• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODE PENELITIAN

4.3. Kebijakan Pembangunan SDM

-0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 0.40 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun P er sen Kab Pandeglang Kab Lebak Kab Tangerang Kab Serang Kota Tangerang Kota Cilegon

Sumber: BPS Provinsi Banten (data diolah), 2010

Gambar 11. Perkembangan Indeks Gini Rasio Kabupaten/Kota di Provinsi Banten 2002 – 2009

4.3. Kebijakan Pembangunan SDM

Meningkatnya perekonomian (Gambar 8) masih belum dinikmati semua masyarakat Banten, dimana masih banyak penduduk yang tidak tertampung dalam kegiatan usaha ekonomi, atau masih banyak penggangguran (Tabel 3). Banyaknya pengangguran berdampak pada banyaknya rumah tangga miskin. Hasil survei sosial ekonomi nasional (BPS, 2009) menyatakan bahwa rumah tangga miskin sebagian besar pendapatannya digunakan untuk konsumsi makanan sedangkan pengeluaran untuk sektor bukan makanan proporsinya lebih kecil sehingga tidak semua rumah tangga di Banten mampu membiayai anaknya sekolah dan bahkan untuk medis.

Agar masyarakat dapat mendapatkan fasilitas pendidikan dan kesehatan perlu adanya campur tangan pemerintah untuk mencukupinya. Banyaknya permintaan kedua fasilitas sosial di masyarakat maka perlu peningkatan alokasi pengeluaran pemerintah untuk kedua bidang sosial tersebut. Hal ini sesuai dengan program pemerintah pusat yang sedang gencar penggalakkan bidang kesehatan dan pendidikan.

Investasi dalam hal pendidikan mutlak dibutuhkan, sehingga pemerintah harus dapat membangun suatu sarana dan sistem pendidikan yang baik. Alokasi anggaran pengeluaran pemerintah terhadap pendidikan merupakan wujud nyata dari investasi untuk meningkatkan produktivitas masyarakat. Pengeluaran pembangunan pada sektor pendidikan dapat dialokasikan untuk penyediaan infrastruktur pendidikan dan menyelenggarakan pelayanan pendidikan kepada seluruh penduduk Indonesia secara merata. Anggaran pendidikan sebesar 20 persen merupakan wujud realisasi pemerintah untuk meningkatkan pendidikan.

Bidang kesehatan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap manusia, tanpa kesehatan masyarakat tidak dapat menghasilkan suatu produktivitas bagi negara. Negara sedang berkembang seperti Indonesia mengalami tahap perkembangan menengah, dimana pemerintah harus menyediakan lebih banyak sarana publik seperti kesehatan untuk meningkatkan produktivitas ekonomi. Sarana kesehatan dan jaminan kesehatan harus dirancang sedemikian rupa oleh pemerintah melalui pengeluaran pemeritah. Menurut penelitian yang dilakukan Haryanto (2005) menunjukkan bahwa sektor kesehatan, tingkat persalinan yang ditolong tenaga medis dan persentase pengeluaran pemerintah untuk kesehatan berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kematian balita. Peningkatan pengeluaran pemerintah untuk sektor kesehatan terbukti cukup besar pengaruhnya terhadap peningkatan kinerja sektor tersebut. Mengingat besarnya pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap peningkatan kinerja dari kesehatan maka perlu adanya upaya secara bertahap dari pemerintah untuk meningkatkan pengeluarannya pada sektor kesehatan.

Kondisi umum pendidikan di Provinsi Banten ditandai oleh rendahnya kualitas SDM (SDM); sekitar 50 persen dari penduduk usia 10 tahun keatas hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD) atau kurang (Gambar 12). Pada saat yang

25.9 29.7 18.1 20.7 5.5 Tidak/Belum Tamat SD/MI/Sederajat SD/MI/Sederajat SLTP/Sederajat SLTA/SMK/Sederajat Universitas Sumber: BPS, 2009

Gambar 12. Persentase Penduduk Usia 10 tahun Keatas Berdasarkan Pendidikan pada Tahun 2009

Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 disebutkan bahwa pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus mengalokasikan 20 persen anggaran untuk bidang pendidikan. Namun pemerintah menghadapi kendala dalam mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan, karena ada trade off dengan pengeluaran sektor lain yang erat kaitannya dengan pembangunan manusia, misalnya sektor kesehatan. Selama periode 2002-2009 rata-rata pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan lebih dari 20 persen kecuali, pada tahun 2002 terdapat 3 Kabupaten/Kota yang masih dibawah 20 persen. Lonjakan yang terjadi pada tahun 2005 disebabkan oleh munculnya UU No. 23 Tahun 2003 yang mengharuskan pemerintah mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan sebesar 20 persen (Gambar 13).

