• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI PERBEDAAN EKSPRESI p27 ANTARA ENDOMETRIOMA DAN KARSINOMA OVARII

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STUDI PERBEDAAN EKSPRESI p27 ANTARA ENDOMETRIOMA DAN KARSINOMA OVARII"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

i

STUDI PERBEDAAN EKSPRESI p27 ANTARA ENDOMETRIOMA

DAN KARSINOMA OVARII

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magistert Program Studi Kedokteran Keluarga

Minat Utama Ilmu Biomedik

Oleh :

Edy Priyanto

S.5507002

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user

   

ii

STUDI PERBEDAAN EKSPRESI p27 ANTARA ENDOMETRIOMA

DAN KARSINOMA OVARII

Disusun Oleh:

Edy Priyanto

S.5507002

Telah disetujui oleh Pembimbing

Pada tanggal: April 2011

Dewan Pembimbing:

Jabatan Nama Tanda Tangan

Tanggal

Pembimbing I Prof. Dr. KRMT Tedjo Danoedjo

Oepomo, dr. SpOG(K) ………

NIP .19460120 197303 1 001

Pembimbing II Dyah Ratna Budiani, Dra. M.Si ……….

NIP .19670215 199403 2 001

Mengetahui

Ketua Program Studi

Magister Kedokteran Keluarga

Prof. Dr. Didik Tamtomo, dr. MM, Mkes, PAK

(3)

commit to user

   

iii

STUDI PERBEDAAN EKSPRESI p27 ANTARA ENDOMETRIOMA

DAN KARSINOMA OVARII

Disusun oleh :

Edy Priyanto

S.5507002

Telah disetujui oleh tim penguji

Pada tanggal :

Jabatan

Nama

Tanda

Tangan Tanggal

Ketua

: Prof. Dr. Didik Tamtomo, dr. MM, Mkes, PAK

...

...

Sekretaris

: Prof. Dr. Harsono Salimo, dr. SpA(K)

...

...

Anggota

: 1. Prof. Dr. Tedjo Danujo Oepomo, dr. SpOG(K) ...

...

2. Dyah Ratna Budiani, Dra, M.Si

...

...

Mengetahui

Direktur Program Pascasarjana

Ketua Program Studi Kedokteran Keluarga

(4)

commit to user

iv 

 

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, peneliti :

Nama : Edy Priyanto

NIM : S5507002

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul STUDI PERBEDAAN

EKSPREKSI p27 ANTARA ENDOMETRIOMA DAN KARSINOMA

OVARII adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam

tesis ini diberi citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya

bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya

peroleh dari tesis tersebut.

Surakarta, April 2011

Yang membuat pernyataan,

(5)

commit to user

 

KATA PENGANTAR

Assalamu‘alaikum Wr.Wb.

Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat, taufik dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan

tesis ini yang disusun untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti Program

Pascasarjana Program Studi Kedokteran Keluarga Minat Utama Ilmu Biomedik

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan rasa hormat dan

terima kasih kepada yang terhormat :

1.

Prof. Dr. Syamsulhadi, dr. SpKJ(K) selaku Rektor Universitas Sebelas Maret

Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

mengikuti program Magister di Program Pascasarjana Universitas Sebelas

Maret.

2.

Prof. Drs. Suranto, M.Sc, Ph.D selaku Direktur Program Pascasarjana

Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan kesempatan kepada

penulis untuk mengikuti program Magister di Pascasarjana Universitas

Sebelas Maret.

3.

Prof. Dr. A.A. Subijanto, dr. MS selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Sebelas Maret Surakarta

,

yang telah memberikan kesempatan

kepada penulis untuk mengikuti program

Combined Degree

Magister

Kedokteran Keluarga dan Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 Universitas

(6)

commit to user

vi 

 

4.

Prof. Dr. KRMT. Tedjo Danoedjo Oepomo, dr. SpOG(K), selaku pembimbing

I, yang telah berkenan memberikan bimbingan dan arahan dalam

menyelesaikan penelitian ini.

5.

Dyah Ratna Budiani, Dra. M.Si., selaku pembimbing II, yang senantiasa

memberikan bimbingan, arahan, semangat dan solusi dalam memecahkan

masalah yang timbul demi kesempurnaan penelitian ini.

