• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Pemberantasan Korupsi

E. Keaslian Penelitian

2. Kebijakan Pemberantasan Korupsi

Intruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004, pemberantasan korupsi harus menjadi prioritas. Kinerja lembaga penegak hukum menjadi pra syarat tuntasnya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Pranata hukum pemberantasan korupsi dan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 merupakan pranata hukum yang menunjang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Dalam definisi yang berbeda Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Nepotisme menentukan, bahwa Penyelenggaraan Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif, pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Inpres tersebut ditindaklanjuti dengan Rencana Aksi Nasional Pemberantaan Korupsi tahun 2004-2009 sebagai langkah untuk mewujudkan kesamaan persepsi, kesamaan tujuan dan kesamaan rencana tindak dalam pemberantasan korupsi, yang kemudian diperjelas dengan Inpres Nomor 17 Tahun 2011.

Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi tahun 2004-2009 kemudian dilanjutkan dengan diluncurkannya Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pemberantasan Korupsi (Stranas PK)

2010-2025, yang sekaligus merupakan penyesuaian terhadap Konvensi Anti Korupsi PBB Tahun 2003 yang telah diratifikasi Indonesia.

Berbeda dengan sebelumnya, Stranas PK 2010 - 2025 telah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), sehingga Instansi Pemerintah baik Kementerian/Lembaga maupun instansi di daerah wajib melaksanakan, dimana nantinya akan ada punishand reward (hukuman dan penghargaan) serta audit kinerja.

Stranas PK 2010 - 2025 ini memiliki visi atau tujuan yaitu terbangunnya tata pemerintahan yang bebas dari praktik-praktik korupsi dengan daya dukung kapasitas pencegahan dan penindakan serta sistem integritas yang terkonsolidasi secara nasional.

Hampir semua negara mengakui adanya asas persamaan didepan hukum atau equality before the law (persamaan di depan hukum), seperti asas hukum rule of law yang dipakai dalam negara Anglo Saxon bahwa rule of law melingkupi supremacy of law (kedaulatan hukum), equality before the law, constitution based on human rights (UUD berdasarkan hak asasi manusia).87 Secara eksplisit UUD 1945 juga menganut prinsip tersebut, terdapat 3 (tiga) pasal dalam UUD 45, yakni Pasal 27 ayat (1), Pasal 28-D ayat (1), dan Pasal 28 I ayat (2). Pasal 27 ayat (1) UUD 45 menyebutkan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di

87Philipus M. Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia. Bina Ilmu: Surabaya. hlm. 72.

dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Kemudian Pasal 28 D ayat (1) berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.Selanjutnya Pasal 28 I ayat (2) mengatakan: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yangbersifat diskriminatif itu.”

Prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law) diatur dalam Penjelasan Umum butir 3e Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 4 ayat (1) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman yang menyatakan: “pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”

Prinsip ini bermakna setiap orang harus mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum, tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan kedudukannya dalam masyarakat.

Siapa pun yang melanggar hukum harus mendapat perlakuan yang sama tanpa ada perbedaan (equal treatment or equal deadling), harus mendapat “perlindungan” yang sama oleh hukum (equal protection on the law), dan harus mendapatkan “perlakuan keadilan” yang sama di bawah hukum (equal justice under the law).

Menurut M. Yahya Harahap88 prinsip equality before the law merupakan salah satu prinsip penegakan hukum yang diamanatkan oleh KUHAP, yang dilekatkan sebagai salah satu mata rantai hak asasi manusia. Sebagai salah satu bagian dari hak asasi manusia, prinsip ini secara tegas diakui keberadaannya oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 45 bahwa: “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Berdasarkan ketentuan itu, setiap warga negara Indonesia baik itu warga negara biasa maupun pejabat negara, ketika menghadapi proses hukum harus dipandang sama tanpa ada diskrimasi dalam perlakuan dan perlindungan hukum.

Prinsip ini juga diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: “segala warga negara bersamaan kedudukannya hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya”. Makna yang terkandung dalam ketentuan tersebut adalah semua warga negara Republik Indonesia mempunyai persamaan hak dan kewajiban di dalam hukum dan peradilan serta di dalam pemerintahan, tanpa kecuali.

