• Tidak ada hasil yang ditemukan

♦ Pelayanan antenatal terpadu bagi semua ibu hamil

♦ Skrining sifilis pada semua ibu hamil dan penanganannya

♦ Penanganan pencegahan bagi pasangan dilakukan oleh dokter di BP puskesmas ♦ KIE dan pemanfaatan kondom bagi semua ibu hamil dan pasangannya.

78 |

Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2011

STRATEGI INTERVENSI ELIMINASI SIFILIS KONGENITAL

Intervensi dalam mencapai tujuan eliminasi sifilis kongenital mengacu pada 4 strategi yaitu :

Strategi 1. Menjamin komitmen politis dan advokasi

 Menjamin komitemen politis dan advokasi dalam rangka memberikan prioritas yang tinggi terhadap program dan alokasi sumber daya yang adekuat

 Peningkatan kepedulian para pengambil keputusan terhadap besaran masalah sifilis pada ibu hamil terutama terhadap dampak negatif yang mungkin timbul di kemudian hari

 Perkiraan cost-effectiveness dan keuntungan program dalam eliminasi sifilis kongenital serta kepentingan pemeriksaan antenatal sedini mungkin

 Menekankan pentingnya mengintegrasikan eliminasi sifilis kongenital dalam pelayanan antenatal terintegrasi di pelayanan KIA selain antenatal, termasuk pencegaan penularan dari ibu ke anak (PPIA) dan pencegahan serta pengawasan IMS.

Strategi 2. Peningkatan akses dan kualitas pelayanan KIA

 Meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap sifilis, sifilis kongenital dan IMS, serta promosi keuntungan pemeriksaan antenatal sedini mungkin

 Menjamin semua ibu hamil diskrining pada kunjungan pertama dan hasilnya diberikan segera

 Menjamin semua perempuan seropositif diobati lebih awal, pasangan dan bayinya juga diobati

 Meningkatkan kualitas pelayanan dengan pelatihan petugas kesehatan serta petugas laboratorium serta menentukan kebutuhan obat dan bahan lain secara adekuat

 Mengintegrasikan kegiatan sifilis kongenital dengan PPIA, pencegahan, penanganan IMS dan pengobatan malaria, dan lain lain melalui pelayanan antenatal terintegrasi.

Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2011

| 79

Strategi 3. Skrining ibu hamil dan pengobatan perempuan seropositif,

pasangan dan bayinya.

 Skrining ibu hamil pada K1 (sebelum 12 minggu) baik menggunakan pendekatan sindrom bagi yang berisiko rendah dan RDT bagi risiko tinggi, serta hasilnya dapat diketahui segera.

 Skrining semua ibu hamil di daerah risiko tinggi pada saat persalinan, khususnya yang belum pernah diskrining sebelumnya

 Mengobati semua ibu hamil sero-positif pada saat itu juga sesuai tatalaksana untuk sifilis

 Mengobati seluruh pasangan perempuan seropositif dengan melakukan rujukan ke dokter umum / balai pngobatan Puskesmas.

 Menjamin perempuan tidak terinfeksi atau terinfeksi ulang melalui edukasi, konseling, penggunaan kondom dan pengobatan pasangan

 Skrining semua perempuan seropositif untuk IMS lain termasuk HIV dan lakukan konseling dan pengobatan yang tepat.

 Membuat rencana perawatan bayi saat persalinan bagi ibu seropositif  Memeriksa bayi dari ibu yang seropositif dengan seksama

 Mengobati semua bayi asimtomatik yang lahir dari ibu seropositif dengan dosis tunggal penisilin dan pantau setiap tiga bulan pada tahun pertama kehidupan

 Pada bayi simtomatik, konfirmasi diagnosis dengan memeriksa ibu menggunakan

rapid test.

 Obati bayi sifilis kongenital dengan penisilin parenteral 10 hari.

