II. PERKEMBANGAN INDUSTRI KELAPA SAWIT DI SUMATERA SELATAN
2.3. Kebijakan-Kebijakan Ekonomi Pada Industri Kelapa Sawit
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk kelangsungan industri
kelapa sawit nasional dengan melakukan berbagai kebijakan untuk mempertahan-
kan stabilitas pasokan dan harga CPO, serta harga minyak goreng untuk kebutuhan
domestik. Untuk mengantisipasi gejolak harga minyak goreng di dalam negeri
tersebut, pemerintah berupaya memacu pertumbuhan perkebunan kelapa sawit,
sekaligus menjadikannya sebagai komoditi andalan ekspor nasional. Kebijakan
pemerintah ini diwujudkan dengan memberikan kesempatan kepada pihak swasta
nasional untuk investasi di bidang kelapa sawit yaitu melalui pemberian Kredit
Mengingat komoditi minyak kelapa sawit merupakan komoditi perdagangan
baik di pasar domestik maupun pasar dunia, maka instrumen-instrumen kebijakan
yang sering digunakan oleh pemerintah Indonesia antara lain: (1) penetapan pajak
ekspor secara berkala, (2) penetapan kebutuhan dalam negeri berupa pembatasan
ekspor, (3) pengadaan cadangan penyangga minyak sawit untuk kebutuhan
domestik, (4) pelarangan ekspor, dan (5) impor minyak goreng dalam upaya
menstabilkan harga minyak goreng melalui operasi pasar dan lain-lain.
Sejak tahun 1977, komoditi minyak sawit tidak lagi diprioritaskan untuk
ekspor, tetapi lebih diutamakan untuk kebutuhan domestik yaitu bahan baku industri
minyak goreng. Kebijakan ini dikeluarkan pemerintah Indonesia mengingat kopra
sebagai bahan baku utama minyak goreng domestik sudah tidak bisa diandalkan
lagi, selain itu untuk mencegah impor kopra secara besar-besaran seperti yang
terjadi pada tahun 1977 (Djauhari dan Pasaribu, 1996).
Pada tahun 1978 pemerintah menetapkan kewajiban setiap produsen minyak
sawit untuk menyisihkan 35.00% dari produksinya untuk kebutuhan domestik atau
industri dalam negeri, selebihnya baru diekspor. Kebijakan pemerintah ini dibuat
melalui Surat Keputusan Bersama tiga menteri, yaitu Menteri Perdagangan dan
Koperasi, Menteri Pertanian dan Menteri Perindustrian No.275/KPB/XII/1978;
No.764/Kpts/UM/12/1978; No.252/M/SK/1978 tanggal 16 Desember 1978 tentang
pengadaan minyak nabati untuk kebutuhan dalam negeri. Departemen
Perdagangan dan Koperasi menetapkan harga minyak sawit untuk pemasaran
dalam negeri. Penetapan harga domestik ini dilakukan setiap tiga bulan sejak tahun
1978. Pengaturan harga minyak sawit bervariasi sampai tahun 1990. Harga CPO
pernah dibebaskan berdasarkan harga pasar yang berlaku melalui Paket
sawit diperbaharui menjadi Rp 475/kg FOB Belawan melalui Keputusan Menteri
Perdagangan RI No. 164/KP/IV/90 tentang penetapan harga minyak sawit untuk
kebutuhan industri dalam negeri (Departemen Pertanian, 1991). Pada tanggal 26
September 1990, Menteri Koordinator Bidang Ekuin/Wasbang mengeluarkan
peninjauan kembali kebijakan tata niaga kopra, minyak kelapa dan minyak sawit
yaitu berupa penyesuaian kebijakan tata niaga dari non tarif menjadi mekanisme
tarif. Bila terjadi kenaikan harga minyak goreng domestik di atas tingkat harga yang
wajar akibat peningkatan permintaan CPO di luar negeri, maka terhadap ketiga
komoditi ekspor tersebut dikenakan pajak ekspor tambahan. Besarnya pajak ekspor
dan pajak tambahan diperhitungkan berdasarkan harga FOB. Sejak 3 Juni 1991,
keputusan tersebut dicabut melalui Keputusan Bersama Menteri Perdagangan,
Menteri Pertanian dan Menteri Perindustrian No.136/KPB/VI/ 91; No.340/Kpts/
KB.320/VI/1991 dan No.50/M/SK/6/1991, sehingga mendorong produsen minyak
sawit untuk mengalokasikan sumberdaya ekonomi yang ada secara lebih efisien.
