• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBERSIHAN HATI DARI KOTORAN DAN NAJIS

Dalam dokumen Manajemen Qolbu – Imam Ibnul Qayyim Al Jauzy (Halaman 115-136)

Meskipun bab ini merupakan bagian dari bab terdahulu, -sebagai- mana telah kita jelaskan bahwa zakat (pertumbuhan) tidak akan tercapai kecuali dengan kebersihan-, tetapi kita jadikan bab tersendiri agar dapat dijelaskan lebih luas tentang makna thaharah (kebersihan), disamping karena mendesaknya kebutuhan kita terhadapnya, juga untuk menge- tahui dalil-dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah tentangnya.

Allah befirman,

"Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah dan pakaianmu bersihkanlah." (Al-Muddats- tsir: 1-4).

"Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. Mereka peroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka peroleh siksaan yang besar." (Al-Ma'idah: 41).

Jumhur para ahli tafsir salaf dan orang-orang sesudah mereka* mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pakaian pada ayat di atas adalah hati, sedang yang dimaksud dengan membersihkannya yaitu perbaikan amal dan akhlak.

*) Lihat tafsir Ath-Thabari (19/59-66). 82 Melumpuhkan Senjata Syetan

Al-Wahidi berkata, "Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna ayat di atas. Atha' meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma,

maksudnya yaitu membersihkan diri dari dosa dan apa-apa yang diboleh- kan pada saat Jahiliyah."

Dan itu pula pendapat Qatadah dan Mujahid, dimana keduanya ber- kata, "Hendaknya jiwamu engkau bersihkan dari dosa." Pendapat yang sama juga dilontarkan oleh Asy-Sya'bi, Ibrahim, Adh-Dhahhak dan Az- Zuhri.*

Berdasarkan pendapat di atas, maka pakaian adalah ibarat jiwa, dan memang orang-orang Arab menyindir jiwa dengan pakaian. Sa'id bin Jubair berkata, "Jika seseorang suka ingkar janji maka kepadanya dikatakan, 'Pakaiannya kotor, pakaiannya buruk'."

As-Suddy berkata, "Jika seseorang itu baik maka dikatakan, 'Orang itu pakaiannya bersih'. Tetapi jika ia seorang pendosa maka dikatakan, 'Orang itu pakaiannya buruk'."

Sebagaimana mereka menyifati orang yang ingkar janji dan pendosa dengan pakaian yang kotor, maka demikian pula orang yang baik disifati dengan kebersihan pakaian. Imru'ul Qais berkata,

"Pakaian Bani Auf adalah bersih suci."

Ia maksudkan bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak suka ingkar janji, tetapi selalu menepatinya.

Al-Hasan berkata, "Perbaikilah akhlakmu!**) Dan demikian pula yang dikatakan oleh Al-Qurthubi. Berdasarkan hal ini, maka pakaian adalah ibarat akhlak, karena akhlak seseorang meliputi seluruh keadaannya sebagaimana pakaian meliputi dirinya.

Sebagian ulama ada yang menafsirkan ayat-ayat di atas secara lahiri- ah. Mereka berkata, "Ia (Muhammad) diperintahkan agar membersih- kan pakaiannya dari berbagai najis yang tidak sah shalat dengannya." Dan ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Ibnu Zaid.

Abu Ishak berkata, "Dan pakaianmu hendaklah kamu pendekkan!" Sebab memendekkan pakaian lebih jauh dari terkena najis, sebab jika ia menyeret pakaiannya di tanah, maka hal itu tidak menjamin akan bersih dari najis. Ibnu Thawus juga berpendapat demikian.

*) Ad-Durrul Mantsur (8/325).

**) Dalam Al-Jami'liAhkamil Qur'an (19/66).

Ibnu Arafah berkata, "Maknanya, istri-istrimu hendaklah kamu bersihkan." Karena, terkadang wanita juga disindir dengan pakaian dan baju. Allah befirman,

"Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istrimu; mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka." (Al-Baqarah: 187).

