• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak kebijakan provisi sumberdaya hutan dan dana reboisasi terhadap kesejahteraan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak kebijakan provisi sumberdaya hutan dan dana reboisasi terhadap kesejahteraan"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

DAN DANA REBOISASI TERHADAP KESEJAHTERAAN

DISERTASI

ERWINSYAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

i

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “DAMPAK KEBIJAKAN

PROVISI SUMBERDAYA HUTAN DAN DANA REBOISASI TERHADAP

KESEJAHTERAAN”, adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulisan lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftra Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

(3)
(4)

iii

(HARIANTO as Chairman, BONAR M. SINAGA and BINTANG C.H. SIMANGUNSONG as Members of the Advisory Committee)

In the last three decades the forestry sector has given important contribution to the government revenues, among others are recieved from forest royalty (PSDH) and reforestation fund (DR). To determine the impact of policy implementation of PSDH and DR on welfare then elasticity of supply and demand of roundwood input market and wood products output market using a computer statistical program RATS (Regression Analysis of Time Series) was estimated, and conducted a simulation aplication of 9 types of policy scenarios. The data used in this study was timeseries data taken from year 1995 to year 2009. Results of this study were included (1) on supply and demand side, the price of roundwood was inelastic, except of the construction wood plantation (HTI) was unit elastic. Price of plywood, sawn timber and pulp is inelastic, (2) increasing PSDH and DR separately will increase the price of roundwood, except the price of pulp wood HTI, and will also increase the price of wood products. An increased DR and PSDH at the sametime will increase the price of roundwood and wood products, (3) increased PSDH will produce higher production of roundwood and wood products, except for plywood which was not supported by increased market prices. Increased DR will increase the roundwood production, except the pulp wood HTI which was unaffected. Increased DR will produce the increased production of sawn timber. While increased DR and PSDH will simultaneously increase the production of natural forest roundwood, construction wood HTI and pulp wod HTI as well as sawntimber and pulp products, and (4) increased PSDH and DR will increase producer welfare and reduce consumer welfare of roundwood.

(5)
(6)

v

Terhadap Kesejahteraan. (HARIANTO sebagai Ketua, BONAR M. SINAGA dan BINTANG C.H. SIMANGUNSONG sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Dalam tiga dasawarsa terakhir sektor kehutanan memberikan kontribusi penting bagi perekonomian Indonesia. Kontribusi penerimaan pemerintah dari sektor kehutanan diantaranya bersumber dari Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). PSDH dan DR dihitung atas dasar jumlah kayu bulat yang dihasilkan dari hutan alam dan hutan tanaman. Untuk mempertahankan keberlanjutan kontribusi tersebut maka diperlukan kepastian penyediaan bahan baku kayu bulat yang berkelanjutan bagi kebutuhan industri berbasis kayu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) menganalis model penawaran dan permintaan kayu bulat melalui estimasi elastisitas supply dan demand pada pasar input kayu bulat dan pasar output produk primer kayu olahan, (2) menganalisis dampak kebijakan PSDH dan DR terhadap produksi, dan harga kayu bulat serta kayu olahan, dan (3) menganalisis berbagai skenario kebijakan PSDH dan DR dan dampaknya terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen.

Model persamaan yang digunakan untuk mendapatkan parameter dugaan dalam penelitian ini adalah persamaan simultan atau Two Stage Least Squares (2SLS) dan persamaan tunggal atau Ordinary Least Squares (OLS), sehingga diperoleh nilai parameter terbaik, yang merupakan penduga elastisitas. Dalam penelitian ini akan dicari estimasi model pasar input, pasar kayu bulat, yaitu kayu bulat dari hutan alam, kayu bulat dari HTI perkakas dan kayu bulat dari HTI pulp sebagai bahan baku industri pimer dan pasar output, yaitu pasar kayu lapis, kayu gergajian dan pulp. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2009, diolah dengan menggunakan program statistik komputer RATS (Regression Analysis of Time Series).

Berdasarkan hasil pengolahan data, ternyata tidak semua nilai parameter dugaan dapat digunakan untuk menduga nilai elastisitas. Terhadap nilai parameter tersebut maka digunakan nilai elastisitas yang bersumber dari pustaka. Setelah nilai penduga elastisitas diperoleh, kemudian nilai elastisitas tersebut digunakan untuk melakukan simulasi penerapan kebijakan PSDH dan DR. Untuk mengetahui dampak penerapan kebijakan PSDH dan DR terhadap kesejahteraan produsen dan kesejahteraan konsumen kayu bulat maka digunakan sembilan (9) kemungkinan skenario kebijakan.

Dari hasil penelitian ini kemudian diperoleh bahwa pada umumnya harga bahan baku kayu bulat dan harga kayu olahan bersifat inelastis, dimana kenaikan harga tidak langsung membuat industri pengolahan kayu mengurangi pasokan kayu bulat dari hutan alam maupun hutan tanaman. Hal ini disebabkan karena kebutuhan kayu bulat belum bisa digantikan oleh bahan baku lainnya.

(7)

vi

HTI pulp tidak dikenakan DR. Sedangkan HTI perkakas, walaupun tidak dikenakan DR namun produk kayu bulat dari HTI perkakas bersama-sama dengan produk kayu bulat dari hutan alam adalah bahan baku kayu lapis dan kayu gergaji. Kenaikan PSDH dan DR secara bersama-sama akan menyebabkan kenaikan harga kayu bulat yang berasal dari hutan alam, HTI perkakas dan HTI pulp, serta menyebabkan kenaikan harga produk olahan, yaitu harga produk kayu lapis, kayu gergaji dan pulp.

Kenaikan PSDH akan mendorong terjadinya peningkatan produksi kayu bulat dari hutan alam, dari HTI perkakas dan dari HTI pulp. Hal ini terjadi karena kenaikan PSDH akan menyebabkan peningkatan harga kayu bulat, sehingga produsen kayu bulat akan meningkatkan produksi. Kenaikan PSDH juga akan mendorong terjadinya peningkatan produksi produk olahan, yaitu kayu gergaji dan pulp. Kayu lapis tidak mengalami kenaikan produksi karena kenaikan harga kayu lapis lebih kecil dibandingkan kenaikan harga bahan baku. Kenaikan DR akan mendorong peningkatan produksi kayu bulat dari hutan alam dan dari HTI perkakas, karena kenaikan DR akan menaikan harga kayu bulat dari hutan alam sehingga produsen kayu bulat hutan alam akan meningkatkan produksinya. Produksi kayu bulat dari HTI perkakas ikut meningkat karena merupakan bahan baku yang sama dengan kayu bulat hutan alam untuk memproduksi kayu lapis dan kayu gergaji. Kenaikan DR akan meningkatan produksi kayu bulat dari hutan alam dan dari HTI perkakas, karena mendorong peningkatan harga kayu bulat sehingga produsen akan meningkatkan produksinya. Kenaikan DR sangat kecil pengaruhnya terhadap permintaan produk kayu lapis. Kenaikan PSDH dan DR secara bersama-sama akan menyebakan terjadinya kenaikan produksi kayu bulat dari hutan alam, HTI perkakas dan HTI pulp, serta kayu gergaji dan pulp.

Pemerintah sudah melakukan upaya percepatan pembangunan HTI namun masih dirasakan tidak cukup efektif untuk menyediakan kebutuhan penyediaan bahan baku. Mengurangi permintaan bahan bahan baku dimungkinkan apabila industri perkayuan bisa mengurangi install capacity industri perkayuan Selain itu biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi kayu bulat dari hutan alam dan HTI cukup tinggi sehingga perusahaan tidak termotivasi melakukan ekspansi produksi walau permintaan kayu bulat cukup tinggi (highly demanded). Penurunan produksi kayu bulat dari hutan alam umumnya disebabkan akibat kualitas hutan alam semakin menurun dan semakin sulitnya akses untuk menjangkau sumber bahan baku (remoted area), disamping persolan tingkat upah, dan faktor lain seperti praktik pungutan yang masih membebani perusahaan.

(8)

vii

@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor

(9)
(10)

ix

ERWINSYAH

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(11)

x

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:

1. Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MS

Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

2. Dr.Ir. M. Parulian Hutagaol, MS

Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka:

1. Dr. Ir. Bedjo Santosa, MSi

Direktur Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.

2. Dr. Ir. Agus Djoko Ismanto, MSi

(12)

xi

Nama : Erwinsyah

Nomor Pokok : H361064174

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui:

1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Harianto, MS Ketua

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Bintang C.H. Simangunsong, MS

Anggota Anggota

Mengetahui:

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Ekonomi Pertanian,

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(13)
(14)

xiii

disertasi ini, dengan judul Dampak Kebijakan Provisi Sumberdaya Hutan dan Dana

Reboisasi Terhadap Kesejahteraan.

Sektor kehutanan selama ini menjadi sorotan antara lain karena peran ganda

yang dibebannya sebagai sumber ekonomi dan penyangga ekosistem dunia. Sebagai

sumber ekonomi, sektor kehutanan telah menjadi modal dasar dalam sejarah panjang

perjalanan pembangunan di Indonesia, khususnya untuk ekonomi riil Indonesia.

