DAN DANA REBOISASI TERHADAP KESEJAHTERAAN
DISERTASI
ERWINSYAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
i
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “DAMPAK KEBIJAKAN
PROVISI SUMBERDAYA HUTAN DAN DANA REBOISASI TERHADAP
KESEJAHTERAAN”, adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulisan lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftra Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
iii
(HARIANTO as Chairman, BONAR M. SINAGA and BINTANG C.H. SIMANGUNSONG as Members of the Advisory Committee)
In the last three decades the forestry sector has given important contribution to the government revenues, among others are recieved from forest royalty (PSDH) and reforestation fund (DR). To determine the impact of policy implementation of PSDH and DR on welfare then elasticity of supply and demand of roundwood input market and wood products output market using a computer statistical program RATS (Regression Analysis of Time Series) was estimated, and conducted a simulation aplication of 9 types of policy scenarios. The data used in this study was timeseries data taken from year 1995 to year 2009. Results of this study were included (1) on supply and demand side, the price of roundwood was inelastic, except of the construction wood plantation (HTI) was unit elastic. Price of plywood, sawn timber and pulp is inelastic, (2) increasing PSDH and DR separately will increase the price of roundwood, except the price of pulp wood HTI, and will also increase the price of wood products. An increased DR and PSDH at the sametime will increase the price of roundwood and wood products, (3) increased PSDH will produce higher production of roundwood and wood products, except for plywood which was not supported by increased market prices. Increased DR will increase the roundwood production, except the pulp wood HTI which was unaffected. Increased DR will produce the increased production of sawn timber. While increased DR and PSDH will simultaneously increase the production of natural forest roundwood, construction wood HTI and pulp wod HTI as well as sawntimber and pulp products, and (4) increased PSDH and DR will increase producer welfare and reduce consumer welfare of roundwood.
v
Terhadap Kesejahteraan. (HARIANTO sebagai Ketua, BONAR M. SINAGA dan BINTANG C.H. SIMANGUNSONG sebagai Anggota Komisi Pembimbing)
Dalam tiga dasawarsa terakhir sektor kehutanan memberikan kontribusi penting bagi perekonomian Indonesia. Kontribusi penerimaan pemerintah dari sektor kehutanan diantaranya bersumber dari Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). PSDH dan DR dihitung atas dasar jumlah kayu bulat yang dihasilkan dari hutan alam dan hutan tanaman. Untuk mempertahankan keberlanjutan kontribusi tersebut maka diperlukan kepastian penyediaan bahan baku kayu bulat yang berkelanjutan bagi kebutuhan industri berbasis kayu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) menganalis model penawaran dan permintaan kayu bulat melalui estimasi elastisitas supply dan demand pada pasar input kayu bulat dan pasar output produk primer kayu olahan, (2) menganalisis dampak kebijakan PSDH dan DR terhadap produksi, dan harga kayu bulat serta kayu olahan, dan (3) menganalisis berbagai skenario kebijakan PSDH dan DR dan dampaknya terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen.
Model persamaan yang digunakan untuk mendapatkan parameter dugaan dalam penelitian ini adalah persamaan simultan atau Two Stage Least Squares (2SLS) dan persamaan tunggal atau Ordinary Least Squares (OLS), sehingga diperoleh nilai parameter terbaik, yang merupakan penduga elastisitas. Dalam penelitian ini akan dicari estimasi model pasar input, pasar kayu bulat, yaitu kayu bulat dari hutan alam, kayu bulat dari HTI perkakas dan kayu bulat dari HTI pulp sebagai bahan baku industri pimer dan pasar output, yaitu pasar kayu lapis, kayu gergajian dan pulp. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2009, diolah dengan menggunakan program statistik komputer RATS (Regression Analysis of Time Series).
Berdasarkan hasil pengolahan data, ternyata tidak semua nilai parameter dugaan dapat digunakan untuk menduga nilai elastisitas. Terhadap nilai parameter tersebut maka digunakan nilai elastisitas yang bersumber dari pustaka. Setelah nilai penduga elastisitas diperoleh, kemudian nilai elastisitas tersebut digunakan untuk melakukan simulasi penerapan kebijakan PSDH dan DR. Untuk mengetahui dampak penerapan kebijakan PSDH dan DR terhadap kesejahteraan produsen dan kesejahteraan konsumen kayu bulat maka digunakan sembilan (9) kemungkinan skenario kebijakan.
Dari hasil penelitian ini kemudian diperoleh bahwa pada umumnya harga bahan baku kayu bulat dan harga kayu olahan bersifat inelastis, dimana kenaikan harga tidak langsung membuat industri pengolahan kayu mengurangi pasokan kayu bulat dari hutan alam maupun hutan tanaman. Hal ini disebabkan karena kebutuhan kayu bulat belum bisa digantikan oleh bahan baku lainnya.
vi
HTI pulp tidak dikenakan DR. Sedangkan HTI perkakas, walaupun tidak dikenakan DR namun produk kayu bulat dari HTI perkakas bersama-sama dengan produk kayu bulat dari hutan alam adalah bahan baku kayu lapis dan kayu gergaji. Kenaikan PSDH dan DR secara bersama-sama akan menyebabkan kenaikan harga kayu bulat yang berasal dari hutan alam, HTI perkakas dan HTI pulp, serta menyebabkan kenaikan harga produk olahan, yaitu harga produk kayu lapis, kayu gergaji dan pulp.
Kenaikan PSDH akan mendorong terjadinya peningkatan produksi kayu bulat dari hutan alam, dari HTI perkakas dan dari HTI pulp. Hal ini terjadi karena kenaikan PSDH akan menyebabkan peningkatan harga kayu bulat, sehingga produsen kayu bulat akan meningkatkan produksi. Kenaikan PSDH juga akan mendorong terjadinya peningkatan produksi produk olahan, yaitu kayu gergaji dan pulp. Kayu lapis tidak mengalami kenaikan produksi karena kenaikan harga kayu lapis lebih kecil dibandingkan kenaikan harga bahan baku. Kenaikan DR akan mendorong peningkatan produksi kayu bulat dari hutan alam dan dari HTI perkakas, karena kenaikan DR akan menaikan harga kayu bulat dari hutan alam sehingga produsen kayu bulat hutan alam akan meningkatkan produksinya. Produksi kayu bulat dari HTI perkakas ikut meningkat karena merupakan bahan baku yang sama dengan kayu bulat hutan alam untuk memproduksi kayu lapis dan kayu gergaji. Kenaikan DR akan meningkatan produksi kayu bulat dari hutan alam dan dari HTI perkakas, karena mendorong peningkatan harga kayu bulat sehingga produsen akan meningkatkan produksinya. Kenaikan DR sangat kecil pengaruhnya terhadap permintaan produk kayu lapis. Kenaikan PSDH dan DR secara bersama-sama akan menyebakan terjadinya kenaikan produksi kayu bulat dari hutan alam, HTI perkakas dan HTI pulp, serta kayu gergaji dan pulp.
Pemerintah sudah melakukan upaya percepatan pembangunan HTI namun masih dirasakan tidak cukup efektif untuk menyediakan kebutuhan penyediaan bahan baku. Mengurangi permintaan bahan bahan baku dimungkinkan apabila industri perkayuan bisa mengurangi install capacity industri perkayuan Selain itu biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi kayu bulat dari hutan alam dan HTI cukup tinggi sehingga perusahaan tidak termotivasi melakukan ekspansi produksi walau permintaan kayu bulat cukup tinggi (highly demanded). Penurunan produksi kayu bulat dari hutan alam umumnya disebabkan akibat kualitas hutan alam semakin menurun dan semakin sulitnya akses untuk menjangkau sumber bahan baku (remoted area), disamping persolan tingkat upah, dan faktor lain seperti praktik pungutan yang masih membebani perusahaan.
vii
@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor
ix
ERWINSYAH
DISERTASI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
x
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:
1. Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MS
Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
2. Dr.Ir. M. Parulian Hutagaol, MS
Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka:
1. Dr. Ir. Bedjo Santosa, MSi
Direktur Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.
2. Dr. Ir. Agus Djoko Ismanto, MSi
xi
Nama : Erwinsyah
Nomor Pokok : H361064174
Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui:
1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Harianto, MS Ketua
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Bintang C.H. Simangunsong, MS
Anggota Anggota
Mengetahui:
2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Ekonomi Pertanian,
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
xiii
disertasi ini, dengan judul Dampak Kebijakan Provisi Sumberdaya Hutan dan Dana
Reboisasi Terhadap Kesejahteraan.