Saya (Ibnu Qayyim) berkata, "Ayat di atas mengandung semua makna yang disebutkan, dan hal itu ditunjukkan dengan jalan peringatan dan kelaziman, meskipun tidak ditunjukkan secara lafzhi (ungkapan). Karena jika yang diperintah adalah kebersihan hati, maka kebersihan pakaian dan kebaikan penghasilan merupakan penyempurna. Sebab pakaian yang buruk (tidak bersih) menjadikan hati berkeadaan buruk pula,*' sebagaimana makanan yang buruk juga mengakibatkan yang de- mikian. Maka karenanya, diharamkanlah memakai kulit singa dan bina- tang buas oleh larangan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagaimana banyak disebutkan dalam hadits shahih.**’ Sebab hal itu mengakibatkan hati akan memiliki keserupaan dengan karakter- karakter hewan, karena percampuran secara lahir akan mengalir hingga ke batin. Dan untuk itulah sehingga diharamkan pemakaian sutra dan emas bagi laki-laki,***' sebab hal itu akan mengakibatkan hati pemakainya berkarakter seperti karakter perempuan, orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.

Maksudnya, bahwa kebersihan pakaian serta cara memperolehnya secara baik adalah merupakan penyempurna dan pelengkap kebersihan hati. Walaupun kebersihan pakaian serta cara memperolehnya secara baik yang diperintahkan, tetapi itu hanyalah sebagai perantara bagi

*) Dalam kitab saya Tabshirun Nas bi Ahkamil Libas terdapat penjelasan yang baik dalam masalah ini.

**) Di antaranya diriwayatkan oleh Abu Daud (4032), Tirmidzi (1771), Nasa'i (7/176), Ath-Thahawi dalam Musykilul Atsar (4/264), Hakim (1/148), Ahmad (5/74,75) dari jalur Abul Mulih bin Usamah dari ayahnya, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang (memakai) kulit binatang buas sebagai alas tidur." Sanad hadits ini

shahih. Tetapi hadits ini dikatakan terdapat illat (cacat) di dalamnya, seperti yang bakal pembaca ketahui dan jawabannya ada dalam Al-Itmam (20725).

***) Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Sutra dan emas haram bagi kaum laki-laki dari umatku..." Dikeluarkan oleh Tirmidzi (1720) dan lainnya, dan ia adalah hadits shahih karena jalurnya yang banyak. Iihat Al-Itmam (19533).

terwujudnya tujuan yang lain. Meskipun demikian, kedua hal tersebut tetap diperintahkan, walaupun yang ditekankan kebersihan had dan kesucian jiwa, dan bahwa itu tidak terjadi kecuali dengan kedua hal se- belumnya. Karena itu, jelaslah penjelasan Al-Qur'an meliputi semuanya.

Firman Allah,

"Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka." Setelah firman-Nya,

"Mereka amat suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu, mereka mengubah perkataan-perkataan dari tempat-tempatnya." (Al Ma'idah: 41).

Ini menunjukkan bahwa seseorang yang membiasakan mendengar dan menerima sesuatu yang batil, maka hal itu akan menjadikannya mengubah kebenaran dari yang semestinya. Jika dia sudah menerima kebatilan, mencintai serta meridhainya maka jika datang kebenaran yang berbeda dengannya, serta-merta ia menolak dan mendustakannya, jika ia mampu. Jika tidak, maka ia akan mengubahnya, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Jahmiyah tentang ayat-ayat dan hadits- hadits masalah sifat-sifat Allah. Mereka menolaknya dengan melakukan takwil yang itu berarti mendustakan hakikat yang sesungguhnya. Mere- ka juga menolak hadits-hadits ahad*) sebagai dalil dan sandaran dalam mengetahui Allah Ta'ala, nama-nama dan sifat-sifat-Nya.