Penelitian ini menjadi sangat menarik untuk mencermati perjalanan ekonomi kayu di

Indonesia sebagai modal dasar bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan

pembangunan di Indonesia, khsusnya dari sektor kehutanan. Topik penelitian dipilih

untuk mengkaji sejauhmana sektor kehutanan masih berkontribusi bagi perekonomian

Indonesia.

Penulis termotivasi mendalami ekonomi pertanian, khususnya menuliskan topik

ini karena pengalaman penulis sendiri sebagai praktisi kehutanan dan lingkungan

hidup yang menuntut tambahan pengetahuan ekonomi untuk mendukung

pengetahuan kehutanan dan lingkungan.

Banyak pihak telah memberikan motivasi kepada penulis pada saat

memutuskan mengambil program studi ekonomi pertanian, dari mulai pemberian

rekomendasi oleh Prof. Cecep Kusmana dan Prof E. Gumbira Sa’id dari IPB kepada

penulis sebagai calon mahasiswa S3 IPB. Dalam perjalanannya penulis menerima

banyak pengetahuan mengenai ilmu pengetahun mengenai ekonomi dari para

pengajar di Program Ekonomi Pertanian IPB, yang memberikan banyak pengetahuan

kepada penulis yang sebelumnya tidak memiliki dasar pengetahuan ekonomi.

Secara khusus, dalam perjalanan penulisan disertasi, penulis mengucapkan

terimakasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada para pembimbing yang telaten

memberikan masukan kepada penulis, yaitu Dr.Ir. Harianto sebagai Ketua Komisi

Pembimbing, disela-sela kesibukannya masih meluangkan waktu memberikan

(15)

xiv

kemajuan penulisan disertasi. Dr. Ir. Bintang. C.H. Simangunsong, sebagai

pembimbing yang senantiasa selalu membimbing penulis dalam memecahkan

persoalan pengolahan data dan mendiskusikan masalah ekonomi kehutanan, terlebih

beliau menyediakan banyak waktunya dan ruang kerja beliau kepada penulis untuk

membimbing menjawab berbagai kesulitan penyelesaian disertasi ini. Tanpa

dukungan dan bimbingan para Dosen Pembimbing mustahil disertasi ini bisa penulis

selesaikan dengan baik

Ucapan terimakasih dan penghargaan, penulis sampaikan kepada Dr. Ir. M

Parulian Hutagaol, Dr.Ir. Nunung Nuryantono yang bertindak sebagai Penguji pada

Ujian Tertutup, dan Dr. Ir. M. Firdaus sebagai pimpinan Sidang Ujian Tertutup, serta

Dr. Ir. Lukytawati yang mewakili Program Studi EPN pada Ujian Tertutup, atas kritik

dan saran perbaikannya sehingga disertasi ini menjadi lebih baik. Juga ucapan

terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Bedjo Santosa dari

Kementerian Kehutanan dan Dr. Ir. Agus Djoko Ismanto dari CIFOR sebagai penguji

luar pada Ujian Terbuka, serta Dr. Ir. M. Firdaus mewakili Rektor IPB dan Prof. Dr.

Ir. Rina Oktaviani mewakili Program Studi EPN pada Ujian Terbuka, atas segala

kritik dan saran perbaikannya sehingga disertasi ini menjadi lebih baik. Juga

terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua dosesn yang telah

mengajar penulis selama mengikuti perkuliahan pada program studi S3-EPN IPB,

sehingga penulis mampu mengikuti perkuliahan dengan baik.

Tidak lupa penulis ucapakan terimakasih dan penghargaan yang

sebesar-besarnya kepada Bapak Ir. Novindra, MS yang telah mendukung penulis baik siang

dan malam mengalahkan kesulitan penggunaan program SAS dan Bapak Usman,

diujung-ujung waktu penulisan disertasi berkesempatan memberikan masukan untuk

program pengolahan data dengan program SAS. Juga kepada Bapak Iman Santosa

dari Kementerian Kehutanan dan Bapak Budi Kristiar dari Apkindo atas dukungan

(16)

xv

seluruh staff sekretariat Program S3 EPN-IPB yang tidak bisa disebutkan satu persatu

atas dukungan administrasinya.

Secara khusus, penulis mengucapkan terimakasih kepada istri tercinta (Sissa

Aprilia) dan ketiga anak terkasih (Faiz Syahputra, Fadhil Akbar Syahputra dan Fikri

Hakim Syahputra) atas kasih dan dukungannya selama penulis menjalani menjalani

pendidikan, sehingga mengurangi waktu kebersamaan keluarga. Tanpa pengertian

dan dukungan keluarga, mustahil disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik juga adalah karena dukungan dan

dorongan dari sahabat-sahabat penulis dan banyak pihak yang tidak dapat disebutkan

satu persatu, terimakasih yang sebesar-besarnya. Pada akhirnya, apabila terdapat

kesalahan dalam penulisan disertasi ini, maka hanya penulis yang bertanggungjawab.

Kiranya Allah SWT memberikan balasan dan berkah atas kebaikan semua pihak yang

telah banyak membantu penulis.

Bogor, Januari 2012

(17)
(18)

xvii

Darussalam, dari pasangan Syahidin Hakim dan Nurmaliah (almarhumah). Penulis

beristerikan Sissa Aprillia dan memiliki tiga orang putra, Faiz Syahputra, Fadhil

Akbar Syahputra dan Fikri Hakim Syahputra.

Pendidikan menengah diselesaikan penulis di SMA Negeri 2 Banda aceh pada

tahun 1984, dan pendidikan S1, Sarjana Kehutanan, diselesaikan di Institut Pertanian

Bogor pada tahun 1990. Pada tahun 1993 mendapatkan beasiswa dari European

Union untuk program pendidikan S2 di Department of Silviculture and Ecology of the

Wageningen Agricultural University di Belanda, dan meraih gelar Master of Science

pada January tahun 1995. Pada bulan Februari tahun 2007, penulis melanjutkan studi

S3 pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian di Sekolah Pascasarjana, Institut

Pertanian Bogor di Bogor, dan selesai tahun 2012.

Penulis menjalankan karirnya dalam bidang konsultansi, yang sudah dijalaninya

selama lebih dari 20 tahun, khususnya dalam bidang sumberdaya alam, kehutanan,

lingkungan hidup, governance dan REDD, dimulai dengan the Netherlands

Tropenbos Project tahun 1990. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) tahun

1995-1998. Program USAID antara tahun 1998 sampai 2007. Bekerja untuk beberapa

kegiatan short term consultant untuk Bank Dunia antara tahun 2008 sampai tahun

2010, GEF-UNDP Program tahun 2008-2009, AUSAID/IAFCP tahun 2009 sampai

tahun 2011. Juga beberapa shorterm consultan antara lain untuk Asian Development

(19)
(20)

xix

DAFTAR TABEL ……….………..……… xxi

DAFTAR GAMBAR………..……….…… xxiii

DAFTAR LAMPIRAN………..……….. xxv

I. PENDAHULUAN……….……….. 1

1.1. Latar Belakang……… 1

1.2. Perumusan Masalah……… 4

1.3. Tujuan Penelitian………... 7

1.4. Kegunaan Penelitian………... 7

1.5. Ruang Lingkup………... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA………...………..……... 9

2.1. Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat……….. 9

2.2. Provisi Sumberdaya Hutan dan Dana Reboisasi………... 19

2.3. Dampak Kebijakan terhadap Kesejahteraan………. 24

III. METODOLOGI PENELITIAN………...……… 27

3.1. Kerangka Pemikiran………...…………... 27

3.2. Hipotesis………...…….………... 30

3.3. Model Pasar Input dan pasar Output Kayu…………... 30

3.4. Simulasi Kebijakan………... 38

3.5. Sumber dan Jenis Data…………...………... 41

IV. GAMBARAN UMUM ………...…... 43

4.1. Produksi Kayu Bulat………... 43

4.2. Industri Pengolahan Berbasis Kayu………..………….. 46

4.3. Kebijakan Pengelolaan Hutan Produksi ………... 50

4.4. Peranan Sektor Kehutanan dalam Perekonomian………... 54

(21)

xx

5.1. Pasar Input Kayu Bulat…………... 58

5.2. Pasar Output Produk Kayu Bulat….……….……….. 63

VI. DAMPAK KEBIJAKAN PROVISI SUMBERDAYA HUTAN DAN DANA REBOISASI TERHADAP KESEJAHTERAAN……… 69

6.1. Dampak PSDH dan DR Terhadap Perubahan Kesejahteraan…... 69

6.2. Dampak PSDH dan DR Terhadap Perubahan Harga………. 71

6.3. Dampak PSDH dan DR Terhadap Produksi dan Harga ………... 84

6.4. Dampak PSDH dan DR Terhadap Perubahan Kesejahteraan di Pasar Input dan Pasar Output ………... 91

VII. KESIMPULAN DAN SARAN……… 101

7.1 Kesimpulan………..……... 102

7.2 Saran………..………... 102

DAFTAR PUSTAKA………..………... 103

(22)

xxi

1. Elastisitas Demand Jangka Panjang Hasil Hutan ………..…... 14

2. Jatah Produksi Tahunan Kayu Bulat Nasional Tahun 2005-2010…………. 15

3. Ekspektasi Tanda Parameter………... 37

4. Kontribusi Sub-Sektor Kehutanan Terhadap Produk Domestik Bruto

Atas Dasar Harga Berlaku Selama 13 Tahun Terakhir……….…... 56

5. Nilai Dugaan Parameter Pasar Input dan Pasar Output Kayu ………... 57

6. Dampak Skenario Kebijakan PSDH dan DR terhadap Perubahan

Kesejahteraan………. 80 7. Dampak Kebijakan PSDH dan DR terhadap Harga Kayu Bulat dan Kayu