Sektor kehutanan selama ini menjadi sorotan antara lain karena peran ganda
yang dibebannya sebagai sumber ekonomi dan penyangga ekosistem dunia. Sebagai
sumber ekonomi, sektor kehutanan telah menjadi modal dasar dalam sejarah panjang
perjalanan pembangunan di Indonesia, khususnya untuk ekonomi riil Indonesia.
Penelitian ini menjadi sangat menarik untuk mencermati perjalanan ekonomi kayu di
Indonesia sebagai modal dasar bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan
pembangunan di Indonesia, khsusnya dari sektor kehutanan. Topik penelitian dipilih
untuk mengkaji sejauhmana sektor kehutanan masih berkontribusi bagi perekonomian
Indonesia.
Penulis termotivasi mendalami ekonomi pertanian, khususnya menuliskan topik
ini karena pengalaman penulis sendiri sebagai praktisi kehutanan dan lingkungan
hidup yang menuntut tambahan pengetahuan ekonomi untuk mendukung
pengetahuan kehutanan dan lingkungan.
Banyak pihak telah memberikan motivasi kepada penulis pada saat
memutuskan mengambil program studi ekonomi pertanian, dari mulai pemberian
rekomendasi oleh Prof. Cecep Kusmana dan Prof E. Gumbira Sa’id dari IPB kepada
penulis sebagai calon mahasiswa S3 IPB. Dalam perjalanannya penulis menerima
banyak pengetahuan mengenai ilmu pengetahun mengenai ekonomi dari para
pengajar di Program Ekonomi Pertanian IPB, yang memberikan banyak pengetahuan
kepada penulis yang sebelumnya tidak memiliki dasar pengetahuan ekonomi.
Secara khusus, dalam perjalanan penulisan disertasi, penulis mengucapkan
terimakasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada para pembimbing yang telaten
memberikan masukan kepada penulis, yaitu Dr.Ir. Harianto sebagai Ketua Komisi
Pembimbing, disela-sela kesibukannya masih meluangkan waktu memberikan
xiv
kemajuan penulisan disertasi. Dr. Ir. Bintang. C.H. Simangunsong, sebagai
pembimbing yang senantiasa selalu membimbing penulis dalam memecahkan
persoalan pengolahan data dan mendiskusikan masalah ekonomi kehutanan, terlebih
beliau menyediakan banyak waktunya dan ruang kerja beliau kepada penulis untuk
membimbing menjawab berbagai kesulitan penyelesaian disertasi ini. Tanpa
dukungan dan bimbingan para Dosen Pembimbing mustahil disertasi ini bisa penulis
selesaikan dengan baik
Ucapan terimakasih dan penghargaan, penulis sampaikan kepada Dr. Ir. M
Parulian Hutagaol, Dr.Ir. Nunung Nuryantono yang bertindak sebagai Penguji pada
Ujian Tertutup, dan Dr. Ir. M. Firdaus sebagai pimpinan Sidang Ujian Tertutup, serta
Dr. Ir. Lukytawati yang mewakili Program Studi EPN pada Ujian Tertutup, atas kritik
dan saran perbaikannya sehingga disertasi ini menjadi lebih baik. Juga ucapan
terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Bedjo Santosa dari
Kementerian Kehutanan dan Dr. Ir. Agus Djoko Ismanto dari CIFOR sebagai penguji
luar pada Ujian Terbuka, serta Dr. Ir. M. Firdaus mewakili Rektor IPB dan Prof. Dr.
Ir. Rina Oktaviani mewakili Program Studi EPN pada Ujian Terbuka, atas segala
kritik dan saran perbaikannya sehingga disertasi ini menjadi lebih baik. Juga
terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua dosesn yang telah
mengajar penulis selama mengikuti perkuliahan pada program studi S3-EPN IPB,
sehingga penulis mampu mengikuti perkuliahan dengan baik.
Tidak lupa penulis ucapakan terimakasih dan penghargaan yang
sebesar-besarnya kepada Bapak Ir. Novindra, MS yang telah mendukung penulis baik siang
dan malam mengalahkan kesulitan penggunaan program SAS dan Bapak Usman,
diujung-ujung waktu penulisan disertasi berkesempatan memberikan masukan untuk
program pengolahan data dengan program SAS. Juga kepada Bapak Iman Santosa
dari Kementerian Kehutanan dan Bapak Budi Kristiar dari Apkindo atas dukungan
xv
seluruh staff sekretariat Program S3 EPN-IPB yang tidak bisa disebutkan satu persatu
atas dukungan administrasinya.
Secara khusus, penulis mengucapkan terimakasih kepada istri tercinta (Sissa
Aprilia) dan ketiga anak terkasih (Faiz Syahputra, Fadhil Akbar Syahputra dan Fikri
Hakim Syahputra) atas kasih dan dukungannya selama penulis menjalani menjalani
pendidikan, sehingga mengurangi waktu kebersamaan keluarga. Tanpa pengertian
dan dukungan keluarga, mustahil disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik juga adalah karena dukungan dan
dorongan dari sahabat-sahabat penulis dan banyak pihak yang tidak dapat disebutkan
satu persatu, terimakasih yang sebesar-besarnya. Pada akhirnya, apabila terdapat
kesalahan dalam penulisan disertasi ini, maka hanya penulis yang bertanggungjawab.
Kiranya Allah SWT memberikan balasan dan berkah atas kebaikan semua pihak yang
telah banyak membantu penulis.
Bogor, Januari 2012
xvii
Darussalam, dari pasangan Syahidin Hakim dan Nurmaliah (almarhumah). Penulis
beristerikan Sissa Aprillia dan memiliki tiga orang putra, Faiz Syahputra, Fadhil
Akbar Syahputra dan Fikri Hakim Syahputra.
Pendidikan menengah diselesaikan penulis di SMA Negeri 2 Banda aceh pada
tahun 1984, dan pendidikan S1, Sarjana Kehutanan, diselesaikan di Institut Pertanian
Bogor pada tahun 1990. Pada tahun 1993 mendapatkan beasiswa dari European
Union untuk program pendidikan S2 di Department of Silviculture and Ecology of the
Wageningen Agricultural University di Belanda, dan meraih gelar Master of Science
pada January tahun 1995. Pada bulan Februari tahun 2007, penulis melanjutkan studi
S3 pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian di Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor di Bogor, dan selesai tahun 2012.