6.

Prof. Dr. Ambar Mudigdo, dr., SpPA(K) selaku konsultan materi dan kepala

laboratorium Patologi Anatomi yang telah memberikan izin menggunakan

laboratorium untuk melakukan penelitian

7.

Prof. Dr. Didik Tamtomo, dr. MM, M.Kes, PAK dan Prof. Dr. Harsono

Salimo, dr., SpA(K) selaku Ketua Program Studi Magister Kedokteran

Keluarga dan Ketua Minat Utama Ilmu Biomedik, yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program Magister di

Pascasarjana Universitas Sebelas Maret sekaligus selaku penguji yang banyak

memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini.

8.

Putu Suriyasa, dr., MS, PKK, SpOK selaku konsultan metodologi penelitian

dan penguji proposal yang banyak memberikan masukan demi kesempurnaan

tesis ini.

9.

Rustam Sunaryo, dr., SpOG selaku Kepala Bagian Obstetri dan Ginekologi

Surakarta serta selaku Ketua Program Studi Bagian Obstetri dan Ginekologi

terdahulu Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret /Rumah Sakit dr.

(7)

commit to user

vii 

 

mengikuti program

Combined Degree

Magister Kedokteran Keluarga dan

Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 Universitas Sebelas Maret Surakarta.

10.

Seluruh staf pengajar di Program Studi Magister Kedokteran Keluarga

Pascasarjana Universitas Sebelas Maret dan Program Pendidikan Dokter

Spesialis 1 Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

11.

Keluarga penulis, kepada bapak dan ibu, Moekri Arrianto dan Sri Suwarni,

yang telah membesarkan dan mendidik saya dengan penuh kasih sayang dan

selalu memberikan dorongan dan doa kepada penulis untuk selalu berbuat

yang terbaik dalam menyelesaikan pendidikan ini.

12.

Seluruh rekan-rekan Magister Kedokteran Keluarga dan Program Pendidikan

Dokter Spesialis 1 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

mengajarkan arti ilmu, persahabatan dan kebijaksanaan.

13.

Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini yang tidak

mungkin dapat disebutkan satu persatu.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa masih

terdapat banyak kekurangan dalam tesis ini. Untuk itu penulis mohon maaf dan

mengharap kritik dan saran yang membangun sehingga dapat bermanfaat bagi ilmu

pengetahuan. Amin.

(8)

commit to user

viii

ABSTRAK

Edy Priyanto, S5507002. 2011.

Studi Perbedaan Ekspresi p27 antara Endometrioma

dan Karsinoma Ovarii.

Tesis Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Latar Belakang :

Tumor supressor gen

p27 merupakan salah satu protein yang mengatur

pertumbuhan sel berkaitan dengan ikatan

cyclin dependent kinase

, gangguan fungsi

tumor

supressor gen

ini menjelaskan sebuah teori

tumorigenesis

. Hubungan antara

endometrioma dan neoplasia ditunjukkan dengan adanya sifat-sifat kanker (

The

Hallmarks of Cancer Mechanism

) dimana salah satunya berkaitan dengan regulasi

cyclin

dependent kinase.

Tujuan :

Penelitian ini bertujuan mengetahui dan menganalisis perbedaan ekspresi p27

antara endometrioma dan karsinoma ovarii.

Metode :

Penelitian observasional analitik dengan pendekatan

cross sectional.

Pengambilan sampel dilakukan di Rumah Sakit dr. Moewardi Surakarta dan dilakukan

pengecatan imunohistokimia dan pengamatan ekspresi p27 di laboratorium Biomedik

Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

yang kemudian diuji statistik dengan uji

Mann-Whitney

.

Hasil :

Pemeriksaan imunohistokimia menunjukkan ekspresi p27 pada endometrioma

1,99% dan pada karsinoma ovarii 1,37%. Dengan sebaran data endometrioma 1,65

(0-4,8) dan 1,05 (0-8,4). Tidak didapatkan perbedaan secara bermakna ekspresi p27 antara

endometrioma dan karsinoma ovarii tipe 1 dengan tingkat signifikansi 0,063 (p > 0,05).