Orang-orang tersebut, juga orang-orang seperti mereka itulah yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. Karena, seandainya hati mereka bersih tentu tidak akan berpaling dari kebenaran, serta tidak akan menggantikan firman Allah dan sabda Rasul-Nya dengan kebatilan. Sebagaimana orang-orang yang sesat, saat hati mereka tidak lagi bersih maka mereka mengganti dari mendengar ayat-ayat Al-Qur'an dengan

*) Dan ini adalah filsafat yang dari mereka orang-orang Hizbiyyin pada zaman sekarang merujuk, melambungkannya serta mereka menolak dengan hadits-hadits ahad itu berbagai Sunnah dan aqidah. Untuk mengungkap kesesatan mereka pembaca bisa melihat kitab Ash-Shawa'iqul Mursalah (2/332-446), oleh pengarang kitab ini (Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah).

mendengar sesuatu yang bersifat syaithani.^

Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu berkata, "Seandainya hati kita bersih, niscaya tidak akan pernah kenyang dengan firman-firman Allah."

Karena itu, hati yang bersih -karena kesempurnaan kehidupan, cahaya dan bersihnya dari berbagai kotoran dan keburukan-, tidak akan pernah kenyang dengan Al-Qur'an. la tidak akan makan kecuali dengan hakikat-hakikatnya, tidak akan berobat kecuali dengan obat-obatan yang telah disediakannya. Ini berbeda dengan hati yang belum dibersihkan oleh Allah. la akan menyantap makanan yang sesuai dengan dirinya, yang di dalamnya terdapat kotoran dan najis. Sebab, hati yang kotor sama dengan badan yang sakit. la tidak bisa menyantap makanan seperti makanan yang disantap oleh orang yang sehat.

Ayat di atas juga menunjukkan bahwa kebersihan hati tergantung pada kehendak Allah Ta'ala. Dan manakala Allah tidak menghendaki untuk membersihkan hati orang-orang yang berbicara tentang kebatilan, yang menyimpang dari kebenaran maka mereka tidak akan mendapatkan kebersihan hati.

Ayat di atas juga menunjukkan bahwa orang yang hatinya tidak dibersihkan Allah maka ia akan mendapatkan kehinaan di dunia dan siksa di akhirat, sesuai dengan tingkat kekotoran dan keburukan hatinya. Karena itu, Allah mengharamkan surga bagi orang yang di dalam hatinya terdapat najis dan kotoran, dan ia tidak masuk surga kecuali setelah bersih dan baik hatinya, sebab surga adalah kampung bagi orang-orang yang baik. Karena itu, dikatakan kepada mereka,

"Engkau telah ada dalam kebaikan, karena itu masuklah surga ini sedang kamu kekal di dalamnya." (Az-Zumar: 73).

Maksudnya, masuklah kamu ke dalam surga disebabkan oleh kebaikan kalian, dan ini merupakan berita gembira bagi mereka saat kematian, yang tidak didapatkan oleh orang-orang selain mereka, sebagaimana firman Allah,

*) Pengarang kitab ini dalam halaman-halaman berikutnya akan menjelaskan tentang kebatilan mereka, juga kebatilan perbuatan-perbuatan mereka.

"(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka), 'Salamun 'alaikum' (Selamat sejahtera bagimu), masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan oleh apa yang telah kamu kerjakan." (An-Nahl: 32). Maka surga tidak dapat dimasuki oleh orang yang kotor, bahkan tidak oleh orang yang di dalam dirinya ada sedikit kotoran. Karena itu, orang yang membersihkan dirinya di dunia dan berjumpa dengan Allah dalam keadaan bersih dari najis dan kotoran, niscaya ia akan masuk surga dengan tanpa ada halangan. Sebaliknya, siapa yang belum mem- bersihkan dirinya di dunia; jika najisnya adalah najis 'ainP seperti orang kafir, maka ia sama sekali tidak akan masuk surga, dan jika najisnya adalah karena dosa-dosa dan maksiatnya maka ia akan masuk surga setelah ia dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran-kotoran itu di dalam neraka, lalu ia masuk ke dalam surga yang selanjutnya tidak akan pernah keluar daripadanya selama-lamanya. Dan orang-orang beriman jika melewati shirath, mereka ditahan di suatu jembatan antara surga dan neraka, di sana mereka dibersihkan dan disucikan dari kotoran-kotoran yang masih menempel pada mereka, mereka belum mencapai syarat masuk surga, tetapi hal itu juga tidak menjadikan mereka masuk neraka, hingga jika mereka telah dibersihkan dan disucikan, barulah mereka diizinkan masuk surga.

