiwa yang kemudian mengalir melalui tulang punggung sampai ke kepala kita. Selain itu sujud juga ditujukan sebagai bukti penyerahan diri dan kebaktian kita kepada Tuhan.

E. Sujud Sebagai Yang Memfasilitasi Pengalaman Religius

(42)

pertama kali mereka harus disujudkan oleh mereka yang memiliki kewenangan untuk itu. selanjutnya bila mereka tertarik untuk menjadi warganya mereka akan diberi pelatihan khusus yang akan dibimbing oleh mereka yang berkompeten. Ada larangan bagi mereka yang ingin melakukan sujud tanpa dibimbing oleh mereka yang sudah terlatih untuk menyujudkan orang lain. Tidak ada peran khusus dalam ritual sujud yang mengatur hubungan mereka dengan sesama penganut, sujud hanya mengatur hubungan mereka dengan Tuhan. Sujud ini dianggap sebagai jalan agar manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Oleh Fromm ritual ini hanya salah satu cara manusia untuk mengembangkan dirinya sendiri.

“Tujuan hidup adalah memekarkan cinta dan akal manusia dan ... setiap kegiatan manusia yang lain ditujukan untuk mencapai tujuan itu.” (Fromm dalam Crapps, 1993)

Jadi ritual sujud merupakan salah satu jalan yang memfasilitasi manusia untuk mendapatkan pengalaman religius. Untuk itu mereka para pelaku sujud harus mau mengikuti pelatihan dan memahami apa dan bagaimana sujud itu.

(43)

sama dalam hal ini ritual sujud, maka apa saja pengalaman religius yang dapat muncul? Hal inilah yang ingin dilihat dalam penelitian ini.

Pengalaman religius yang muncul nantinya juga bisa menjelaskan hal-hal lain yang dapat dimunculkan oleh pengalaman religius. Bila berbicara tentang pengalaman religius, pasti kita juga akan berbicara tentang Tuhan, konsep akan Tuhan menurut para pelaku sujud akan tercermin atau muncul dari bagaimana mereka mengalami kedatangan Tuhan, entah itu sebagai yang mempesona atau sebagai yang menakutkan. Dari situ akan tampak bagaimana mereka memandang Tuhan nya.

F. Pertanyaan Penelitian

Setelah melihat pernyataan di atas maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah :

1. Pertanyaan umum

a. Apa pengalaman religius para penganut Sapta Darma ketika melakukan ritual sujud?

2. Pertanyaan khusus

a. Apa makna ritual sujud bagi para penganut Sapta Darma?

b. Bagaimana para penganut Sapta Darma memandang Tuhan mereka? c. Apa yang dirasakan oleh penganut Sapta Darma ketika merasakan

kehadiran Tuhan?

(44)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini metode yang akan digunakan adalah metode deskriptif eksploratif, yaitu jenis penelitian non hipotesis yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau status fenomena tertentu untuk diangkat dan dipaparkan hasilnya dengan perolehan data yang berupa data kualitatif (Arikunto, 1996). Dalam hal ini yang akan dilihat nantinya adalah bagaimana pengalaman religius para penganut aliran Sapta Darma ketika melakukan ritual sujud. Penelitian ini tidak melihat dinamika yang terjadi antar variabel karena penelitian ini hanya ingin memaparkan bagaimana pengalaman religius para pengikut Sapta Darma ketika melakukan ritual sujud.

B. Definisi Operasional

Pengalaman Religius

Semua pengalaman seseorang yang memiliki semua komponen-komponen dibawah ini :

1. adanya kehadiran Tuha n yang dirasakan oleh subyek

(45)

tergantung bagaimana seseorang memandang Tuhan nya sebagai yang mempesona (fascinosum) atau sebaga i yang maha dahsyat (tremendum)

3. adanya semua sensasi yang dirasakan secara fisik oleh subyek dalam menanggapi pengalaman religius

4. penekanan pada unsur pasif dimana subyek merasa disentuh oleh kekuatan dari luar yang dirasa sebagai kehadiran dari Tuhan mereka 5. adanya suatu perubahan yang cukup berarti di dalam kehidupan subyek

setelah pengalaman akan pertemuannya dengan Tuhan nya dan perubahan itu cenderung mengarah ke perubahan yang lebih baik

seperti yang dinyatakan dalam wawancara. Ritual Sujud

Ritual sujud merupakan suatu ritual yang menjadi ajaran di dalam Sapta Darma, ada aturan-aturan yang mengatur para pelakunya di dalam melakukan sujud baik itu sikap-sikap sujud maupun doa-doa yang terkandung di dalamnya.

C. Metode Pengumpulan Data

(46)

1. Wawancara

Wawancara adalah percakapan yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Poerwandari, 1998). Wawancara kualitatif ini dilakukan untuk mengeksplorasi semua pengalaman dari para penganut Sapta Darma ketika melakukan ritual sujud. Wawancara dalam penelitian ini menggunakan model wawancara terbuka, yaitu model wawancara dimana pewawancara tidak mempergunakan pertanyaan yang baku dalam proses wawancara tetapi hanya berdasar pada garis besar pokok-pokok permasalahan yang akan dipertanyakan dalam proses wawancara (Moeloeng, 1989).