Kesimpulan :

Ekspresi p27 pada karsinoma ovarii lebih rendah dari pada ekspresi p27

pada endometrioma walaupun tidak didapatkan perbedaan secara bermakna,

menunjukkan adanya kesamaan aspek molekuler yang dimiliki oleh endomerioma dan

karsinoma ovarii tipe 1. Aspek molekuler yang dimiliki oleh p27 berperan dalam

cell

cycle arest.

Kondisi ini menunjukkan endometrioma masih dimungkinkan menjadi

karsinoma ovarii tipe 1.

(9)

commit to user

ix

ABSTRACT

Edy Priyanto, S5507002. 2011.

Study The Difference of p27 Expression between

Endometrioma and Ovarian Carcinoma.

Thesis : Post Graduate Program of Sebelas

Maret University.

Background :

Tumor supressor gene p27 is one of the proteins that regulate cell growth

associated with cyclin dependent kinase binding, impaired function of tumor supressor

gene explained a theory of tumorigenesis. endometrioma is one of benign gynecological

disease that nowadays most attention. The relationship between endometrioma and

neoplasia shown by the properties of cancer (The hallmarks of Cancer Mechanism) where

one of them relating to the regulation of cyclin dependent kinase.

Purpose :

This study aimed to knowing and analyzing the difference of p27 expression in

endometriomas and ovarian carcinoma.

Method :

An observational study with cross sectional analytic. Samples were taken at the

hospital dr. Moewardi Surakarta and performed immunohistochemical staining and p27

expression observed in the laboratory Biomedicine Department of Pathology Faculty of

Medicine, Sebelas Maret University of Surakarta, which is then tested statistically with

the Mann-Whitney test.

Result :

Immunohistochemical examination showed p27 expression in endometriomas

1.99% and 1.37% in ovarian carcinoma. With the spread of data endometrioma 1.65 (0 to

4.8) and 1.05 (from 0 to 8.4). There were no significant differences in p27 expression

between endometrioma and type 1 ovarian carcinoma with a significance level of 0.063

(p>0.05).

Conclusion :

p27 expression in carcinoma ovarii lower than in p27 expression in

endometriomas although we did not find significant differences, indicating a common

molecular aspect owned by endomerioma and type 1 ovarian carcinoma. Molecular

Aspects owned by p27 plays a role in cell cycle arest. This condition indicates

endometriomas is still possible to type 1 ovarian carcinoma

(10)

commit to user

 

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI... iii

PERNYATAAN... iv

KATA PENGANTAR... v

ABSTRAK... viii

ABSTRACT... ix

DAFTAR ISI……….. x

DAFTAR GAMBAR………. xiv

DAFTAR TABEL... xviii

DAFTAR GRAFIK... xix

DAFTAR SINGKATAN………... xx

DAFTAR LAMPIRAN... xxii

BAB I. PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang…..……….... 1

B. Rumusan Masalah…..………... 4

C. Tujuan Penelitian……...………....4

D. Manfaat Penelitian……..……….. 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……….. 5

A. Endometrioma…………...……….... 5

(11)

commit to user

xi 

 

2. Patogenesis………...……….. 6

3. Klasifikasi………...……… 9

4. Diagnosis………...………. 12

5. Histopatologi………...……… 14

B. Karsinoma Ovarii………...………... 16

1. Pengertian………...………… 16

2. Etiologi………...………. 16

3. Klasifikasi………...……… 20

4. Karsinogenesis………...………. 24

C. p27... 26

D. Hubungan Endometrioma dan karsinoma Ovarii Terkait dengan Ekspresi p27………... 28

E. Kerangka Teori………...…………... 39

F. Kerangka Konseptual………..……….. 40

G. Hipotesis………..………. 40

BAB III. METODE PENELITIAN………... 41

A. Jenis dan Rancangan Penelitian…...………...………… 41

1. Jenis Penelitian…....………...…….41

2. Rancangan Penelitian………... 41

B. Tempat dan Waktu Penelitian ………...…...…... 42

C. Subyek penelitian... 42

1. Besar Sampel ………...………... 42

(12)

commit to user

xii 

 