Dengan hikmah-Nya, Allah menjadikan masuk surga tergantung pada kebersihan. Tidak boleh seseorang masuk melakukan shalat kecuali dalam keadaan suci, demikian pula Allah menjadikan kebaikan dan kesucian sebagai kelaziman untuk masuk surga. Tidak ada yang masuk surga kecuali dalam keadaan baik dan bersih.

Maka ada dua kebersihan: Bersih badan dan bersih hati. Karena itu disyariatkan bagi setiap orang yang berwudhu agar seusai wudhu berdoa,

"Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul- Nya. Ya Allah jadikanlah aku di antara orang-orang yang taubat dan jadikanlah aku di antara orang-orang yang suci." (Diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin Amir).

*) Najis itu senantiasa bersama dirinya, tetapi maksudnya bukan najis secara hakikat, namun secara hukum.

Jadi, kebersihan hati adalah dengan taubat, sedangkan kebersihan badan dengan air. Dan ketika seseorang telah bersih dengan keduanya maka ia layak untuk masuk, menghadap dan munajat kepada Allah.

Saya bertanya kepada Syaikhul Island tentang makna doa Nabi

Shallallahu Alaihi wa Sallatn,

"Ya Allah, bersihkanlah aku dari dosa-dosaku dengan air, salju dan embun.'**)

Beliau menjawab, "Dosa-dosa itu membuat hati menjadi panas, najis dan lemah, hati lalu menjadi lunak, kemudian api syahwat menyala dan menajisinya. Dosa-dosa bagi hati adalah laksana kayu bakar yang me- nyalakan dan mengobarkan api. Karena itu semakin banyak dosa-dosa semakin besar pula api dalam had sehingga menjadikannya lemah. Se- dangkan air itu membersihkan kotoran dan memadamkan api. Jika air itu dingin maka akan menguatkan dan mengeraskan badan. Jika dengan salju dan embun maka pendinginan itu semakin mantap dan tubuh menjadi lebih kuat. Dan yang demikian itu lebih mampu menghilangkan dosa-dosa." Demikian penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Dalam keterangan di atas ada empat unsur; dua unsur inderawi dan dua unsur maknawi.

Najis yang dapat dihilangkan dengan air dan air itu sendiri adalah dua unsur inderawi. Dan dosa-dosa yang bisa dihilangkan dengan taubat dan istighfar serta yang menghilangkannya adalah dua unsur maknawi.

Kebaikan had, kehidupan dan kenikmatannya tidak akan bisa dicapai kecuali dengan keempat unsur tersebut. Maka ketika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengingatkan suatu bagian maka beliau juga meng- ingatkan bagian lain. Dan sabda beliau itu mencakup keempat unsur itu dengan sangat ringkas dan penjelasan yang amat baik, seperti yang kita dapati dalam doa sehabis wudhu,

*) Beliau adalah Imam Al-Allamah Ibnu Taimiyah, yang memiliki gelar Syaikhul Islam, sebagai predikat dan pertanda di hadapan orang-orang yang membencinya. **) Diriwayatkan Muslim (204) dari Ibnu Abi Aufa. Lihat pula Musnad Abdullah bin Abi

Aufa (hal. 19) dan catatan Al-Akh Syaikh Sa'd Al-Humaid terhadapnya. Bagaimana bisa dosa-dosa itu dibersihkan dengan hal-hal tersebut? Dan sabda beliau dalam lafadz lain,"...dengan air dingin", padahal air panas lebih membersihkan?

"Ya Allah, jadikanlah aku di antara orang-orang yang taubat dan jadikanlah aku di antara orang-orang yang suci."

Doa di atas mencakup keempat unsur tersebut.

