• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Kriminal Tindak Pidana Kumpul Kebo Dalam

1. Pengertian Kebijakan Kriminal

Kebijakan kriminal terdapat tiga pengertian, yaitu:3

1. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. 2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum

termasuk di dalam cara kerja dari pengadian dan polisi.

3. Dalam arti paing luas, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

Hukum pidana hendak dilibatkan dalam usaha mengatasi segi-segi negatif dari perkembangan masyarakat modernisasi maka hendaknya dilihat dari dalam hubungan keseluruhan kebijakan kriminal dan harus merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional, maka kebijakan kriminal merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.

3

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat, oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa tujuan dari kebijakan kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.4 Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti:

a) Ada keterpaduan antara kebijakan kriminal dan kebijakan sosial

b) Ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non-penal

Kebijakan kriminal bisa diartikan sebagai suatu prilaku dari semua pemeran untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai bentuk tindakan pidana dengan tujuan-tujuan tertentu, yaitu untuk mencapai kesejahteraan dan melindungi masyarakat pada umumnya dengan demikian hal ini berefek pada pembentukan atau pengoreksian terhadap undang-undang, di mana perbautan itu diancam dengan suatu sanksi yaitu berupa pidana. Berdasarkan tujuan di atas, menunjukkan bahwa kebijakan kriminal itu sangat berkaitan erat dengan kebijakan sosial, bahkan kebijakan-kebijakannya termasuk dalam kebijakan sosial. Konsekuensi sebagai kebijakan pidana bukan merupakan suatu keharusan.

Kebijakan kriminal merupakan suatu usaha yang rasional dari masayarakat dalam menanggulangi kejahatan, untuk mengendalikan kejahatan, tidak lah cukup hanya menggunakan sarana panel, tetapi juga harus melibatkan usaha non-penal yang berupa penyantunan dan pendidikan sosial, dalam rangka mengembangkan

4

tanggung jawab sosial masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya.

Kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif non penal ke dalam suatu sistem kegiatan yang teratur dan terpadu. Karena kegiatan non penal itu mempunyai pengaruh provensi terhadap kejahatan. Sehingga dapat dikatanakan bahwa seluruh kegiatan provensi non penal itu mempunyai kedudukan yang sangat strategis dam mempunyai kunci yang harus diintegrasikan.

2. Keterkaitan Politik Kriminal dengan Politik Sosial

Mengendalikan kejahatan, tidak lah cukup hanya menggunakan sarana penal, tetapi juga harus melibatkan usaha non-penal yang berupa penyantunan dan pendidikan sosial, dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya, peningkata usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan pengawasan secara terus-menerus oleh polisi, aparat keamanan dan sebagainya.

Kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif non penal ke dalam suatu sistem kegiatan yang teratur dan terpadu karena kegiatan non penal itu mempunyai pengaruh provensi terhadap kejahatan. Sehingga dapat dikatanakan bahwa seluruh kegiatan provensi non penal itu mempunyai kedudukan yang sangat strategis dam mempunyai kunci

yang harus diintegrasikan bahwa pada realitasnya, kejahatan itu muncul disebabkan oleh ketimpangan sosial.5

3. Kebijakan Kriminalisasi

Penanggulangan kejahatan dilakukan dengan mendayagunakan hukum pidana yang pertama kali dilakukan adalah dengan melarang perbuatan-perbuatan tertentu disertai dengan ancaman sanksi pidananya melalui suatu kebijakan, kebijakan ini lazim disebut dengan kebijakan kriminalisasi.

Kebijakan kriminalisasi ditempuh dengan bertitik tolak dari pendekatan kebijakan praktis. Pendekatan praktis ini ditempuh mengingat kenyataan praktek penegakan hukum selama ini sudah mendasarkan pada kedua sumber bahan hukum yaitu KUHP dan Undang-Undang di luar KUHP, pendekatan ini dilakukan juga dengan pendekatan selektif evaluasi dan pendekatan antisipatif sesuai dengan perkembangan masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi.6

Kebijakan kriminalisasi akan mempengaruhi adanya delik-delik yang baru muncul, kebijakan kriminalisasi merupakan suatu pilihan untuk menentukan suatu perbuatan yang sebelumnya bukan tindak pidana menjadi tindak pidana. Pilihan tersebut harus memperhatikan standar kriminalisasi dan prosedur penegakan hukum pidana. Kebijakan kriminalisasi dalam menentukan perbuatan yang akan dijadikan tindak pidana dan sanksi yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar harus memperhatikan sejumlah ukuran atau kriteria. Ukuran kriminalisasi untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak kriminal khusus

5

Ibid, hlm. 2-4 6

yang berasal dari pernyataan sikap dan pandangan masyarakat mengenai patut tercelanya suatu perbuatan tertentu yang berhubungan dengan kemajuan perkembangan teknologi dan perubahan nilai sosial.