Penulis menjalankan karirnya dalam bidang konsultansi, yang sudah dijalaninya
selama lebih dari 20 tahun, khususnya dalam bidang sumberdaya alam, kehutanan,
lingkungan hidup, governance dan REDD, dimulai dengan the Netherlands
Tropenbos Project tahun 1990. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) tahun
1995-1998. Program USAID antara tahun 1998 sampai 2007. Bekerja untuk beberapa
kegiatan short term consultant untuk Bank Dunia antara tahun 2008 sampai tahun
2010, GEF-UNDP Program tahun 2008-2009, AUSAID/IAFCP tahun 2009 sampai
tahun 2011. Juga beberapa shorterm consultan antara lain untuk Asian Development
xix
DAFTAR TABEL ……….………..……… xxi
DAFTAR GAMBAR………..……….…… xxiii
DAFTAR LAMPIRAN………..……….. xxv
I. PENDAHULUAN……….……….. 1
1.1. Latar Belakang……… 1
1.2. Perumusan Masalah……… 4
1.3. Tujuan Penelitian………... 7
1.4. Kegunaan Penelitian………... 7
1.5. Ruang Lingkup………... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA………...………..……... 9
2.1. Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat……….. 9
2.2. Provisi Sumberdaya Hutan dan Dana Reboisasi………... 19
2.3. Dampak Kebijakan terhadap Kesejahteraan………. 24
III. METODOLOGI PENELITIAN………...……… 27
3.1. Kerangka Pemikiran………...…………... 27
3.2. Hipotesis………...…….………... 30
3.3. Model Pasar Input dan pasar Output Kayu…………... 30
3.4. Simulasi Kebijakan………... 38
3.5. Sumber dan Jenis Data…………...………... 41
IV. GAMBARAN UMUM ………...…... 43
4.1. Produksi Kayu Bulat………... 43
4.2. Industri Pengolahan Berbasis Kayu………..………….. 46
4.3. Kebijakan Pengelolaan Hutan Produksi ………... 50
4.4. Peranan Sektor Kehutanan dalam Perekonomian………... 54
xx
5.1. Pasar Input Kayu Bulat…………... 58
5.2. Pasar Output Produk Kayu Bulat….……….……….. 63
VI. DAMPAK KEBIJAKAN PROVISI SUMBERDAYA HUTAN DAN DANA REBOISASI TERHADAP KESEJAHTERAAN……… 69
6.1. Dampak PSDH dan DR Terhadap Perubahan Kesejahteraan…... 69
6.2. Dampak PSDH dan DR Terhadap Perubahan Harga………. 71
6.3. Dampak PSDH dan DR Terhadap Produksi dan Harga ………... 84
6.4. Dampak PSDH dan DR Terhadap Perubahan Kesejahteraan di Pasar Input dan Pasar Output ………... 91
VII. KESIMPULAN DAN SARAN……… 101
7.1 Kesimpulan………..……... 102
7.2 Saran………..………... 102
DAFTAR PUSTAKA………..………... 103
xxi
1. Elastisitas Demand Jangka Panjang Hasil Hutan ………..…... 14
2. Jatah Produksi Tahunan Kayu Bulat Nasional Tahun 2005-2010…………. 15
3. Ekspektasi Tanda Parameter………... 37
4. Kontribusi Sub-Sektor Kehutanan Terhadap Produk Domestik Bruto
Atas Dasar Harga Berlaku Selama 13 Tahun Terakhir……….…... 56
5. Nilai Dugaan Parameter Pasar Input dan Pasar Output Kayu ………... 57
6. Dampak Skenario Kebijakan PSDH dan DR terhadap Perubahan
Kesejahteraan………. 80 7. Dampak Kebijakan PSDH dan DR terhadap Harga Kayu Bulat dan Kayu
Olahan ……….……….. 75
8. Dampak Skenario Kebijakan dan DR terhadap Perubahan harga di Pasar
Input dan Pasar Output………... 80
9. Perubahan Kesejahteraan di Pasar Input……… 81
10. Perubahan Kesejahteraan di Pasar Output….………. 90
xxiii
1. Produksi Kayu Bulat Indonesia Tahun 1991-2009.………... 16
2. Penerapan Pajak………...………... 20
3. Keterkaitan Pasar Kayu Bulat dengan Hasil Olahan Industri Kayu Primer... 40
4. Produksi Kayu Bulat HPH……….………... 41
5. Produksi Kayu Bulat Non HPH………..……….. 42
6. Perkembangan Industri Pulp Indonesia Periode Tahun 2000-2009…………. 46
xxv
1. Data Penelitian ………... 101
2. Program RATS untuk Estimasi Parameter ……….. 103
3. Ringkasan Hasil Pengolahan Estimasi Parameter Menggunakan RATS ... 113
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam tiga dasawarsa terakhir sektor kehutanan memberikan kontribusi
penting bagi perekonomian Indonesia. Selama periode tahun 1980-2005
penerimaan dari sektor kehutanan cukup berfluktuasi, dan mencapai puncaknya
pada tahun 1997, sebesar US$ 6.24 milyar. Penerimaan dari sektor kehutanan
antara lain berasal dari Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH), Dana Reboisasi
(DJR/DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH/IHH). Penerimaan ini
dikelompokan dalam penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Realisasi
Penerimaan dari PSDH dan DR hingga semester I tahun 2009 mencapai Rp 1.1
triliun atau 40 persen dari target tahun yang sama1, atau sebesar Rp 2.1 triliun
pada tahun 2010 (Kementerian Kehutanan, 2011). Penerimaan negara bukan pajak
dari sektor kehutanan pada tahun 2010 mencapai Rp 3.1 triliun, dimana dari
sektor PSDH dan DR memberikan kontribusi sebesar Rp 2.5 triliun. Penerimaan
negara dari sektor kehutanan, khususnya atas dasar penerimaan dari produksi kayu
yang dihitung dari Dana Reboisasi sangat berfluktuatif, dari tahun 2006 ke tahun
2007 mengalami penurunan, dari sebesar Rp 1.7 triliun menjadi Rp 1.3 triliun,
kemudian kenaikan lagi menjadi Rp 1. 6 triliun, Rp 1.5 triliun dan Rp 1.7 triliun
pada tahun 2008, 2009 dan 2010. Sedangkan penerimaan dari Provisi Sumberdaya
Hutan relatif mengalami kenaikan dari tahun 2008 sampai 2010, berturut-turut
1
sebesar Rp 0.62 triliun, Rp 0.67 triliun dan Rp 0.8 triliun (Kementerian
Kehutanan, 2011)
PSDH dikenakan kepada pemegang izin sebagai pengganti nilai instrinsik
hasil hutan yang dipungut dari hutan negara. Kayu bulat yang dikenakan PSDH
mencakup kayu bulat yang berasal dari hutan alam dan hutan tanaman. Besarnya
PSDH yang harus dibayar sebesar tarif, 10 persen dikalikan harga patokan dan
dikalikan dengan jumlah hasil hutan kayu dari Laporan Hasil Produksi (LHP)
kayu bulat. LHP merupakan laporan dari ketersediaan stok sesungguhnya di hutan
(standing stock) yang siap untuk ditebang.
Dana Reboisasi (DR) adalah dana yang dipungut dari kegiatan eksploitasi
hutan, digunakan untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan
pendukungnya. DR dikenakan kepada pemegang izin usaha pemanfaatan hasil
hutan kayu pada hutan alam, hasil penebangan (land clearing) areal hutan alam,
hutan tanaman yang dibiayai negara, dari hasil sitaan, dari penjualan tegakan dan
dari hutan desa. Besarnya DR yang dibayarkan oleh perusahaan dihitung atas
dasar volume kayu yang diproduksi dikalikan dengan kewajiban yang harus
dikeluarkan oleh perusahaan per satuan volume kayu (m3) berdasarkan LHP.
Besarnya DR ditetapka antara US$ 13-16 per m3 untuk kelompok kayu jenis
meranti dan US$ 10.5-13 per m3 untuk kelompok kayu jenis rimba campuran,
tergantung wilayah perusahaan beroperasi. Pembayaran DR oleh perusahaan tidak
dimaksudkan bahwa perusahaan bisa melepaskan kewajiban pemegang izin hak
pengusahaan hutan untuk memelihara hutan dan melakukan regenerasi hutan.
USAID dan Bank Dunia mencatat masih intensifnya produksi kayu bulat
pemerintah telah menyebabkan industri perkayuan tumbuh cepat dan mengalami
perubahan struktur selama periode tahun 1980-2005, peningkatan defisit bahan
baku industri kayu gergajian dan kayu lapis (serta veneer) sejak tahun 1997,
sementara kapasitas terpasang industri pulp terus meningkat. Persoalan
kesenjangan penawaran dan permintaan kayu bulat merupakan persoalan jangka
panjang keberlanjutan industri pengolahan kayu (Simangunsong, et al., 2007).
Produksi kayu bulat yang berasal dari hutan alam pada tahun 2009
berjumlah kurang dari 5 juta m3 per tahun, dan dari hutan tanaman berjumlah 22
juta m3 pada tahun 2008 serta 18 juta m3 pada tahun 2009 (Kementerian
Kehutanan, 2010). Apabila dibandingkan dengan produksi kayu bulat dari hutan
alam periode tahun 1997-2000, lebih dari 10 juta m3 per tahun. Produksi kayu
bulat dari Hutan Tanaman Industri (HTI) meningkat dari 600 000 m3 pada Tahun
1997 menjadi 11 juta m3 pada tahun 2006. Konsumsi kayu oleh industri perkayuan meningkat tajam dari 11.7 juta m3 pada tahun 1980 menjadi 24.1 juta m3 pada tahun 1985, puncaknya 52.7 juta m3 pada tahun 2003, dan menurun
dengan tajam menjadi 44.5 juta m3 pada tahun 2005. Produksi total kayu bulat pada tahun 2005 adalah 24.22 juta m3 yang berasal dari hutan alam sebesar 5.72 juta m3 dan hutan tanaman industri sebesar 12.82 juta m3 disamping sumber
lainnya seperti dari hutan tanaman Perum Perhutani. Selisih dari kayu bulat yang dikonsumsi oleh industri kayu olahan dengan produksi kayu bulat resmi sering
dipertanyakan, bahkan dianggap sebagai kayu bulat illegal (Simangunsong, et al.,
2007). Menurut FAO produksi rata-rata kayu bulat Indonesia tahun 1995 sampai
dengan 2009 masih mencapai lebih dari 30 juta m3 (Food Agriculture
membandingkan data dari Kementerian Kehutanan dengan data yang dikeluarkan
oleh FAO.
Indonesia menjadi salah satu negara penghasil terbesar pulp dunia, bersama
Cina dan Brazil. Industri pulp Indonesia berada dalam kapasitas pemanfaatan
yang sangat tinggi, dengan rata-rata pemanfaatan install capacity lebih dari 80
persen. Berdasarkan data dari Simangunsong et al., (2007) dalam Road Map
Revitalisasi Kehutanan Indonesia, terdapat 10 pabrik pulp dan kertas yang
terintegrasi dan 3 pabrik pulp tidak terintegrasi dengan total kapasitas terpasang 6.45 juta Adt (airdried ton) pada tahun 2005, dan 86% dari kapasitas terpasang tersebut berlokasi di Sumatera.