Dan di antara bukti kesempurnaan penjelasan beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam serta kuatnya pendukung terhadap apa yang beliau kabarkan dan beliau perintahkan adalah beliau mengumpamakan perin- tah yang maknawi dengan sesuatu yang bersifat inderawi. Dan ini banyak kita jumpai dalam sabda beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam. Seperti sabda beliau dalam hadits Ali bin Abi Thalib,

"Mintalah petunjuk dan kebenaran kepada Allah. Dan ingatlah terha- dap petunjuk (seperti saat) kamu mendapat petunjuk jalan, dan de- ngan kebenaran (seperti saat) anakpanah tepatpada sasarannya."

(Diriwayatkan Ahmad, Al-Humaidi, Nasa'i, dan Muslim).

Ini adalah metode pengajaran dan nasihat yang paling jitu. Di mana beliau memerintahkan agar mengingat-ingat ketika meminta petunjuk kepada Allah pada jalan yang diridhai dan surga-Nya seperti saat dia sedang dalam perjalanan, lalu saat itu ia tersesat dari jalan, tidak tahu harus ke mana ia menghadap, tiba-tiba datang seorang mengetahui be- nar terhadap jalan (yang hendak ditempuhnya), lalu ia meminta agar ditunjuki terhadap jalan itu. Demikianlah dengan keadaan jalan akhirat, yang diumpamakan dengan jalan yang sesungguhnya bagi musafir. Dan kebutuhan musafir kepada Allah agar menunjukinya pada jalan-Nya jauh lebih besar daripada kebutuhan musafir kepada orang yang menunjuki- nya jalan ke negeri yang ditujunya.

Demikian pula halnya dengan kebenaran -yakni kebenaran yang dituju, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Perumpamaannya adalah laksana orang yang melemparkan anak panah dan tepat pada sasaran yang ditujunya, jika tidak tepat pada sasaran maka berarti salah dan meleset. Demikian pula halnya dengan orang yang benar dalam perkata- an dan perbuatannya, ia laksana orang yang tepat pada sasaran dalam lemparannya.

Dalam Al-Qur'an, sering dikaitkan antara kedua hal tersebut (antara yang inderawi dan maknawi). Di antara firman Allah,

"Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa." (Al- Baqarah: 197).

Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan orang-orang yang menu- naikan haji agar membawa bekal dalam perjalanannya, mereka tidak boleh pergi tanpa membawa bekal. Lalu Allah mengingatkan mereka dengan bekal perjalanan menuju akhirat, yaitu takwa. Maka, sebagai- mana musafir tidak dapat sampai kepada maksudnya kecuali dengan bekal yang dibawanya, demikian pula halnya dengan musafir kepada Allah dan ke kampung akhirat, ia tidak akan sampai kecuali dengan bekal takwa, dan Allah menghimpun antara dua bekal tersebut.

Dan firman Allah,

"Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik." (Al-A'raaf: 26).

Allah menghimpunkan antara dua perhiasan: Perhiasan badan dengan pakaian dan perhiasan hati dengan takwa, dan itulah perhiasan serta kesempurnaan lahir batin.

Dan firman-Nya,

"Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka." (Thaha: 123).

Allah menghilangkan kesesatan dari orang yang mengikuti petunjuk- Nya, yang ia merupakan siksaan hati dan jiwa, juga menghilangkan kecelakaan yang ia merupakan siksaan badan dan jiwa juga. Maka, dia mendapatkan kenikmatan hati dan badan dengan petunjuk dan keme- nangan.

Lalu firman-Nya yang lain dalam hal ucapan istri raja tentang Yusuf

Alaihis-Salam saat ia memperlihatkan Yusuf kepada wanita-wanita yang mencelanya karena kecintaannya kepada Yusuf, "Itulah dia orang yang kamu cela aku karena (tertarik) kepadanya." (Yusuf: 32). Maka wanita itu memperlihatkan pada mereka ketampanannya secara lahiriah. Lalu ia juga berkata, "Dan sesungguhnya aku telah menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku) akan tetapi dia menolak."(Yusuf: 32).

la mengabarkan kepada mereka tentang kecantikan batin Yusuf

Alaihis-Salam dengan iffah-nya (menahan diri dari perbuatan dosa). Jadi, ia mengabarkan kecantikan batin Yusuf, lalu memperlihatkan kepa- da mereka ketampanan lahiriahnya.