Di Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak boleh terjadi diskriminasi terhadap para warganya berkenaan dengan hukum dan pemerintahan. Bahkan tafsiran dan persepsi mengenai pasal ini sepanjang mengenai prinsip persamaan berlaku bagi siapapun,

88M. Yahya Harahap. 2003. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:

Penyindikan dan Penuntutan.cetakan kelima. Sinar Grafika:Jakarta. hlm. 2

apakah ia seorang warga negara atau bukan, selama mereka adalah penduduk Negara Kesatuan Republik Indonesia, mereka wajib tunduk pada hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia dan mereka diperlakukan sama di hadapan pengadilan (equal before the law and the court).

Tidak ada perbedaan di hadapan hukum, baik tersangka/terdakwa dan aparat penegak hukum. Mereka sama-sama mempunyai hak dan kewajiban sesuai kedudukannya masing- masing dalam rangka mencari dan mewujudkan kebenaran dan keadilan. Siapa saja yang melakukan pelanggaran hukum akan mendapat perlakuan yang sama tanpa perbedaan.

Peraturan hukum yang diterapkan kepada seseorang mesti diterapkan kepada orang lain dalam kasus yang sama tanpa membedakan pangkat, golongan, agama dan kedudukan. Inilah salah satu prinsip penegakkan hukum yang diamanatkan KUHAP, yang dilekatkan sebagai salah satu mata rantai Hak Asasi Manusia yakni: equal before the law. Oleh karena itu setiap orang harus diperlakukan secara sama tanpa diskriminasi dalam perlakuan dan perlindungan hukum.

Walaupun prinsip persamaan di dalam hukum dan pemeintahan telah jelas menjadi hak segala warga negara dengan tanpa kecuali berdasarkan UUD 1945, KUHAP dan Undang Undang Kekuasaan Kehakiman, namun beberapa peraturan perundang-undangan memberikan perlakuan yang berbeda terhadap pejabat negara dalam proses penegakkan hukum pidana.

Proses penegakan hukum harus efektif dan efisien sesuai dengan maksud dari tujuan sistem peradilan pidana sebagai operasionalisasi dari sistem hukum Indonesia yang meliputi kepastian hukum, keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Sistem Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan (Constante Justitie).

Asas contante justitie diatur dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (2) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta Penjelasan Umum butir 3 e Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 4 ayat (1) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyatakan “peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.”

Sementara itu Pasal 4 ayat (2) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 berbunyi: “pengadilan membantu mencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.”

Asas contante justitie mengandung makna bahwa pemeriksaan dan penyelesaian perkara, mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan oleh pengadilan sampai eksekusi harus dilakukan dengan cara yang efektif dan efisien.

Tidak bertele-tele dan berbelit-belit yang dapat menimbulkan ketidakpastian mengenai status perkara dan orang-orang yang terkait dengan perkara itu. Ketentuan ini dimaksudkan untuk

memenuhi harapan para pencari keadilan agar mendapatkan kepastian hukum dengan segara.

Pengertian yang dimaksud dengan “sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif. Yang dimaksud dengan “biaya ringan”

adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat, namun demikian asas sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara di pengadilan tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan.89

Di dalam KUHAP, asas contante justitie juga terkandung di dalam ketentuan yang mengatur tentang hak-hak tersangka dan terdakwa. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 50, yang menyatakan:

a. Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.

b. Tersangka berhak perkaranya segara dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum.

c. Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.

Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi hak-hak asasi tersangka dan terdakwa, menjauhkan kemungkinan terkatung-katungnya nasib seseorang yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana, terutama mereka yang dikenakan

89Lihat Penjelasan Pasal 2 ayat (4) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

penahanan jangan sampai lama tidak mendapat pemeriksaan oleh penyidik, sehingga dirasakan tidak adanya kepastian hukum.

Selain terkandung dalam Pasal 50 KUHAP, prinsip contante justitie secara implisit juga terkandung Pasal 24 sampai dengan Pasal 30 KUHAP, mengingat hukum acara pidana sebelumnya (HIR) tidak mengatur batas waktu masa penahanan. Dengan pembatasan waktu penahanan, pembuat undang-undang berusaha membatasi kemungkinan terjadinya kesewenang-wenangan aparat penegak hukum yang bertindak mengulur-ngulur waktu penyelesaian perkara. Harapan pembuat undang-undang adalah terlaksananya peradilan yang sederhana cepat dan biaya ringan.

Selain Undang Undang Kekuasaan Kehakiman dan KUHAP, Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga mengatur mengenai peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan, yaitu Pasal 25 yang menyatakan “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.” konsep ini merupakan perwujudan negara hukum yakni sistem peradilan yang melindungi hak asasi manusia sebagai pilar negara hukum.

3. Teori Pemidananaan

Dokumen terkait