Olahan ……….……….. 75

8. Dampak Skenario Kebijakan dan DR terhadap Perubahan harga di Pasar

Input dan Pasar Output………... 80

9. Perubahan Kesejahteraan di Pasar Input……… 81

10. Perubahan Kesejahteraan di Pasar Output….………. 90

(23)
(24)

xxiii

1. Produksi Kayu Bulat Indonesia Tahun 1991-2009.………... 16

2. Penerapan Pajak………...………... 20

3. Keterkaitan Pasar Kayu Bulat dengan Hasil Olahan Industri Kayu Primer... 40

4. Produksi Kayu Bulat HPH……….………... 41

5. Produksi Kayu Bulat Non HPH………..……….. 42

6. Perkembangan Industri Pulp Indonesia Periode Tahun 2000-2009…………. 46

(25)
(26)

xxv

1. Data Penelitian ………... 101

2. Program RATS untuk Estimasi Parameter ……….. 103

3. Ringkasan Hasil Pengolahan Estimasi Parameter Menggunakan RATS ... 113

(27)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam tiga dasawarsa terakhir sektor kehutanan memberikan kontribusi

penting bagi perekonomian Indonesia. Selama periode tahun 1980-2005

penerimaan dari sektor kehutanan cukup berfluktuasi, dan mencapai puncaknya

pada tahun 1997, sebesar US$ 6.24 milyar. Penerimaan dari sektor kehutanan

antara lain berasal dari Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH), Dana Reboisasi

(DJR/DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH/IHH). Penerimaan ini

dikelompokan dalam penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Realisasi

Penerimaan dari PSDH dan DR hingga semester I tahun 2009 mencapai Rp 1.1

triliun atau 40 persen dari target tahun yang sama1, atau sebesar Rp 2.1 triliun

pada tahun 2010 (Kementerian Kehutanan, 2011). Penerimaan negara bukan pajak

dari sektor kehutanan pada tahun 2010 mencapai Rp 3.1 triliun, dimana dari

sektor PSDH dan DR memberikan kontribusi sebesar Rp 2.5 triliun. Penerimaan

negara dari sektor kehutanan, khususnya atas dasar penerimaan dari produksi kayu

yang dihitung dari Dana Reboisasi sangat berfluktuatif, dari tahun 2006 ke tahun

2007 mengalami penurunan, dari sebesar Rp 1.7 triliun menjadi Rp 1.3 triliun,

kemudian kenaikan lagi menjadi Rp 1. 6 triliun, Rp 1.5 triliun dan Rp 1.7 triliun

pada tahun 2008, 2009 dan 2010. Sedangkan penerimaan dari Provisi Sumberdaya

Hutan relatif mengalami kenaikan dari tahun 2008 sampai 2010, berturut-turut

1

(28)

sebesar Rp 0.62 triliun, Rp 0.67 triliun dan Rp 0.8 triliun (Kementerian

Kehutanan, 2011)

PSDH dikenakan kepada pemegang izin sebagai pengganti nilai instrinsik

hasil hutan yang dipungut dari hutan negara. Kayu bulat yang dikenakan PSDH

mencakup kayu bulat yang berasal dari hutan alam dan hutan tanaman. Besarnya

PSDH yang harus dibayar sebesar tarif, 10 persen dikalikan harga patokan dan

dikalikan dengan jumlah hasil hutan kayu dari Laporan Hasil Produksi (LHP)

kayu bulat. LHP merupakan laporan dari ketersediaan stok sesungguhnya di hutan

(standing stock) yang siap untuk ditebang.

Dana Reboisasi (DR) adalah dana yang dipungut dari kegiatan eksploitasi

hutan, digunakan untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan

pendukungnya. DR dikenakan kepada pemegang izin usaha pemanfaatan hasil

hutan kayu pada hutan alam, hasil penebangan (land clearing) areal hutan alam,

hutan tanaman yang dibiayai negara, dari hasil sitaan, dari penjualan tegakan dan

dari hutan desa. Besarnya DR yang dibayarkan oleh perusahaan dihitung atas

dasar volume kayu yang diproduksi dikalikan dengan kewajiban yang harus

dikeluarkan oleh perusahaan per satuan volume kayu (m3) berdasarkan LHP.

Besarnya DR ditetapka antara US$ 13-16 per m3 untuk kelompok kayu jenis

meranti dan US$ 10.5-13 per m3 untuk kelompok kayu jenis rimba campuran,

tergantung wilayah perusahaan beroperasi. Pembayaran DR oleh perusahaan tidak

dimaksudkan bahwa perusahaan bisa melepaskan kewajiban pemegang izin hak

pengusahaan hutan untuk memelihara hutan dan melakukan regenerasi hutan.

USAID dan Bank Dunia mencatat masih intensifnya produksi kayu bulat

(29)

pemerintah telah menyebabkan industri perkayuan tumbuh cepat dan mengalami

perubahan struktur selama periode tahun 1980-2005, peningkatan defisit bahan

baku industri kayu gergajian dan kayu lapis (serta veneer) sejak tahun 1997,

sementara kapasitas terpasang industri pulp terus meningkat. Persoalan

kesenjangan penawaran dan permintaan kayu bulat merupakan persoalan jangka

panjang keberlanjutan industri pengolahan kayu (Simangunsong, et al., 2007).

Produksi kayu bulat yang berasal dari hutan alam pada tahun 2009

berjumlah kurang dari 5 juta m3 per tahun, dan dari hutan tanaman berjumlah 22

juta m3 pada tahun 2008 serta 18 juta m3 pada tahun 2009 (Kementerian

Kehutanan, 2010). Apabila dibandingkan dengan produksi kayu bulat dari hutan

alam periode tahun 1997-2000, lebih dari 10 juta m3 per tahun. Produksi kayu

bulat dari Hutan Tanaman Industri (HTI) meningkat dari 600 000 m3 pada Tahun

1997 menjadi 11 juta m3 pada tahun 2006. Konsumsi kayu oleh industri perkayuan meningkat tajam dari 11.7 juta m3 pada tahun 1980 menjadi 24.1 juta m3 pada tahun 1985, puncaknya 52.7 juta m3 pada tahun 2003, dan menurun

dengan tajam menjadi 44.5 juta m3 pada tahun 2005. Produksi total kayu bulat pada tahun 2005 adalah 24.22 juta m3 yang berasal dari hutan alam sebesar 5.72 juta m3 dan hutan tanaman industri sebesar 12.82 juta m3 disamping sumber

lainnya seperti dari hutan tanaman Perum Perhutani. Selisih dari kayu bulat yang dikonsumsi oleh industri kayu olahan dengan produksi kayu bulat resmi sering

dipertanyakan, bahkan dianggap sebagai kayu bulat illegal (Simangunsong, et al.,

2007). Menurut FAO produksi rata-rata kayu bulat Indonesia tahun 1995 sampai

dengan 2009 masih mencapai lebih dari 30 juta m3 (Food Agriculture

(30)

membandingkan data dari Kementerian Kehutanan dengan data yang dikeluarkan

oleh FAO.

Indonesia menjadi salah satu negara penghasil terbesar pulp dunia, bersama

Cina dan Brazil. Industri pulp Indonesia berada dalam kapasitas pemanfaatan

yang sangat tinggi, dengan rata-rata pemanfaatan install capacity lebih dari 80

persen. Berdasarkan data dari Simangunsong et al., (2007) dalam Road Map

Revitalisasi Kehutanan Indonesia, terdapat 10 pabrik pulp dan kertas yang

terintegrasi dan 3 pabrik pulp tidak terintegrasi dengan total kapasitas terpasang 6.45 juta Adt (airdried ton) pada tahun 2005, dan 86% dari kapasitas terpasang tersebut berlokasi di Sumatera.