Ukuran kriminalisasi adalah konsep-konsep ukuran atau kriteria kriminalisasi yang dapat dikategorikan ke dalam empat persoalan, yaitu:

1. Pencapaian tujuan hukum pidana

2. Penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki 3. Perbandingan antara sarana dan hasil

4. Kemampuan badan penegak hukum

Pengaruh sosial dari kriminalisasi yang berkenaan dengan atau dipandang dari pengaruh-pengaruh yang sekunder adalah bisa menentramkan kembali rasa keadilan dan kebenaran yang berkaiatan rasa susila di masyarakat.

Penentuan perbuatan yang semula bukan merupakan perbuatan yang dilarang kemudian dilarang disertai ancaman sanksi tertentu serta pemberatan sanksi pidana terhadap tindak pidana yang sudah ada harus memperhatikan hal-hal dibawah ini, yaitu:7

1) Pengunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur merata materi dan sprituil berdasarkan pancasila.Kaitannya dengan hal ini, penggunaan hukum pidana bertujuaan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

2) Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan sprituil) atas warga negara.

3) Penanggulangan hukum pidana harus pula memperhatikan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle).

7

4) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan batas tugas (overbelasting).

Empat hal diatas, harus terdapat dasar pembenar untuk mengkualifikasi suatu perbuatan sebagai perbuatan terlarang hal ini berhubungan erat dengan teori kriminalisasi.

Teori-Teori Kriminalisasi:8

a. Teori Moral

Teori ini menyatakan bahwa kriminalisasi berpangkal tolak dari pendapat bahwa perbuatan yang harus dipandang sebagai kriminalisasi adalah setiap perbuatan yang bersifat merusak atau tindak asusila.

Hal ini karena moralitas umum (Common Morality) memiliki peranan sesensial untuk mempertahankan masyarakat. Jika ikatan-ikatan moral yang mengikat masyarakat hilang, masyarakat akan mengalami disintegrasi. Oleh karena itu, masyarakat berhak mengundang moralitas yang dapat menjamin keutuhannya. Apabila masyarakat berhak melakukan itu, maka ada batasan praktis tentang jumlah maksimum kebebasan individual yang bersesuain dengan integrasi masyarakat. Tetapi jika kebebasan individu melampaui batasan yang diperkenankan, maka perbuatan immoral yang menimbulkan kegaduhan, kemarahan, kejengkelan dan kejijikan patutlah menerima pengaturan dengan berbagai instrumen dari hukum pidana.

8

b. Teori Liberal Individualistik

Titik tolak teori ini yang merupakan antithesis teori moral adalah prinsip kerugian, bahwa kekuasaan negara untuk mengatur masyarakat dibatasi oleh kebebasan warga negara. Negara hanya boleh campur tangan terhadap kehidupan pribadi warga negara bila warga negara tersebut merugikan kepentingan orang lain. Jika tindakan seorang tidak merugikan orang lain, maka tidak boleh ada pembatasan terhadap kebebasannya. Berdasarkan pendapat ini, suatu perbuatan tertentu dilarang karena perbuatan tersebut merugikan orang lain. Selama suatu perbuatan tertentu tidak meugikan orang lain, maka negara tidak berhak campur tangan terhadap kehidupan warga negara dalam kehidupan bermasyarakat.

c. Teori Paternalisme

Teori ini merupakan reaksi terhadap kelemahan teori liberal individualistik yang tidak dapat memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki kelemahan fisik, pikiran, dan mental. Tugas pokok teori paternalisme adalah perlindungan untuk tidak merugikan diri sendiri. Hukum pidana melegitimasi pelarangan perbuatan seseorang yang dapat merugikan dirinya sendiri.

d. Teori Feinberg

Teori ini bukan sekedar menambah prinsip dasar kriminalisasi, tapi juga memperjelas konsep kerugian sebagai dasar untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan menjadi terlarang. Jika menetapkan satu-satunya dasar pembenaran kriminalisasi adalah perbuatan seseorang yang merugikan orang lain, maka teori

ini mengajukan dua alasan sebagai dasar kriminalisasi, yakni untuk mencegah atau mengurangi kerugian kepada orang lain dan untuk mencegah serangan-serangan serius terhadap orang lain.