Sebagai dasar penetapan harga adalah harga FOB Belawan. Pembebasan
perdagangan dan ekspor ini hanya berlaku sampai Agustus 1994.
Pada periode September 1994 - Juli 1997, pemerintah menetapkan pajak
ekspor progresif yaitu 40.00% - 60.00% tergantung harga FOB. Selain itu untuk
menjamin stabilitas pasar minyak goreng domestik, pemerintah melakukan
pengadaan cadangan penyangga bahan baku CPO dan operasi pasar minyak
goreng untuk konsumen rumahtangga. Selama Juli - Nopember 1997, pemerintah
mencoba meningkatkan volume ekspor dengan menurunkan pajak ekspor menjadi
5.00%. Akan tetapi dua bulan berikutnya ditetapkan pajak ekspor tambahan bagi
ekspor CPO, bahkan dilanjutkan dengan pelarangan sementara ekspor CPO selama
goreng domestik. Pada bulan April 1998, pajak ekspor CPO kembali ditetapkan
sebesar 40.00% dan dua bulan berikunya diturunkan menjadi 10.00%.
Kebijakan harga minyak sawit otomatis akan mempengaruhi harga TBS
ditingkat petani, karena harga TBS ditentukan berdasarkan rumus harga yang
dikeluarkan oleh Mentan, dimana komponen-komponen penentu harga TBS antara
lain adalah harga CPO dan PKO. Kebijakan pemerintah dalam penentuan harga
TBS ini selanjutnya akan mempengaruhi perilaku dan keputusan petani dalam
mengelola kebun plasma kelapa sawit. Selama ini harga TBS ditentukan
berdasarkan harga ekspor FOB minyak sawit, dimana sejak tahun 1978, harga TBS
ditentukan sebesar 14.00% dari nilai ekspor CPO pelabuhan Belawan. Pada tahun
1987 harga TBS diubah kembali berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian
No. 43/Kpts/KB.320/2/87, dimana harga TBS ditentukan sebesar 14.00% dari harga
ekspor CPO dan nilai ekspor PKO.
Selain kebijakan di bidang harga dan perdagangan kelapa sawit, pemerintah
juga mengeluarkan berbagai kebijakan di bidang produksi. Salah satu kebijakan di
bidang produksi kelapa sawit adalah mengatur sistem kerjasama antara petani
plasma dengan perkebunan besar (perusahaan Inti) sebagai mitra kerja petani
melalui pola PIR. Dalam organisasi produksi PIR-Sawit, perusahaan Inti berke-
wajiban memberikan bimbingan teknik budidaya dan manajemen kepada petani
plasma serta membeli seluruh produksi yang dihasilkan dari kebun plasma, demikian
juga petani plasma berkewajiban menjual seluruh TBS yang dihasilkan kepada
perusahaan Inti sekaligus berkewajiban mencicil semua kredit yang diperoleh petani
untuk pembukaan kebun plasma dan fasilitas perumahan.
Harga pembelian TBS dari petani oleh perusahaan Inti harus berdasarkan
perhitungan harga TBS menggunakan indeks proporsi tertentu atas harga minyak
sawit (CPO), inti sawit (PKO) dan rendemen. Selanjutnya harga TBS kelapa sawit
produksi petani diperbaiki melalaui keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
No. 627/Kpts-II/98 tanggal 11 September 1998 tentang ketentuan penetapan harga
pembelian TBS kelapa sawit produksi petani dalam ranga menjamin perolehan
harga yang wajar dari TBS kelapa sawit produksi petani dan mencegah persaingan
tidak sehat diantara pabrik PKS. Rincian Ketentuan Penetapan Harga Pembelian
Tandan Buah Segar (TBS) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan tahun 1998 dapat dilihat pada Lampiran 8.