Berbeda dengan industri pulp, 90 persen anggota Indonesia Sawmill and Woodworking (ISWA) adalah perusahaan kecil menengah dan tidak mempunyai
HPH, dari yang terdaftar sekitar 1 600 perusahaan dan berorientasi ekspor, dari tahun ke tahun mulai menurun menjadi 600an perusahaan saja pada tahun 2006. Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO) mencatat jumlah anggotanya per
Oktober 2006 ada 130 perusahaan, namun yang aktif hanya berjumlah 68
perusahaan dengan kapasitas produksi 6.1 juta m3/tahun dimana hanya 19 unit
yang berproduksi normal (1.54 juta m3/tahun). Sedangkan produksi kayu lapis pada tahun 2009 sebesar 3 juta m3 dan produksi kayu gergaji pada tahun yang
sama mencapai 0.7 juta m3 (Kementerian Kehutanan, 2010).
1.2. Perumusan Masalah
Sinaga (1989) menyebutkan intervensi kebijakan larangan ekspor kayu bulat
produksi kayu bulat dan penurunan harga kayu bulat domestik. Rusli (1999)
menyebutkan ada keterkaitan penerapan kebijakan konservasi di Indonesia dengan
pasar kayu lapis, dimana kebijakan konservasi akan terkait dengan pengurangan
Jatah Penebangan Tahunan (Annual Allowable Cut/AAC) kayu bulat, yang
mempengaruhi produksi industri kayu lapis. Di Barat Laut Pacific Amerika
Serikat, peraturan konservasi berdampak kepada penurunan produksi kayu (Wear
dan Park, 1994). Karena kualitas hutan semakin menurun, maka ketersediaan
bahan baku kayu bulat terus menurun. Apabila memberlakukan kebijakan
pembatasan produksi, maka akan mengakibatkan penawaran menurun, dibatasi
oleh jumlah produksi yang lebih kecil dari sebelumnya, dengan jumlah
permintaan yang konstan, akan terjadi kenaikan harga per satuan volume. Dengan
keseimbangan baru ini, akan terjadi penurunan tingkat kesejahteraan produsen dan
konsumen (Pindyck, 2005).
Penurunan ketersediaan sumber bahan baku kayu bulat merupakan masalah
besar yang dihadapi industri pengolahan kayu. Kebijakan pembatasan produksi
kayu bulat bisa menjadi kebijakan konservasi yang dapat digunakan untuk
mengurangi tekanan terhadap hutan alam.
Dampak penerapan instrumen pajak per unit, dapat dilihat melalui
perbedaan pajak yang dibayar oleh konsumen dan yang dibayar oleh produsen
(Nicholson, 2000). Besarnya kehilangan penerimaan produsen dan konsumen
akibat kebijakan pajak akan menjadi bagian penerimaan pemerintah. Beberapa
hasil penelitian terkait menunjukkan bahwa kebijakan pajak akan mempengaruhi
royalti dan dana yang menjadi kewajiban dan yang harus dibayarkan oleh
perusahaan kepada pemerintah.
Evaluasi dampak kebijakan terhadap kesejahteraan dapat dilakukan dengan
melakukan analisis kesejahteraan. Nicholson (2000) menyebutkan bahwa
kesejahteraan akan maksimum pada keseimbangan pasar kompetisi (competitive
market equilibrium). Just et al. (1982) menyebutkan bahwa surplus konsumen
sering digunakan untuk mengukur kesejahteraan konsumen, dan surplus produsen
adalah paling umum digunakan untuk mengukur kesejahteraan produsen.
Pengelola hutan alam dan hutan tanaman merupakan produsen penghasil
kayu bulat penyedia kebutuhan bahan baku utama industri pengolahan kayu
primer. Kegiatan eksploitasi kayu bulat yang bearasal dari hutan alam pada masa
lalu sangat tinggi, dimana penebangan kayu bulat dari hutan alam jauh melebihi
dari kemampuan produksi secara lestari. Tingkat eksploitasi kayu bulat atas dasar
kebutuhan bahan baku industri perkayuan belum dapat didukung oleh percepatan
riap pertumbuhan kayu.
Kondisi sumber bahan baku yang semakin menurun menjadikan
ketergantungan industri kayu terhadap sumberbahan baku semakin tinggi. Namun
disisi lain kebutuhan untuk memenuhi kapasitas industri perkayuan semakin
tinggi, khususnya industri pulp yang akhir-akhir ini semakin meningkat, bertolak
belakang dengan industri kayu lapis dan kayu gergaji yang produksi kayu
olahannya semakin menurun.
Bagaimanapun situasi perkayuan saat ini, perusahaan penyedia bahan baku
kayu bulat diwajibkan untuk membayar PSDH dan DR, dan disetor ke kas negara.
1. Bagaimana ketersediaan kayu bulat dapat mendukung keberlangsungan
industri pengolahan kayu primer?
2. Bagaimana implikasi penerapan kebijakan PSDH dan DR terhadap
kesejahteraan produsen, konsumen?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah:
1. Menganalis model penawaran dan permintaan kayu bulat melalui estimasi
elastisitas penawaran dan permintaan pada pasar input kayu bulat dan pasar
output produk primer kayu olahan.
2. Menganalisis dampak kebijakan PSDH dan DR terhadap produksi, dan harga
kayu bulat serta kayu olahan.
3. Menganalisi berbagai skenario kebijakan PSDH dan DR dan dampaknya
terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen.
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memberikan tambahan
informasi mengenai elastisitas penawaran dan permintaan penelitian terkait yang
sudah pernah dilakukan, khususnya untuk mendapatkan gambaran model
penawaran dan permintaan kayu bulat di Indonesia. Selain itu diharapkan juga
dapat digunakan untuk mengetahui dampak penerapan berbagai kebijakan sektor
kehutanan, termasuk penerapan kebijakan PSDH dan DR terhadap kesejahteraan,
Penelitian diharapkan juga dapat digunakan untuk mencari alternatif
kebijakan melalui berbagai pilihan skenario kebijakan yang diterapkan, dan bisa
digunakan sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam penyusunan kebijakan
sektor kehutanan agar dapat mendorong industri perkayuan bisa bersaing di pasar
dunia dengan cara memperkuat pondasi pengelolaan kehutanan di dalam negeri,
serta bisa bermanfaat bagi perusahaan untuk penyusunan perencanaan bisnis
perusahaan yang lebih baik.
1.5. Ruang Lingkup
Industri kayu primer yaitu industri kayu lapis, industri kayu gergaji dan
industri pulp membutuhkan kayu bulat sebagai bahan baku utama. Kayu bulat
diperoleh dari hutan alam dan hutan tanaman. Beberapa faktor yang
mempengaruhi perusahaan dalam menyediaan kayu bulat antara lain sumber
bahan baku di hutan (tegakan hutan), tingkat harga kayu bulat di pasaran dan
kemampuan finansial perusahaan. Kewajiban perusahaan membayar royalti PSDH
dan DR merupakan bagian penerimaan negara bukan pajak yang ikut
mempengaruhi harga kayu bulat.
Ruang lingkup penelitian adalah secara nasional meliputi penelitian sumber
bahan baku dari hutan alam dan Hutan Tanaman Industri (HTI). HTI terdiri dari
HTI perkakas dan HTI pulp. Produk kayu olahan industri primer meliputi kayu
lapis, kayu gergaji dan pulp. Penelitian ini tidak mencakup mengenai penerapan
kebijakan Jatah Produksi Tahunan (JPT) yang diberikan oleh pemerintah kepada
perusahaan pengelola kayu bulat (HPH) dan tidak mencakup mengenai penerapan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat
Kurva penawaran adalah hubungan antara jumlah barang yang perusahaan
bersedia menjual dengan harga barang tersebut (Pindyck dan Rubinfeld, 2005).
Konsep penawaran digunakan untuk menunjukan keinginan para penjual di suatu
pasar. Kurva Penawaran memiliki kemiringan positif karena biaya marginal akan
meningkat apabila kuantitas meningkat (Nicholson, 2000).
Kurva penawaran menunjukan hubungan antara kuantitas suatu barang yang
ditawarkan pada berbagai tingkat harga, ceterus paribus (Arsyad, 1999).