e. Teori Ordenings Strafrecht

Teori ini di dalam hukum pidana adalah alat atau instrumen kebijakan pemerintah. Penggunaan hukum pidana sebagai instrumen kebijakan pemerintah merupakan kecenderungan baru dalam perkembangan hukum pidana modern.

f. Teori Gabungan

Teori gabungan bukan nama sebuah teori, tapi merupakan istilah untuk menjelaskan dua teori yang digabungkan menjadi satu guna membentuk teori baru mengenai kriminalisasi. Ide penggabungan kedua teori tersebut dilatarbelakangi oleh kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh masing-masing teori kriminalisasi dalam mencari dasar pembenar untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan sebagai kejahatan.

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan, sehingga mencapai tujuan penelitian. Melalui proses tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.1

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan bersifat yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan utama hukum utama atau mempergunakan data sekunder yang diantaranya ialah dengan mempelajarindan menelaah perundang-undangan, asas-asas, mempelajari kaedah hukum, teori-teori, doktrin-doktrin hukum, pandangan dan konsep-konsep yang berhubungan dengan analisis kebijakan kriminal tindak pidana kumpul kebo dalam RUU KUHP tahun 2012.

1

B.Sumber dan Jenis Data

Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.2

Adapun dalam mendapatkan data atau jawaban yang tepat dalam pembahasan sesuai dengan pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini maka jenis data yang digunakan, yaitu data sekunder. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelusuran studi kepustakaan dengan mempelajari berbagai literatur dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian. Jenis data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mepunyai kekuatan hukum mengikat, yang tediri dari:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer, seperti Peraturan Pelaksana, Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2012 untuk mendukung pemecahan masalah dalam penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang fungsinya melengkapi bahan hukum primer, seperti teori-teori dan pendapat-pendapat dari sarjana-sarjana

2

atau ahli hukum, literatur-literatur, kamus, dan artikel internet yang berkaitan dengan pokok pembahasan dalam penelitian ini.

C. Penentuan Narasumber

Informan (narasumber) penelitian adalah seserang yang memiliki informasi (data) banyak mengenai objek yang sedang diteliti, dimintai informasi mengenai objek penelitian tersebut. Informan dalam penelitian ini yaitu berasal dari wawancara langsung yang disebut narasumber.

Definisi narasumber adalah peranan informan dalam mengambil data yang akan digali dari orang-orang tertentu yang dinilai menguasai persoalan yang hendak diteliti, mempunyai keahlian dan berwawasan cukup.3 Peneliti dapat memilih informan atau bisa juga informan yang mengajukan secara sukarela. Informan dalam penelitian ini adalah 1 (satu) orang Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan 2 (satu) orang Tokoh Agama.

D. Metode Pengumpulan Data dan Pengolahan Data 1. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dalam penelitian ini menggunakan langkah-langkah studi kepustakaan. Studi Kepustakaan yaitu studi kepustakaan yang dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mempelajari, dan mencatat hal-hal penting dari berbagai buku literatur, perundang-undangan, artikel dan informasi lain yang berkaitan dengan penelitian ini.

3

2. Metode Pengolahan Data

Penulis melakukan beberapa kegiatan dalam pengolahan data yang diperoleh dari penelitian ini, antara lain:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali mengenai kelengkapan, kejelasan, dan kebenaran data dengan permasalahan yang akan dibahas agar dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kenyataan.

b. Klasifikasi data, yaitu mengelompokkan data yang diperoleh menurut pokok bahasan yang telah ditentukan.

c. Sistematika data, yaitu menyusun dan menempatkan data pada tiap-tiap pokok bahasan secara sistematis sehingga mempermudah interprestasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

E. Analisis Data

Setelah data diperoleh, maka tahap selanjutnya adalah menganalisa data tersebut dengan tujuan menyerhanakan data ke dalam bentuk penjelasan atau uraian secara terperinci yang akan menggambarkan dan memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian secara sistematis guna mendapatkan kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan secara deduktif yaitu cara berpikir dari hal-hal yang bersifat umum ke arah yang lebih khusus dan dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Narasumber

Sebagaimana dikemukakan dalam metode penelitian, penyusunan skripsi ini menggunakan data sekunder untuk menyelidiki permasalahan penelitian. Narasumber-narasumber tersebut antara lain:

1. Nama : Eddy Rifa’i, S.H., M.H., Dr.

NIP : 19610912 198603 1 003

Status : Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung

2. Nama : Muhammad Yunus Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Tokoh Agama Islam 3. Nama : Daniel Supardi

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Tokoh Agama Kristen Protestan

Berdasarkan data narasumber tersebut, maka dianggap memenuhi kriteria untuk memberikan keterangan atau masukan dalam rangka penyusunan skripsi ini. tentang Analisis Kebijakan Kriminal Tindak Pidana Kumpul Kebo Dalam RUU KUHP Tahun 2012.