Karena itu, beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam memperingatkan dengan sabdanya, "Ya Allah, sucikanlah aku dari dosa-dosaku dengan air, salju dan embun", karena kebutuhan badan dan hati kepada sesuatu yang membersihkan keduanya, yang mendinginkan serta yang mengu- atkan keduanya. Dan doa tersebut mengandung keduanya sekaligus.

Wallahu a'lam.

Dan masih dekat dengan masalah ini, bila Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam keluar dari WC, beliau berdoa,

"Ya Allah, kumohon ampunan-Mu.”*)

Dalam doa tersebut tersimpan rahasia -wallahu a'lam- bahwa kotor- an tinja adalah memberatkan badan serta menyakitkannya jika tetap berada di dalam perut. Sedangkan dosa-dosa memberatkan hati dan menyakitkannya jika tetap bersemayam. Keduanya menyakitkan dan membahayakan badan dan hati. Maka beliau memuji kepada Allah saat kotoran itu keluar, karena berarti terbebas dari yang menyakitkan badan- nya, dan menjadikan badannya ringan dan nikmat. Lalu beliau meminta agar dibebaskan pula dari hal lain yang menyakitkannya, sehingga hati- nya menjadi tenang dan ringan.**)

Sungguh rahasia ucapan-ucapan dan doa-doa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah di atas apa yang kita bayangkan.***

*) Diriwayatkan Tirmidzi (no.7), Abu Daud (no. 30), Ibnu Majah (300), Darimi (1/174), Ahmad (6/155), Ibnu Khuzaimah (1/48) dari jalur Yusuf bin AbiBurdah dari ayahnya dari Aisyah. Ada dua orang yang meriwayatkan dari Yusuf bin Abi Burdah, dan dikuatkan oleh Al-'Ajli dan Ibnu Hibban. Adz-Dzahabi berkata, "Tsiqah!" Ibnu Hajar berkata, "Maqbul." Dan beberapa ahli ilmu telah men-shakih-ltan hadits tersebut

Wallahu a'lam.

**) Hadits-hadits tentang membaca pujian kepada Allah setelah dari kamar WC adalah

dhd'if. Demikian seperti yang dijelaskan oleh syaikh kita Al-Albani dalam Al-Irwa'

(53) dan dalam Tamamul Minnah (hal. 66).

***) Dari sini kita ketahui kesalahan para ahli fiqh pada zaman sekarang yang senantiasa mencari hikmah dibalik setiap syariat yang diperintahkan. Mereka melakukannya dengan menghalalkan segala macam dan cara, mencari-cari yang dipaksakan dan penuh dengan dalih serta alasan. Dan banyak di antaranya yang tidak kita ketahui dan tersembunyi oleh kita.

Najisnya Syirik

Allah menandai perbuatan syirik, zina dan homosexual dalam Kitab Suci-Nya dengan najis dan keji, yang tidak ditandai demikian dosa-dosa selainnya, meskipun pada hakikatnya juga mengandung yang demikian. Dan itu sebagaimana firman Allah,

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis." (At-Taubah: 28).

Dan tentang orang-orang homosexual, Allah befirman,

"Dan kepada Luth, Kami telah berikan hikmah dan ilmu, dan telah Kami selamatkan dia dari (adzab yang telah menimpa penduduk) kota yang mengerjakan perbuatan keji. Sesungguhnya mereka adalah kaum yangjahat lagifasik." (Al-Anbiya': 74).

Sedangkan orang-orang homosexual itu berkata sebagaimana dise- butkan dalam firman-Nya,

"Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu; karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (mendakwakan dirinya) bersih." (An- Naml: 56).

Mereka mengakui, di samping kesyirikan dan kekafiran mereka, bahwa mereka adalah orang-orang yang keji dan najis. Dan bahwa Luth beserta keluarganya adalah orang-orang yang bersih karena mereka menjauhi hal-hal tersebut.

Dan Allah befirman tentang para pezina,

"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-

Dalam dokumen Manajemen Qolbu – Imam Ibnul Qayyim Al Jauzy (Halaman 115-136)