• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM RUMAH

B. KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM RUMAH

TANGGA

Dalam hal menangani kasus anak korban tindak pidana penganiayaan dalam rumah tangga, kebijakan hukum pidana merupakan upaya penerapan pidana dan penerapan perlindungan bagi anak. Selain kebijakan yang menggunakan sarana hukum pidana terdapat juga kebijakan non hukum pidana yang terdiri dari upaya pencegahan hukum pidana dan upaya memengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan.48

Kebijakan hukum pidana tersebut diatas terdiri dari : 1. Penerapan Sanksi Pidana Penjara dan Pidana Denda

(1) Ketentuan Tindak Pidana Penganiayaan dalam Kitab Undang – Undang Pidana

Bab IX Pasal 89 KUHP menentukan bahwa orang pingsan atau membuat orang tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Berdasarkan ketentuan pasal 89 KUHP dapat diketahui bahwa kekerasan adalah suatu perbuatan dengan menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani secara tidak sah, membuat orang tidak berdaya. Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya. Yang disamakan dengan melakukan kekerasan menurut pasal ini ialah membuat orang jadi pingsan dan tidak berdaya.

48

Dalam hukum pidana, kerugian yang dialami anak sebagai korban tindak kekerasan belum secara konkret diatur. Artinya hukum pidana memberikan perlindungan kepada anak sebagai korban, lebih banyak merupakan perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung, dengan adanya berbagai perumusan tindak pidana dalam perundang – undangan. Sistem sanksi dan pertanggungjawaban pidana tidak tertuju pada perlindungan korban secara langsung dan konkret, tetapi hanya perlindungan korban secara tidak langsung dan abstrak.

Sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, kejahatan terdiri dari kejahatan terhadap tubuh dan kejahatan terhadap nyawa yakni :

(1) Bab XX untuk kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja, dan Bab XXI ( khusus pasal 360) bila dilakukan tanpa kesengajaan (karena kelalaian);

(2) Bab XIX untuk kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja, dan Bab XXI (khusus pasal 359) bila dilakukan karena kelalaian.

Dibentuknya pengaturan tentang kejahatan terhadap tubuh manusia ini dutujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian.49

49

Adami Chazawi, 2000, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Raja Grafindo Persada, Jakarta, halaman 7

Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja (Penganiayaan) dapat dibedakan menjadi enam macam, yakni :

(1) Penganiayaan biasa (Pasal 351) (2) Penganiayaan ringan (Pasal 352) (3) Penganiayaan berencana (Pasal 353) (4) Penganiayaan berat (Pasal 354)

(5) Penganiayaan berat berencana ( Pasal 355)

(6) Penganiayaan dengan cara dan terhadap orang – orang yang berkualitas tertentu yang memberatkan (Pasal 356)

Penganiayaan dalam kamus besar bahasa Indonesia dimuat arti sebagai berikut “perilaku yang sewenang-wenang”. Pengertian tersebut adanya pengertian dalam arti luas, yakni termasuk yang menyangkut “perasaan” atau “batiniah”.

Menurut yurisprudensi, maka yang diartikan dengan penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak, rasa sakit atau luka. Masuk pula dalam pengertian penganiayaan ialah “sengaja merusak kesehatan orang”, “perasaan tidak enak” misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga basah kuyup. “rasa sakit” misalnya menyubit, mendupak, memukul. “luka” misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau.

Dalam doktrin atau ilmu pengetahuan hukum pidana, berdasarkan sejarah pembentukan dari pasal yang bersangkutan sebagaimana yang diterangkan diatas disebutkan bahwa:

Penganiayaan ialah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain, yang akibat mana semata – mata merupakan tujuan si petindak.50

Dari pengertian itu, maka penganiayaan mempunyai unsur – unsur berikut : (1) Adanya kesengajaan;

(2) Adanya perbuatan;

(3) Adanya akibat perbuatan (dituju) yakni : (a) Rasa sakit, tidak enak pada tubuh; (b) Lukanya tubuh;

Luka diartikan terdapatnya atau terjadinya perubahan dari tubuh, atau menjadi lain dari rupa semula sebelum perbuatan itu dilakukan, misalnya lecet pada kulit, putusnya jari tangan, bengkak pada pipi, dan lain sebagainya. Sedangkan rasa sakit tidak memerlukan adanya perubahan rupa pada tubuh, melainkan pada tubuh timbul rasa sakit, rasa perih, tidak enak atau penderitaan.