Berbeda dengan industri pulp, 90 persen anggota Indonesia Sawmill and Woodworking (ISWA) adalah perusahaan kecil menengah dan tidak mempunyai

HPH, dari yang terdaftar sekitar 1 600 perusahaan dan berorientasi ekspor, dari tahun ke tahun mulai menurun menjadi 600an perusahaan saja pada tahun 2006. Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO) mencatat jumlah anggotanya per

Oktober 2006 ada 130 perusahaan, namun yang aktif hanya berjumlah 68

perusahaan dengan kapasitas produksi 6.1 juta m3/tahun dimana hanya 19 unit

yang berproduksi normal (1.54 juta m3/tahun). Sedangkan produksi kayu lapis pada tahun 2009 sebesar 3 juta m3 dan produksi kayu gergaji pada tahun yang

sama mencapai 0.7 juta m3 (Kementerian Kehutanan, 2010).

1.2. Perumusan Masalah

Sinaga (1989) menyebutkan intervensi kebijakan larangan ekspor kayu bulat

(31)

produksi kayu bulat dan penurunan harga kayu bulat domestik. Rusli (1999)

menyebutkan ada keterkaitan penerapan kebijakan konservasi di Indonesia dengan

pasar kayu lapis, dimana kebijakan konservasi akan terkait dengan pengurangan

Jatah Penebangan Tahunan (Annual Allowable Cut/AAC) kayu bulat, yang

mempengaruhi produksi industri kayu lapis. Di Barat Laut Pacific Amerika

Serikat, peraturan konservasi berdampak kepada penurunan produksi kayu (Wear

dan Park, 1994). Karena kualitas hutan semakin menurun, maka ketersediaan

bahan baku kayu bulat terus menurun. Apabila memberlakukan kebijakan

pembatasan produksi, maka akan mengakibatkan penawaran menurun, dibatasi

oleh jumlah produksi yang lebih kecil dari sebelumnya, dengan jumlah

permintaan yang konstan, akan terjadi kenaikan harga per satuan volume. Dengan

keseimbangan baru ini, akan terjadi penurunan tingkat kesejahteraan produsen dan

konsumen (Pindyck, 2005).

Penurunan ketersediaan sumber bahan baku kayu bulat merupakan masalah

besar yang dihadapi industri pengolahan kayu. Kebijakan pembatasan produksi

kayu bulat bisa menjadi kebijakan konservasi yang dapat digunakan untuk

mengurangi tekanan terhadap hutan alam.

Dampak penerapan instrumen pajak per unit, dapat dilihat melalui

perbedaan pajak yang dibayar oleh konsumen dan yang dibayar oleh produsen

(Nicholson, 2000). Besarnya kehilangan penerimaan produsen dan konsumen

akibat kebijakan pajak akan menjadi bagian penerimaan pemerintah. Beberapa

hasil penelitian terkait menunjukkan bahwa kebijakan pajak akan mempengaruhi

(32)

royalti dan dana yang menjadi kewajiban dan yang harus dibayarkan oleh

perusahaan kepada pemerintah.

Evaluasi dampak kebijakan terhadap kesejahteraan dapat dilakukan dengan

melakukan analisis kesejahteraan. Nicholson (2000) menyebutkan bahwa

kesejahteraan akan maksimum pada keseimbangan pasar kompetisi (competitive

market equilibrium). Just et al. (1982) menyebutkan bahwa surplus konsumen

sering digunakan untuk mengukur kesejahteraan konsumen, dan surplus produsen

adalah paling umum digunakan untuk mengukur kesejahteraan produsen.

Pengelola hutan alam dan hutan tanaman merupakan produsen penghasil

kayu bulat penyedia kebutuhan bahan baku utama industri pengolahan kayu

primer. Kegiatan eksploitasi kayu bulat yang bearasal dari hutan alam pada masa

lalu sangat tinggi, dimana penebangan kayu bulat dari hutan alam jauh melebihi

dari kemampuan produksi secara lestari. Tingkat eksploitasi kayu bulat atas dasar

kebutuhan bahan baku industri perkayuan belum dapat didukung oleh percepatan

riap pertumbuhan kayu.

Kondisi sumber bahan baku yang semakin menurun menjadikan

ketergantungan industri kayu terhadap sumberbahan baku semakin tinggi. Namun

disisi lain kebutuhan untuk memenuhi kapasitas industri perkayuan semakin

tinggi, khususnya industri pulp yang akhir-akhir ini semakin meningkat, bertolak

belakang dengan industri kayu lapis dan kayu gergaji yang produksi kayu

olahannya semakin menurun.

Bagaimanapun situasi perkayuan saat ini, perusahaan penyedia bahan baku

kayu bulat diwajibkan untuk membayar PSDH dan DR, dan disetor ke kas negara.

(33)

1. Bagaimana ketersediaan kayu bulat dapat mendukung keberlangsungan

industri pengolahan kayu primer?

2. Bagaimana implikasi penerapan kebijakan PSDH dan DR terhadap

kesejahteraan produsen, konsumen?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini

adalah:

1. Menganalis model penawaran dan permintaan kayu bulat melalui estimasi

elastisitas penawaran dan permintaan pada pasar input kayu bulat dan pasar

output produk primer kayu olahan.

2. Menganalisis dampak kebijakan PSDH dan DR terhadap produksi, dan harga

kayu bulat serta kayu olahan.

3. Menganalisi berbagai skenario kebijakan PSDH dan DR dan dampaknya

terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen.

1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memberikan tambahan

informasi mengenai elastisitas penawaran dan permintaan penelitian terkait yang

sudah pernah dilakukan, khususnya untuk mendapatkan gambaran model

penawaran dan permintaan kayu bulat di Indonesia. Selain itu diharapkan juga

dapat digunakan untuk mengetahui dampak penerapan berbagai kebijakan sektor

kehutanan, termasuk penerapan kebijakan PSDH dan DR terhadap kesejahteraan,

(34)

Penelitian diharapkan juga dapat digunakan untuk mencari alternatif

kebijakan melalui berbagai pilihan skenario kebijakan yang diterapkan, dan bisa

digunakan sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam penyusunan kebijakan

sektor kehutanan agar dapat mendorong industri perkayuan bisa bersaing di pasar

dunia dengan cara memperkuat pondasi pengelolaan kehutanan di dalam negeri,

serta bisa bermanfaat bagi perusahaan untuk penyusunan perencanaan bisnis

perusahaan yang lebih baik.

1.5. Ruang Lingkup

Industri kayu primer yaitu industri kayu lapis, industri kayu gergaji dan

industri pulp membutuhkan kayu bulat sebagai bahan baku utama. Kayu bulat

diperoleh dari hutan alam dan hutan tanaman. Beberapa faktor yang

mempengaruhi perusahaan dalam menyediaan kayu bulat antara lain sumber

bahan baku di hutan (tegakan hutan), tingkat harga kayu bulat di pasaran dan

kemampuan finansial perusahaan. Kewajiban perusahaan membayar royalti PSDH

dan DR merupakan bagian penerimaan negara bukan pajak yang ikut

mempengaruhi harga kayu bulat.

Ruang lingkup penelitian adalah secara nasional meliputi penelitian sumber

bahan baku dari hutan alam dan Hutan Tanaman Industri (HTI). HTI terdiri dari

HTI perkakas dan HTI pulp. Produk kayu olahan industri primer meliputi kayu

lapis, kayu gergaji dan pulp. Penelitian ini tidak mencakup mengenai penerapan

kebijakan Jatah Produksi Tahunan (JPT) yang diberikan oleh pemerintah kepada

perusahaan pengelola kayu bulat (HPH) dan tidak mencakup mengenai penerapan

(35)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat

Kurva penawaran adalah hubungan antara jumlah barang yang perusahaan

bersedia menjual dengan harga barang tersebut (Pindyck dan Rubinfeld, 2005).

Konsep penawaran digunakan untuk menunjukan keinginan para penjual di suatu

pasar. Kurva Penawaran memiliki kemiringan positif karena biaya marginal akan

meningkat apabila kuantitas meningkat (Nicholson, 2000).

Kurva penawaran menunjukan hubungan antara kuantitas suatu barang yang

ditawarkan pada berbagai tingkat harga, ceterus paribus (Arsyad, 1999).

Berdasarkan ragam dari fungsi permintaan, untuk pemanfaatan utility

maximization problem, dikenal individual demand function: permintaan kuantitas

sebagai fungsi dari harga (the ordinary demand curve), dan permintaan kuantitas

sebagai fungsi dari pendapatan (the Engle Curve), permintaan kuantitas fungsi

dari harga dan barang lain (the cross-price demand function) (Binger dan

Hoffman, 1988).

Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2005), faktor diluar harga yang

mempengaruhi penawaran yaitu biaya produksi yang terdiri dari faktor tenaga

kerja (labor), modal (capital) dan bahan baku (raw material).

Sedangkan kurva permintaan adalah hubungan antara jumlah barang yang

konsumen bersedia membeli dengan harga barang tersebut (Pindyck dan

Rubinfeld, 2005). Faktor di luar harga yang mempengaruhi permintaan adalah

pendapatan (income), selera (consumer tastes) dan harga barang lain (related

(36)

(Pindyck dan Rubinfeld, 2005). Kurva permintaan memiliki kemiringan negatif

karena nilai marginalnya turun apabila kuantitasnya meningkat (Nicholson, 2000).