Berdasarkan ragam dari fungsi permintaan, untuk pemanfaatan utility
maximization problem, dikenal individual demand function: permintaan kuantitas
sebagai fungsi dari harga (the ordinary demand curve), dan permintaan kuantitas
sebagai fungsi dari pendapatan (the Engle Curve), permintaan kuantitas fungsi
dari harga dan barang lain (the cross-price demand function) (Binger dan
Hoffman, 1988).
Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2005), faktor diluar harga yang
mempengaruhi penawaran yaitu biaya produksi yang terdiri dari faktor tenaga
kerja (labor), modal (capital) dan bahan baku (raw material).
Sedangkan kurva permintaan adalah hubungan antara jumlah barang yang
konsumen bersedia membeli dengan harga barang tersebut (Pindyck dan
Rubinfeld, 2005). Faktor di luar harga yang mempengaruhi permintaan adalah
pendapatan (income), selera (consumer tastes) dan harga barang lain (related
(Pindyck dan Rubinfeld, 2005). Kurva permintaan memiliki kemiringan negatif
karena nilai marginalnya turun apabila kuantitasnya meningkat (Nicholson, 2000).
Model ekonomi yang paling umum digunakan yaitu model
penawaran-permintaan, yang menggambarkan bagaimana harga berperan dalam biaya
produksi dan keinginan pembeli untuk membayar pada tingkat biaya tersebut
(Nicholson, 2000). Model penawaran-permintaan dapat digunakan untuk
menganalisis dampak dari berbagai bentuk kebijakan yang ditetapkan pemerintah,
termasuk digunakan untuk menganalisis bagaimana kebijakan pajak
mempengaruhi konsumen dan produsen. Karakteristik keseimbangan pasar
apabila kuantitas permintaan sama dengan kuantitas penawaran (QD = QS), tidak
terjadi kelebihan penawaran (no excess supply) atau kekurangan (no shortage)dan tidak ada tekanan terhadap harga untuk berubah (no pressure on the price to
change) (Pindyck dan Rubinfeld, 2005).
Konsep permintaan digunakan untuk menunjukkan keinginan-keinginan
seorang pembeli pada suatu pasar. Fungsi permintaan menunjukan hubungan
antara kuantitas suatu barang yang diminta dengan semua faktor yang
mempengaruhinya. Harga, pendapatan, selera dan harapan-harapan untuk masa
datang merupakan variabel-variabel penting dalam fungsi permintaan. Para
pembeli dianggap akan membeli barang dalam jumlah yang dapat
memaksimumkan kepuasan mereka (Arsyad, 1999). Hubungan antara harga dan
kuantitas yang diminta adalah berbanding terbalik. Jika harga naik, kuantitas yang
diminta turun. Hubungan ini disebut “hukum permintaan” (Arsyad, 1999).
Model penawaran-permintaan adalah model yang menggambarkan
membeli barang tersebut dan perusahaan-perusahaan yang menjualnya
(Nicholson, 2000). Beberapa hasil penelitan menyebutkan intervensi kebijakan
yang dilakukan pemerintah akan berpengaruh terhadap penawaran dan permintaan
kayu bulat.
Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2005), elastisitas adalah persentase
perubahan satu variabel yang menghasilkan perubahan satu persen kenaikan pada
variabel lainnya. Elastisitas permintaan adalah persentase perubahan kuantitas
permintaan dari produk akibat kenaikan satu persen harga. Sedangkan elastisitas
penawaran adalah persentase perubahan kuantitas penawaran akibat kenaikan satu
persen harga. Nicholson (2000) menyebutkan bahwa pada kurva yang memiliki
elastisitas permintaan kurang dari -1 bersifat elastis, dan yang memiliki elastisitas
permintaan sama dengan -1 bersifat unit elastis, serta yang memiliki elastisitas
permintaan lebih dari -1 bersifat inelastis. Untuk kurva yang elastis, perubahan
harga sepanjang kurva akan mempengaruhi terjadinya perubahan kuantitas
permintaan produk secara nyata (significant). Pada kasus inelastis, adanya
perubahan harga akan sangat kecil pengaruhnya terhadap kuantitas permintaan.
Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2005), elastisitas penawaran tergantung kepada
suku bunga, upah, harga bahan baku, dan bahan lainnya (intermediate goods)
yang digunakan untuk menghasilkan produk. Kenaikan biaya input akan
menyebabkan meningkatkanya biaya perusahaan.
Apabila elastisitas permintaan bersifat elastis, maka konsumen akan
membeli sebanyak mungkin yang bisa didapatkan pada harga keseimbangan,
tetapi akan menguranginya apabila harga produk naik dan meningkatkan
Sebaliknya apabila harga bersefat inelastis, maka diperlukan kenaikan harga yang
cukup tinggi untuk untuk membuat konsumen mengurangi permintaan dan pindah
ke barang substitusi Menurut McGuyan dan Moyer (1986) faktor yang
mempengaruhi permintaan yaitu ketahanan penggunaan barang, derived
permintaan, sebagai bahan baku produk lain dan (3) Nilai tukar. Harga produk
yang memiliki barang substitusi lebih elastis. Produk tahan lama (durable) bersifat
elastis, dan yang memiliki porsi terbesar anggaran (budget) lebih elastis. Beberapa
nilai elastisitas permintaan jangka panjang dari beberapa komoditi hasil hutan
dapat di lihat pada Tabel 1.
Dengan menggunakan data deret waktu (timeseries) 1967-1982, Sinaga
(1989) membangun model ekonometrika industri produk kayu olahan dengan
menggunakan berbagai simulasi yang menjelaskan hubungan penawaran,
permintaan dan harga, menunjukan adanya pengaruh kebijakan intervensi
pemerintah di setiap sub-sektor industri kayu Indonesia. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan disebutkan bahwa penerapan kebijakan larangan ekspor kayu
bulat akan mengakibatkan terjadinya penurunan produksi dan turunnya harga
kayu bulat domestik.
Berdasarkan hasil penelitian Simangunsong (2001) terhadap model
permintaan internasional berdasarkan data yang diambil dari 64 negara (data
tahun 1973 sampai tahun 1997) terhadap tujuh kelompok hasil hutan, dimana
persamaan penawaran diturunkan dari model harga internasional 18 negara (data
tahun 1975 sampai tahun 1995), serta dilakukan ujicoba permintaan dinamis dan
permintaan statis serta persamaan harga, maka secara umum model statis yang
sangat cocok untuk menduga model permintaan dan penawaran. Juga disebutkan
bahwa terdapat kecenderungan elastisitas yang sama di semua negara.
Berdasarkan penelitian ini ditemukan bahwa untuk permintaan hasil hutan akan
memiliki harga yang inelastis.
Berkaitan dengan perkembangan penawaran kayu bulat, saat ini tidak ada
data yang berkaitan dengan luas efektif areal tebang di dalam wilayah kerja HPH.
Namun berdasarkan asumsi bahwa satu hektar hutan produksi menghasilkan
rata-rata sebanyak 40 m3 (Timotius, 2000), maka luas areal tebang akan sangat
ditentukan oleh volume kayu yang dikeluarkan dan sangat ditentukan oleh
perubahan harga kayu bulat yang berlaku di pasaran.
Sejalan dengan semakin berkurangnya tutupan hutan, termasuk semakin
turunnya kualitas hutan produksi, maka jumlah HPH dan produksi kayu bulat dari
tahun ke tahun semakin menurun. Untuk melaksanakan praktik penebangan yang
lebih baik, maka pemerintah melakukan pengendalian produksi kayu bulat.
Praktik pengendalian produksi kayu bulat hutan alam yang dilakukan pemerintah
melalui sistem pengaturan RKT selama ini dianggap tidak efektif (masih
mengalami kebocoran), terbukti masih banyaknya produksi kayu ilegal di pasar
dalam negeri maupun ekspor (Astana, Sabarudi dan Muttaqin, 2003). Pada
Gambar 1, berdasarkan sumber data yang dari Departemen Kehutanan dan dari
Food Agriculture Organizatio (FAO) dapat dilihat bahwa perkembangan produksi
kayu bulat dari waktu ke waktu terus mengalami penurunan. Hal ini juga sejalan
dengan keberadaan kualitas tutupan (forest cover) hutan alam yang semakin
menurun serta jumlah perusahaan HPH yang melakukan kegiatan di kawasan
Tabel 1. Elastisitas Permintaan Jangka Panjang Hasil Hutan
1) Biongiono (1978). 43 countries. 1963-1973. a) hingh income. B) low income.
2) Biongiono (1979). 43 countries. 1963-1973.
3) Wibe (1984), 103 countries, 1970-1979.
4) Uutela (1987), 40 countries, 1965-1980.
5) Biongiono and Chang (1986). 10 OECD countries. 1961-1981, within-country estimates.