3 Populasi Penelitian. ……...………... 43

i. Kriteria Inklusi...……….………. 43

ii. Kriteria Ekkslusi………... 43

D. Variabel Penelitian………...……. 43

1. Variabel Bebas.………...… 43

2. Variabel Terikat...………...…… 43

E. Definisi Operasional………...…... 44

F. Cara Kerja ...…………...……… 44

1. Instrumentasi………...………….... 45

2. Teknik Pengambilan Jaringan………...……... 45

G. Pembacaan...………..………... 46

H. Analisis Data………...………….... 46

I. Jadwal Penelitian... 46

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 47

A. Hasil Penelitian... 47

1. Distribusi Sampel, Sebaran dan Rerata Ekspresi p2... 47

2. Hasil Uji Normalitas... 49

3. Hasil Uji Perbedaan... 49

B. Pembahasan... 51

BAB V. PENUTUP... 59

A. Kesimpulan... 59

(13)

commit to user

xiii 

 

DAFTAR PUSTAKA………...………... 60

(14)

commit to user

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Peran

tumor supressor gen

dalam siklus sel……….. 26

Gambar 2.2.

Multistep tumor progression

……….. 30

Gambar 2.3. Regulasi cyclin-CDK pada siklus sel………. 35

Gambar 2.4. Mekanisme p27 pada siklus sel………... 36

Gambar 2.5. Kerangka Teori... 39

Gambar 4.1. Ekspresi p27 positif (panah hitam) dengan pewarnaan Imunohisto-

kimia pada endometrioma (pembesaran 400 kali)... 50

Gambar 4.2. Ekspresi p27 positif (panah hitam) dengan pewarnaan Imunohisto-

kimia pada karsinoma ovarii (pembesaran 400 kali)... 50

(15)

commit to user

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1.

Kesamaan faktor pada endometriosis dan karsinoma ovarii ….. 29

Tabel 2.2.

Hasil LOH pada Endometriosis, EAOC (

Endometriosis Asso-

ciated with Ovarian Carcinoma

, Karsinoma Ovarium Tipe

Endometrioid... 32

Tabel 4.1.

Distribusi Sampel Penelitian... 47

Tabel 4.2.

Rerata prosentase nilai ekspresi p27 pada endometrioma dan

karsinoma ovarii tipe 1... 48

Tabel 4.3.

Sebaran data ekspresi p27 pada endometrioma dan karsinoma

(16)

commit to user

xvi

DAFTAR GRAFIK

Grafik 4.1.

Grafik Rerata Prosentase Ekspresi p27 pada Endometrioma

(17)

commit to user

xvii

DAFTAR SINGKATAN

AFS

American Fertility Society

ASRM

American Society for Reproductive Medicine

BRCA

Breast Receptor Cancer Antigen

CDK

Cyclin Dependent Kinase

Cip/Kip

Kinase Inhibitory Protein

CKIs

Cyclin Kinase Inhibitor

DMBA

Dimetilbenzantrene

EEC

Endoscopic Endometriosis Classification

FSH

Folikel Stimulating Hormon

HNPCC

Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer

INK4

Inhibitor of

CDK4

KPC1/2

K. pneumoniae carbapenemase 1/2

LH

Luteinizing Hormon

LOH

Loss of Heterozygosity

MHT

Menopousal Hormone Therapy

PI3K

Phosphatidil inositol 3-kinase

PTEN

Phosphatase and tensin homolog on chromosome ten

p21

21 kDa protein

p27

27 kDa protein

(18)

commit to user

xviii

pRb

Protein Retinoblastoma

SCFskp2/cks1

Skp, Cullin, F-box containing complex

(19)

commit to user

xix 

 

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Alat dan Bahan...

66

Lampiran 2. Cara Kerja...