2. Studi Pustaka

Studi pustaka dalam penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk mengumpulkan informasi tentang pustaka atau dokumen yang berkaitan dengan aliran kebatinan Sapta Darma yang tidak dapat diperoleh di lapangan.

D. Data Dalam Penelitian

Dalam penelitian ini data yang akan dikumpulkan berupa:

1. Hasil wawancara mengenai bagaimana pengalaman religius para penganut Sapta Darma melakukan ritual sujud.

(47)

E. Subjek Penelitian

Subjek dari penelitian ini adalah penganut Sapta Darma yang telah berpengalaman melakukan laku sujud sebagai suatu rutinitas dan minimal dilakukan sehari sekali dan juga subyek penelitian ini harus sudah pernah melakukan sujud penggalian. Subyek penelitian tidak dibatasi pada tingkatan guru maupun murid melainkan lebih ditekankan pada rutinitas laku sujud.

Metode pengambilan sample dilakukan dengan menggunakan metode bola salju (snow ball) atau berantai. Pengambilan sample dilakukan secara berantai dengan meminta informasi pada orang lain yang telah diwawancarai atau dihubungi sebelumnya, sedemikian seterusnya. Peneliti bertanya pada subyek penelitian tentang narasumber lain yang penting atau harus dihubungi.

Karena penelitian ini difokuskan pada pengalaman religius yang sifatnya lebih subyektif dan bukan pada proses generalisasi maka subyek yang akan digunakan nantinya akan ditetapkan sejumlah 3 orang. Dari situ nantinya diharapkan hasil yang didapat dapat lebih memfokuskan pada pengalaman religius subyek.

F. Pedoman Wawancara

(48)

batasan akan topik yang jelas. Pedoman ini akan membantu peneliti dalam proses wawancara untuk melihat konsep mana yang belum dimunculkan dalam wawancara. Pedoman ini dibuat untuk memunculkan komponen-komponen yang ada di dalam pengalaman religius. Ada kemungkinan bahwa hasil yang didapat nantinya akan sedikit berbeda, hal ini dikarenakan sifat penelitian ini tergantung dari bagaimana hasil yang didapat dalam penelitian.

Pertanyaan yang akan dijadikan pedoman dalam penelitian ini : 1. Sudah berapa lama Anda melakukan sujud?

2. Sejauh ini apa pengalaman Anda selama melakukan sujud? 3. Apa saja yang Anda rasakan ketika Anda melakukan sujud?

4. Pernahkah Anda merasakan kehadiran Tuhan ketika anda melakukan sujud?

5. Apa yang Anda rasakan ketika Tuhan datang?

6. Adakah perubahan yang Anda rasakan di dalam hidup anda setelah anda mengalami berbagai pengalaman di dalam melakukan sujud? 7. Apa makna sujud bagi Anda?

G. Analisis Data

(49)

diharapkan dapat lebih memahami pengalaman religius yang dialami oleh para penganut Sapta Darma yang melakukan ritual sujud.

Analisis data akan menggunakan pendekatan induktif untuk melihat tema-tema yang dimunculkan dari data yang diperoleh (Thomas, 2003). Dari hasil wawancara akan dilihat mana bagian terkecil yang memiliki makna dan berkaitan dengan fokus dan masalah penelitian. Kemudian langkah berikutnya adalah membuat koding untuk memberikan kode pada “satuan”. Langkah selanjutnya adalah menyusun kategori untuk mengklasifikasikan setiap “satuan” yang memiliki kesamaan yang kemudian akan dicari kaitan antara satu kategori dengan kategori lain untuk menemukan konsep-konsep yang muncul. Setelah itu baru dilakukan interpretasi dengan cara melakukan uji silang antara hasil wawancara dengan konsep-konsep yang sudah ada dalam pengalaman religius.

Berikut adalah langkah- langkah yang dilakukan oleh peneliti untuk menganalisis data yang diperoleh :

1. Melakukan transkrip verbatim dari hasil wawancara.

2. Membaca hasil wawancara dengan seksama dan berulang-ulang untuk memahami hasil secara keseluruhan.

3. Melakukan proses pengkodingan atau seleksi terhadap data untuk menemukan tema-tema yang sesuai dengan pokok persoalan.

(50)

5. Mengeliminasi pernyataan yang tidak relevan terhadap fenomena yang diteliti.

(51)

BAB IV

PELAKSANAAN

DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti me libatkan 3 orang responden yang semuanya merupakan warga dari aliran kepercayaan Sapta Darma. Pemilihan responden didasarkan pada kriteria tertentu yaitu yang telah melakukan sujud penggalian dan telah rutin melakukan sujud wajib setidaknya selama 10 tahun. Hal ini dilakukan agar sampel benar-benar mewakili fenomena yang dipelajari (Strauss dan Corbin 1990, dalam Purwandari, 1998).

