• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejak awal tahun 1970-an, Hak pengusahaan hutan (HPH) merupakan penopang utama yang digunakan untuk memproduksi kayu bulat guna pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu bulat bagi industri berbasis kayu. Sejak saat itu, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970, perusahaan diberikan kewenangan untuk mengelola hak selama 20 tahun dan hak ini dapat diperbaharui kembali berdasarkan konsep hak pengusahaan (utilization right) (Seve, 1999; Gautam, et.al, 2000) dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan yang merevisi ketentuan pemohon HPH yang selama ini banyak dikelola oleh perusahaan asing.

Dengan konsep ini maka perusahaan diminta untuk mengelola areal pengelolaannya berdasarkan rencana jangka panjang (Rencana Karya Pengusahaan Hutan/RKPH) selama 20 tahun, rencana jangka menengah (Rencana Karya Lima Tahun/RKL) selama 5 tahun dan rencana jangka pendek (Rencana Tahunan/RKT). Sistem pengelolaan hutan (silvikultur pengelolaan hutan) atau dikenal dengan nama Tebang Pilih Tanam (TPTI), diperkenalkan sejak tahun 1989, dan menjadi dasar didalam pelaksanaan penebangan kayu dari hutan alam produksi. Atas dasar ini, maka perusahaan menggunakan rotasi penebangan selama 35 tahun, dengan melakukan penebangan pohon yang berdiameter setinggi dada (diameter breath height) lebih dari 50 cm. Sistem TPTI ini menggantikan sistem penebangan yang digunakan sebelumnya, Tebang Pilih Indonesia (TPI).

Sejak tahun 1985 dilakukan ekspansi industri pengolahan kayu, dan untuk menyediakan kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu di dalam negeri, pemerintah mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor kayu bulat. Sejak saat itu

pembangungan industri pengolahan kayu semakin meningkat. Surat Keputusan Tiga Menteri tanggal 8 Mei 1980 mengharuskan pemilik HPH untuk mengkaitkan diri dengan industri pengolahan kayu. Kondisi ini kemudian menciptakan perdagangan log secara internal dari pemilik HPH ke industri pengolahnya dalam satu kelompok (group) perusahaan. Kebijakan ini kemudian menyebabkan terjadinya penurunan ekspor kayu bulat secara bertahap dari tahun ke tahun hingga tahun terakhir PELITA III, sebesar 1.5 juta m3, dan pada tahun 1985 ekspor kayu bulat tidak diperbolehkan. Walaupun bisa bebas menjual kayu bulat ke perusahaan industri pengolah kayu, namun perusahaan HPH memprioritaskan kepada perusahaan industri kayu dalam satu perusahaan induk, dan apabila terdapat kelebihan produksi kayu bulat baru dijual ke perusahaan lainnya. Pada saat itu, walaupun tidak ada harga dunia untuk kayu bulat Indonesia, tetapi terdapat harga domistik yang belum sempurna (Timotius, 2000).

Untuk menghindari klaim internasional yang mengangap kebijakan pelarangan ekspor kayu bulat dari Indonesia sebagai non-tariff barrier, pemerintah kemudian mencabut kebijakan tersebut pada tanggal 27 Mei 1992 dan menggantinya dengan menerapkan pajak ekspor yang tinggi (prohibitive export tax) sebesar USD 500 – USD 4 800 per m3 kayu bulat, dan berlaku mulai Juni 1992 (Simangunsong, 2004).

Food Association Organization (FAO) dan Departemen Kehutanan

melaporkan bahwa produksi hasil hutan utama Indonesia tahun 1980 adalah kayu bulat, diikuti kayu gergajian dan kayu lapis demikian pula dengan hasil hutan yang diekspor. Produksi kayu bulat menurun drastis pada tahun 1985, sementara produksi dan ekspor kayu gergajian dan kayu lapis meningkat sangat tajam pada

tahun yang sama. Ekspor kayu lapis pada saat itu bahkan melebihi ekspor kayu gergajian. Sejak tahun 1985 Departemen Kehutanan tidak melaporkan data ekspor kayu bulat (Simangunsong, 2004).

Justianto (2005) menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan, beberapa kebijakan pemerintah yang berdampak kepada kesejahteraan masyarakat, yaitu:

1. Pengurangan Jatah Produksi Tahunan dari Hutan Alam (Soft landing); Kebijakan ini dilakukan dengan melakukan pengurangan Jatah Produksi Tahunan (Annual Allowable Cut/AAC) pada hutan alam secara bertahap, sampai pengurangannya sekitar 50 persen dari tebangan pada tahun 2002. Kebijakan ini mempunyai implikasi terhadap penurunan produksi kayu bulat dari hutan alam dan mengurangi pasokan kayu bagi industri pengolahan kayu. Pengurangan AAC dimaksudkan agar industri pengolahan kayu dapat melakukan penyesuaian kapasitasnya, sehingga apabila terjadi pengurangan

pasokan bahan baku maka tidak mengakibatkan “shock landing” pada industri tersebut.