6) Baudin and Lundberg (1987), major consuming countries, 1961-1981.
7) Prestemon and Buongiono (1993), 24 countries, 1968-1988.
8) Brooks et al (1995), 8 countries, 1964-1991, a) high income, b) low income.
9) Ches-Amil and Buongiono (2000), 14 EU countries, 1969-1992
10) Simangunsong and Buongiono (2001), 62 countries, 1973-1997
NO PROVINSI TAHUN
Tabel 2. Jatah Produksi Tahunan Kayu Bulat Nasional Tahun 2005-2010
Penelitian mengenai peraturan dilakukan di Barat Laut Pacific Amerika
Serikat, berkaitan dengan undang-undang species langka (endanger species) untuk
melindungi sejenis burung hantu (Strix occidentalis caurina) dari kepunahan.
Peraturan konservasi berdampak kepada penurunan produksi kayu dari wilayah
penghasil sepertiga kayu softwood di Amerika Serikat. Dengan turunnya produksi
kayu bulat di wilayah tersebut kemudian berdampak kepada keberlanjutan industri
perkayuan dan penyerapan tenaga kerja (Wear dan Park, 1994).
Sumber: * Departemen Kehutanan, 2003 dan Kementerian Kehutanan, 2011 ** FAO, 2011
Gambar 1. Produksi Kayu Bulat Indonesia Tahun 1995-2009
Dari sisi permintaan, Sinaga (1989) menyebutkan bahwa permintaan kayu
bulat dalam negeri tergatung kepada harga yang berlaku di pasaran dan harga
yang yang berlaku untuk barang substitusinya. Menurut Wan (2009), industry
pengolahan kayu di China sangat tergantung kepada penawaran bahan baku yang
berasal dari impor. Kayu lapis adalah produk kayu olahan yang penting di China,
dan China adalah salah satu negara pengekspor plywood, meskipun tergantung
kepada bahan baku dari impor. Walaupun pemerintah secara intensif melakukan
program hutan tanaman, tetapi kebutuhan produksi kayu bulat domestik masih
jauh dari mencukupi.
Samad, et al. (2009) mengemukakan bahwa permintaan kayu bulat dunia
akan meningkat sejalan dengan peningkatan populasi dan peningkatan
pembangunan ekonomi khsusunya di negara-negara berkembang. Dengan alasan
tersebut Malaysia kemudian melakukan komitmen pengellaan hutan lestari,
diantaranya melaksanakan penebangan hutan dengan metoda “reduce impact
logging”. Hal ini mengakibatkan berkurangnya penawaran kayu bulat untuk
industri hilir perkayuan. Malaysia Barat telah mengalami defisit kayu bulat sejak
tahun 1995 berdampak kepada produk utama perkayuan, berpindah dari yang
tadinya surplus menjadi defisit kayu bulat. Dari hasil penelitian perilakuk pasar
kayu bulat di Malaysia Barat berkaitan dengan kebijakan pengelolaan hutan
lestari, menunjukan bahwa pelaksanaan sepenuhnya (full adoption) kebijakan
pengelolaan hutan lestari akan menyebabkan pengurangan penawaran kayu bulat,
yang berlanjut kepada peningkatan harga dalam jangka panjang, namun tidak
berpengaruh kepada permintaan. Kemungkinan kebijakan ini akan mempengaruhi
skema pembangunan hutan tanaman untuk mendukung kelestarian kehutanan di
Malaysia Barat.
Hasil kajian yang diakukan oleh Prahasto dan Nurfatriani (2001)
menunjukkan bahwa produksi kayu bulat yang dihasilkan dari hutan alam dalam
rentang lima tahun terakhir sebelummya cenderung menurun sedangkan produksi
dari hutan tanaman dari berbagai sumber belum menunjukkan kenaikan yang
Indonesia, alternatif yang mungkin dapat dilakukan dengan pengurangan kapasitas
industri pengolahan kayu, khususnya mengurangi jumlah industri yang dianggap
tidak efisien. Solusi lain yang dapat ditempuh adalah mempercepat pembangunan
hutan tanaman industri (HTI) atau hutan tanaman sejenis seperti hutan tanaman
rakyat (HTR).
Selain untuk pemenuhan bahan baku industri kayu lapis dan kayu gergaji,
produksi kayu bulat Indonesia juga dibutuhkan untuk bahan baku industri pulp.
Perkembangan industri pulp Indonesia selain memiliki peluang pengembangan
yang cukup baik, juga dihadapkan kepada beberapa kendala, diantaranya
persoalan bahan baku, dimana 93 persen kertas dunia berasal dari bahan baku
kayu (Situmorang, 2009).
Upaya untuk melakukan konservasi di Finland akan meningkatkan harga
bahan baku kayu bulat yang juga akan meningkatkan biaya produksi industri
perkayuan. Hal ini telah menyebabkan produksi kayu gergaji turun, tetapi tidak
akan mempengaruhi produksi kertas dan paperboard. Apabila konservasi
meningkatkan impor kayu bulat maka pengaruh terhadap bahan baku terhadap
industri kehutanan menjadi sangat kecil (Hänninen, et al., 2007)
Penelitian dampak kebijakan konservasi di Norwegia yang dilakukan
menggunakan partial equilibrium model untuk sektor kehutanan terhadap harga
kayu bulat dan hasil olahan, menunjukan bahwa harga kayu bulat akan meningkat
rata-rata dengan peningkatan upaya konservasi secara lokal. Dampak terhadap
harga kayu bulat akan menjadi sangat terasa apabila mitra dagang Norwegia juga
melakukan kebijakan konservasi. Apabila pemilik hutan sukarela juga melakukan
gergaji domestik diproyeksikan akan berkurang, sementara produksi pulp dan
kertas hampir tidak terpengaruh dalam jangka pendek (short run). Akhirnya
kenaikan permintaan hasil hutan untuk kepentingan lingkungan (environment
good will) akan meningkatkan harga kayu bulat dan intensitas penebangan tidak
berpengaruh terhadap luas kawasan hutan (Bolkesjø et al., 2005)
2.2. Provisi Sumberdaya Hutan dan Dana Reboisasi
Varian (1987) menyebutkan bahwa kebijakan ekonomi seperti pajak sering
mempengaruhi anggaran konsumen yang terbatas. Secara teoritis, instrumen pajak
ini akan mempengaruhi perubahan kemiringan (slope) garis anggaran (budget
line) dengan merubah harga yang diterima oleh konsumen.
Nicholson (2000) menjelaskan bahwa untuk mengetahui dampak dari pajak
per unit , perlu dilihat perbedaan pajak yang dibayar oleh pembeli dan pajak yang
dibayar oleh penjual. Pajak per unit merupakan juga besaran harga yang
dibebankan kepada konsumen harga dan produsen. Namun kehilangan yang
mestinya diterima oleh konsumen dan produsen akan menjadi penerimaan bagi
pemerintah.
Penerapan pajak akan membuat harga komoditi meningkat sehingga produsen
akan mengurangi penawaran kayu bulat ke pasar. Dengan penerapan pajak maka
akan terjadi harga keseimbangan baru, dimana harga yang diterima oleh konsumen
adalah sebesar P2, dan harga yang diterima oleh produsen adalah sebesar P3. Provisi
Sumberdaya Hutan (PSDH) atau Resources Royalty Provision adalah pungutan
hutan negara. Dan DR adalah pungutan yang dibebankan terhadap kayu bulat
hutan alam.
Sumber: Pindyck, 2005 (diolah) Gambar 2. Penerapan Pajak
Iuran Hasil Hutan di Indonesia pertama kali dipungut tahun 1968,
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1969 tentang Iuran HPH
(IHPH) dan Iuran Hasil Hutan (IHH), Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor
2/1/1968 Tahun 1968 tentang Penetapan Besarnya Jumlah IHPH dan IHH, dan
pada waktu itu IHH sudah mencakup pembayaran PBB. Pada tahun 1998
kemudian menggunakan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun
1998 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Bukan Pajak yang berlaku pada
Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Besarnya ditetapkan sama sebesar 6
persen dari harga untuk seluruh jenis dan seluruh wilayah. Pada tahun 1999 dasar
hukum yang digunakan adalah Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
satuan Hasil Hutan Kayu. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 1999 tentang
Perubahan PP No 59 tahun 1998 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 06/Kep/I/1999 tentang
Penetapan Harga Patokan untuk Perhitungan PSDH, yang kemudian diperbarui
dengan keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
814/MPP/Kep/12/2002. Besarnya PSDH adalah 10 persen dari harga patokan
(Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, 2005). Peraturan Pemerintah Nomor 52
Tahun 1998 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997
tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP),
mengelompokan PSDH dalam penerimaan negara bukan pajak.