(52)

Data yang berupa studi pustaka merupakan suatu dokumen yang berkaitan dengan Sapta Darma, penjelasan mengenai ritual sujud dan ajaran-ajaran dalam Sapta Darma. Data dari studi pustaka didapat dari tulisan tentang Sapta Darma yang dibuat sendiri oleh orang Sapta Darma serta dokumen yang ditulis oleh pihak luar diluar warga Sapta Darma yang juga menulis tentang Sapta Darma.

B. Proses Perkenalan dan Gambaran Komunitas Sapta Darma

Sanggar yang bersebelahan tidak jauh dari Puri Dwipari yang terletak di daerah Taman Siswa, sekilas terlihat seperti rumah biasa, hanya saja yang membedakannya dengan rumah lain adalah adanya suatu ruang khusus yang terlihat cukup sakral di bagian depan dari bangunan. Ada suasana yang menenangkan ketika peneliti pertama kali masuk ke sanggar Sapta Darma. Bagian dalam bangunan terdapat teras yang cukup luas yang berfungsi untuk menerima tamu dan terdapat patung semar dan wewarah tujuh yang menempel di dinding.

(53)

dengan salah satu tuntunan yang sedang piket di situ. Peneliti menjelaskan kembali maksud dan tujuan serta sekaligus meminta ijin untuk melakukan penelitian.

Sanggar selalu terbuka baik itu untuk para warga Sapta Darma maupun untuk orang luar yang datang dengan tujuannya tertentu. Setiap hari sanggar tidak pernah sepi, sering tampak beberapa orang yang sedang mengobrol maupun melakukan sujud di sanggar. Sanggar selalu dipimpin oleh seorang bapak tuntunan dan setiap 5 hari tuntunan akan di rolling. Bagi para penganut Sapta Darma, mereka sering berkunjung hanya sekedar mengobrol dengan warga lain maupun berkunjung untuk melakukan sujud di sanggar. Bagi mereka yang belum menjadi warga bila ingin disujudkan maka bapak tuntuanan yang nantinya akan mensujudkan karena ada larangan untuk belajar sujud sendiri tanpa bimbingan dari mereka yang sudah terlatih untuk itu.

Peneliti merasakan adanya suatu keramahan yang ditunjukkan oleh para warga dan bapak tuntunan, hal ini cukup memudahkan peneliti untuk masuk dan memahami bagaimana serta ajaran-ajaran apa yang ada di dalam Sapta Darma. Bapak tuntunan menceritakan bahwa selain sujud wajib yang harus dilakukan setiap hari, ada juga sujud penggalian yang dilakukan pada hari- hari tertentu.

(54)

baik itu bapak-bapak maupun dari kalangan remaja yang datang. Berikut adalah gambaran dari ritual sujud penggalian yang dilakukan setiap 5 kali dalam setahun.

C. Ritual Sujud Penggalian

Selain sujud wajib yang dilakukan setiap hari, ada juga sujud penggalian yang dilakukan 5 kali dalam setahun. Berikut adalah jadwal sujud penggalian yang dilakukan di dalam Sapta Darma :

• Sebelum dan sesudah tanggal 21 April, sujud penggalian

khusus wanita terutama ibu-ibu.

• 6-12 Juli, sujud penggalian khusus remaja.

• 22-27 September, sujud penggalian khusus petugas Sapta

Darma.

• Pertengahan Oktober, sujud penggalian khusus warga.

• 20-27 Desember, sujud penggalian khusus tuntunan kabupaten

ke atas sampai ke tuntunan Agung dan sekaligus memperingati turunnya wahyu sujud.

1. Gambaran Singkat Mengenai Ritual Sujud Penggalian

(55)

diawasi sujudnya dan dapat diasuh serta dibimbing mutu kerokhaniannya, menurut kemampuan masing- masing tingkat pesujudannya.

2. Tujuan Sujud Penggalian

a. Membentuk ksatria utama yang berbudi luhur, berkepribadian dan berkewaspadaan tinggi. Sikap-sikap itulah yang nantinya akan memunculkan manusia- manusia yang dapat Memayu hayuning Bagya Buana.

b. Meningkatkan mutu kerokhanian para tuntunan dan warga Sapta Darma.

c. Menyempurnakan pengabdiannnya kepada Hyang Maha Kuasa dan pada umat manusia.

3. Inti Penggalian

a. Sujud dalam Sapta Darma adalah bukan hanya sujud wadag saja (jasmani), melainkan sujud rokhani (rasa).

b. Menanamkan pengertian kepada para penggali bahwa arti daripada sujud Sapta Darma dengan sebutan “Hyang Maha Suci sujud Hyang Maha Kuasa” betul-betul Hyang Maha Sucinya (Rokh Suci Manusia) yang sujud kepada Hyang Maha Kuasa.

c. Bahwa dalam ucapan “batin” artinya bukan “batin dalam arti jasmani” (pikir), melainkan “batinnya-rokhani”.