2. Pelarangan ekspor kayu bulat; Kebijakan ini dimaksudkan untuk memberikan nilai tambah terhadap kayu bulat dengan terlebih dulu diolah melalui industri- industri pengolahan kayu domestik seperti industri kayu lapis, industri kayu gergajian, industri pulp dan industri kertas. Implikasi dari kebijakan ini adalah meningkatnya pasokan kayu bulat untuk industri pengolahan kayu domestik. 3. Restrukturisasi sektor (industri) kehutanan; Restrukturisai industri kehutanan

ditujukan untuk meningkatkan efesisensi dan efektifitas pengelolaan sumberdaya hutan yang meliputi restrukturisasi sub-sistem sumberdaya seperti

sistem pengelolaan hutan alam dan hutan tanaman serta sub-sistem pemanfaatan yaitu industri pengolahan hasil hutan. Dalam kaitannya dengan restrukturisai industri pengolahan kayu, penurunan kapasitas dan penutupan industri pengolahan kayu, dilakukan dalam kerangka meningkatkan dayasaing industri kehutanan tersebut.

4. Pemberian insentif untuk pembangunan hutan tanaman; Kebijakan ini ditujukan untuk mendorong pembangunan hutan tanaman yang produksi kayunya diharapkan dapat mengganti produksi kayu dari hutan alam melalui pemanfaatan Dana Reboisasi (DR) untuk pembiayaan hutan tanaman.

Setelah terjadi krisis ekonomi, pemerintah menurunkan pajak ekspor kayu bulat menjadi maksimum 10 persen sebelum Desember 2000 dan 0 persen pada tahun 2003. Setelah pajak ekspor kayu bulat diturunkan, ekspor kayu bulat berlangsung kembali namun volumenya sangat kecil (Simangunsong, 2004 dan Sukmananto, 2007). Sementara itu, muncul keluhan dari pengusaha industri pengolahan kayu mengenai kesulitan mendapatkan bahan baku kayu bulat untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku industri. Merespon keluhan tersebut, pemerintah kembali melarang ekspor kayu bulat melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Kehutanan Nomor: 1132/Kpts- II/2001 dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 292/MPP/Kep/10/2001, tertanggal 8 Oktober 2001 (Simangunsong, 2004). Penerapan kebijakan cukup kontroversial adalah kebijakan soft landing, kebijakan pengurangan jatah produksi tahunan sebesar 30 persen dari tahun sebelumnya pada tahun 2003, dan dilanjutkan masing-masing sebesar 10 persen pada tahun 2004 dan 2005 (Sukmananto, 2007).

Kebijakan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) atau dulu dikenal sebagai Iuran Hasil Hutan (IHH) adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai instriktik atas hasil hutan yang dipungut dari hutan negara. Sedangkan, Dana Reboisai (DR) adalah dana yang dipungut atas hasil hutan yang dipungut dari hutan alam.

Besarnya PSDH bervariasi tergantung jenis kayunya, ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan. Pada tahun 1968-1971 ditetapkan berdasarkan mata uang dollar Amerika per m3 yaitu antara US$ 0.5 - US$ 3 per m3, kemudian pada tahun 1971-1976 ditetapkan dengan mata uang rupiah yaitu Rp 250 - 800 per m3, kemudian pada tahun 1976-1979 ditetapkan sebesar Rp 900 - Rp 5 000 per m3. Mulai Juni 1979 sampai sekarang besarnya PSDH ditetapkan berdasarkan persentase dari harga patokan kayu bulat dalam negeri (Sukmananto, 2007).

Kebijakan Dana Reboisasi (DR) dikenakan mulai tahun 1968, dan sampai tahun 1979 merupakan Dana Jaminan Reboisasi (DJR) yang dapat diminta kembali seluruhnya oleh pemegang HPH apabila HPH yang bersangkutan telah melaksanakan kewajiban reboisasi dan rehabilitasi di areal kerjanya. Sejak tahun 1980 pelaksanaan reboisasi diambil alih oleh pemerintah dan DJR diganti dengan DR, dimana besarnya DR yang harus dibayar tergantung jenis kayunya. Untuk kayu kelompok meranti pada tahun 1980-1988 ditetapkan sebesar US$ 4 per m3, pada tahun 1996-1999 sebesar US$ 15 per m3, dan mulai 1999, berdasarkan PP 5/1999 ditetapkan tarif DR sebesar US$ 13 – 16 untuk kelompok jenis meranti, tergantung wilayah produksinya.

Dokumen terkait