Pengaruh penerapan kebijakan PSDH dapat didekati dengan penerapan
pajak yang menjelaskan pengaruh pajak terhadap kesejahteraan individu.
Beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan pajak, menunjukkan bahwa
kebijakan pajak akan mempengaruhi tingkat produksi kayu bulat.
Simangunsong (2001) menyebutkan bahwa model keseimbangan parsial
perdagangan internasional terhadap kayu tropis dapat digunakan untuk
mempelajari pengaruh liberalisasi perdagangan seperti penghilangan tarif
produksi, konsumsi, ekspor, dan harga serta kesejahteraan negara pengekspor.
Analisis model keseimbangan parsial untuk tujuan analisis, bahwa faktor-faktor
lain tidak berubah (Arsyad, 1999). Hasilnya menunjukkan bahwa dengan
penghapusan tarif akan meningkatkan produksi dan ekspor kayu lapis, kayu
Conrad et al. (2005) melakukan penelitian penerapan pajak yang dikenakan
pada kayu hasil produksi sistem tebang pilih pada hutan jenis campuran. Hasil
penelitian ini memberikan insentif dan dampak yang berbeda di Indonesia,
dibandingkan dengan dampaknya yang terjadi di Brazil atau Malaysia, oleh
karena itu disarankan untuk tidak memberlakukan model kebijakan pajak yang
seragam untuk semua negara atau semua jenis hutan.
Di Indonesia, koordinasi dan akuntabilitas yang kuat antara badan-badan
yang mengurus pembayaran REDD+ dan badan-badan yang mengawasi DR akan
sangat penting. Mengingat rencana Kementerian Kehutanan saat ini untuk
mengalokasikan sekitar US$ 2.2 miliar dari DR untuk membiayai pengembangan
hutan tanaman komersial melalui BLU-BPPH (Badan Layanan Umum-Badan
Pembiayaan Pembangunan Hutan) (Barr et al., 2011). Pemberian subsidi untuk
mendukung pembiayaan pembangunan hutan tanaman industry melalui pinjaman
lunak menggunakan dana DR melalui BLU-BPPH sebagaimana sedang
direncanakan pemerintah sangat beresiko, terutama berkaitan dengan transparansi
penggunaan anggaran dan efektifitas penggunaan dana subsidi di lapangan
(Obidzinski dan M. Chaudhury, 2009). Dana yang berasal dari sektor kehutanan
termasuk royalty dari kegiatan eksploitasi hutan dan kesepakatan eksploitasi
sumberdaya, biaya taman nasional, termasuk dana reboisasi serta beberapa iuran
spesifik lainnya, dikelola oleh pemerintah pusat dan didistribusikan ke
daerah-daerah. Hanya saja pada praktiknya persoalan distribusi dana ini masih menjadi
persoalan, khususnya dalam hal keterbukaan porsi bagian pemerintah daerah dan
berkaitan dengan ketepatan waktu pendistribusian (Larson, 2004). Hal yang sama
keuangan dari royalty sektor kehutanan merupakan persoalan yang sensitif,
dimana masalah persoalan distribusi manfaat adalah persoalan yang utama. Dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Oyono et al.(2005) tersebut diusulkan untuk
membagikan royalty secara adil dan langsung ke masyarakat. Menurut Alemagi,
(2011), berdasarkan undang-undang di Kamerun, iuran (royalty) yang dipungut
dari perusahaan digunakan bagi pembangunan masyarakat, dimana 50%
dialokasikan untuk Negara, 40% untuk wilayah dimana perusahaan berada dan
10% untuk masyarakat desa tempat perusahaan tersebut beroperasi. Perusahaan
juga diharuskan membayar pajak lingkungan (ecotax) kepada masyarakat yang
nilainya US$1.5 per m3 kayu. Beberapa secara sukarela memberikan kontribusi
antara US$1.2-1.6 per m3 dari setiap kayu yang ditebang dan dijual oleh
perusahaan.
Penetapan harga dan pajak kayu bulat dari hutan alam telah menjadi isu
yang tak kunjung selesai. Dalam jangka menengah hingga jangka panjang harga
internasional berdasarkan FOB sebaiknya dijadikan acuan dalam penetapan pajak
agar industri lebih kompetitif (Dwiprabowo et al., 2003). Dana Reboisasi (DR)
adalah pungutan yang diberlakukan sejak 1989, merupakan dana hutan secara
nasional berupa retribusi berbasis volume tebangan kayu yang dibayarkan oleh
para pemegang konsesi hutan. Selama rentang waktu lebih dari 20 tahun tersebut,
DR telah menghasilkan penerimaan (nominal) sekitar US$ 5.8 milyar,
menjadikannya sumber pendapatan pemerintah terbesar dari sektor kehutanan
(Barr et al., 2010).
Penelitian yang dilakukan Ginoga et al. (2001) menyimpulkan bahwa
dibandingkan dengan perkiraan potensi apabila kebijakan tarif dan harga patokan
yang dikeluarkan oleh Pemerintah betul-betul dilakukan. Kebijakan tarif yang
selalu berubah-ubah merupakan salah satu dari beberapa kendala dalam upaya
memperoleh kepastian besarnya dan kelancaran penerimaan iuran.
2.3. Dampak Kebijakan terhadap Kesejahteraan
Kontribusi ekonomi kayu terhadap kesejahteraan sangat tergantung kepada
dukungan kebijakan pemerintah terhadap praktik eksploitasi dan industri
pengelolaan kayu. Kebijakan yang ikut berperan didalamnya termasuk kebijakan
pungutan (iuran) kayu. Penerimaan pemerintah yang berasal dari pungutan bukan
pajak termasuk izin perusahaan, Dana Reboisasi dan PSDH mencapai $682 juta
pada tahun 1997 dan kemudian menurun menjadi $303 juta pada tahun 2002
akibat adanya krisis yang berkepanjangan (World Bank, 2006). Untuk melakukan
evaluasi dampak kebijakan terhadap kesejahteraan dapat dilakukan dengan
menggunakan analisis kesejahteraan.
Bagi negara yang masih memiliki hutan yang berkualitas baik, keberadaan
industri pengolahan kayu akan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat
sekitar . Hal ini juga terjadi di Nigeria, dimana industri kayu lapis didirikan yang
di wilayah Sapele tersebut mampu menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat
di desar Sapele, Nigeria. Keberadaan industri kayu lapis tersebut kemudian
memunculkan industri hilir lainnya yang mengolah produk lanjutan dari industri
hulu tersebut (Okunomo dan Achoja, 2010).
Gambar 2 menunjukan bahwa daerah diantara kurva permintaan dan kurva
dengan menghitung tambahan nilai yang diperoleh dari transaksi pasar. Besarnya
kesejahteraan ini akan maksimum pada keseimbangan pasar persaingan sempurna
(competitive market equilibrium) (Nicholson, 2000).
Menurut Pindyck (2005), surplus konsumen adalah keuntungan total atau
nilai yang diterima konsumen atas biaya yang digunakan untuk membayar barang,
sedangkan surplus produsen adalah keuntungan total atau penerimaan yang
diterima produsen atas biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi barang
tersebut. Surplus konsumen berada di atas harga dan dibawah permintaan,
sedangkan surplus produsen berada di bawah harga dan di atas penawaran. Just et
al. (1982) menyebutkan bahwa surplus produsen terletak di atas kurva penawaran
dan di bawah garis harga dari perusahaan atau industri, sedangkan surplus
konsumen terletak dibawah kurva permintaan dan di atas garis harga.
Fungsi Produksi Cobb-Douglas adalah fungsi produksi dimana q=AKαLβ,
dimana q adalah tingkat output, K adalah kuantitas modal, dan L adalah kuantitas
tenaga kerja, dimana A, α dan β adalah konstata. Adapun surplus produsen sangat
erat kaitannya dengan keuntungan (profit). Untuk jangka pendek surplus produsen
adalah sama dengan penerimaan (R) dikurangi dengan biaya variabel (VC), yaitu
keuntungan variabel. Keuntungan total adalah penerimaan dikurangi dengan
semua biaya, yaitu biaya variabel dan biaya tetap, dimana; Surplus produsen = PS
= R – VC dan Keuntungan = π = R - VC - FC. Dalam jangka pendek apabila biaya
tetap bernilai positif, maka surplus produsen adalah lebih besar dari keuntungan
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran
Hutan alam dan hutan tanaman industri adalah penawaran utama bahan baku
industri pengolahan kayu primer, yaitu industri kayu lapis, industri kayu gergaji
dan industri pulp.