-10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 tahun % pe ng e lua ra n bi da ng pendi di ka n dan k e s e hat a n pandeglang lebak kab.tangerang serang kot.tangerang cilegon

Sumber: Departemen Keuangan, 2010

Gambar 13. Persentase Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan dan Kesehatan Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2002 - 2009

Meningkatnya fasilitas bidang pendidikan dan kesehatan (Tabel 8 dan 9) diharapkan mampu meningkatkan pelayanan sosial untuk mewujudkan kebutuhan dasar sehingga menjadikan manusia yang berkualitas dari sisi pendidikan dan kesehatan, dan terwujudnya pembangunan manusia yang diharapkan.

Tabel 8. Jumlah Sekolah Berdasarkan Jenjang Pendidikan Menurut Kabupaten/ Kota Tahun 2007 - 2009 Kabupaten/Kota SD SMP SMU 2007 2008 2009 2007 2008 2009 2007 2008 2009 Kab. Pandeglang 880 874 868 59 95 110 17 18 18 Kab. Lebak 761 756 752 63 64 140 22 29 26 Kab. Tangerang 962 965 956 63 71 74 34 41 44 Kab. Serang 930 1030 1410 70 76 164 22 29 50 Kota Tangerang 377 378 378 21 24 24 14 15 15 Kota Cilegon 149 149 149 10 11 12 5 5 5 Provinsi Banten 4.059 4.152 4.513 286 341 524 114 137 158 Pertumbuhan (%) 11,18 83,21 38,59 Sumber: BPS, 2009

Fasilitas jumlah SD sampai SMU yang berada di Provinsi Banten meningkat secara signifikan, pembangunan jumlah SMP untuk mencukupi kebutuhan lulusan SD yang ingin melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi cukup besar yaitu meningkat sebesar 83,21 persen (Tabel 8). Pembangunan fasilitas kesehatan yang ada juga mengalami peningkatan yang cukup besar yaitu sebesar 71,79 persen. Peningkatan kedua fasilitas tersebut merupakan upaya pemerintah dalam meningkatkan pendistribusian pendapatan secara tidak langsung.

Tabel 9. Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2007-2009

Kabupaten/Kota Rumah Sakit Puskesmas

2007 2008 2009 2007 2008 2009 Kab. Pandeglang 2 2 2 34 36 36 Kab. Lebak 3 3 3 35 37 40 Kab. Tangerang 12 19 28 40 47 49 Kab. Serang 2 5 7 38 38 34 Kota Tangerang 18 21 23 25 25 30 Kota Cilegon 2 2 4 8 8 8 Provinsi Banten 39 52 67 180 191 197 Pertumbuhan (%) 71,79 9,44 Sumber: BPS, 2009

Sampai dengan tahun 2009 tingkat pembangunan manusia regional cukup baik, seperti tampak berkurangnya kemiskinan dan membaiknya tingkat harapan hidup dan melek huruf (BPS, 2009). Pencapaian pembangunan manusia di Provinsi Banten, tidak terlepas dari peran tingkat Kabupaten/Kota, sebagai wilayah otonomi yang melakukan sebagian proses pembangunan dan swadaya masyarakat setempat. Hasil dari seluruh upaya pembangunan manusia dapat dilihat dari beberapa indikator yang ada. Angka harapan hidup dapat menggambarkan tingkat kesehatan yang telah dicapai masyarakat. Semakin baik tingkat kesehatan masyarakat diharapkan kesempatan untuk hidupnya cenderung semakin besar/lama. Sebaliknya tingkat kesehatan yang buruk akan cenderung memperpendek usia hidup.