(56)

e. Yang akan dicapai dalam sujud penggalian adalah “Wohing Pakartining Rasa” yang akan dapat menuju “Waskitaning Cahaya” yang akhirnya akan meningkat kepada “Waskitaning Pangandika” = kata-kata yang tepat dan benar.

f. Dalam tingkatan “Warangka Manjing Curiga” para warga penggali harus melepaskan sama sekali pamrih Rokhaniah dan Jasmaniah. 4. Tata Tertib Penggalian

a. Penggalian dilakukan bersama-sama di sanggar-sanggar di bawah bimbingan seseorang atau beberapa orang Tuntunan yang sudah pernah melakukan sujud penggalian. Disamping itu ada beberapa orang warga pengawas, guna mengawasi para warga yang sedang melakukan sujud penggalian.

b. Jumlah warga penggali satu kelompok terdiri dari 12 orang warga. Boleh diadakan dua, tiga atau empat kelompok, yang disesuaikan dengan besar kecilnya sanggar.

c. Lamanya penggalian ditentukan 12 malam berturut-turut atau apabila mungkin dapat dilakukan siang dan malam berturut-turut selama 6 hari, misalnya pagi mulai jam 09.00 sampai dengan jam 14.00 ; malam mulai jam 20.00 sampai jam 01.00.

(57)

e. Tuntunan penggali harus luwes (supel) melihat keadaan warga, apabila keadaannya lesu, tuntunan harus bisa memberi semangat kembali dalam melakukan sujud penggalian.

f. Penggalian yang dimaksud adalah sekaligus merupakan peruwatan “Saudara Dua Belas” di dalam pribadinya masing- masing warga, untuk menuju “Jejering Satria Utama”, maka tidak mengherankan apabila warga penggali mengalami masa krisis, misalnya badan terasa lesu, sakit, bosan dan macam- macam hambatan lain yang dialami dalam penggalian. Masa krisis ini biasanya berjalan selama 3 hari, maka hendaknya Tuntunan penggalian memberitahu lebih dulu sebelum penggalian dimulai.

g. Sesudah hari kedua, pada waktu-waktu istirahat sesudah sujud, para warga penggali mulai melaporkan hasil pasujudannya kepada Tuntunan penggalian satu persatu diruang tersendiri untuk menghindari agar warga yang lain tidak turut mendengarkan.

h. Masing- masing warga penggali tidak boleh menceritakan hasilnya kepada warga yang lain.

i. Pada waktu-waktu tertentu sesudah hari ketujuh para warga penggali diberi pelajaran untuk berbicara di muka orang banyak, cara-cara berpidato dengan teknik tersendiri menurut Kerokhanian Sapta Darma. j. Para warga penggali dalam waktu-waktu senggang dirumah,

(58)

terutama tujuan KSD, Wewarah Tujuh, Simbol Pribadi Manusia dan Tali Rasa.

k. Di dalam kamar penggalian para warga tidak diperbolehkan mempercakapkan soal-soal kejasmanian agar supaya suasana penggalian tetap pada “Sphere” suasana kerohanian.

l. Dalam kamar penggalian tidak diperbolehkan makan, minum dan merokok, untuk ini disediakan tempat lain.

m. Tempat duduk sebaiknya diundi untuk menjaga ketertiban, hal ini untuk melatih para peserta jangan mempunyai rasa iri hati ingin duduk di depan. Sebab dengan jalan diundi mereka akan merasa puas dengan pilihannya sendiri; dan nomornya harus diingat- ingat untuk mendapatkan giliran laporan.

n. Tuntunan, warga serta pengawas sama kewajiban dan tanggung jawabnya. Tuntunan, warga dan pengawas penggalian merupakan “Telu-teluning Atunggal” yang sinarnya saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Para warga penggali diharuskan 15 menit sebelum pesujudan dimulai supaya siap di sanggar penggalian.

(59)

5. Bahan-bahan Penggalian

Untuk dapat melaksanakan inti penggalian, maka penggalian dibagi ke dalam tiga tingkatan.

a. Pada Tingkatan Pertama

Para warga penggali harus dapat memisahkan Rasa dan Pangrasa, artinya segala angan-angan, pikiran, ciptaan-ciptaan dan gagasan-gagasan harus dihilangkan sama sekali, tinggal rasa yang meliputi seluruh tubuh atau “Rasa Sejati”.

Setelah itu getaran air suci yang keluar dari tulang ekor (tali- rasa) sedetik demi sedetik melalui ruas-ruas tulang punggung naik ke atas otak kecil menuju otak besar, setelah dahi menyentuh tikar maka getaran air suci akan berkumpul di ujung lidah yang merupakan “benda hidup” (atom berjiwa) atau “sari-sarinya hidup”.

Sari-sari hidup inilah yang akan mengisi gelombang-gelombang hidup yang dinamakan Radar.