1. Penganiayaan Biasa

Pasal 351 KUHP menentukan :

(1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama – lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak – banyaknya Rp 4.500,-

(2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, si tersalah dihukum penjara selama – lamanya lima tahun.

(3) Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara selama – lamanya lima tahun.

(4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja.

(5) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum.

50

Menurut bunyi rumusan pasal 351 KUHP, penganiayaan biasa dapat dibedakan menjadi :

a. Penganiayaan biasa yang tidak menimbulkan luka berat maupun kematian (ayat 1)

b. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat (ayat 2) c. Penganiayaan yang mengakibatkan kematian (ayat 3)

d. Penganiayaan yang berupa sengaja merusak kesehatan (ayat 4)

Pembedaan atau penggolongan penganiayaan seperti tersebut di atas didasarkan pada akibat dari penganiayaan.

2. Penganiayaan Ringan

Pasal 352 KUHP menentukan :

(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, dipidana sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,-

Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya.

(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Dalam rumusan ayat ke-1, terdapat dua ketentuan, yakni :

a. Mengenai batasan dan ancaman pidana bagi penganiayaan ringan. b. Alasan pemberat pidana pada penganiayaan ringan.

Batasan penganiayaan ringan adalah penganiayaan yang : a. Bukan berupa penganiayaan berencana (353) b. Bukan penganiayaan yang dilakukan :

2) Terhadap pegawai negeri yang sedang dan atau karena menjalankan tugasnya yang sah;

3) Dengan memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum (356)

c. Tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian.

3. Penganiayaan Berencana Pasal 353 KUHP menentukan :

(1) Penganiayaan yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu dihukum penjara selama – lamanya empat tahun.

(2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, si tersalah dihukum penjara selama – lamanya tujuh tahun.

(3) Jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya ia dihukum penjara selama – lamanya sembilan tahun.

Ada tiga macam penganiayaan berencana, yakni :

a. Penganiayaan berencana yang tidak berakibat luka berat atau kematian; b. Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat;

c. Penganiayaan berencana yang berakibat kematian.

4. Penganiayaan Berat Pasal 354 menentukan :

(1) Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain, dihukum karena menganiaya berat, dengan hukuman penjara selama – lamanya delapan tahun.

(2) Jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya, si tersalah dihukum penjara selama – lamanya sepuluh tahun.

Berdasarkan rumusan pasal diatas maka penganiayaan berat mempunyai unsur – unsur sebagai berikut :

a. Kesalahannya : kesengajaan b. Perbuatan : melukai berat c. Obyeknya : tubuh orang lain d. Akibat : luka berat

Penganiayaan berat ada dua bentuk, yakni : a. Penganiayaan berat biasa (ayat 1), dan

b. Penganiayaan berat yang menimbulkan kematian ( ayat 2)

5. Penganiayaan Berat Berencana Pasal 355 menentukan :

(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, dihukum penjara selama – lamanya dua belas tahun.

(2) Jika perbuatan itu menyebabkan kematian orangnya, si tersalah dihukum penjara selama – lamanya lima belas tahun.

6. Penganiayaan Terhadap Orang – Orang Berkualitas Tertentu atau dengan cara Tertentu yang Memberatkan

Macam penganiayaan yang dimaksudkan adalah penganiayaan sebagaimana dimaksudkan adalah penganiayaan sebagaimana yang dimuat dalam pasal 356

KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut :

Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354 dan 353 dapat ditambah dengan sepertiga :

1. Bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istrinya atau anaknya;

2. Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah;

3. Jika kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum.

Perlindungan anak sebagai korban tindak penganiayaan yang dilakukan oleh keluarga hanyalah berupa pemberatan sanksi. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 356 ayat (1) KUHP, yang menentukan :

“Hukuman yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah dengan sepertiganya..