Indikator angka harapan hidup juga dapat digunakan untuk mengukur pembangunan di bidang kesehatan. Meningkatnya angka harapan hidup dapat berarti adanya perbaikan pembangunan di bidang kesehatan yang biasanya ditandai dengan membaiknya kondisi sosial ekonomi penduduk, membaiknya kesehatan, lingkungan dan lain sebagainya .

Tabel 10. Angka Harapan Hidup dan Indeksnya Menurut Kabupaten/Kota di Banten, Tahun 2008-2009

Kabupaten/Kota Angka Harapan Hidup Indeks

2008 2009 2008 2009 Kab. Pandeglang 63,28 63,52 63,80 64,21 Kab. Lebak 63,14 63,21 63,57 63,68 Kab. Tangerang 65,44 65,61 67,40 67,69 Kab. Serang 62,65 63,08 62,75 63,46 Kota Tangerang 68,29 68,33 72,14 72,22 Kota Cilegon 68,49 68,53 72,48 72,56 Banten 64,60 64,75 66,00 66,25 Sumber: BPS, 2009

Angka harapan hidup Provinsi Banten pada tahun 2009 menunjukkan angka 64,75 meningkat dibandingkan tahun 2008 yang mencapai 64,60. Artinya, bayi yang dilahirkan pada tahun 2009 mempunyai harapan hidup sampai berusia 64,75 tahun. Sedangkan indeks harapan hidup sebesar 66,25 pada tahun 2009

meningkat dari 66,00 pada tahun 2008. Rata-rata angka harapan hidup Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Cilegon memiliki harapan hidup yang lebih besar diatas rata-rata Provinsi Banten (Gambar 14)

63.08 63.21 63.52 64.75 65.61 68.33 68.53 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69

Kab Serang Kab Lebak Kab

Pandeglang Banten Kab Tangerang Kota Tangerang Kota Cilegon Sumber: BPS, 2009

Gambar 14. Angka Harapan Hidup menurut Kabupaten/Kota di Banten, 2009 Indikator tingkat melek huruf dan rata-rata lama sekolah penduduk dewasa (usia 15 tahun ke atas) dapat menggambarkan tingkat keberhasilan dan perkembangan pembangunan di bidang pendidikan. Dua indikator ini dipandang dapat mengukur tingkat pengetahuan masyarakat, sehingga digunakan dalam penghitungan IPM sebagai indikator derajat pendidikan masyarakat.

Tabel 11. Angka Melek Huruf dan Rata-Rata Lama Sekolah dan Indeksnya Menurut Kabupaten/Kota di Banten, Tahun 2008-2009

Kabupaten/Kota

Angka Melek Huruf (%)

Rata- Rata Lama Sekolah (Tahun) Indeks Pendidikan 2008 2009 2008 2009 2008 2009 Kab. Pandeglang 96,29 96,30 6,38 6,44 78,37 78,51 Kab. Lebak 94,10 94,55 6,20 6,22 76,51 76,86 Kab. Tangerang 95,34 95,66 8,90 8,93 83,34 83,61 Kab. Serang 94,58 94,93 7,00 7,04 78,61 78,93 Kota Tangerang 98,34 98,35 9,82 9,95 87,39 87,69 Kota Cilegon 98,70 98,71 9,64 9,66 87,22 87,27 Banten 95,60 95,95 8,10 8,15 81,73 82,08 Sumber: BPS, 2009

dipandang sebagai modal dasar yang perlu dimiliki setiap individu, agar mempunyai peluang yang sama untuk terlibat dan berpartisipasi dalam pembangunan. Tingkat pengetahuan dan ketrampilan lainnya secara umum dapat digambarkan melalui rata-rata lama sekolah. Diharapkan dua indikator tersebut dapat menggambarkan kualitas pendidikan secara umum.