Strategi 4. Surveilans, monitoring dan evaluasi

 Sistim monitoring dilakukan melalui pencatatan pelayanan KIA (PWS KIA) yaitu kartu ibu dan bayi. Kohort ibu dan bayi, buku KIA kemudian dilaporkan ke puskesmas ke format bulanan IMS. Data harus rutin dilaporkan berjenjang untuk diolah, dianalisa dan diumpanbalikkan bersama pengelola program KIA dan IMS.  Lakukan survailans sifilis ibu hamil dan sifilis kongenital bila ditemukan ibu hamil

Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2011

| 81

Definisi anak secara medis yang digunakan dalam buku ini adalah seseorang yang berumur kurang dari 18 tahun, dan remaja adalah seseorang yang berumur 10- 18 tahun. Sedangkan untuk aspek mediko legalnya perlu mengacu kepada ketentuan hukum lainnya yang berlaku, misalnya UU no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang hanya mengenal istilah anak saja dan tidak mengenal istilah remaja. Anak yang dimaksudkan dalam UU ini adalah seseorang yang sejak berada dalam kandungan sampai berumur 18 tahun. Selama dasawarsa yang lalu, tindak kekerasan seksual terhadap anak dan remaja telah disadari sebagai masalah sosial yang cukup serius dan memerlukan perhatian para pengambil keputusan, para pendidik, serta para profesional yang berperan di bidang kesehatan dan bidang sosial. Para peneliti telah membuktikan, ada pengaruh yang serius dari tindak kekerasan seksual terhadap kepribadian, emosi, dan kesehatan fisik para korban, maka penatalaksanaan mereka pun akan merupakan aspek penting pada penatalaksanaan kesehatan anak dan remaja baik di negara maju, maupun di negara berkembang.

Pendekatan baku penanganan IMS pada anak dan remaja yang dicurigai telah mengalami tindak kekerasan seksual menjadi penting sebab infeksi yang terjadi kemungkinan bersifat asimtomatik. Suatu IMS yang tidak terdiagnosis dan dibiarkan tanpa pengobatan akan menimbulkan komplikasi pada stadium lanjut dan kemungkinan terjadi penularan kepada orang lain.

Petugas pelayanan kesehatan tidak selalu menyadari keterkaitan antara tindak kekerasan seksual dan IMS pada anak. Di masa lalu anak yang dicurigai mengalami tindak kekerasan seksual tidak secara rutin dilakukan skrining terhadap adanya IMS. Sebaliknya, pada anak yang didiagnosis menderita IMS tidak dilakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap sumber infeksinya, bahkan hal tersebut diasumsikan sebagai infeksi yang didapat secara non- seksual, misalnya akibat kontaminasi handuk yang dipakai atau akibat tidur yang berhimpitan, dan menyebabkan mereka bersentuhan dengan seseorang yang telah terinfeksi IMS.

82 |

Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2011

Pada sebagian besar kasus, identifikasi kuman IMS pada seorang anak berusia lebih besar dari usia neonatal, mengesankan telah terjadinya tindak kekerasan seksual terhadap anak tersebut. Akan tetapi hal itu ada perkecualiannya, misalnya infeksi pada rektum atau alat genital dengan C.trachomatis pada anak kecil yang dapat terjadi karena telah terjadi infeksi perinatal, dan kuman ini akan bertahan sampai anak berusia 3 tahun. Sebagai tambahan vaginosis bakterial dan mikoplasma pada alat genital dapat terjadi pada anak yang telah mengalami tindak kekerasan seksual maupun yang tidak. Kutil pada alat genitalia, meskipun mengesankan adanya tindak kekerasan seksual, hal tersebut tidak spesifik untuk tindak kekerasan seksual. Bila kuman IMS dapat diisolasi atau ditemukan adanya antibodi terhadap agen penyebab IMS, maka penemuan tersebut perlu dipertimbangkan secara hati- hati untuk membuktikan adanya tindak kekerasan seksual.

Pada usia dewasa muda/ remaja, kasus tindak kekerasan seksual pada kedua jenis kelamin kemungkinan terjadi lebih banyak dari pada yang telah dilaporkan. Sebagian besar kasus tindak kekerasan seksual dilakukan oleh keluarga sikorban, teman- temannya, dan orang dewasa lainnya dan orang yang kontak secara sah dengan anak atau remaja tersebut Para pelakunya sering sulit untuk diidentifikasi. Petugas kesehatan yang menduga adanya tindak kekerasan seksual harus segera mempertimbangkan untuk memberikan konseling secara khusus, dan memberikan dukungan sosial.

Perlu ditekankan bahwa dukungan psikologis dan sosial terhadap korban tindak kekerasan seksual penting dalam penatalaksanaan pasien tersebut.

Dokumen terkait