• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KELAUTAN INDONESIA

BAB XVII KETENTUAN PENUTUP

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KELAUTAN INDONESIA

Indonesia adalah sebuah negara kepulauan besar dengan jumlah pulau 17.508, garis pantai sepanjang 81.290 km, dan luas lautan 5,8 juta km persegi. Namun, masih banyak permasalahan yang dihadapi dalam hal kebaharian ini, mulai dari garis batas, pencurian ikan, sampai ke peraturan yang masih kurang ataupun kalau ada masih tumpang tindih. Soal penjagaan kawasan laut yang menjadi kedaulatan Indonesia, tugas TNI AL menjadi sangat berat karena jumlahnya terbatas, sementara wilayah perairan Indonesia sangat luas. Apalagi ada banyak institusi nasional lain yang belum peduli untuk membantu penegakan hukum di laut. Di sisi lain, Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 atau UNCLOS 82 masih memerlukan penjabaran lebih luas, namun hingga saat ini belum banyak undang-undang atau aturan-aturan hukum yang dibuat. Karena itu, perlu kepedulian antar-instansi, komponen masyarakat, dan komponen nonpemerintah untuk bekerja sama menjaga keutuhan NKRI. Saat ini permasalahan yang terkait dengan penataan ruang di wilayah pesisir dan laut adalah potensi konflik kepentingan dan tumpang tindih tidak hanya terjadi antarsektor (pemerintahan, masyarakat setempat, maupun swasta), namun juga antar penggunaan. Di pihak pemerintah sendiri ada konflik kewenangan (jurisdictional conflict) dalam pengelolaan pemanfaatan wilayah laut dan pesisir berupa konflik antarwilayah. Dampak yang muncul akibat kegiatan yang berada di daerah otonom lainnya atau yang berada di bagian hulu atau yang bersebelahan ternyata belum diantisipasi dengan baik. Hal ini juga akibat oleh lemahnya kerangka hukum pengaturan pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir serta perangkat hukum untuk penegakannya. Kemiskinan masyarakat pesisir yang turut memperberat tekanan terhadap pemanfaatan sumber daya pesisir yang tidak terkendali akibat belum adanya konsep pembangunan masyarakat pesisir sebagai subyek dalam pemanfaatan sumber daya pesisir. Dampaknya adalah degradasi lingkungan, antara lain dalam bentuk penurunan luas hutan payau yang berdampak lanjutan pada peningkatan abrasi pantai, hilangnya filter bahan pencemar perairan pesisir, dan ancaman terhadap kelangsungan kehidupan air. Pengembangan perikanan memiliki spektrum yang lebar dan melibatkan banyak pihak. Dengan demikian, usaha-usaha ke arah pengembangan, pemanfaatan, dan pendayagunaan sumber daya perikanan membutuhkan keterpaduan dan pengintegrasian unsur-unsur terkait sehingga tercapai pertumbuhan dan percepatan usaha ekonomi. Saat ini kendala untuk mencapai sasaran tersebut berasal dari birokrasi yang ada. Koordinasi antar-unsur

terkait sering kali terhambat oleh sikap-sikap yang mengutamakan kepentingan sektoral dan kekakuan birokrasi. Aspek perizinan, baik bagi keperluan penelitian, survei, dan pemetaan serta bagi kepentingan dunia usaha, sering kurang mendukung. Aspek hukum dan perundang-undangan mengenai perikanan belum mendukung. Aspek hukum dan perundang-undangan dalam konstelasi pembangunan yang semakin cepat dan perubahan global sangat diperlukan untuk mendukung tercapainya sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Ketidakpastian hukum dan perundang-undangan pada akhirnya dapat menimbulkan konflik-konflik berkepanjangan yang pada gilirannya dapat menghambat usaha-usaha pembangunan perikanan. Pada masa pemerintahan Orde Baru, eksploitasi sumber daya alam (termasuk sumber daya laut) lebih banyak memberikan manfaat terhadap pemerintah pusat dibandingkan pemerintah daerah dan masyarakat setempat yang merupakan pemilik sumber daya. Dengan dalih kepentingan nasional, sumber daya alam yang ada di daerah dieksploitasi tanpa mengindahkan kelestarian lingkungan dan bahkan menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan masyarakat yang ada di daerah bersangkutan. Oleh karena itu, wajar apabila muncul tuntutan dari berbagai daerah untuk memperoleh kewenangan yang lebih luas dalam mengelola sumber daya mereka, termasuk sumber daya pesisir dan lautan.