Apabila terasa dingin di dada, maka mulailah warga penggali akan menemukan apa yang dinamakan “RADAR” (alat kewaspadaan rasa). Dari situ para warga akan dapat “ngunduh wohing pakartining rasa” yang dicapai dalam 5 hari. Pada hari ke 6, tuntunan akan mengadakan testing soal radar.

b. Pada Tingkatan Kedua

(60)

Dalam tingkatan ini terjadi “pisahing gembung dan kepala”, berarti para warga sama sekali sudah harus menghilangkan “angkara murka”, tinggalah meneliti atau memelihara Sapta Rengga nya. Untuk ini Sapta Rengga dari para warga akan mendapat pembersihan oleh sari-sarinya hidup (ge taran- getaran air suci) maka dapat dirasakan sehabis bungkukan kesatu, kedua, ketiga.

Setelah itu para warga penggali akan menemukan “terjadinya sabda” ialah “kumpulnya rasa dan cahaya” dan menemukan alat kontrolnya sekali. Di situ para warga akan dapat mencapai tataran “ngunduh wohing pakartining cahya” untuk memiliki “waskitaning pangandika”, “sabda waskita tunggal”. Disini “rasa liniputan dening cahya”.

Apabila warga sudah mencapai tingkatan ini maka segala kata-katanya harus betul-betul dijaga kebersiha nnya, karena sabdanya sudah gawat. Berbicaralah yang baik kepada siapapun.

Diluar penggalian, warga penggali dianjurkan untuk mempraktekkan sabdanya untuk menolong orang-orang yang dalam kegelapan (terjadi pada hari ketujuh dan kedelapan).

c. Pada Tingkatan Ketiga

(61)

Cara pelaksanaanya :

Pada hari kesembilan para warga penggali agar dapat menutupi “Babahan Hawa Sanga” maka sujudnya harus betul-betul sudah menyerah bulat-bulat.

Pada hari kesepuluh, para warga penggali mulai meningkat kepada “Pudak Sinumpet”, inilah inti dari pada “Sujud Dasa Warsa”.

Dalam hal ini seakan-akan para warga penggali akan mendapatkan “cahya” dari “sentral” yang akan menutup ubun-ubun penggali.

Pada hari kesebelas, para warga penggali sudah harus mencapai “kukuding saudara sebelas” yang sudah mendapatkan pencaran sinar Sentral Hyang Maha Kuasa. Biasanya sujudnya sudah mengalami kebahagiaan.

Untuk ini para warga penggali diberi pelajaran “Racut dengan duduk” agar supaya betul-betul Hyang Maha Sucinya dapat menghadap Hyang Maha Kuasa.

Pada hari kedua belas, “Kukud saudara dua bela s” berarti telah “Jejer Satria Utama” maka untuk ini para warga penggali diberi pelajaran : racut dengan tata cara terlentang.

D. Ajaran-Ajaran Dalam Sapta Darma

(62)

1) Menanamkan tebalnya kepercayaan, dengan menunjukkan bukti-bukti serta persaksian, bahwa sesungguhnya Allah itu ada dan tunggal (Esa), serta memiliki lima sila (sikap perwujudan kehendak) yang mutlak, yaitu: Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha Wasesa, Maha Langgeng. Menguasai alam semesta beserta segala isinya yang terjadi. Oleh karena itu manusia wajib mengagungkan Asma Allah, serta setia dan tawakal menjalankan segala perintah-perintah Nya.

2) Melatih kesempurnaan sujud, yaitu berbaktinya manusia pada Hyang Maha Kuasa. Mencapai keluhuran budi dengan cara-cara yang mudah dan sederhana, dapat dijalankan atau dilakukan oleh semua umat manusia. 3) Mendidik manusia bertindak suci dan jujur, mencapai napsu, budi dan

pekerti yang menuju pada keluhuran dan keutamaan guna bekal hidupnya di dunia dan alam langgeng. Maka warga Sapta Darma akan dididik menjadi Ksatria Utama yang dengan penuh kesusilaan, bertabiat dan bertindak pengasih dan penyayang, suka menolong kepada siapa saja yang sedang menderita dan kegelapan juga akan dididik untuk dapat hidup dengan kepercayaan atas kekuatannya sendiri.

(63)

hal tersebut dilakukan secara bersungguh-sungguh dan tertib pasti akan mencapai luhurnya jasmani dan rokhani.

5) Menjalankan wewarah tujuh yang dilandasi kesempurnaan sujud dan bila dijalankan dengan ikhlas dan sungguh-sungguh serta penuh rasa yang halus sekali, menurut Kerokhanian Sapta Darma dapat mempengaruhi dan menyebabkan manusia memiliki ketajaman dan kewaspadaan (kewaskitaan) yang bermacam- macam antara lain:

a. Waskita akan penglihatan (pandulu), b. Waskita akan penciuman (pangganda), c. Waskita akan pendengaran (pamiarsa), d. Waskita akan tutur kata (pangandika).