Model ekonomi yang paling umum digunakan yaitu model

penawaran-permintaan, yang menggambarkan bagaimana harga berperan dalam biaya

produksi dan keinginan pembeli untuk membayar pada tingkat biaya tersebut

(Nicholson, 2000). Model penawaran-permintaan dapat digunakan untuk

menganalisis dampak dari berbagai bentuk kebijakan yang ditetapkan pemerintah,

termasuk digunakan untuk menganalisis bagaimana kebijakan pajak

mempengaruhi konsumen dan produsen. Karakteristik keseimbangan pasar

apabila kuantitas permintaan sama dengan kuantitas penawaran (QD = QS), tidak

terjadi kelebihan penawaran (no excess supply) atau kekurangan (no shortage)dan tidak ada tekanan terhadap harga untuk berubah (no pressure on the price to

change) (Pindyck dan Rubinfeld, 2005).

Konsep permintaan digunakan untuk menunjukkan keinginan-keinginan

seorang pembeli pada suatu pasar. Fungsi permintaan menunjukan hubungan

antara kuantitas suatu barang yang diminta dengan semua faktor yang

mempengaruhinya. Harga, pendapatan, selera dan harapan-harapan untuk masa

datang merupakan variabel-variabel penting dalam fungsi permintaan. Para

pembeli dianggap akan membeli barang dalam jumlah yang dapat

memaksimumkan kepuasan mereka (Arsyad, 1999). Hubungan antara harga dan

kuantitas yang diminta adalah berbanding terbalik. Jika harga naik, kuantitas yang

diminta turun. Hubungan ini disebut “hukum permintaan” (Arsyad, 1999).

Model penawaran-permintaan adalah model yang menggambarkan

(37)

membeli barang tersebut dan perusahaan-perusahaan yang menjualnya

(Nicholson, 2000). Beberapa hasil penelitan menyebutkan intervensi kebijakan

yang dilakukan pemerintah akan berpengaruh terhadap penawaran dan permintaan

kayu bulat.

Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2005), elastisitas adalah persentase

perubahan satu variabel yang menghasilkan perubahan satu persen kenaikan pada

variabel lainnya. Elastisitas permintaan adalah persentase perubahan kuantitas

permintaan dari produk akibat kenaikan satu persen harga. Sedangkan elastisitas

penawaran adalah persentase perubahan kuantitas penawaran akibat kenaikan satu

persen harga. Nicholson (2000) menyebutkan bahwa pada kurva yang memiliki

elastisitas permintaan kurang dari -1 bersifat elastis, dan yang memiliki elastisitas

permintaan sama dengan -1 bersifat unit elastis, serta yang memiliki elastisitas

permintaan lebih dari -1 bersifat inelastis. Untuk kurva yang elastis, perubahan

harga sepanjang kurva akan mempengaruhi terjadinya perubahan kuantitas

permintaan produk secara nyata (significant). Pada kasus inelastis, adanya

perubahan harga akan sangat kecil pengaruhnya terhadap kuantitas permintaan.

Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2005), elastisitas penawaran tergantung kepada

suku bunga, upah, harga bahan baku, dan bahan lainnya (intermediate goods)

yang digunakan untuk menghasilkan produk. Kenaikan biaya input akan

menyebabkan meningkatkanya biaya perusahaan.

Apabila elastisitas permintaan bersifat elastis, maka konsumen akan

membeli sebanyak mungkin yang bisa didapatkan pada harga keseimbangan,

tetapi akan menguranginya apabila harga produk naik dan meningkatkan

(38)

Sebaliknya apabila harga bersefat inelastis, maka diperlukan kenaikan harga yang

cukup tinggi untuk untuk membuat konsumen mengurangi permintaan dan pindah

ke barang substitusi Menurut McGuyan dan Moyer (1986) faktor yang

mempengaruhi permintaan yaitu ketahanan penggunaan barang, derived

permintaan, sebagai bahan baku produk lain dan (3) Nilai tukar. Harga produk

yang memiliki barang substitusi lebih elastis. Produk tahan lama (durable) bersifat

elastis, dan yang memiliki porsi terbesar anggaran (budget) lebih elastis. Beberapa

nilai elastisitas permintaan jangka panjang dari beberapa komoditi hasil hutan

dapat di lihat pada Tabel 1.

Dengan menggunakan data deret waktu (timeseries) 1967-1982, Sinaga

(1989) membangun model ekonometrika industri produk kayu olahan dengan

menggunakan berbagai simulasi yang menjelaskan hubungan penawaran,

permintaan dan harga, menunjukan adanya pengaruh kebijakan intervensi

pemerintah di setiap sub-sektor industri kayu Indonesia. Berdasarkan penelitian

yang dilakukan disebutkan bahwa penerapan kebijakan larangan ekspor kayu

bulat akan mengakibatkan terjadinya penurunan produksi dan turunnya harga

kayu bulat domestik.

Berdasarkan hasil penelitian Simangunsong (2001) terhadap model

permintaan internasional berdasarkan data yang diambil dari 64 negara (data

tahun 1973 sampai tahun 1997) terhadap tujuh kelompok hasil hutan, dimana

persamaan penawaran diturunkan dari model harga internasional 18 negara (data

tahun 1975 sampai tahun 1995), serta dilakukan ujicoba permintaan dinamis dan

permintaan statis serta persamaan harga, maka secara umum model statis yang

(39)

sangat cocok untuk menduga model permintaan dan penawaran. Juga disebutkan

bahwa terdapat kecenderungan elastisitas yang sama di semua negara.

Berdasarkan penelitian ini ditemukan bahwa untuk permintaan hasil hutan akan

memiliki harga yang inelastis.

Berkaitan dengan perkembangan penawaran kayu bulat, saat ini tidak ada

data yang berkaitan dengan luas efektif areal tebang di dalam wilayah kerja HPH.

Namun berdasarkan asumsi bahwa satu hektar hutan produksi menghasilkan

rata-rata sebanyak 40 m3 (Timotius, 2000), maka luas areal tebang akan sangat

ditentukan oleh volume kayu yang dikeluarkan dan sangat ditentukan oleh

perubahan harga kayu bulat yang berlaku di pasaran.

Sejalan dengan semakin berkurangnya tutupan hutan, termasuk semakin

turunnya kualitas hutan produksi, maka jumlah HPH dan produksi kayu bulat dari

tahun ke tahun semakin menurun. Untuk melaksanakan praktik penebangan yang

lebih baik, maka pemerintah melakukan pengendalian produksi kayu bulat.

Praktik pengendalian produksi kayu bulat hutan alam yang dilakukan pemerintah

melalui sistem pengaturan RKT selama ini dianggap tidak efektif (masih

mengalami kebocoran), terbukti masih banyaknya produksi kayu ilegal di pasar

dalam negeri maupun ekspor (Astana, Sabarudi dan Muttaqin, 2003). Pada

Gambar 1, berdasarkan sumber data yang dari Departemen Kehutanan dan dari

Food Agriculture Organizatio (FAO) dapat dilihat bahwa perkembangan produksi

kayu bulat dari waktu ke waktu terus mengalami penurunan. Hal ini juga sejalan

dengan keberadaan kualitas tutupan (forest cover) hutan alam yang semakin

menurun serta jumlah perusahaan HPH yang melakukan kegiatan di kawasan

(40)

Tabel 1. Elastisitas Permintaan Jangka Panjang Hasil Hutan

1) Biongiono (1978). 43 countries. 1963-1973. a) hingh income. B) low income.

2) Biongiono (1979). 43 countries. 1963-1973.

3) Wibe (1984), 103 countries, 1970-1979.

4) Uutela (1987), 40 countries, 1965-1980.

5) Biongiono and Chang (1986). 10 OECD countries. 1961-1981, within-country estimates.

6) Baudin and Lundberg (1987), major consuming countries, 1961-1981.

7) Prestemon and Buongiono (1993), 24 countries, 1968-1988.

8) Brooks et al (1995), 8 countries, 1964-1991, a) high income, b) low income.

9) Ches-Amil and Buongiono (2000), 14 EU countries, 1969-1992

10) Simangunsong and Buongiono (2001), 62 countries, 1973-1997

(41)

NO PROVINSI TAHUN

Tabel 2. Jatah Produksi Tahunan Kayu Bulat Nasional Tahun 2005-2010

(42)

Penelitian mengenai peraturan dilakukan di Barat Laut Pacific Amerika

Serikat, berkaitan dengan undang-undang species langka (endanger species) untuk

melindungi sejenis burung hantu (Strix occidentalis caurina) dari kepunahan.

Peraturan konservasi berdampak kepada penurunan produksi kayu dari wilayah

penghasil sepertiga kayu softwood di Amerika Serikat. Dengan turunnya produksi

kayu bulat di wilayah tersebut kemudian berdampak kepada keberlanjutan industri

perkayuan dan penyerapan tenaga kerja (Wear dan Park, 1994).