Produksi kayu bulat yang berasal dari hutan alam dikelola melalui sistem
HPH dan dilakukan dengan sistem tebang pilih (selective cutting). Hutan tanaman
industri dipanen dengan sistem tebang habis, dimana jumlah produksi dari hutan
tanaman akan tergantung kepada luas areal penebangan.
Secara teoritis kuantitas penawaran kayu bulat dipengaruhi produksi kayu
bulat di dalam negeri, impor kayu bulat dan dikurangi ekspor kayu bulat.
Sedangkan produksi kayu bulat ditentukan oleh harga kayu bulat, ketersediaan
kayu bulat di hutan (stok) dan kemampuan keuangan perusahaan. Keterkaitan
pasar kayu bulat dan industri kayu primer dapat dilihat pada Gambar 3.
Beberapa metodologi untuk penelitian terkait dengan industri kehutanan
sudah dikembangkan oleh beberapa peneliti terdahulu. Menurut Timotius (2000),
produksi kayu bulat Indonesia dipengaruhi oleh perubahan harga riil kayu bulat
domestik, bunga riil Indonesia, jumlah maksimum tebangan kayu bulat dalam satu
tahun yang diperbolehkan oleh pemerintah (Annual Allowable Cut/ AAC), nilai
tukar rill rupiah terhadap US$, produksi log Indonesia tahun sebelumnya.
Turner (2006) menyebutkan bahwa pendugaan model yang digunakan
secara umum mengandung satu atau beberapa unsur, yaitu kayu bulat yang
dipanen, dinamika stok kayu, dan perubahan luas hutan.
Produksi kayu bulat di dalam negeri akan dipengaruhi oleh perubahan harga
rill produksi industri berbasis kayu bulat. Sebagai contoh, apabila harga kayu lapis
meningkat, diduga para eksportir Indonesia akan berusaha menambah penawaran
volume ekspor kayu lapis sehingga akan meningkatkan produksi kayu lapis,
sehingga kebutuhan bahan baku kayu bulat juga akan meningkat.
Sejak tahun 1969 sampai tahun 1980 an, Indonesia merupakan pengekspor
kayu bulat jenis hardwood terbesar di dunia, setelah itu produksi kayu bulat mulai
menurun karena kebijakan kuota ekspor. Tahun 1985 sampai 1988, Indonesia
tidak mengekspor kayu bulat sama sekali. Pelarangan ini dimaksudkan untuk
meningkatkan nilai tambah produk kayu melalui industri kayu lapis, kayu gergaji,
industri pulp dan kertas. Kebijakan pelarangan ekspor kayu bulat ini berimplikasi
kepada peningkatan pasokan kayu bulat untuk industri pengolahan kayu.
Adam, Brannlund, Daniels, Hyde dan Kuuluvainen dalam Turner (2006)
menyebutkan bahwa model ekonometrika menggambarkan penawaran kayu
sebagai fungsi harga kayu tegakan (stumpage price), stok hutan dan variabel lain.
Penetapan harga kayu sebelum ditebang (Stumpage price)diharapkan berdampak
positif terhadap penawaran kayu, dimana peningkatan harga akan meningkatkan
luas hutan yang dapat dimanfaatkan secara ekonomis.
Permintaan industri pengolahan kayu terhadap kayu bulat sebagai bahan
baku, diduga dipengaruhi oleh harga kayu bulat domestik, harga riil industri kayu
olahan, kapasitas produksi terpasang kayu olahan dan permintaan kayu bulat oleh
industri pengolahan kayu tahun sebelumnya. Jika harga kayu bulat domestik naik,
menurun dan sebaliknya. Apabila harga produksi olahan industri berbasis kayu
naik maka permintaan bahan baku juga akan semakin meningkat.
Penerapan PSDH dan DR akan berdampak peningkatan biaya yang
dibebankan kepada harga kayu bulat, sehingga akan menurunakan produksi kayu
bulat. Turunnya produksi kayu bulat maka akan menurunkan sumber bahan baku
bagi industri perkayuan sehingga menurunkan produksi kayu olahan di pasar
output. Penerapan kebijakan PSDH dan DR ini juga akan berpengaruh terhadap
kesejahteraan yang diterima oleh perusahaan yang memproduksi kayu bulat,
industri pengelolaan kayu yang memanfaatkan kayu bulat dan pemerintah yang
menerima kontribusi pungutan.
3.2. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka beberapa hipotesis dari
penelitian ini, yaitu:
1. Terdapat keterkaitan antara permintaan kayu bulat indutri pengolahan kayu
lapis, kayu gergaji, dan pulp dengan penawaran kayu bulat.
2. Kebijakan PSDH dan DR akan mengurangi kesejahteraan yang diterima
produsen dan konsumen.
3.3. Model Pasar Input dan Pasar Output Kayu
Dalam penelitian ini akan dicari model pasar input kayu bulat, yaitu kayu
bulat dari hutan alam, kayu bulat dari HTI perkakas dan kayu bulat dari HTI pulp
sebagai bahan baku industri pimer dan pasar output, yaitu pasar kayu lapis, kayu
Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model pasar dalam
negeri menggunakan data time series, dikembangkan atas dasar penelitian
Simangunsong (2001) yang berjudul “ International Demand and Supply for
forest products, with application to the tropical timber products trade”di pasar
dunia, menggunakan data panel.
Model pasar input dan pasar output yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
Pasar Input Kayu Bulat Hutan Alam
LnQT1 = lna0+a1lnPT1+a2lnI1+a3lnGDP+e1.1………... (1)
dimana:
LnQT1 = Penawaran kayu bulat berasal dari hutan alam (m3)
Lna0 = Konstanta
LnPT1 = Harga riil kayu bulat hutan alam (Rp/m3)
LnI1 = Inventarisasi stok kayu bulat hutan alam (m3)
LnGDP = GDP Riil (Milliar Rupiah)
e1.1 = error
a1,,a3 = Parameter
LnQD1 = lnb0+b1lnQKL+b2lnQKG+b3LnPT1+e1.2……….. (2)
dimana:
LnQD1 = Permintaan kayu bulat berasal dari hutan alam (m3)
Lnb0 = Konstanta
LnQKL = Produksi kayu lapis (m3)
LnQKG = Produksi kayu gergaji (m3)
e1.2 = error
b1,.,b3 = Parameter
Keseimbangan: LnQT1 = LnQD1………...... (3) Pasar Input Kayu Bulat HTI Perkakas
LnQT2 = lnc0+c1lnPT2+c2lnI2+c3lnGDP+e2.1……... (4)
dimana:
LnQT2 = Penawaran kayu bulat berasal dari HTI perkakas (m3)
lnc0 = Konstanta
LnPT2 = Harga riil kayu bulat dari HTI perkakas (Rp/m3)
LnI2 = Inventarisasi luas HTI perkakas (Ha)
LnGDP = GDP Riil (Milliar Rupiah)
e2.1 = error
c1,.,c3 = Parameter
LnQD2 = lnd0+d1lnQKL+d2lnQKG+d3LnPT2 +e2.2…….... (5)
dimana:
lnd0 = Konstanta
LnQD2 = Permintaan kayu bulat yang berasal dari HTI perkakas (m3)
LnQKL = Produksi kayu lapis (m3)
LnQKG = Produksi kayu gergaji (m3)
LnPT2 = Harga riil kayu bulat dari HTI perkakas (Rp/m3)
e2.2 = error
d1,,d3 = Parameter
Pasar Input Kayu Bulat HTI Pulp
LnQT3 = lne0+e1lnPT3+e2lnI3+e3lnGDP+e3.1…………...... (7)
dimana:
lne0 = Konstanta
LnQT3 = Penawaran kayu bulat berasal dari HTI pulp (m3)
LnPT3 = Harga riil kayu bulat dari HTI Pulp (Rp/m3)
LnI3 = Inventarisasi luas HTI pulp (Ha)
LnGDP = GDP Riil (Milliar Rupiah)
e3.1 = error
e1,,e3 = Parameter
LnQD3 = lnf0+f1lnQP+f2LnPT3+e3.2………... (8)
dimana:
LnQD3 = Permintaan kayu bulat berasal dari HTI pulp (m3)
lnf0 = Konstanta
LnQP = Produksi pulp (ton)
LnPT3 = Harga riil kayu bulat dari HTI Pulp (Rp/m3)
e3.2 = error
f1, f2 = Parameter
Keseimbangan: LnQT3 = LnQD3………...... (9) Pasar Ouput Kayu Lapis
LnQKL = lng0+g1lntrend+g2lnPQ1+g3lnPL+
g4lnPT1+g5lnPE + e4.1………... (10)
dimana:
LnQKL = Permintaan kayu lapis (m3)