• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

Dalam dokumen DRAFT.doc 6198KB Jun 02 2011 09:33:54 AM (Halaman 197-200)

1. ISU STRATEGIS

Ketahanan pangan diartikan sebagai akses setiap rumah tangga atau individu untuk memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup sehat (FAO/WHO,1992) kemudian dikembangkan dengan memasukan komponen persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan nilai atau budaya setempat. Sementara itu, berdasar Undang-undang No.7 tahun 1996 tentang pangan, mengartikan ketahanan pangan rumah tangga adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Pemaknaan lain atas ketahanan pangan yaitu kemampuan untuk memenuhi pangan anggota rumah tangga dalam jumlah, mutu dan ragam sesuai budaya setempat dari waktu ke waktu agar hidup sehat, dan atau kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari produksi sendiri, dan atau membeli dari waktu ke waktu agar dapat hidup dan kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar hidup sehat.

Pangan merupakan kebutuhan dasar dan merupakan hak azazi bagi setiap manusia. Krisis pangan dapat berdampak pada krisis sosial dan politik. Oleh karena itu secara sungguh-sungguh perlu diupayakan terwujudnya ketahanan pangan nasional. Diversifikasi pangan berbasis pangan lokal dapat dilakukan sebagai salah satu cara untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Namun demikian upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional melalui diversifikasi pangan tidaklah mudah mengingat bebagai kendala, antara lain menyangkut persepsi, dan budaya terhadap beras, serta berbagai faktor

penghambat upaya pemanfaatan umbi-umbian sebagai bahan pangan lokal, walaupun sesungguhnya beberapa jenis umbi-umbian, seperti ubi jalar, diketahui memiliki nilai gizi yang lebih baik karena dapat memberikan efek yang menyehatkan bagi yang mengkonsumsinya. Oleh karena itu upaya untuk melakukan diversifikasi pangan harus diarahkan sebagai upaya untuk memenuhi angka kecukupan gizi (AKG).

Walaupun menghadapi berbagai kendala, upaya diversifikasi pangan berbasis pangan lokal harus tetap dijalankan dengan melibatkan semua pihak yang terkait, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, kalangan perguruan tinggi, dunia usaha dan masyarakat pada umumnya. Tanpa dukungan dari semua pihak rasanya cukup sulit untuk mewujudkan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal. Selama ini program diversifikasi pangan guna mewujudkan ketahanan pangan yang tangguh, perannya masih banyak didominasi oleh Departemen Pertanian, sedangkan departemen atau lembaga lainnya belum mengambil peran secara optimal.

Untuk mewujudkan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal, maka perlu langkah-langkah yang strategis, yaitu:

1. Dengan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah, perlu dilakukan kajian sosiologis untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang beras, terigu dan jenis makanan pokok spesifik lokasi tertentu. Melalui kajian tersebut diharapkan diperoleh metode untuk merubah paradigma bahwa beras bukan merupakan satu-satunya sumber karbohidrat untuk memenuhi kebutuhan kalori masyarakat.

2. Intervensi mengenalkan diversifikasi pangan pada anak-anak sejak usia dini, ibu rumah tangga dan masyarakat dengan tidak menjadikan beras sebagai satu-satunya sumber karbohidrat bagi penduduk Indonesia, akan tetapi mendukung pemanfaatan sumber karbohidrat lainnya sebagai sumber energi sebagaimana yang telah berkembang di masyarakat. Sebagai contoh, sagu di Maluku dan Papua, jagung di Madura, umbi-umbian di Jawa, dan singkong di Lampung. Yang perlu ditekankan adalah angka kecukupan gizi (AKG). Cara yang sama juga perlu dilakukan terhadap kalangan pers agar memiliki

pemahaman yang komprehensif tentang pentingnya diversifikasi pangan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga dan ketahanan pangan nasional.

3. Melakukan kapanye dan promosi secara komprehensif untuk mendorong masyarakat untuk lebih mengoptimalkan pemanfaatan ubi-ubian sebagai sumber tepung untuk berbagai produk olahan pangan dan secara bertahap mengurangi ketergantungan terhadap tepung terigu.