Untuk mencapai kewaskitaan tersebut dapat dilakukan di sanggar-sanggar bersama warga lain di bawah asuhan tuntunan sanggar. Bila dirumah dan guna melatih diri dapat dilakukan dalam segala waktu, ditempat pesujudan yang khusus disediakan, yaitu tempat yang bersih atau suci. Berarti tempat tidur sehari- hari seyogyanya tidak digunakan untuk tempat sujud.

(64)

Wewarah Pitu

Wajibing Warga Sapta Darma 1. Setya t uhu marang anane Pancasila

2. Kanthi jujur lan suci ati kudu setya nindakake angger-angger Negarane

3. Melu cawe-cawe acancut taliwanda anjaga adeging Nusa lan Bangsane

4. Tetulung marang sopo bae yen perlu, kanti ora anduweni pamrih apa bae kajaba mung rasa welas lan asih

5. Wani urip kanti kapitayan saka kekuwatane dewe

6. Tanduke marang warga bebrayan kudu susila kanti alusing budi pakarti tansah agawe pepadang lan mareming liyan 7. Yakin yen kahanan donyo iku ora langgeng tansah owah

gingsir (anyakra manggilingan)

Terjemahan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut : Wewarah Tujuh

Kewajiban warga Sapta Darma 1. Setia tuhu kepada adanya Pancasila

2. Dengan jujur dan suci hati, harus setia melaksanakan undang-undang negaranya

3. Turut serta menyingsingkan lengan baju, menegakkan berdirinya nusa dan bangsanya

4. Menolong kepada siapa saja bila perlu, tanpa mengharapkan sesuatu balasan apapun, melainkan hanya berdasarkan rasa cinta kasih

5. Berani hidup berdasarkan kepercayaan dan kekuatannya sendiri

6. Sikapnya dalam hidup bermasyarakat, keluarga, harus susila beserta halusnya budi pekerti, selalu merupakan penunjuk jalan yang mengandung jasa serta memuaskan

7. Yakin bahwa keadaan dunia ini tidak abadi, melainkan selalu berubah-ubah (Anyakra manggilingan)

(65)

serta menyadari bahwa manusia adalah mahluk yang tertinggi martabatnya, dimana hidupnya ada dalam kekuasaan Nya.

E. Deskripsi Subyek

1. Sy

Bapak Sy mulai bergabung dengan Sapta Darma tahun 1956, sejak berumur 25 tahun. Ketika itu beliau masih bekerja sebagai guru SD. Di usianya yang sudah mencapai 75 tahun, bapak Sy masih bergabung dengan Sapta Darma dan menjabat sebagai salah satu tuntunan di Sapta Darma.

Saat ini bapak Sy sudah pensiun dari pekerjaannya dan tinggal berdua dengan istrinya. Beliau memiliki 2 anak yang sudah bekerja, salah satu anaknya sudah bekerja telkom Bandung dan satunya bekerja di dinas kesehatan di Semarang. Setiap bulan sekali bapak Sy bergiliran menjaga sanggar selama 5 hari di Yogyakarta.

(66)

2. Sn

Bapak Sn sudah bergabung dengan Sapta Darma selama 11 tahun sampai saat ini beliau sudah berusia 51 tahun. Awal mula Bapak Sn bergabung dengan Sapta Darma adalah ketika beliau mendapat saran dari neneknya yang terlebih dulu sudah bergabung dengan Sapta Darma.

Latar belakang ekonomi bapak Sn bisa dikatakan kurang dan saat ini beliau hanya bekerja serabutan. Bapak Sn seringkali terlihat bekerja di sanggar Sapta Darma, hal ini dikarenakan pada saat itu sanggar Sapta Darma sedang membutuhkan pekerja untuk renovasi bangunan.

Ada kerelaan yang dimunculkan oleh bapak Sn ketika bekerja di sanggar. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya keinginan yang kuat dari beliau untuk mengabdi di Sapta Darma, ada pemikiran dari bapak Sn bahwa dengan melayani dan bekerja sebaik mungkin untuk perkembangan Sapta Darma hal itu nantinya akan bermanfaat juga bagi dirinya.

3. Wm

Bapak Wm mulai bergabung dengan Sapta Darma pada tahun 1970 sejak beliau berumur 23 tahun, sampai saat bapak Wm sudah berusia 60 tahun dan menjabat sebagai salah satu tuntunan di Sapta Darma.

(67)

Di dalam kesehariannya bapak Wm terlihat ramah dengan semua orang, ada keterbukaan yang ditunjukkan oleh beliau dan juga terlihat adanya sikap dan perkataan yang tegas ketika beliau berbicara dengan orang lain. Bapak Wm kadang memiliki kemampuan untuk memahami apa yang sedang dipikirkan oleh orang lain. Kadang bila ada warga yang sedang bermasalah, beliau akan menghampiri dan mengajaknya untuk berbicara untuk mencari solusi yang terbaik bagi permasalahannya. Ada sikap empati yang ditunjukkan oleh bapak Wm, beliau akan berusaha memahami bagaimana karakter seseorang dan akan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan orang lain.