67

Lampiran 3. Analisis Statistik ………... 70

(20)

commit to user

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Endometrioma merupakan salah satu tumor jinak ginekologi yang dewasa

ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di negara-negara maju maupun di

negara berkembang, telah banyak penelitian yang dilakukan terhadap

endometrioma, namun hingga kini penyebab dan patogenesisnya belum diketahui

juga secara pasti. Endometrioma merupakan suatu endometriosis di ovarium yang

berasal dari kata endometrium. Arti endometriosis sendiri secara klinis adalah

jaringan endometrium yang terdapat di luar cavum uteri seperti vesika urinaria,

usus, peritoneum, paru, umbilikus bahkan dapat dijumpai di mata dan otak atau

dapat terjadi di organ genetalia interna termasuk di dalam ovarium sendiri yang

disebut dengan endometrioma (Baziad, 2003). Manifestasi klinisnya berupa rasa

nyeri panggul kronis, tumor dan peningkatan infertilitas yang mempunyai dampak

terhadap turunnya kualitas hidup penderitanya (Oepomo, 2007). Akhir-akhir ini

banyak penelitian menghubungkan endometrioma dengan peningkatan risiko

terjadinya keganasan ovarium yang memunculkan suatu fenomena transformasi

endometrioma menjadi keganasan (Ness, 2003). Kajian biomolekuler banyak

mulai diteliti diantaranya tumor supresor gen, p27, di mana dengan mengetahui

perbedaan ekspresi p27 pada endometrioma dan karsinoma ovarii diharapkan

dapat menjelaskan adanya fenomena transformasi tersebut.

(21)

commit to user

 

 

Angka prevalensi sesungguhnya dari endometriosis tidak diketahui,

awalnya operasi merupakan metode paling dipercaya dalam menegakkan

diagnosis dan umumnya ada pada wanita dengan gejala dan pemeriksaan fisik

yang tidak mengarah pada endometriosis. Prevalensi endometriosis asymptomatic

berkisar 4% pada wanita yang secara kebetulan ditemukan pada saat sterilisasi.

Perkiraan terbesar dari prevalensi endometriosis antara 5-20% pada wanita dengan

nyeri panggul dan antara 20-40% pada wanita dengan keluhan infertil. Secara

umum prevalensi kejadian ini berkisar 3-10% pada wanita usia reproduksi

(Speroff dan Fritz, 2005). Meskipun endometriosis merupakan penyakit jinak,

beberapa penelitian menyatakan bahwa endometriosis dapat mengalami proses

keganasan (Varma et al, 2004). Dipublikasikan 80% dari 165 kasus keganasan

ovarium menunjukkan gambaran endometriosis. Pada penelitian yang lebih besar

(lebih dari 1000 kasus) ditemukan 5-10%, 60%-nya tipe endometrioid dan lebih

dari 15% pada tipe clear cell (Heaps et al, 1990). De la Cuesta et al (1996)

menemukan sebanyak 40% wanita dengan karsinoma ovarii tipe endometrioid

atau clear cell, sepertiganya ditemukan endometriosis. Hal yang sama dilaporkan

Vercellini et al (1993), 21% - 54% clear cell carcinoma dan endometrioid

ditemukan sel-sel endometriosis serta didapatkan 3% - 9% pada karsinoma ovarii

serosum, mucinosum dan tipe lainnya. Dari kasus yang dilaporkan Moll et al

(1990), mendokumentasikan seorang wanita dengan biopsi spesimen awal

menunjukkan endometriosis atipik yang 3 tahun kemudian menderita keganasan

(22)

commit to user

 

 

Vlahos (2007), menyatakan wanita usia 10-29 tahun dengan endometriosis

mempunyai risiko 3,5 kali lipat menjadi keganasan ovarium.

Hubungan antara endometrioma dan karsinoma ovarii ditunjukkan adanya

bukti-bukti secara epidemologi. Karsinoma ovarii secara teoritis juga disebabkan

perubahan genetik karena kerusakan epitel ovarium selama proses ovulasi. Lesi

awal karsinoma ovarii dapat berasal dari endometriosis atau metaplasi duktus

muleri epitel permukaan ovarium. Selain itu, adanya pola penyimpangan

kromosom pada endometriosis menjadikan endometriosis mempunyai

kemampuan invasi dan metastasis seperti karakteristik yang dipunyai sel kanker

(Ness, 2003). Pada neoplasia diperlukan dua mutasi, yaitu mutasi somatik atau

mutasi lapisan benih dengan mutasi somatik lain. Oleh karena itu, ekspansi sel

monoklonal pada jaringan endometriosis perlu diamati. Onkogen pasti (myc,

c-erb B1 dan 2) seperti regio 6p ditemukan tampil berlebihan. Namun demikian

tidak satu pun dari beberapa gen kuat terlihat secara khusus tampil berlebihan

pada regio 6p (Jacoeb et al, 2009). p27kip1 merupakan salah satu anggota

Cip1/Kip1 dari family cyclin dependent kinase inhibitor yang juga merupakan

sebuah tumor supressor gen. Penurunan kadar p27 berhubungan dengan prognosis

buruk beberapa tumor diantaranya tumor ganas mammae, colon, prostat dan

paru-paru.