Pada tahun 2009, angka melek huruf Provinsi Banten mencapai 95,95 persen meningkat dari 95,60 persen pada tahun 2008. Ini menunjukkan bahwa penduduk Banten sudah cukup baik dalam hal baca tulis mengingat untuk mencapai 100 persen angka melek huruf suatu wilayah sangat sulit karena ada sebagian penduduk usia tua yang tingkat pendidikannya sangat rendah bahkan ada yang belum sekolah sehingga mereka tidak mempunyai kemampuan baca tulis (Gambar 15). 78.3778.51 76.5176.86 83.3483.61 78.6178.93 87.3887.69 87.2287.27 81.7382.08 70.00 72.00 74.00 76.00 78.00 80.00 82.00 84.00 86.00 88.00 Kab Pandeglang Kab Lebak Kab Tangerang Kab Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Banten 2009 2008 Sumber: BPS, 2009

Gambar 15. Indeks Pendidikan Menurut Kabupaten/Kota di Banten, Tahun 2008- 2009

Kabupaten/Kota paling tinggi angka melek hurufnya pada tahun 2009 adalah Kota Cilegon yang mencapai 98,71 persen. Sedangkan Kabupaten/Kota paling rendah adalah Kabupaten Lebak yang mencapai 94,55 persen. Kondisi yang sama pada tahun 2008, yaitu paling tinggi adalah Kota Cilegon dan paling rendah Kabupaten Lebak. Rata-rata lama sekolah penduduk Banten pada tahun 2009 mencapai 8,15 tahun. Ini berarti rata-rata penduduk Banten bersekolah sampai kelas 3 SMP tapi belum sampai tamat SMP. Angka ini cukup meningkat dibandingkan tahun 2008 yang mencapai 8,10 tahun. Kabupaten/Kota paling

tinggi rata-rata lama sekolahnya pada tahun 2009 adalah Kota Tangerang yang mencapai 9,95 tahun. Sedangkan Kabupaten/Kota terendah adalah Kabupaten Lebak yang mencapai 6,22 tahun. Berdasarkan kedua indikator pendidikan diatas, maka indeks pendidikan pada tahun 2009 Provinsi Banten mencapai 82,08, angka ini meningkat dibandingkan tahun 2008 yang mencapai 81,73.

Unsur dasar pembangunan manusia lainnya yang diakui secara luas adalah daya beli masyarakat. Komponen ini mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan beberapa variabel seperti keterampilan, kesempatan kerja dan pendapatan. Pengukuran komponen daya beli didekati dengan besarnya konsumsi perkapita yang telah disesuaikan. Pemakaian variabel konsumsi riil dimaksudkan untuk mengeliminir perbedaan dan perubahan harga (inflasi) yang terjadi, sehingga angka yang dihasilkan dapat dibandingkan antar daerah dan antar waktu. 59 60 61 62 63 64 65 66 Kab Pandeglang

Kab Lebak Kab Tangerang

Kab Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Banten 2008 2009 Sumber: BPS, 2009

Gambar 16. Indeks Daya Beli menurut Kabupaten/Kota di Banten, Tahun 2008-2009

Daya beli masyarakat dapat menggambarkan tingkat kemampuan masyarakat untuk membeli barang-barang yang dibutuhkan baik makanan maupun non makanan. Tapi angka ini bukan merupakan bukan angka riil pada tahun berjalan, melainkan pada tahun dasar penghitungan awal angka IPM yaitu pada tahun 1996. Tahun 2009 daya beli masyarakat meningkat 0,34 persen yaitu dari 625,52 ribu pada tahun 2008 menjadi 627,63 ribu pada tahun 2009. Ini berarti ada peningkatan daya beli masyarakat Banten namun masih cukup rendah. Sehingga diperlukan upaya-upaya pemerintah untuk meningkatkan daya beli

Kabupaten/Kota paling tinggi daya beli masyarakatnya pada tahun 2009 adalah Kota Cilegon. Sedangkan Kabupaten/Kota paling rendah adalah Kabupaten Lebak. Nilai indeks daya beli Provinsi Banten pada tahun 2009 mencapai 61,85 meningkat dari tahun 2008 yang mencapai 61,36 (Tabel 12).