Ke-1. Jika si tersalah melakukan kejahatan itu kepada ibunya, bapaknya yang sah, istrinya (suaminya) atau anaknya.”

Jadi pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku, bukanlah pertanggungjawaban terhadap kerugian atau penderitaan korban secara langsung dan konkret, tetapi lebih tertuju pada pertanggungjawaban yang bersifat pribadi atau individual.

Sekalipun dalam kitab undang – undang hukum pidana telah mengatur tentang tindak pidana penganiayaan, namun anak sebagai korban tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh keluarganya sendiri belum secara konkret diatur. Sistem sanksi dan pertanggung jawaban pidana tidak tertuju pada perlindungan korban secara langsung dan konkret. Seperti penjabaran tindak pidana penganiayaan pada pembahasan sebelumnya, dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana hanya mengatur tindak penganiayaan secara umum. Artinya, hukum pidana positif memberikan perlindungan kepada anak sebagai korban, lebih banyak merupakan perlindungan abstrak atau perlindungan tidak

langsung, yaitu dengan adanya berbagai perumusan tindak pidana dalam perundang – undangan. Oleh sebab itu pemerintah kembali merumuskan tindak pidana penganiayaan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga ke dalam UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga secara lebih khusus.

(2) Ketentuan Tindak Pidana Penganiayaan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Lahirnya Undang – Undang Nomor 23 tahun 2004 merupakan suatu bentuk

pembaharuan hukum yang dilakukan oleh pemerintah dalam menyikapi maraknya tindak kekerasan dalam rumah tangga dengan melihat pada beberapa pokok pemikiran sebagai berikut :

(1) Kasus kekerasan dalam rumah tangga makin menunjukkan peningkatan yang signifikan dari hari ke hari, baik kekerasan dalam bentuk fisik atau psikologis maupun kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi. Bahkan sudah menjurus dalam bentuk tindak pidana penganiayaan dan ancaman kepada korban yang dapat menimbulkan rasa ketakutan atau penderitaan psikis berat bahkan kegilaan pada seseorang.

(2) Pandangan yang berpendapat bahwa semua kejahatan harus diatur dalam suatu kodifikasi hukum, seperti Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang – Undang Hukum Pidana adalah pandangan yang tidak mendukung adanya pembaharuan hukum sesuai dengan

tuntutan perkembangan yang ada, karena peraturan perundang – undangan tersebut belum menyentuh permasalahan mendasar.

(3) Para korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami berbagai hambatan untuk dapat mengakses hukum seperti sulit untuk melaporkan kasusnya ataupun tidak mendapat tanggapan positif dari aparat penegak hukum. (4) Ketentuan Hukum Pidana atau perundang – undangan lainnya sejauh ini

terbukti tidak mampu memberikan perlindungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga.

Sekalipun Undang – Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga belum sesempurna yang diharapkan namun setidaknya lebih dapat mengatur tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.

Ancaman pidana bagi pelaku penganiayaan terhadap anak dalam rumah tangga diatur dalam pasal 44 UU No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT yang menyebutkan :

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)

Yang dimaksud dalam pasal 5 huruf a yaitu : kekerasan fisik.

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakitbatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah).

(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).

(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari – hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4

(empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

(3) Ketentuan Tindak Pidana Penganiayaan Anak dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pasal 80 ayat (1) UU Nomor 23 tahun 2002 :

(1) Setiap orang yang melakukan kejahatan, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

2. Penerapan Pidana Tambahan

Hingga kini belum ada putusan Pengadilan yang menjatuhkan hukuman pidana tambahan terhadap pelaku KDRT sebagaimana yang diatur oleh UU No. 23 tahun 2004.