B. Kebijakan Kriminal Tindak Pidana Kumpul Kebo Dalam RUU KUHP Tahun 2012

Pembaharuan hukum pidana melalui perancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru harus ditempatkan dalam konteks pembangunan hukum nasional. Pembaharuan hukum pidana dalam konteks pembangunan hukum nasional pertama-tama harus dilihat sebagai upaya memperbaharui sistem hukum nasional. Sekaligus harus sesuai dengan tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sistem hukum nasional harus bersumber dari kebudayaan sendiri sehingga khas berkepribadian Indonesia. Berdasarkan hal ini, tidak tepat apabila RUU KUHP hanya dikaji berpangkal tolak pada prinsip-prinsip hukum Barat tetapi harus tempatkan sebagai upaya anak bangsa untuk membangun sistem hukumnya sendiri.

Berdasarkan hal tersebut, menurut penulis berbagai pendapat kontra yang dilontarkan masyarakat terhadap RUU KUHP dikarenakan perbedaan perspektif yang digunakan. Apabila RUU KUHP dilihat dalam perspektif rule of law masyarakat liberal, maka memang ada sejumlah ketentuan yang dapat dipandang memasuki ruang privat seseorang terlalu dalam. Justru hal ini akan terlihat sebaliknya apabila ketentuan-ketentuan tersebut dilihat sistem baru yang disusun dalam RUU KUHP tersebut. Diperluasnya pengertian perzinahan, sehingga tidak hanya ditujukan terhadap mereka yang sudah menikah, jangan dilihat dari perspektif liberal. Tentunya hal ini harus dilihat dalam konteks sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang menempatkan lembaga perkawinan sebagai satu-satunya legitimasi aktivitas seksual.

Selain itu, pembaharuan hukum pidana sebagai bagian dari pembangunan hukum nasional, bukan semata-mata mengganti Wetboek van Strafrecht (WvS) dengan KUHP baru yang lebih mencerminkan jatidiri bangsa Indonesia, tetapi meliput suatu skala yang lebih luas lagi. Tepatnya pembaharuan hukum (pidana) bukan hanya sekedar memperbaharui hukum yang telah ada tetapi lebih jauh daripada itu pembaharuan hukum (pidana) berarti menggantikan yang ada dengan yang lebih baik. Oleh karena itu, cara melihat hal itu tidak dapat semata-mata dilakukan terhadap naskah RUU KUHP tersebut tetapi harus pula mengkaji berbagai latar belakang pemikiran yang berkembang dan suasana kebatinan yang timbul dalam proses perumusannya.

Penyusunan RUU KUHP baru harus mengaktualisasi rancangan yang ada dengan perkembangan terakhir. Hal ini dilakukan mengingat proses penyusunan RUU KUHP tersebut sudah memakan waktu yang cukup lama, dengan menggunakan berbagai metode, dan melibatkan kalangan yang cukup luas sehingga lebih banyak menyesuaikan rancangan yang ada dengan berbagai perkembangan, baik perkembangan dalam tataran teoretis (ilmu hukum), politis (perundang-undangan), praktis (praktek peradilan) maupun perkembangan global (konvensi internasional dan perundang-undangan negara lain). Penyusunan Konsep RUU KUHP menjadikan kumpul kebo sebagai tindak pidana terdapat pro dan kontra. Kontra antara lain menyatakan bahwa dibanyak negara masalah susila tidak pernah dipersoalkan karena memang negara tidak berhak untuk mengurusi moral dan rasa kesusilaan masyarakat dan diaturnya masalah kumpul kebo berarti memasuki ranah kehidupan seks pribadi (individu). Bahkan ada pula yang

berpendapat bahwa apabila revisi KUHP disetujui dijadikannya kumpul kebo sebagai tindak pidana, maka akan berpotensi konflik horizontal.