Sumber: * Departemen Kehutanan, 2003 dan Kementerian Kehutanan, 2011 ** FAO, 2011

Gambar 1. Produksi Kayu Bulat Indonesia Tahun 1995-2009

Dari sisi permintaan, Sinaga (1989) menyebutkan bahwa permintaan kayu

bulat dalam negeri tergatung kepada harga yang berlaku di pasaran dan harga

yang yang berlaku untuk barang substitusinya. Menurut Wan (2009), industry

pengolahan kayu di China sangat tergantung kepada penawaran bahan baku yang

berasal dari impor. Kayu lapis adalah produk kayu olahan yang penting di China,

dan China adalah salah satu negara pengekspor plywood, meskipun tergantung

(43)

kepada bahan baku dari impor. Walaupun pemerintah secara intensif melakukan

program hutan tanaman, tetapi kebutuhan produksi kayu bulat domestik masih

jauh dari mencukupi.

Samad, et al. (2009) mengemukakan bahwa permintaan kayu bulat dunia

akan meningkat sejalan dengan peningkatan populasi dan peningkatan

pembangunan ekonomi khsusunya di negara-negara berkembang. Dengan alasan

tersebut Malaysia kemudian melakukan komitmen pengellaan hutan lestari,

diantaranya melaksanakan penebangan hutan dengan metoda “reduce impact

logging”. Hal ini mengakibatkan berkurangnya penawaran kayu bulat untuk

industri hilir perkayuan. Malaysia Barat telah mengalami defisit kayu bulat sejak

tahun 1995 berdampak kepada produk utama perkayuan, berpindah dari yang

tadinya surplus menjadi defisit kayu bulat. Dari hasil penelitian perilakuk pasar

kayu bulat di Malaysia Barat berkaitan dengan kebijakan pengelolaan hutan

lestari, menunjukan bahwa pelaksanaan sepenuhnya (full adoption) kebijakan

pengelolaan hutan lestari akan menyebabkan pengurangan penawaran kayu bulat,

yang berlanjut kepada peningkatan harga dalam jangka panjang, namun tidak

berpengaruh kepada permintaan. Kemungkinan kebijakan ini akan mempengaruhi

skema pembangunan hutan tanaman untuk mendukung kelestarian kehutanan di

Malaysia Barat.

Hasil kajian yang diakukan oleh Prahasto dan Nurfatriani (2001)

menunjukkan bahwa produksi kayu bulat yang dihasilkan dari hutan alam dalam

rentang lima tahun terakhir sebelummya cenderung menurun sedangkan produksi

dari hutan tanaman dari berbagai sumber belum menunjukkan kenaikan yang

(44)

Indonesia, alternatif yang mungkin dapat dilakukan dengan pengurangan kapasitas

industri pengolahan kayu, khususnya mengurangi jumlah industri yang dianggap

tidak efisien. Solusi lain yang dapat ditempuh adalah mempercepat pembangunan

hutan tanaman industri (HTI) atau hutan tanaman sejenis seperti hutan tanaman

rakyat (HTR).

Selain untuk pemenuhan bahan baku industri kayu lapis dan kayu gergaji,

produksi kayu bulat Indonesia juga dibutuhkan untuk bahan baku industri pulp.

Perkembangan industri pulp Indonesia selain memiliki peluang pengembangan

yang cukup baik, juga dihadapkan kepada beberapa kendala, diantaranya

persoalan bahan baku, dimana 93 persen kertas dunia berasal dari bahan baku

kayu (Situmorang, 2009).

Upaya untuk melakukan konservasi di Finland akan meningkatkan harga

bahan baku kayu bulat yang juga akan meningkatkan biaya produksi industri

perkayuan. Hal ini telah menyebabkan produksi kayu gergaji turun, tetapi tidak

akan mempengaruhi produksi kertas dan paperboard. Apabila konservasi

meningkatkan impor kayu bulat maka pengaruh terhadap bahan baku terhadap

industri kehutanan menjadi sangat kecil (Hänninen, et al., 2007)

Penelitian dampak kebijakan konservasi di Norwegia yang dilakukan

menggunakan partial equilibrium model untuk sektor kehutanan terhadap harga

kayu bulat dan hasil olahan, menunjukan bahwa harga kayu bulat akan meningkat

rata-rata dengan peningkatan upaya konservasi secara lokal. Dampak terhadap

harga kayu bulat akan menjadi sangat terasa apabila mitra dagang Norwegia juga

melakukan kebijakan konservasi. Apabila pemilik hutan sukarela juga melakukan

(45)

gergaji domestik diproyeksikan akan berkurang, sementara produksi pulp dan

kertas hampir tidak terpengaruh dalam jangka pendek (short run). Akhirnya

kenaikan permintaan hasil hutan untuk kepentingan lingkungan (environment

good will) akan meningkatkan harga kayu bulat dan intensitas penebangan tidak

berpengaruh terhadap luas kawasan hutan (Bolkesjø et al., 2005)

2.2. Provisi Sumberdaya Hutan dan Dana Reboisasi

Varian (1987) menyebutkan bahwa kebijakan ekonomi seperti pajak sering

mempengaruhi anggaran konsumen yang terbatas. Secara teoritis, instrumen pajak

ini akan mempengaruhi perubahan kemiringan (slope) garis anggaran (budget

line) dengan merubah harga yang diterima oleh konsumen.

Nicholson (2000) menjelaskan bahwa untuk mengetahui dampak dari pajak

per unit , perlu dilihat perbedaan pajak yang dibayar oleh pembeli dan pajak yang

dibayar oleh penjual. Pajak per unit merupakan juga besaran harga yang

dibebankan kepada konsumen harga dan produsen. Namun kehilangan yang

mestinya diterima oleh konsumen dan produsen akan menjadi penerimaan bagi

pemerintah.

Penerapan pajak akan membuat harga komoditi meningkat sehingga produsen

akan mengurangi penawaran kayu bulat ke pasar. Dengan penerapan pajak maka

akan terjadi harga keseimbangan baru, dimana harga yang diterima oleh konsumen

adalah sebesar P2, dan harga yang diterima oleh produsen adalah sebesar P3. Provisi

Sumberdaya Hutan (PSDH) atau Resources Royalty Provision adalah pungutan

(46)

hutan negara. Dan DR adalah pungutan yang dibebankan terhadap kayu bulat

hutan alam.

Sumber: Pindyck, 2005 (diolah) Gambar 2. Penerapan Pajak

Iuran Hasil Hutan di Indonesia pertama kali dipungut tahun 1968,

berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1969 tentang Iuran HPH

(IHPH) dan Iuran Hasil Hutan (IHH), Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor

2/1/1968 Tahun 1968 tentang Penetapan Besarnya Jumlah IHPH dan IHH, dan

pada waktu itu IHH sudah mencakup pembayaran PBB. Pada tahun 1998

kemudian menggunakan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun

1998 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Bukan Pajak yang berlaku pada

Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Besarnya ditetapkan sama sebesar 6

persen dari harga untuk seluruh jenis dan seluruh wilayah. Pada tahun 1999 dasar

hukum yang digunakan adalah Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan

(47)

satuan Hasil Hutan Kayu. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 1999 tentang

Perubahan PP No 59 tahun 1998 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara

Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 06/Kep/I/1999 tentang

Penetapan Harga Patokan untuk Perhitungan PSDH, yang kemudian diperbarui

dengan keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor

814/MPP/Kep/12/2002. Besarnya PSDH adalah 10 persen dari harga patokan

(Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, 2005). Peraturan Pemerintah Nomor 52

Tahun 1998 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997

tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP),

mengelompokan PSDH dalam penerimaan negara bukan pajak.

Pengaruh penerapan kebijakan PSDH dapat didekati dengan penerapan

pajak yang menjelaskan pengaruh pajak terhadap kesejahteraan individu.

Beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan pajak, menunjukkan bahwa

kebijakan pajak akan mempengaruhi tingkat produksi kayu bulat.

Simangunsong (2001) menyebutkan bahwa model keseimbangan parsial

perdagangan internasional terhadap kayu tropis dapat digunakan untuk

mempelajari pengaruh liberalisasi perdagangan seperti penghilangan tarif

produksi, konsumsi, ekspor, dan harga serta kesejahteraan negara pengekspor.

Analisis model keseimbangan parsial untuk tujuan analisis, bahwa faktor-faktor

lain tidak berubah (Arsyad, 1999). Hasilnya menunjukkan bahwa dengan

penghapusan tarif akan meningkatkan produksi dan ekspor kayu lapis, kayu

(48)

Conrad et al. (2005) melakukan penelitian penerapan pajak yang dikenakan

pada kayu hasil produksi sistem tebang pilih pada hutan jenis campuran. Hasil

penelitian ini memberikan insentif dan dampak yang berbeda di Indonesia,

dibandingkan dengan dampaknya yang terjadi di Brazil atau Malaysia, oleh

karena itu disarankan untuk tidak memberlakukan model kebijakan pajak yang

seragam untuk semua negara atau semua jenis hutan.