Tabel 12. Daya Beli dan Indeksnya Menurut Kabupaten/Kota di Banten, Tahun 2008-2009

Kabupaten/Kota Daya Beli Indeks

2008 2009 2008 2009 Kab. Pandeglang 624,33 625,06 61,09 61,25 Kab. Lebak 625,08 627,49 61,26 61,82 Kab. Tangerang 631,19 632,77 62,67 63,04 Kab. Serang 628,50 630,08 62,05 62,42 Kota Tangerang 639,44 640,27 64,58 64,77 Kota Cilegon 641,75 641,88 65,11 65,14 Banten 625,52 627,63 61,36 61,85 Sumber: BPS, 2009

Angka IPM suatu daerah memperlihatkan jarak yang harus ditempuh untuk mencapai nilai ideal (100). Angka ini dapat diperbandingkan antar daerah di Indonesia. Tantangan bagi semua daerah adalah bagaimana menemukan cara yang tepat, dalam hal ini program pembangunan yang diterapkan masing-masing daerah.

Tabel 13. IPM dan Rangking IPM Menurut Kabupaten/Kota di Banten, Tahun 2008-2009

Kabupaten/Kota IPM Peringkat

2008 2009 2008 2009 Kab. Pandeglang 67,75 67,99 5 5 Kab. Lebak 67,11 67,45 6 6 Kab. Tangerang 71,14 71,45 3 3 Kab. Serang 67,80 68,27 4 4 Kota Tangerang 74,70 74,89 2 2 Kota Cilegon 74,94 74,99 1 1 Banten 69,70 70,06 23 23 Sumber: BPS, 2009

Nilai IPM Provinsi Banten pada tahun 2009 sebesar 70,06 meningkat dibandingkan tahun 2008 yang sebesar 69,70. Kabupaten/Kota paling besar nilai IPM pada tahun 2009 adalah Kota Cilegon. Ini menunjukkan Kota Cilegon merupakan wilayah yang sangat potensial dari sisi pembangunan manusianya. Kabupaten/Kota terendah adalah Kabupaten Lebak yang mencapai 67,45. Bila dilihat berdasarkan peringkat, pada dasarnya tidak terjadi perubahan posisi antar Kabupaten/Kota. 67.45 67.99 68.27 70.06 71.45 74.89 74.99 62 64 66 68 70 72 74 76

Kab Lebak Kab

Pandeglang

Kab Serang Banten Kab

Tangerang Kota tangerang Kota Cilegon Sumber: BPS, 2009

Gambar 17. IPM Menurut Kabupaten/Kota di Banten, Tahun 2009

Klasifikasi tingkat pembangunan manusia yang direkomendasikann UNDP berdasar angka IPM, ada tiga yaitu: kelompok rendah, menengah atau tinggi. IPM Kabupaten/Kota dan IPM Provinsi Banten yang berkisaran antara 67,45 – 75,01 masuk dalam kelompok menengah. Pencapaian tersebut segera mendapatkan tantangan ketika mulai tahun 2004 rangking IPM Provinsi ini mulai menurun, akibatnya pada tahun 2009 IPM Provinsi Banten menduduki rangking 23 diantara Provinsi se Indonesia (Tabel 14). Tidak terjadi perubahan dibandingkan tahun 2008. Ini menunjukkan secara umum, peningkatan nilai IPM pada semua Provinsi relatif sama walaupun ada yang meningkat dan ada yang menurun (Tabel 14).

Provinsi 2002 2004 2009 IPM Rank IPM Rank IPM Rank

NAD 66,0 15 68,7 18 71,3 17 Sumatera Utara 68,8 7 71,4 7 73,8 8 Sumatera Barat 67,5 8 70,5 9 73,4 9 Riau 69,1 5 72,2 5 75,6 3 Jambi 67,1 10 70,1 10 72,4 13 Sumatera Selatan 66,0 16 69,6 13 72,6 10 Bengkulu 66,2 14 69,9 11 72,5 12 Lampung 65,8 18 68,4 19 70,9 21 Bangka Belitung 65,4 20 69,6 12 72,5 11 Kepulauan Riau - - 70,8 8 74,5 6 DKI Jakarta 75,6 1 75,8 1 77,3 1 Jawa Barat 65,8 17 69,1 14 71,6 15 Jawa Tengah 66,3 13 68,9 17 72,1 14 Yogyakarta 70,8 3 72,9 3 75,2 4 Jawa Timur 64,1 25 66,8 23 71,0 18 Banten 66,6 11 67,9 20 70,0 23 Bali 67,5 9 69,1 15 71,5 16 NTB 57,8 30 60,6 33 64,6 32 NTT 60,3 28 62,7 31 66,6 31 Kalimantan Barat 62,9 27 65,4 27 68,7 28 Kalimantan Tengah 69,1 6 71,7 6 74,3 7 Kalimantan Selatan 64,3 23 66,7 24 69,3 26 Kalimantan Timur 70,0 4 72,2 4 75,1 5 Sulawesi Utara 71,3 2 73,4 2 75,6 2 Sulawesi Tengah 64,4 22 67,3 22 70,7 22 Sulawesi Selatan 65,3 21 67,8 21 70,9 20 Sulawesi Tenggara 64,1 26 66,7 25 69,5 25 Gorontalo 64,1 24 65,4 28 69,7 24 Sulawesi Barat - - 64,4 29 69,1 27 Maluku 66,5 12 69,0 16 70,9 19 Maluku Utara 65,8 19 66,4 26 68,6 29