Pembangunan hukum nasional, termasuk pembaharuan hukum pidana melalui penyusunan RUU KUHP, bukan hanya dapat dilihat sebagai bagian dari cara perancangan sistem hukum pidana baru, tetapi lebih jauh lagi hal itu merupakan bagian dari proses besar perbaikan masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar hukum pidana Indonesia menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia itu sendiri.

Pembaharuan hukum pidana melalui penyusunan RUU KUHP merupakan upaya perubahan kultur dan struktur masyarakat secara berencana dan bertahap. Oleh karena itu pembangunan hukum yang dilakukan melalui pembaharuan hukum pidana mempunyai watak menentukan arah. Dengan RUU KUHP sebenarnya masyarakat sedang diarahkan kepada tujuan tertentu. Untuk melihat tujuan yang hendak dicapai tersebut, tidak dapat dilihat di dalam hukum pidana (baru) itu sendiri. Dengan kata lain, tujuan tersebut berada di luar hukum pidana, yang harus dicari dalam tujuan bangsa Indonesia itu sendiri.

Berdasarkan hal ini maka terdapat sejumlah ketentuan dalam RUU KUHP yang diyakini dapat mengarahkan masyarakat Indonesia kepada situasi yang lebih baik. Dalam bidang kesusilaan misalnya, sekalipun tidak dapat dinafikkan ada sejumlah daerah yang menjadikan hidup bersama diluar pernikahan adalah hal yang biasa, bahkan sah dimata hukum (adat), tetapi melalui RUU KUHP berangsur-angur kebiasaan seperti itu diarahkan untuk dapat dikurangi, atau bahkan ditinggalkan. Oleh karena itu, dalam RUU KUHP mengenai hal ini diadakan kriminalisasi. Berdasarkan hal tersebut di atas, sebenarnya hukum pidana digunakan sebagai

bagian dari perekayasaan sosial dan budaya masyarakat sebagai mana dicita-citakan nilai-nilai ketuhanan. Mengingat berdasar nilai-nilai ketuhanan tersebut, perbuatan semacam itu tidak sejalan dengan ajaran agama apapun.

Tujuan memberikan watak perubahan secara terencana dan bertahap, maka dalam RUU KUHP ditentukan bahwa sifat tercela dari perbuatan kumpul kebo sebagaiman tersebut di atas, sangat tergantung dari rasa kesusilaan masyarakat sekitar perbuatan terjadi. Hal inilah sebenarnya yang melatarbelakangi mengenai hal ini ditentukan sebagai delik aduan masyarakat. Dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum/yang dilarang dan diancam pidana/sesuai dengan KUHP. Mengenai sifat melawan ini merupakan suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan, di mana sifat tercela ini dapat bersumber pada undang-undang dan dapat bersumber dari masyarakat.

Pendapat pro, kumpul kebo merupakan suatu realitas sosial dan memunculkan problem sosial tetapi tidak ada aturannya dan belum terjamah oleh hukum. Wajar jika kemudian diwadahi dalam peraturan yang lebih konkret serta belum ada bukti bahwa pemberlakuan sanksi pidana bagi pelaku kumpul kebo akan tercipta konflik horizontal. Pandangan pro dan kontra merupakan pemikiran atau dasar pertimbangan Konsep KUHP mengatur perbuatan kumpul kebo sebagai suatu tindak pidana dan dimasukkan sebagai salah satu jenis kesusilaan, sebagai berikut. Landasan Sosio-filosofis dan Sosio-kultural Sistem Hukum Nasional, penyusunan Konsep KUHP Baru melatarbelakangi oleh kebutuhan dan tuntutan nasional

untuk melakukan pembaharuan/penggantian KUHP lama warisan zaman kolonial Belanda, jadi berkaitan erat dengan ide pembaharuan hukum pidana.

Sebelum penulis melakukan pembahasan mengenai kebijakan kriminal tindak pidana kumpul kebo dalam RUU KUHP, penulis akan menjelaskan bahwa kebijakan kriminal merupakan upaya melakukan pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya termasuk bidang kebijakan kriminal yang merupakan bagian dan terkait erat dengan pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan atau upaya rasional memperbarui substansi hukum untuk lebih mengefektifkan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan untuk memberantas kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat, pembaharuan hukum masalah sosial dan masalah kemanusian dalam rangka mencapai tujuan nasional.

Kebijakan kriminal tentang kumpul kebo dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional. Hal ini dilatarbelakangi masuknya kebiasaan-kebiasaan budaya asing ke Indonesia, salah satunya adalah kebiasaan hidup bersama sebagai

Dokumen terkait