F. Hasil Analisis Data

1. Narasi Subyek

a. Sy

Latar belakang Sy melakukan sujud adalah perasaan dimana dia merasa cocok setelah mendapat cerita dari temannya yang baru sekali melakukan sujud. Beliau merasa bahwa dia secara otomatis merasa ingin disujudkan tanpa alasan yang jelas.

(68)

Ketika melakukan sujud, sensasi fisik yang dirasakan oleh bapak Sy adalah dia merasa ada getaran-getaran yang berjalan mulai dari ujung kaki, lewat sumsum tulang belakang, naik sampai ke ubun-ubun. Setelah sampai di ubun- ubun mata bapak Sy terasa berat dan secara otomatis matanya akan tertutup. Getaran itu akan terus berjalan sampai ke lidah, dan akan terasa seperti ada setrum di lidah. Kemudian tubuh membungkuk secara otomatis sampai dahi menyentuh kain mori yang terletak di lantai. Bila beliau sudah melakukan kontak dengan Tuhan, akan muncul sinar dari Hyang Maha Kuasa yang dianggap sebagai santapan rohani menurut Sapta Darma.

Dalam situasi ening itulah rasa istilah lainnya rohani itu akan aktif melaksanakan sujud itu terasa, rasanya giming- giming gitu. Pokoknya ada rasa yang berjalan mulai dari kaki. Dia akan naik ke atas, ini mata masih terbuka. Nanti klo sudah dikepala nanti akan terasa berat. Nah setelah berat nanti diperhatikan trus sampai menyatu di ubun ini. Setelah menyatu di ubun-ubun ini barulah nanti akan turun ke bawah menutup mata sampai di mulut, ujung lidah nanti di ujung lidah akan terasa yang istilah jawanya pating trecep, seperti ada setrum. Ini nanti klo sudah ada setrum listrik itu (75-86).

(69)

Prinsipnya habis sujud kembali tegak ini harus dirasakan sebab itu ketika kita kontak dengan Hyang Maha Kuasa, itu kita mendapat sinar dari Hyang Maha Kuasa, sinar baru, nah inilah santapan rohani menurut Sapta Darma (152-156).

Sensasi psikologis yang dirasakan ketika bapak Sy melakukan sujud adalah dia merasa sangat tenang, dan tidak ada beban sama sekali ketika dia sujud.

Kemudian setelah itu nanti ada rasa lagi turun ke bawah. Rasanya enak gitu, tenang, dalam perasaan tenang sekali, pokoknya ga da beban apa-apa sampai rasa itu menyentuh disini (91-94).

Ketika melakukan sujud, Sy merasakan bahwa dirinya sedang menghadap Tuhan. Di dalam melakukan sujud, beliau menekankan pada hening, beliau berusaha mempasifkan semua jasmani dan rohani untuk menyatu dengan Tuhan dan bila penyatuan sudah terjadi, akan terlihat cahaya yang dianggap sebagai sinar dari Tuhan.

Ini nanti klo sudah ada setrum listrik itu, ini otomatis perhatian rohani trus merasa menghadap kepada Yang Maha Kuasa kemudian meluhurkan asma Allah yang bunyinya Allah Hyang Maha Agung, Allah Hyang Rokhim, Allah Hyang Maha Adil (86-91)

nanti kita seakan-akan menyatu lagi atau kontak dengan Yang Maha Kuasa dengan mengucap sujud (108-110).

ketika kita kontak dengan Hyang Maha Kuasa, itu kita mendapat sinar dari Hyang Maha Kuasa, sinar baru (153-155).

(70)

pembenahan pribadi, ketika ada alat-alat atau organ-organ yang tidak bagus dengan sujud alat-alat tersebut dapat tersembuhkan, dan sujud dianggap mampu menghilangkan getaran- getaran yang kurang bagus bagi tubuh.

Dalam hati pembersihan untuk mengendalikan napsu, musuh kita yang tersisa, napsu dalam pribadi kita yang dikendalikan supaya kita bisa berbuat baik. Sampai ke bawah. Juga berfungsi untuk pembenahan pribadi klo ada alat yang kurang bagus bisa menjadi bagus, alat yang kurang sehat bisa menjadi sehat (124-129).

Perbedaannya ya itu sebelum sujud mungkin masih membawa getaran- getaran yang tidak baik itu rasanya berat di badan tapi setelah sujud nanti tidak, enteng, lego (183-186).

(71)

sebelumnya sehingga Sy berusaha untuk menghayati pernikahannya dan berusaha untuk mengendalikan godaan yang datang.

Yang jelas saya merasa tenang dan saya sebelum ketemu Sapta Darma saya juga merasa cukup, tidak pernah merasa kurang. Sebab itu saya terima, teman-teman keluar sebagai guru, saya tetap menjadi guru. Meskipun pada waktu itu gajinya mung sedikit saya rasa sudah cukup (225-230).