Irian Jaya Barat - - 63,7 30 68,5 30

Papua 60,1 29 60,9 32 64,5 33

Sumber: BPS, UNDP, 2010

Gambar 18 juga memperlihatkan bahwa kemajuan IPM ternyata tidak didominasi oleh Provinsi-Provinsi di Pulau Jawa atau Indonesia bagian barat saja, tetapi relatif menyebar. IPM tertinggi setelah DKI adalah Provinsi Sulawesi Utara dan diikuti oleh Riau, hal ini dimungkinkan diluar Jawapun mulai sadar pentingnya pembangunan manusia.

55 60 65 70 75 80 DKI j ak Riau Kal tim Kalte ng Sumb ar Babel Jam bi jaba r NAD Malu ku Lam pung Ban ten Sultn ggar a Sul bar Mal ut NTT Papu a provinsi ip m

Gambar 18. Perkembangan Rangking IPM Provinsi se Indonesia Tahun 2009 Perkembangan IPM ditentukan oleh perkembangan indikator-indikator kompositnya. Kurun waktu sepuluh tahun umumnya indikator tersebut berkembang secara steady, kecuali indikator paritas daya beli (Gambar 11). Indikator ini seperti telah dibahas sebelumnya berkaitan langsung dengan income penduduk, yang dipengaruhi oleh kinerja perekonomian. Jika iklim perekonomian kondusif, maka akan tercipta perekonomian yang prospektif. Selanjutnya, diharapkan akan terbuka kesempatan bagi penduduk untuk meningkatkan pendapatannya, dan pada gilirannya akan meningkatkan daya beli masyarakat. Kondusif tidaknya perekonomian yang dimaksud terutama ditentukan oleh perkembangan harga (inflasi). Inflasi tinggi akan langsung menurunkan daya beli masyarakat. Pengendalian terhadap laju inflasi menjadi sangat penting dalam hal menjaga dan menumbuhkan purchasing power parity masyarakat.

Turunnya rangking IPM Banten sebagai akibat dari faktor daya beli masyarakat. Peran nilai PPP paling rendah, tetap mengalami peningkatan namun tidak secepat komponen lainnya. Bahkan indeks pendidikan yang direpresentasi oleh adult literacy rate (tingkat melek huruf dewasa) dan mean years schooling (rata-rata lama sekolah) menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Mengamati perkembangan purchasing power parity (Gambar 19), sampai dengan tahun 2009 mengalami pertumbuhan, tetapi sejak tahun 2006, peningkatannya lebih rendah

Oktober 2005 merupakan salah satu penyebab terjadinya inflasi tahun 2006. Tingginya inflasi berpengaruh langsung terhadap kemampuan daya beli masyarakat. Inilah yang menyebabkan mengapa purchasing power parity tahun 2006 mengalami peningkatan namun tidak sebesar tahun sebelum dan sesudahnya. -10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00

Indeks AHH Indeks Pengetahuan Indeks PPP IPM

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Sumber: BPS, 2009

Gambar 19. Perkembangan Indikator-Indikator Komposit IPM Periode 2002-2009

V. FAKTOR -FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PEMBANGUNAN SDM DI PROVINSI BANTEN

Penelitian ini menggunakan model regresi data panel untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap IPM, yang berarti pula mempengaruhi pembangunan manusia. Model ini menggunakan data sekunder dari BPS dan Departemen Keuangan dan UNDP. Data yang dianalisis meliputi 6 wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten selama tahun 2002-2009. Terdapat keterbatasan data pada kota baru hasil pemekaran (Kota Serang dan Kota Tangerang Selatan), masih bergabung dengan kabupaten induknya.