Pasal 50 Undang – Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyebutkan :

Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini, Hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:

(1) Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;

(2) Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.

3. Penerapan Perlindungan Bagi Anak Korban Kekerasan

Anak dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehinga negara berkewajiban memenuhi hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi, perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Selain pemerintah masyarakat, keluarga, dan khususnya orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Untuk itu pemerintah mengeluarkan atau mengesahkan undang-undang tentang perlindungan anak yaitu UU No. 23 Tahun 2002 dengan tujuan perlindungan terhadap anak memiliki dasar hukum yang kuat, mengingat kita ini hidup dinegara hukum.

Arif Gosita berpendapat bahwa perlindungan anak adalah suatu usaha melindungi anak agar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.51

“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungai anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Didalam UU No. 23 Tahun 2002 dijelaskan definisi perlindungan anak didalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 (2) yang berbunyi :

Anak dalam keadaan tertentu itu akan mendapatkan perlindungan khusus. Mengenai definisi perlindungan khusus itu sendiri dalam UU No. 23 Tahun 2002 diatur pada Pasal 1 ayat (15) yang berbunyi :

51

“Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapat dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksuat, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainya (napza), anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.”

Secara umum anak yang mengalami kekerasan fisik berhak mendapatkan perlindungan dalam hal :52

a) Mendapatkan pengobatan medis dengan segera;

b) Mendapatkan perawatan dari psikolog dan atau pekerja sosial untuk memulihkan kondisi;

c) Kasusnya ditindak-lanjuti secara yuridis;

d) Dapat dipisahkan dengan pelaku apabila mempunyai hubungan dekat dengan korban.

Perlindungan anak korban kekerasan yang sudah ada pada saat ini terdapat dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mengenai perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga, ditetapkan:

a) Dalam Bab IV Pasal 10 tentang Hak-hak Korban.

b) Dalam Bab VI Pasal 16 sampai dengan Pasal 38 tentang Perlindungan Korban.

c) Dalam Bab VII Pasal 39 sampai dengan Pasal 43 tentang Pemulihan Korban.

52

Mohammad Taufik Makarao, Weny Bukamo, Syaiful Azri, 2012, Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Bab VI tentang “Perlindungan” Rumah Tangga,

Hak-hak, perlindungan maupun pemulihan korban, dalam UU PKDRT, dimaksudkan untuk semua korban KDRT, tentunya termasuk perlindungan terhadap anak korban KDRT.

Kemudian pada Undang – Undang Perlindungan Anak terdapat padaPasal 17 ayat (2) dan Pasal 18.

Pasal 17 ayat (2) yang berbunyi:

Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan”.

Kemudian dalam Pasal 18 disebutkan: “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya”.

Perlindungan yang berupa bantuan lainnya dalam penjelasan Pasal 18, hanya disebutkan bahwa: “Bantuan lainnya dalam ketentuan ini termasuk bantuan medik,sosial, rehabilitasi, vokasional, dan pendidikan”. Dalam Bab IX tentang Penyelenggaraan Perlindungan ditetapkan beberapa bentuk perlidungan anak yang mencakup perlindungan agama, kesehatan, sosial, dan pendidikan. Dalam perlindungan tersebut tidak disebutkan secara khusus tentang perlindungan bagi anak korban kekerasan. Baru dalam bagian kelima (Pasal 59-71) diatur tentang perlindungan khusus, namun sayangnya dalam ketentuan ini juga ditegaskan tentang bentuk perlidungan khusus bagi anak korban kekerasan. Dalam ketentuan ini hanya ditetapkan tentang proses dan pihak yang bertanggungjawan atas

perlindungan anak korban kekerasan. Misalnya, perlindungan anak korban tindak pidana (Pasal 64 ayat 3) hanya ditentukan prosesnya, yaitu melalui:

a) Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;

b) Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan menghindari labelisasi;

c) Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial; dan

d) Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

Berkaitan dengan hal memberi perlindungan kepada anak korban penganiayaan atau kekerasan Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak dari Departemen Sosial RI menyusun beberapa program untuk anak yang membutuhkan perlindungan khusus :53

a) Perlindungan Khusus melalui Program dan Pelayanan Langsung yaitu :

(4) Penarikan (removal), anak – anak dalam situasi sulit yang menyebabkan mereka membutuhkan perlindungan khusus. Penarikan ini dapat dilakukan dengan cara pendekatan manusiawi maupun dengan tindakan hukum oleh lembaga yang berwenang.