Di Indonesia, koordinasi dan akuntabilitas yang kuat antara badan-badan

yang mengurus pembayaran REDD+ dan badan-badan yang mengawasi DR akan

sangat penting. Mengingat rencana Kementerian Kehutanan saat ini untuk

mengalokasikan sekitar US$ 2.2 miliar dari DR untuk membiayai pengembangan

hutan tanaman komersial melalui BLU-BPPH (Badan Layanan Umum-Badan

Pembiayaan Pembangunan Hutan) (Barr et al., 2011). Pemberian subsidi untuk

mendukung pembiayaan pembangunan hutan tanaman industry melalui pinjaman

lunak menggunakan dana DR melalui BLU-BPPH sebagaimana sedang

direncanakan pemerintah sangat beresiko, terutama berkaitan dengan transparansi

penggunaan anggaran dan efektifitas penggunaan dana subsidi di lapangan

(Obidzinski dan M. Chaudhury, 2009). Dana yang berasal dari sektor kehutanan

termasuk royalty dari kegiatan eksploitasi hutan dan kesepakatan eksploitasi

sumberdaya, biaya taman nasional, termasuk dana reboisasi serta beberapa iuran

spesifik lainnya, dikelola oleh pemerintah pusat dan didistribusikan ke

daerah-daerah. Hanya saja pada praktiknya persoalan distribusi dana ini masih menjadi

persoalan, khususnya dalam hal keterbukaan porsi bagian pemerintah daerah dan

berkaitan dengan ketepatan waktu pendistribusian (Larson, 2004). Hal yang sama

(49)

keuangan dari royalty sektor kehutanan merupakan persoalan yang sensitif,

dimana masalah persoalan distribusi manfaat adalah persoalan yang utama. Dari

hasil penelitian yang dilakukan oleh Oyono et al.(2005) tersebut diusulkan untuk

membagikan royalty secara adil dan langsung ke masyarakat. Menurut Alemagi,

(2011), berdasarkan undang-undang di Kamerun, iuran (royalty) yang dipungut

dari perusahaan digunakan bagi pembangunan masyarakat, dimana 50%

dialokasikan untuk Negara, 40% untuk wilayah dimana perusahaan berada dan

10% untuk masyarakat desa tempat perusahaan tersebut beroperasi. Perusahaan

juga diharuskan membayar pajak lingkungan (ecotax) kepada masyarakat yang

nilainya US$1.5 per m3 kayu. Beberapa secara sukarela memberikan kontribusi

antara US$1.2-1.6 per m3 dari setiap kayu yang ditebang dan dijual oleh

perusahaan.

Penetapan harga dan pajak kayu bulat dari hutan alam telah menjadi isu

yang tak kunjung selesai. Dalam jangka menengah hingga jangka panjang harga

internasional berdasarkan FOB sebaiknya dijadikan acuan dalam penetapan pajak

agar industri lebih kompetitif (Dwiprabowo et al., 2003). Dana Reboisasi (DR)

adalah pungutan yang diberlakukan sejak 1989, merupakan dana hutan secara

nasional berupa retribusi berbasis volume tebangan kayu yang dibayarkan oleh

para pemegang konsesi hutan. Selama rentang waktu lebih dari 20 tahun tersebut,

DR telah menghasilkan penerimaan (nominal) sekitar US$ 5.8 milyar,

menjadikannya sumber pendapatan pemerintah terbesar dari sektor kehutanan

(Barr et al., 2010).

Penelitian yang dilakukan Ginoga et al. (2001) menyimpulkan bahwa

(50)

dibandingkan dengan perkiraan potensi apabila kebijakan tarif dan harga patokan

yang dikeluarkan oleh Pemerintah betul-betul dilakukan. Kebijakan tarif yang

selalu berubah-ubah merupakan salah satu dari beberapa kendala dalam upaya

memperoleh kepastian besarnya dan kelancaran penerimaan iuran.

2.3. Dampak Kebijakan terhadap Kesejahteraan

Kontribusi ekonomi kayu terhadap kesejahteraan sangat tergantung kepada

dukungan kebijakan pemerintah terhadap praktik eksploitasi dan industri

pengelolaan kayu. Kebijakan yang ikut berperan didalamnya termasuk kebijakan

pungutan (iuran) kayu. Penerimaan pemerintah yang berasal dari pungutan bukan

pajak termasuk izin perusahaan, Dana Reboisasi dan PSDH mencapai $682 juta

pada tahun 1997 dan kemudian menurun menjadi $303 juta pada tahun 2002

akibat adanya krisis yang berkepanjangan (World Bank, 2006). Untuk melakukan

evaluasi dampak kebijakan terhadap kesejahteraan dapat dilakukan dengan

menggunakan analisis kesejahteraan.

Bagi negara yang masih memiliki hutan yang berkualitas baik, keberadaan

industri pengolahan kayu akan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat

sekitar . Hal ini juga terjadi di Nigeria, dimana industri kayu lapis didirikan yang

di wilayah Sapele tersebut mampu menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat

di desar Sapele, Nigeria. Keberadaan industri kayu lapis tersebut kemudian

memunculkan industri hilir lainnya yang mengolah produk lanjutan dari industri

hulu tersebut (Okunomo dan Achoja, 2010).

Gambar 2 menunjukan bahwa daerah diantara kurva permintaan dan kurva

(51)

dengan menghitung tambahan nilai yang diperoleh dari transaksi pasar. Besarnya

kesejahteraan ini akan maksimum pada keseimbangan pasar persaingan sempurna

(competitive market equilibrium) (Nicholson, 2000).

Menurut Pindyck (2005), surplus konsumen adalah keuntungan total atau

nilai yang diterima konsumen atas biaya yang digunakan untuk membayar barang,

sedangkan surplus produsen adalah keuntungan total atau penerimaan yang

diterima produsen atas biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi barang

tersebut. Surplus konsumen berada di atas harga dan dibawah permintaan,

sedangkan surplus produsen berada di bawah harga dan di atas penawaran. Just et

al. (1982) menyebutkan bahwa surplus produsen terletak di atas kurva penawaran

dan di bawah garis harga dari perusahaan atau industri, sedangkan surplus

konsumen terletak dibawah kurva permintaan dan di atas garis harga.

Fungsi Produksi Cobb-Douglas adalah fungsi produksi dimana q=AKαLβ,

dimana q adalah tingkat output, K adalah kuantitas modal, dan L adalah kuantitas

tenaga kerja, dimana A, α dan β adalah konstata. Adapun surplus produsen sangat

erat kaitannya dengan keuntungan (profit). Untuk jangka pendek surplus produsen

adalah sama dengan penerimaan (R) dikurangi dengan biaya variabel (VC), yaitu

keuntungan variabel. Keuntungan total adalah penerimaan dikurangi dengan

semua biaya, yaitu biaya variabel dan biaya tetap, dimana; Surplus produsen = PS

= R – VC dan Keuntungan = π = R - VC - FC. Dalam jangka pendek apabila biaya

tetap bernilai positif, maka surplus produsen adalah lebih besar dari keuntungan

(52)
(53)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran

Hutan alam dan hutan tanaman industri adalah penawaran utama bahan baku

industri pengolahan kayu primer, yaitu industri kayu lapis, industri kayu gergaji

dan industri pulp.

Produksi kayu bulat yang berasal dari hutan alam dikelola melalui sistem

HPH dan dilakukan dengan sistem tebang pilih (selective cutting). Hutan tanaman

industri dipanen dengan sistem tebang habis, dimana jumlah produksi dari hutan

tanaman akan tergantung kepada luas areal penebangan.

Secara teoritis kuantitas penawaran kayu bulat dipengaruhi produksi kayu

bulat di dalam negeri, impor kayu bulat dan dikurangi ekspor kayu bulat.

Sedangkan produksi kayu bulat ditentukan oleh harga kayu bulat, ketersediaan

kayu bulat di hutan (stok) dan kemampuan keuangan perusahaan. Keterkaitan

pasar kayu bulat dan industri kayu primer dapat dilihat pada Gambar 3.

Beberapa metodologi untuk penelitian terkait dengan industri kehutanan

sudah dikembangkan oleh beberapa peneliti terdahulu. Menurut Timotius (2000),

produksi kayu bulat Indonesia dipengaruhi oleh perubahan harga riil kayu bulat

domestik, bunga riil Indonesia, jumlah maksimum tebangan kayu bulat dalam satu

tahun yang diperbolehkan oleh pemerintah (Annual Allowable Cut/ AAC), nilai

tukar rill rupiah terhadap US$, produksi log Indonesia tahun sebelumnya.

Turner (2006) menyebutkan bahwa pendugaan model yang digunakan

(54)

secara umum mengandung satu atau beberapa unsur, yaitu kayu bulat yang

dipanen, dinamika stok kayu, dan perubahan luas hutan.