Hasil uji Hausman (Tabel 15), menghasilkan nilai Hausman-hitung 17,66. Dibandingkan dengan nilai X2Tabel maka Ho diterima atau menolak H1. Artinya, model yang tepat digunakan untuk menganalisis data pada penelitian ini adalah FEM. Sehingga FEM merupakan model yang lebih baik dibandingkan dengan metode Pooled Ordinary Least Square (Pooled OLS) ataupun REM.

5.1. Hasil Uji Model

Pengujian ada tidaknya autokorelasi pada model terpilih (FEM) dilakukan dengan Wooldridge Test for Serial Correlation in Panel Data Models (Drukker, 2003). Persamaan menunjukkan nilai peluang yang sama, yaitu 0,0000 yang berarti menolak hipotesis (tidak terdapat autokorelasi pada order pertama). Hal ini berarti bahwa FEM yang terpilih sebagai model terbaik di persamaan melanggar asumsi terbebas dari autokoreasi. Demikian juga dengan uji heteroskedastisitas di model terpilih dengan menggunakan Modified Wald Statistic (Greene, 2002). Nilai peluang sebesar 0,0000 di persamaan berarti menolak hipotesis adanya varian yang sama antar individu (homoskedastisitas). Sehingga dapat disimpulkan bahwa model FEM yang terpilih sebagai model terbaik untuk persamaan tersebut melanggar asumsi homoskedastisitas atau dengan kata lain model FEM tersebut mengandung heteroskedastisitas.

Permasalahan heteroskedastisitas dan autokorelasi pada model mempengaruhi perkiraan nilai parameter yang tidak akan memenuhi sifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimate). Oleh karena itu, agar nilai parameter dari model terpilih memenuhi sifat BLUE, maka dilakukan modifikasi model dengan menggunakan pendekatan Panel-Corrected Standard Error (PCSE) (Greene,

koreksi atas permasalahan heteroskedastisitas, contemporaneously correlated across panel, and first order autokorelasi (ar1). Hasil perkiraan model dengan PCSE dari persamaan dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi IPM

Variabel Persamaan

Koefisian P-value

PDRB Perkapita (INC) 0,00014 0,000

Indeks Gini Rasio (GR) -2,29 0,480

Pengeluaran pemerintah Sektor Pendidikan dan

kesehatan (GOV) 0,03 0,012

Persentase KRT berpendidikan SMP/sederajat

Keatas (EDU) 16,71 0,000

Angka Kesakitan (HLTH) 4,76 0,000

F-Test 474,47 0,000

R-Square 0,98

Hausman Test 17,66 0,001

Berdasarkan hasil perkiraan regresi data panel pada Tabel 15, semua indikator berpengaruh terhadap IPM, yang berarti pula semua faktor berpengaruh terhadap pembangunan manusia. Walaupun tidak semua faktor berpengaruh secara signifikan terhadap IPM, akan tetapi tanda pada koefisien dapat menunjukkan arah hubungannya terhadap IPM. Peningkatan PDRB perkapita, pengeluaran pemerintah bidang pendidikan dan kesehatan, KRT berpendidikan SMP/sederajat keatas dan angka kesakitan pada persamaan berpengaruh positif terhadap peningkatan IPM. Demikian juga dengan Indeks gini yang memiliki tanda koefisien negatif, namun tidak signifikan.

5.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembangunan SDM

5.2.1. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Pembangunan SDM

Pengeluaran pemerintah untuk pendidikan memiliki kontribusi dalam memajukan pendidikan melalui penyediaan infrastruktur maupun operasionalnya. Dalam penelitian ini pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan dan kesehatan berpengaruh signifikan terhadap peningkatan IPM. Nilai koefisien

sebesar 0,030 memiliki arti peningkatan pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan dan kesehatan sebesar 1 persen akan dapat meningkatkan IPM sebesar 0,030 (ceteris paribus). Penelitian ini sejalan dengan Ramires, et. al (2000) dan Brata, 2004 temuan mereka juga menunjukkan peningkatan realisasi pengeluaran APBD akan berdampak pada peningkatkan IPM. Peningkatan realisasi pengeluaran APBD akan meningkatkan kemampuan pemerintah terutama pemerintah daerah dari segi pendanaan dalam rangka mengatasi masalah pengeluaran investasi publik di daerah seperti investasi infrastruktur, serta invetasi di bidang pendidikan dan kesehatan.