(5) Perlindungan Sementara, pemberian pelayanan kesehatan mencakup pemeriksaan kesehatan, penyediaan obat dan pelayanan psikososial.

(6) Penyembuhan dan Pemulihan, yaitu untuk mengembalikan keberfungsian sosial anak yang hilang dalam masa situasi sulit melalui penyembuhan dan pemulihan fisik, mental dan sosialisasinya melalui check kesehatan, konseling dan tekhnik lainnya.

(7) Pembelaan, dalam menjalani proses hukum anak – anak tetap harus memperoleh hak – haknya.

53

b) Perlindungan Khusus melalui Program – Program Tidak Langsung:

(1) Penyediaan Perangkat – Perangkat Hukum

(a) Penyusunan berbagai peraturan pemerintah atau keppres yang menjabarkan prangkat – perangkat undang – undang yang telah dimiliki. (b) Peraturan – peraturan daerah yang dapat mencegah, melindungi dan

mempromosikan anak – anak secara keseluruhan dan khususnya anak – anak yang membutuhkan perlindungan khusus.

(2) Penegakan hukum, oleh aparat penegakan hukum terhadap berbagai kasus pelanggaran anak dan perlindungan bagi anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang bersumber pada peraturan perundangan yang berlaku dan relevan dengan masalah anak.

(3) Advokasi, mengenai perubahan – perubahan kebijakan dan program yang mendukung bagi upaya pencegahan dan perlindungan anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Advokasi ini dilakukan kepada semua pengambilan pada sektor – sektor pemerintah yang terkait dengan permasalahan ini.

(4) Pengembangan Sistem Informasi, menyediakan berbagai data informasi perlindungan anak yang terus – menerus diperbarui dan berbagai laporan – laporan kasus pelanggaran hak anak.

(5) Penyadaran Masyarakat, agar mereka mempunyai daya tanggap dan tindakan dalam upaya mencegah dan melindungi anak – anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Penyadaran masyarakat dilakukan melalui sosialisasi dan kampanye, baik yang dilakukan secara terbuka melalui media massa maupun media tradisional.

(6) Pendidikan Orangtua, melalui penyukuhan, bimbingan, maupun pelatihan agar mereka dapat meningkatkan kemampuan dalam memenuhi hak – hak anak, menghindari berbagai pelanggaran hak anak dan mempunyai daya tanggap terhadap keadaan lingkungan sekitar.

Selain kebijakan dengan sarana hukum pidana terdapat juga kebijakan dengan sarana non hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga yaitu upaya pencegahan dan perlindungan bagi anak.

Dalam Pasal 11 Undang – Undang Nomor 23 tahun 2004 disebutkan : “Pemerintah bertanggungjawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.”

Upaya pencegahan tersebut adalah :

a. Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

b. Menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga.

c. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga (Pasal 12).

Dalam Undang – Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, kebijakan penanggulangan kekerasan pada anak, dapat diidentifikasi pada bagian upaya perlindungan anak, yaitu mencakup :

(1) Diwajibkannya ijin penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian kepada orangtua dan harus mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak (Pasal 47).

(2) Diwajibkannya bagi pihak sekolah (lembaga pendidikan) untuk memberikan perlindungan terhadap anak di dalam dan dilingkungan sekolah dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman – temannya di dalam sekolah yang bersangkutan atau lembaga pendidikan lainnya (Pasal 54).

(3) Penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang – undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan (Pasal 69).

C. HAMBATAN DALAM PENANGANAN KASUS PENGANIAYAAN