4. Fasilitasi pengembangan pangan lokal dan pengembangan industri pangan dengan bahan bahan pangan lokal.

5. Sosialisasi dan penerapan standart mutu keamanan pangan pada UKM pangan berbasis pangan lokal.

6. Mengembangkan kredit mikro, bantuan dana bergulir serta memfasilitasi kemitraan yang saling menguntungkan antara perusahaan besar-menengah dengan perusahaan kecil dan rumah tangga yang mengolah berbagai produk pangan berbasis pangan lokal.

7. Mengoptimalkan peran Perum Perhutani dan LMDH (lembaga masyarakat desa hutan) dalam penyediaan lahan untuk penanaman berbagai jenis umbi-umbian potensial dalam rangka penyediaan bahan pangan lokal.

8. Penyediaan permodalan bagi UKM pengolahan produk pangan, terutama yang berbasis sumber pangan lokal (umbi-umbian).

9. Pemberian insentif khusus bagi industri pangan yang menggunakan bahan baku lokal (bukan impor)

1. Pemantapan ketersediaan pangan berbasis kemandirian

a. Kapasitas produksi domestik, (a) laju peningkatan produksi pangan cenderung melandai dengan rata-rata pertumbuhan kurang satu persen sedangkan pertambahan penduduk sebesar 1,2% setiap tahun (b) belum berkembangnya kapasitas produksi pangan daerah dengan teknlogi sesifik

lokasi karena hambatan inrastruktur pertanian ; (c) petani umumnya skala kecil (kurang dari 0,5 hektar) yang berjumlah 13,7 juta KK menyebabkan aksesibilitasnya terbatas terhadap sumber permodalan, teknologi, sarana produksi dan pasar (d) banyak dijumpai kasus terhambatnya distribusi sarana produks khususnya pupuk bersubsidi, (e) lambatnya penerapan teknologi akibat kurang insentif ekonomi dan masalah sosial petani

b. Kelestarian sumberdaya lahan dan air. Saat ini tingkat alih fungsí lahan pertanian ke non pertanian (perumahan, perkantoran, dll) di Indonesia diperkirakan 106.000 ha/5 th. Kondisi sumber air di Indonesia cukup memperihatinkan, daerah tangkapan air yakni daerah aliran sungai (DAS) kondisi lahannya sangat kritis akibat pembukaaan hutan yang tidak terkendali. Defisit air di Jawa sudah terjadi sejak tahun 1995 dan terus bertambah hingga tahun 2000 telah mencapai 52,8 milyar m3 per tahun. Sejak 10 tahun terakhir terjadi banjir dengan erosi hebat dan ancaman tanah longsor pada musim hujan bergantian dengan kekeringan hebat pada musim kemarau. Bila laju degradasi terus berjalan maka tahun 2015 diperkirakan defisit air di Jawa akan mencapai 14,1 miliar m³ per tahun. c. Cadangan pangan. Adanya kondisi iklim yang tidak menentu sehingga

sering terjadi pergeseran penanaman, masa pemanenan yang tidak merata sepanjang tahun, serta sering timbulnya bencana yang tidak terduga (banjir, longsor, kekeringan, gempa) memerlukan sistem pencadangan pangan yang baik. Saat ini belum optimalnya: (1) sistem cadangan pangan daerah untuk mengantisipasi kondisi darurat bencana alam minimal 3 (tiga) bulan, (2) cadangan pangan hidup (pekarangan, lahan desa, lahan tidur, tanaman bawah tegakan perkebunan), (3) kelembagaan lumbung pangan masyarakat dan lembaga cadangan pangan komunitas lainnya, (4) sistem cadangan pangan melalui Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan ataupun lembaga usaha lainnya.

2. Peningkatan kemudahan dan kemampuan mengakses pangan

Dalam dokumen DRAFT.doc 6198KB Jun 02 2011 09:33:54 AM (Halaman 197-200)