Pokoknya saya merasa syukurlah pada Tuhan Yang Maha Esa saya diberikan tuntunan, bimbingan lalu yang penting lagi pada waktu saya berangkat untuk menikah saya pamit kepada orang tua, saya ingin membuat sejarah baru, tidak seperti mbah- mbah saya, seperti bapak ibu saya. Pokoknya saya ingin membuat sejarah baru. Akhirnya setelah saya hayati itu perkawinan saya ternyata saya ada saja godaan tapi saya dapat mengendalikan terutama godaan itu, godaan mata itu. Tapi saya dapat mengendalikan sampe sekarang (258-268).

(72)

orang pintar yang memiliki kelebihan yang lebih kita kenal dengan sebutan dukun. Sy merasa kasihan dan tiba-tiba Sy merasakan ada setrum di kedua jarinya kemudian dia letakkan kedua jarinya di ketiak dari orang yang kerasukan tadi dan tanpa dia ketahui sebelumnya Sy kemudian menutup jalur dari tubuh orang tersebut agar roh tadi tidak dapat masuk kembali, hal ini sebelumnya belum pernah Sy ketahui dan ternyata memang cara itu yang benar menurut beberapa orang yang dia kenal.

Yang pertama anak saya yang pada waktu itu berumur 3 bulan itu sakit perut kemudian saya hanya hening, mengheningkan cipta. Klo memusatkan kan hanya hening saja, hanya diam, dalam hati menyatu dengan Tuhan kemudian disabdakan, sabda waras. Hanya sabda waras itu sabdanya kemudian anak saya menjadi sembuh (19-25).

Demikian pula murid saya, saya kan seorang guru. Yang pertama kali menjadi kejutan atau menambah keyakinan saya, murid saya bermain- main, jatuh kemudian tak bernapas. Kemudian saya meminta anak-anak lain untuk meletakkannya di meja. Saya belum diberitahu tapi kok saya ada perasaan jari-jari saya diisi, jari-jari tengah saya ini saya pegangkan pada pusat kemudian saya luhurkan asma Allah, Allah Hyang Maha Agung, Allah HyangRohkim, Allah Hyang Maha adil dan saya sabda waras, anak itu seketika bangun trus lari- lari lagi. Itu yang membuat saya tambah yakin dan banyak lagi (25-37).

(73)

belum pernah saya diberitahu sebelumnya oleh orang yang menuntuni saya itu klo sudah begitu ini tuh diping maksudnya menutup agar rohnya itu tidak bisa kembali lagi. Itu yang menambah saya menjadi tambah yakin, tambah tekunlah saya sujud (37-53).

Sy memaknai sujud sebagai suatu kewajiban, dimana manusia yang berasal dan nantinya akan kembali lagi pada Tuhan harus bersujud dan memo hon ampun kepada Tuhan atas semua kesalahan-kesalahan yang pernah dia perbuat.

Jadi kemudian timbul pengertian bahwa sujud itu terutama disamping merupakan kewajiban didalam hidup kita ini berasal dari Yang Maha Kuasa maka kita harus sujud kepada Yang Maha Kuasa (53-57).

b. Sn

Awal mula Sn mulai melakukan sujud adalah ketika Sn mengalami krisis ekonomi, Sn kesulitan untuk mencari nafkah bagi dirinya maupun keluarganya, dengan sujud Sn merasa kehidupannya sedikit demi sedikit mulai terkatrol. Selain itu ada ketakutan dari Sn terhadap karma dari perilaku-perilaku buruk yang telah dia perbuat selama hidupnya, Sn tidak mau karma tersebut nantinya menimpa dia dan keluarganya.

Referensi

Dokumen terkait

Perusahaan rekondisi adalah perusahaan yang telah memiliki izin usaha industri rekondisi untuk memproses Barang modal bukan baru menjadi produk akhir untuk tujuan ekspor

Indikator keberhasilan Hasil dari penelitian ini diharapkan dengan pendekatan bermain akan meningkatkan pembelajaran gerak dasar lempar, yaitu suasana pembelajaran dan kemampuan

Penelitian dilakukan pada bulan Oktober hingga Desember 2019 dengan variabel independen induksi aloksan dan pemberian ekstrak ketumbar (Coriandrum sativum L.)

Antuk sih Ida Shang Hyang Widi Wasa, Sekadi daging Pamidabdab semeton dadia sane sampun praside cumpu kayune sareng sami, Angganing Manggala Dadia lan Prawantaka Yadnya Pemerajan

mewujukannya. Dalam teksnya Prabowo menggunakan kata “kita” berjuang, artinya menekankan bahwa yang berjuang adalah semuanya tidak saja kandidat presiden. Pada bagian

Beberapa hal penting yang perlu dicatat dari kunjungan SIDI week 2013 di kabupaten Sumenep dan pulau

Akibat Terjadinya Perubahan Dan Keyakinan Hukum Yang Hidup Pada Masyarakat Indonesia Menuju Kea Rah Kehidupan Social Baru Yang Akan Memenuhi Kebutuhan Nasional Untuk Segera

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, apakah buah mangrove dari jenis Bruquiera gymnorrhiza bisa di manfaatkan menjadi salah satu bahan dalam pembuatan pakan ikan, dan