Dalam Hallmarks of Cancer, penurunan protein p27 merupakan ciri self

sufficiency of growth signal yang berkaitan dengan peningkatan ikatan kompleks

Cyclin – CDK (Varma et al, 2004). Terdapat bukti-bukti bahwa

(23)

commit to user

 

 

ovarii, penurunan ekspresi protein p27 dapat terlibat pada endometrioma dan

karsinoma ovarii. Dalam penelitian ini akan dianalisis perbedaan ekspresi p27

antara endometrioma dan karsinoma ovarii, sehingga didapatkan gambaran kaitan

antara keduanya.

B. Rumusan Masalah

Apakah terdapat perbedaan ekspresi p27 antara endometrioma dan

karsinoma ovarii?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengungkap perbedaan ekspresi p27 pada endometrioma dan

karsinoma ovarii.

2. Tujuan Khusus

Menganalisis makna perbedaan ekspresi p27 antara endometrioma dan

karsinoma ovarii dikaitkan dengan karsinogenesis tumor ovarium.

D. Manfaat

Manfaat Teoritik

Dengan mengetahui perbedaan ekspresi p27 pada endometrioma dan

karsinoma ovarii dapat dijadikan dasar untuk penelitian-penelitian

selanjutnya yang berkaitan dengan ekspresi p27 sehingga diperoleh

(24)

commit to user

 

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Endometrioma

1. Pengertian

Endometrioma merupakan penyakit jinak ginekologi dengan kelainan

adanya endometrium ektopik pada ovarium termasuk kelenjar dan stromanya

yang berhubungan dengan nyeri pelvis dan infertilitas (Speroff dan Fritz, 2005).

Endometrioma merupakan suatu endometriosis ovarii berasal dari kata

endometrium, arti endometriosis sendiri secara klinis adalah jaringan

endometrium yang terdapat di luar kavum uteri seperti organ-organ genetalia

interna, vesika urinaria, usus, peritoneum, paru, umbilikus bahkan dapat dijumpai

di mata dan otak (Baziad, 2003). Wanita dengan endometriosis pada ovarium

dapat berkembang dan tumbuh sampai dengan 6-8 cm, disebut juga endometrioma

yang juga sering dikenal dengan istilah kista coklat karena berisi banyak debris

darah bewarna kecoklatan di dalamnya (Tzadik ; Purcell ; Wheeler, 2007).

Endometrioma merupakan juga penyakit progresif ginekologi yang sering

ditemukan. Namun demikian prevalensi dan insidensi yang sesungguhnya di

populasi umum tidak diketahui, sangat beragam dan bergantung pada banyak

faktor. Akibatnya, gambaran yang diperoleh tidak mewakili frekuensi penyakit di

populasi umum, karena pemastian diagnosisnya membutuhkan pemeriksaan

laparoskopi (Jacoeb et al, 2009). Akhir-akhir ini dengan semakin maraknya

penggunaan laparoskopi, meningkatkan terdeteksinya kejadian endometrioma.

(25)

commit to user

 

 

Dilaporkan prevalensi kejadian ini sangat beragam dipandang dari berbagai

tingkat sosial maupun indikasi dari laparoskopi. Penelitian pada 1542 wanita

caucasian, didapatkan 6 % wanita dengan endometriosis pada sterilisasi secara

laparoskopi, 21 % ditemukan pada wanita dengan infertilitas dan 15 % pada

wanita dengan nyeri pelvis. Secara umum pada 1542 sampel tersebut didapatkan

prevalensi endometriosis sebesar 33 % (West, 2004).