Seiring dengan semangat reformasi, pemerintah membuat Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UUPD) Nomor 22 Tahun 1999 yang memberikan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab, yang diwujudkan dengan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional serta adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah secara proporsional sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan pemerataan. Pengaturan mendasar yang dibuat dan untuk pertama kalinya dimuat dalam UUPD adalah mengenai otonomi daerah dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan, yang mencakup kewenangan sampai dengan 12 mil laut dari garis pantai pasang surut terendah untuk perairan dangkal dan 12 mil laut dari garis pangkal ke laut lepas untuk daerah provinsi dan sepertiga dari batas provinsi untuk daerah kabupaten. Kewenangan daerah terhadap sumber daya pesisir dan lautan meliputi kewenangan dalam: (a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; (b) pengaturan kepentingan administratif; (c) pengaturan tata ruang; (d) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan pemerintah daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; dan (e) bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara, khususnya di laut. Kewenangan daerah yang telah diberikan seyogianya tidak menimbulkan rasa kedaerahan yang berlebihan yang membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, diketahui bahwa sungai-sungai bermuara di laut memiliki potensi sebagai transportasi bahan pencemar untuk masuk ke laut. Maka, salah satu upaya untuk menghindari masuknya bahan pencemar ke dalam laut melalui sungai adalah dengan meningkatkan kualitas air sungai terlebih dahulu. Untuk itu pemerintah telah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 1990 mengenai Pengendalian Pencemaran Air dengan PP Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Pengendalian pencemaran yang dilakukan adalah dengan menetapkan daya tampung beban pencemaran, melakukan inventarisasi sumber pencemar, dan memantau kualitas air. Untuk setiap kegiatan atau industri yang menghasilkan sisa usaha, ketika akan

dibuang ke badan air, baik sungai maupun laut, wajib memenuhi kriteria baku mutu air limbah yang telah ditetapkan pemerintah. Baku mutu air limbah atau istilah beberapa waktu yang lalu adalah limbah cair yang telah ditetapkan pemerintah, antara lain, baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri, kegiatan hotel, kegiatan rumah sakit, kegiatan minyak dan gas serta panas bumi, kawasan industri, dan kegiatan pertambangan batu bara. KENYATAANNYA, masih banyak permasalahan hukum/aturan yang belum sempurna dan belum berjalan dengan baik sehingga Indonesia memerlukan KKI. KKI akan menjadi payung kebijakan untuk menjaga kesatuan wilayah, kesatuan ekonomi, dan kesatuan politik yang diamanatkan dalam Wawasan Nusantara. KKI diharapkan dapat mewujudkan pembangunan kelautan yang multisektor melalui kesamaan visi, misi, strategi pembangunan nasional dengan mengelola aset lingkungan dan sumber daya kelautan yang sangat penting bagi bangsa Indonesia di masa kompetisi global antarbangsa. KKI juga harus disinergikan dengan pembangunan ekonomi yang mengembangkan potensi kelautan (ocean economics) dan ocean governance yang mendorong terjadinya demokratisasi dan good governance. Dengan adanya otonomi daerah, payung kebijakan ini dapat menjadi guideline bagi pemerintah daerah dan sekaligus menyinergikan pembangunan kelautannya dengan pemerintah pusat sehingga implementasi pembangunan kelautan dilakukan oleh daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat diwujudkan. Seperti halnya KUBE/KEN yang disusun oleh Badan Koordinasi Nasional yang melibatkan sembilan departemen terkait untuk menggariskan kebijakan energi di sektor pertambangan, maka di sektor kelautan yang jangkauannya seharusnya lebih besar-melibatkan 23 instansi/departemen-perlu garis kebijakan yang terarah dan integratif.

Dokumen terkait