Sebagai tindak lanjut Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
(SK Menhutbun No. 627/Kpts-II/98) maka dikeluarkan juga surat keputusan Gubenur
Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Selatan, No: 898/SK/V/1998 tanggal 5 Desember
1998 tentang pembentukan tim penetapan harga pembelian tandan buah segar
(TBS) kelapa sawit produksi petani. Susunan anggota penetapan harga pembelian
TBS petani plasma diketuai oleh Kepala Dinas Perkebunan Dati I Sumatera Selatan
dengan anggota seluaruh Kantor wilayah (Kanwil), Biro, Perkebunan besar
(PTP/PTPN) serta perwakilan KUD petani kelapa sawit di Sumatera Selatan.
Secara matematis penentuan harga TBS petani yang dibeli perusahaan Inti
berdasarkan rumus sebagai berikut:
HTBS = K (HCPO x RCPO CPO + HIS x RIS)
dimana:
HTBS= Harga TBS acuan yang diterima yang diterima petani di tingkat pabrik (Rp/kg)
K = Indeks proporsi yang menunjukkan bagian yang diterima oleh petani dinyatakan dalam persentase
HCPO= Harga rata-rata minyak sawit kasar (CPO) tertimbang realisasi penjualan ekspor (FOB) dan lokal masing-masing perusahaan pada bulan sebelumnya dinyatakan dalam Rp/kg.
HIS = Harga rata-rata inti sawit tertimbang realisasi penjualan ekspor (FOB) dan lokal masing-masing perusahaan pada bulan sebelumnya dinyatakan dalam Rp/kg
RCPO= Rendemen minyak sawit kasar dinyatakan dalam persentase
RIS = Rendemen inti sawit dinyatakan dalam persentase.
Pada periode 2000-2005, pemerintah daerah Sumatera Selatan mengeluar-
kan juga kebijakan program pemberdayaan masyarakat perkebunan dengan
menggunakan pendekatan kawasan industri masyarakat perkebunan (disingkat
Kimbun) agar perkebunan rakyat dapat lebih efisien dan berkelanjutan (Dinas
Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan, 1999). Uraian tentang beberapa bentuk
alternatif pola pengembangan perkebunan kelapa sawit berdasarkan pendekatan
III. TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Penelitian tentang Kinerja Perusahaan Inti Rakyat Kelapa Sawit
Kinerja perusahaan inti rakyat (PIR) kelapa sawit dapat di nilai dari umur
tanaman waktu lahan dikonversi (alih kelola dari perkebunan inti kepada petani
plasma), tingkat produksi atau produktivitas, lama pelunasan kredit dan pendapatan
kelapa sawit. Selain itu dapat dikaji juga dari pengelolaan perkreditan serta peranan
unsur kelembagaan membina kemitraan antara petani dan inti seperti yang
dilakukan oleh Limbong (1991) pada pola PIR-NES V di Banten Selatan, Jawa
Barat. Peranan proyek PIR dapat juga dikaji dari peningkatan pendapatan dan
kesempatan kerja masyarakat di wilayah tersebut, seperti yang dilakukan oleh
Riyadi (1993) di Kecamatan Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, atau dari
perubahan pola pemukiman dan mata pencaharian masyarakat setempat, seperti
yang dilakukan oleh Yosep (1996) pada proyek PIR kelapa sawit di Kabupaten
Manokwari, provinsi Irian Jaya.
Studi yang dilakukan oleh Dradjat dan Daswir (1995) pada proyek PIR kelapa
sawit di Sumatera menemukan bahwa pelaksanaan proyek PIR kelapa sawit sering
menghadapi masalah kelembagaan. Peneliti menemukan kendala potensial yang
berkaitan dengan dominasi perusahaan inti dan koperasi terhadap rumahtangga
petani plasma sebagai peserta proyek PIR. Penelitian sejenis dilakukan oleh
Herman dan Dradjat (1996) pada proyek PIR kelapa sawit di Sumatera, Jawa dan
Kalimantan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan koperasi unit desa (KUD)
sebagai lembaga ekonomi petani pada masa pasca konversi tidak selalu efektif dan
dipengaruhi oleh ada tidaknya organisasi ekonomi sebelumnya, tingkat pendidikan