Sejak tahun 2005 pemerintah sudah mulai melakukan pengumpulan informasi penduduk miskin, dimana pada tahun itu akan dilakukan pengalihan subsidi atas bahan bakar minyak (BBM) dan sebagai informasi pada tahun selanjutnya. Pada tahun 2006 dan 2007, pemerintah melakukan langkah konsolidasi berbagai program bantuan untuk penduduk miskin dan hampir miskin. Program tersebut diwujudkan kedalam bantuan program bantuan dan perlindungan sosial, yang ditujukan untuk perlindungan dan pemenuhan hak atas pendidikan, kesehatan, pangan, sanitasi dan air bersih. Program ini diwujudkan dalam bentuk beras miskin (raskin), jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas), Jamkesda, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Melalui program bantuan dan perlindungan sosial diharapkan terjadi peningkatan pada tingkat pendidikan dan kesehatan penduduk miskin dan hampir miskin. Bantuan langsung diharapkan dapat mengurangi beban pengeluaran rumah tangga miskin dan memiliki kesempatan yang lebih untuk pengeluaran di bidang pendidikan dan kesehatan. Sedangkan untuk jangka panjang, melalui program PKH diharapkan terjadi perubahan pola pikir dan perilaku terhadap kesehatan dan pendidikan. Pemerintah juga menerapkan wajib pendidikan dasar 9 tahun bagi anak usia sekolah dan membangun sarana dan prasarana pendidikan terutama di wilayah perdesaan, daerah tertinggal dan daerah bencana. Akses bagi anak usia sekolah untuk mengenyam pendidikan juga diperluas melalui BOS pada jenjang SD dan SLTP agar dapat membebaskan anak-anak dari pungutan sekolah terutama dari keluarga miskin. Berbagai beasiswa bagi siswa kurang mampu juga

dapat melanjutkan pendidikannya.

Mengingat pentingnya peran pemerintah dalam meningkatkan SDM, yaitu dalam memfasilitasinya melalui anggaran dibidang pendidikan dan kesehatan dan beberapa program yang telah dijelaskan diatas terlihat bahwa di Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang memiliki persentase anggaran diatas rata-rata se Provinsi Banten. Hasil pembangunan SDM dengan indikator IPM juga lebih tinggi dari rata-rata se Provinsi Banten. Jadi terlihat bahwa persentase anggaran bidang pendidikan dan kesehatan di dua kabupaten tersebut dapat meningkatkan pembangunan manusianya. Kabupaten Lebak, Serang dan Pandeglang merupakan Kabupaten yang sudah mulai meningkatkan anggaran bidang tersebut namun masih terlihat bahwa peningkatan IPM masih dibawah rata-rata. Satu-satunya kota yang anggaran dibawah rata rata namun IPMnya diatas rata rata adalah Kota Cilegon. Modal awal dari masing masing Kabupaten/Kota di Provinsi Banten ini memang berbeda, Kabupaten/Kota yang memiliki PDRB perkapita rendah, belum mampu meningkatkan pembangunan manusianya dibanding Kabupaten/Kota yang memiliki PDRB perkapita yang tinggi. Kabupaten Lebak, Serang dan Pandeglang merupakan Kabupaten yang PDRB perkapita dibawah rata rata (Gambar 20). Kabupaten/kota yang pengeluaran anggaran pendidikan dan kesehatan sudah diatas rata-rata, namun angka IPM masih rendah, maka perlu adanya evaluasi lebih lanjut terhadap pengalokasian belanja di daerah tersebut.

70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 APBD_Pendidikan_Kesehatan 90 85 80 75 70 IPM Cil 9 Cil 8 Cil 7 Cil 2 Ko Tg 9 Ko Tg 8 Ko Tg 6 Ko Tg 3 Ko Tg 2

Dokumen terkait