• Tidak ada hasil yang ditemukan

secara nasional oleh pemerintah, hal ini juga mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Secara konteks hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif, melainkan harus dipandang sebagai subsitem yang dalam kenyataannya bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materinya (pasal-pasal), maupun dalam penegakannya32.

Mulder mengemukakan secara rinci tentang ruang lingkup politik hukum pidana yang menurutnya bahwa politik hukum pidana adalah garis kebijakan untuk menentukan33:

a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dilakukan perubahan atau diperbaharui.

b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya kejahatan.

c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.

2. Kebijakan di Luar Hukum Pidana (Non-Penal Policy)

Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat

tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan, oleh karena itu, sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara

32

Mahfud M.D, Politik hukum di Indonesia, Jakarta, LP3ES,1998, hlm. 1-2.

33 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996, hlm. 28.

40

langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan.dengan demikian dilihat dari kebijakan penanggulangan kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang strategis dan memegang peranan penting yang harus diintensifkan dan diefektifkan34.

Secara universal dalam hal penanggulangan kejahatan, pada Kongres PBB ke-8 tahun 1990 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders yang belangsung di Havana, Cuba, menekankan pentingnya aspek sosial dari kebijakan pembangunan yang merupakan suatu faktor penting dalam pencapaian strategi pencegahan kejahatan dan peradilan pidana, oleh karena aspek-aspek sosial dalam konteks pembangunan ini harus mendapat prioritas utama. Kongres ke-8 ini juga berhasil mengidentifikasi berbagai aspek social yang ditengarai sebagai faktor-faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan. Hal ini disebutkan dalam Dokumen A/CONF. 144/L.3, yaitu sebagai berikut35. :

1. kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan, ketiadaan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta pelatihan yang tidak cocok;

2. meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena proses integrasi sosial dan karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial;

3. mengendornya ikatan sosial dan keluarga;

34

Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum pidana (Perkembangan Penyusunan KUHP Baru), Jakarta, Kencana, 2008, (Selanjutnya disebut Buku III), hlm. 33.

35

41

4. keadaan-keadaan atau kondisi yang menyulitkan bagi orang yang berimigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain;

5. rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan;

6. menurunnya atau mundurnya kualitas lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan tidak cukupnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan kehidupan bertetangga;

7. kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di lingkungan keluarga, tempat pekerjaannya atau dilingkungan sekolahnya;

8. penyalahgunan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperluas karena faktor-faktor yang disebut di atas;

9. meluasnya aktifitas kejahatan yang terorganisir, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian;

10. dorongan-dorongan (khususnya oleh media massa) mengenai ide-ide dan sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikap-sikap tidak toleran.

Pendekatan non penal menurut Hoefnagels adalah pendekatan pencegahan kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan, yaitu antara lain perencanaan kesehatan mental masyarakat, kesehatan mental masyarakat secara nasional,

42

penggunaan hukum civil dan hukum administrasi36 Pendidikan melalui lembaga sekolah dapat menggunakan pengaruhnya untuk mencegah terjadinya kejahatan kepada siswa-siswanya melalui peningkatan kepekaan siswa terhadap lingkungan kehidupannya, baik keluarga, kelompok belajar, maupun lingkungan tempat tinggalnya. Lebih dari itu sekolah harus melibatkan diri dalam penanggulangan kejahatan mulai dari tahun-tahun ajaran baru dengan cara mendata secara komprehensif informasi tentang siswa, baik berupa identitas dan latar belakang kehidupan mereka, dengan demikian diharapkan sekolah dapat merumuskan kebijakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan siswanya.

Non-Penal dapat diartikan sebagai sosialisasi kepada masyarakat di sembir, supaya meninggalkan pekerjaan yang berkaitan dengan Pasal 296 KUHP.

E. Unit Amatan dan hasil Analisis

Unit amatan adalah sesuatu yang dijadikan sumber untuk memperoleh data dalam rangka menggambarkan atau menjelaskan tentang satuan analisis. Dalam penelitian ini yang dijadikan Unit Amatan adalah Penegakan Hukum Terhadap Prostitusi.

Terkait dengan topik penelitian penulis, yaitu prostitusi di daerah Salatiga, Penegakan hukum mempunyai peranan strategis dalam penerapan hukum atau efektivitas suatu aturan hukum. Penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mencangkup ruang dan lingkup yang sangat luas. Sebab, menyangkut petugas pada strata atas, menengah dan bawah. Artinya didalam

36

43

melaksanakan tugas penerapan hukum, petugas harus memiliki suatu pedoman salah satunya peraturan tertulis tertentu yang mencangkup ruang dan lingkup tugasnya, dan langkah yang diambil oleh polres salatiga dalam menangani kasus ini adalah supaya prostitusi yang ada di Salatiga ini khususnya di daerah sembir tidak mengganggu ketertiban, menjaga ketentraman dan keamanan di dalam masyarakat.