(55)

Produksi kayu bulat di dalam negeri akan dipengaruhi oleh perubahan harga

rill produksi industri berbasis kayu bulat. Sebagai contoh, apabila harga kayu lapis

meningkat, diduga para eksportir Indonesia akan berusaha menambah penawaran

volume ekspor kayu lapis sehingga akan meningkatkan produksi kayu lapis,

sehingga kebutuhan bahan baku kayu bulat juga akan meningkat.

Sejak tahun 1969 sampai tahun 1980 an, Indonesia merupakan pengekspor

kayu bulat jenis hardwood terbesar di dunia, setelah itu produksi kayu bulat mulai

menurun karena kebijakan kuota ekspor. Tahun 1985 sampai 1988, Indonesia

tidak mengekspor kayu bulat sama sekali. Pelarangan ini dimaksudkan untuk

meningkatkan nilai tambah produk kayu melalui industri kayu lapis, kayu gergaji,

industri pulp dan kertas. Kebijakan pelarangan ekspor kayu bulat ini berimplikasi

kepada peningkatan pasokan kayu bulat untuk industri pengolahan kayu.

Adam, Brannlund, Daniels, Hyde dan Kuuluvainen dalam Turner (2006)

menyebutkan bahwa model ekonometrika menggambarkan penawaran kayu

sebagai fungsi harga kayu tegakan (stumpage price), stok hutan dan variabel lain.

Penetapan harga kayu sebelum ditebang (Stumpage price)diharapkan berdampak

positif terhadap penawaran kayu, dimana peningkatan harga akan meningkatkan

luas hutan yang dapat dimanfaatkan secara ekonomis.

Permintaan industri pengolahan kayu terhadap kayu bulat sebagai bahan

baku, diduga dipengaruhi oleh harga kayu bulat domestik, harga riil industri kayu

olahan, kapasitas produksi terpasang kayu olahan dan permintaan kayu bulat oleh

industri pengolahan kayu tahun sebelumnya. Jika harga kayu bulat domestik naik,

(56)

menurun dan sebaliknya. Apabila harga produksi olahan industri berbasis kayu

naik maka permintaan bahan baku juga akan semakin meningkat.

Penerapan PSDH dan DR akan berdampak peningkatan biaya yang

dibebankan kepada harga kayu bulat, sehingga akan menurunakan produksi kayu

bulat. Turunnya produksi kayu bulat maka akan menurunkan sumber bahan baku

bagi industri perkayuan sehingga menurunkan produksi kayu olahan di pasar

output. Penerapan kebijakan PSDH dan DR ini juga akan berpengaruh terhadap

kesejahteraan yang diterima oleh perusahaan yang memproduksi kayu bulat,

industri pengelolaan kayu yang memanfaatkan kayu bulat dan pemerintah yang

menerima kontribusi pungutan.

3.2. Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka beberapa hipotesis dari

penelitian ini, yaitu:

1. Terdapat keterkaitan antara permintaan kayu bulat indutri pengolahan kayu

lapis, kayu gergaji, dan pulp dengan penawaran kayu bulat.

2. Kebijakan PSDH dan DR akan mengurangi kesejahteraan yang diterima

produsen dan konsumen.

3.3. Model Pasar Input dan Pasar Output Kayu

Dalam penelitian ini akan dicari model pasar input kayu bulat, yaitu kayu

bulat dari hutan alam, kayu bulat dari HTI perkakas dan kayu bulat dari HTI pulp

sebagai bahan baku industri pimer dan pasar output, yaitu pasar kayu lapis, kayu

(57)

Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model pasar dalam

negeri menggunakan data time series, dikembangkan atas dasar penelitian

Simangunsong (2001) yang berjudul “ International Demand and Supply for

forest products, with application to the tropical timber products trade”di pasar

dunia, menggunakan data panel.

Model pasar input dan pasar output yang digunakan dalam penelitian ini

adalah:

Pasar Input Kayu Bulat Hutan Alam

LnQT1 = lna0+a1lnPT1+a2lnI1+a3lnGDP+e1.1………... (1)

dimana:

LnQT1 = Penawaran kayu bulat berasal dari hutan alam (m3)

Lna0 = Konstanta

LnPT1 = Harga riil kayu bulat hutan alam (Rp/m3)

LnI1 = Inventarisasi stok kayu bulat hutan alam (m3)

LnGDP = GDP Riil (Milliar Rupiah)

e1.1 = error

a1,,a3 = Parameter

LnQD1 = lnb0+b1lnQKL+b2lnQKG+b3LnPT1+e1.2……….. (2)

dimana:

LnQD1 = Permintaan kayu bulat berasal dari hutan alam (m3)

Lnb0 = Konstanta

LnQKL = Produksi kayu lapis (m3)

LnQKG = Produksi kayu gergaji (m3)

(58)

e1.2 = error

b1,.,b3 = Parameter

Keseimbangan: LnQT1 = LnQD1………...... (3) Pasar Input Kayu Bulat HTI Perkakas

LnQT2 = lnc0+c1lnPT2+c2lnI2+c3lnGDP+e2.1……... (4)

dimana:

LnQT2 = Penawaran kayu bulat berasal dari HTI perkakas (m3)

lnc0 = Konstanta

LnPT2 = Harga riil kayu bulat dari HTI perkakas (Rp/m3)

LnI2 = Inventarisasi luas HTI perkakas (Ha)

LnGDP = GDP Riil (Milliar Rupiah)

e2.1 = error

c1,.,c3 = Parameter

LnQD2 = lnd0+d1lnQKL+d2lnQKG+d3LnPT2 +e2.2…….... (5)

dimana:

lnd0 = Konstanta

LnQD2 = Permintaan kayu bulat yang berasal dari HTI perkakas (m3)

LnQKL = Produksi kayu lapis (m3)

LnQKG = Produksi kayu gergaji (m3)

LnPT2 = Harga riil kayu bulat dari HTI perkakas (Rp/m3)

e2.2 = error

d1,,d3 = Parameter

(59)

Pasar Input Kayu Bulat HTI Pulp

LnQT3 = lne0+e1lnPT3+e2lnI3+e3lnGDP+e3.1…………...... (7)

dimana:

lne0 = Konstanta

LnQT3 = Penawaran kayu bulat berasal dari HTI pulp (m3)

LnPT3 = Harga riil kayu bulat dari HTI Pulp (Rp/m3)

LnI3 = Inventarisasi luas HTI pulp (Ha)

LnGDP = GDP Riil (Milliar Rupiah)

e3.1 = error

e1,,e3 = Parameter

LnQD3 = lnf0+f1lnQP+f2LnPT3+e3.2………... (8)

dimana:

LnQD3 = Permintaan kayu bulat berasal dari HTI pulp (m3)

lnf0 = Konstanta

LnQP = Produksi pulp (ton)

LnPT3 = Harga riil kayu bulat dari HTI Pulp (Rp/m3)

e3.2 = error

f1, f2 = Parameter

Keseimbangan: LnQT3 = LnQD3………...... (9) Pasar Ouput Kayu Lapis

LnQKL = lng0+g1lntrend+g2lnPQ1+g3lnPL+

g4lnPT1+g5lnPE + e4.1………... (10)

dimana:

LnQKL = Permintaan kayu lapis (m3)

Gambar

Tabel 1. Elastisitas Permintaan Jangka Panjang Hasil Hutan
Tabel 2. Jatah Produksi Tahunan Kayu Bulat Nasional Tahun 2005-2010
Gambar 1. Produksi Kayu Bulat Indonesia Tahun 1995-2009
Gambar 2. Penerapan Pajak
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari beberapa persyaratan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, hal yang menjadi sorotan publik adalah berkaitan dengan persyaratan calon Gubernur dan calon Wakil

Simpulan : Terdapat hubungan antara Pemberian ASI Eksklusif dengan Status Gizi Balita 12-59 Bulan di Posyandu Temupoh IX Bangirejo Karangwaru Yogyakarta tahun 2015.. Saran

Kembar mayang adalah sepasang hiasan dekoratif simbolik setinggi setengah sampai satu badan manusia yang dilibatkan dalam upacara perkawinan adat Jawa, khususnya sejak

Peserta diberikan pelatihan pemahaman dan pengetahuan pengelolaan keuangan secara komputerisasi dan pembuatan laporan keuangan yang baik serta kiat- kiat dalam mengelola

Telah mengadakan wawancara dan mengambil data yang diperlukan untuk kelengkapan penelitian sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar M.Pd I di bidang

(5) Saksi calon dalam penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus membawa surat mandat dari calon yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada

Derajat kebugaran jasmani seseorang sangat menentukan kemampuan fisiknya dalam melaksanakan tugas-tugasnya sehari-hari. Semakin tinggi kebugaran jasmani seseorang maka

Penelitian ini dilaksanakan di sumber air panas Pariangan Kabupaten Tanah datar menggunakan metode survey kasus dan dilaksanakan dengan 3 tahap yaitu pengambilan sampel,