praktek prostitusi telah ada di daerah Salatiga kelurahan Sarirejo yang dikenal dengan sebutan Sembir. Tempat prostitusi ini umumnya terdiri dari rumah-rumah kecil yang dikelola oleh mucikari atau germo yang dulunya sering digunakan masyarakat sekitar untuk melakukan hubungan intim (seks). Peraturan daerah (perda) yang melarang segala bentuk pelacuran di Salatiga masih berlaku. Bahkan pada 1937 di masa kolonial, dalam perda tersebut sudah disebutkan Ver Ordening Ter Beteugeling Van De Straat Prostitue (peraturan yang membatasi prostitusi). Dua tahun kemudian diperbarui menjadi Salatigase Bordeel Verorneing Dua ketetapan itu dipertegas pada era kemerdekaan dengan Perda Nomor 62 Tahun 1954. Perda terakhir ini hingga sekarang belum pernah direvisi, diubah ataupun diganti sehingga masih tetap berlaku. Terakhir terdapat Keputusan Wali Kota Madya Nomor 462.3/328/1998 tanggal 1 Juli 1998 tentang Penghentian dan Penghapusan Segala Bentuk Kegiatan Tuna Susila dan Usaha Rehabilitasi serta Resosialisasi dalam Sistem Lokalisasi di Sarirejo37.

37

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/04/16/183339/Penataan-Sarirejo-Jangan-Rugikan-Siapa-pun

44

Pada kenyataannya, pada tahun 2011 setelah adanya Peraturan Daerah (Perda) nomor 4 tahun 2011 pasal 2 dan pasal 3 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga adalah menjadikan kota Salatiga sebagai alat operasional pelaksanaan pembangunan di wilayah kota Salatiga, menjadikan pedoman untuk memformulasikan kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah Salatiga, mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, keseimbangan perkembangan wilayah kota Salatiga serta keserasian, memberikan arahan bagi penyusunan indikasi program utama dalam RTRW kota, pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah dan/atau masyarakat dan penetapan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota38.

Pemerintah telah merubah tempat tersebut yang dulunya menjadi tempat prostitusi di daerah sarirejo ini yang kini dikenal atau dijuluki oleh masyarakat setempat sebagai tempat untuk wisata karaoke bagi masyarakat di daerah salatiga. Tetapi masih saja disalahgunakan oleh masyarakat untuk melakukan hubungan intim (seks), dimana masyarakat sekitar daerah salatiga ini melihat bahwa selain mereka yang bekerja sebagai pemandu karaoke ada juga sebagian dari mereka yang menjajahkan dirinya untuk melakukan hubungan intim kepada setiap orang yang ingin melakukan hubungan intim.

Prostitusi dapat diartikan juga sebagai perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pekerjaan atau kebisaan. Dengan demikian, pelaku prostitusi melakukan perbuatan tersebut selain untuk memenuhi

38 Peraturan daerah kota salatia nomor 4 tahun 2011,tentang rencana tata Ruang Wilayah kota Salatiga

45

kebutuhan seksnya, juga untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Prostitusi di kenal juga sebagai penyakit sosial yang hidup di tengah-tengah masyarakat, yang keberadaannya seperti kebiasaan manusia pada umumnya dan terus berkembang dalam bentuk-bentuk tindakan prostitusi itu sendiri.

Jika menilik soal Pasal 296 KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan

sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana dengan denda paling banyak lima belas ribu rupiah”, maka penulis dapat mengambil

kesimpulan, bahwa sebagai penegak hukum Kepolisian Salatiga sudah semestinya mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam menangani masalah-masalah yang ada, seperti kasus prostitusi di Salatiga ini. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2002 Pasal 1 ayat (4 dan 5), perihal Tugas dan Tanggung Jawab Kepolisian adalah memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan juga menjaga kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal,

46

mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainya yang dapat meresahkan masyarakat39

Polisi dalam menangani kasus prostitusi ini belum sepenuhnya maksimal dikarenakan masih ada juga tempat-tempat karaoke yang sering menjadikan tempat tersebut sebagai tempat prostitusi secara tersembunyi yang belum diketahui oleh pihak kepolisian, dan kepolisian harus lebih sigap dan siap untuk mengatasi kasus prostitusi di daerah salatiga ini khususnya di kelurahan sidorejo agar praktek prostitusi tidak terjadi lagi dan tidak menggangu kenyamanan dan ketertiban masyarakat salatiga khususnya, dan dapat menciptakan iklim yang kondusif dan sesuai dengan asas Tri Brata dan Catur Prasatya kepolisian.

1. Hasil Wawancara

Dari hasil penelitian melalui wawancara yang diberikan oleh AIPTU Asroni S.H tentang tindak pidana prostitusi di Salatiga khususnya di daerah Sidorejo, penulis kembali melakukan wawancara terhadap beliau. Adapun, beliau menjelaskan tindakan hukum yang dilakukan polres Salatiga dalam menanggulangi masalah prostitusi di salatiga khususnya di lokalisasi Sarirejo :

1. Tindakan pencegahan, memberikan penyuluhan dengan mengadakan seminar tentang dampak negatif penyakit masyarakat seperti HIV AIDS, agar tidak melakukan perbuatan tindak susila di daerah Salatiga.

39 Undang-Undang Republik Indonesia No.2 tahun 2002 pasal 1 ayat 4 dan 5, tentang kepolisian Republik Indonesia.

47

2. Terkait dengan tugas dan wewenang kepolisan sebagai aparat penegak hukum, maka pihak kepolisian memberikan sanksi yang sesuai dengan amanat pasal 296 KUHP ini, dan kepada pelaku yang menyebabkan atau memudahkan perbuatan tindak pidana dimaksud akan ditindak tegas40.

40

Dokumen terkait