2. Patogenesis

Perkembangan teori patogenesis endometriosis baik dari ductus wolffii

maupun dari jaringan mulleri telah banyak ditentang bahkan sebagian besar

mengabaikan. Penemuan endometriosis pada permukaan lapisan serosa colon dan

usus halus terjadi murni oleh derivasi embrionik yang terbatas. Teori coelomic

metaplasia masih dianggap lemah, karena tidak dapat menjelaskan asal muasal

endometriosis. Teori ini tidak dapat menjelaskan mengapa endometriosis hanya

terjadi pada wanita reproduksi, terutama pada organ pelvis dan pada wanita

dengan endometrium yang berfungsi baik.

Levander dan Normann (1955) mengemukakan teori induksi. Teori ini

berdasarkan asumsi adanya substansi spesifik yang dilepaskan oleh endometrium

yang berdegenerasi mengiduksi endometriosis dari omnipotent blastema.

Teori implantasi berdasarkan prinsip kemampuan endometrium dalam

berimplantasi pada permukaan peritoneum. Teori ini terjadi atas 3 tahapan, yaitu :

a. Menstruasi retrograde

b. Menstruasi retrograde mengandung sel endometrial yang mampu

(26)

commit to user

 

 

c. Adesi pada peritoneum terjadi karena adanya implantasi dan proliferasi

Menstruasi retrograde dan adesi peritoneal dari jaringan endometrial merupakan

elemen penting pada patogenesis endometriosis sesuai dengan teori Sampson (van

der Linden, 1997).

Menurut Bulun (2009) endometriosis mempunyai 3 bentuk klinis yang

nyata, yaitu :

a. Implantasi endometrium pada permukaan peritoneum pelvis dan

ovarium (peritoneal endometriosis)

b. Kista ovarii yang berisi mucosa endometrioid (endometrioma)

c. Massa solid kompleks yang terdiri dari campuran jaringan

endometrium dengan jaringan adiposa serta jaringan fibromuskular

yang letaknya antara rectum dan vagina (rectovaginal endometriotic

nodule)

Endometriosis pada ovarium lazim ditemukan pada wanita usia

reproduksi, khususnya mereka yang sedang menjalani penilaian dan penanganan

infertilitas. Secara klinis bentuk ini biasanya terdiagnosis sebagai lesi kistik dan

disebut endometrioma. Ukurannya beragam, dari 1-2 cm hingga mencapai 10 cm

atau lebih dan dapat menyerang satu atau kedua ovarium.

Histogenesis endometrioma belum seluruhnya jelas. Ternyata

endometrioma memiliki protein yang berbeda dari susukan endometriosis

nir-kistik, dengan tampilan kolagen VI yang relatif berlebihan dan tampilan bcl-2 dan

(27)

commit to user

 

 

jenis ini, secara pembandingan imunohistokimiawi dapat ditampilkan gen-gen

yang berbeda.

Ada tiga model yang paling mungkin untuk menjelaskan endometriosis

ovarium. Pembentukan kista coklat yang khas dapat disebabkan oleh satu atau

lebih hipotesis berikut ini :

Hipotesis pertama didukung oleh temuan irisan serial ovarium yang berisi

endometrioma, ternyata pembentukan khas 90% kista coklat adalah penyusukan

jaringan mirip endometrium yang melipat keluar ke permukaan ovarium dan

berikutnya melekat ke peritoneum pelvik. Dengan demikian, kebanyakan

endometrioma tampaknya dibentuk oleh invaginasi korteks setelah tumpukan

serpih perdarahan susukan endometriosis permukaan melekat ke peritoneum.

Hipotesis kedua berasal dari teori Sampson yang menyatakan peran folikel

ovarium dalam patogenesis kista endometriosis. Dalam hal ini ada penyebaran

lokal endometriosis oleh alir balik darah haid melalui tuba dan susukan

endometriosis permukaan menyerbu kista fungsional. Dengan demikian, susukan

endometriosis di ovarium adalah serupa dengan endometriosis di sisi

ekstraovarium yang ukurannya terbatasi oleh fibrosis dan jaringan parut. Artinya,

endometrioma besar berkembang karena keterlibatan sekunder kista-kista folikel

atau luteal oleh susukan-susukan permukaan. Beberapa endometrioma besar

terbukti memiliki ciri histologik kista ovarium luteal atau folikuler. Dengan

ultrasonografi transvaginal yang menjejaki folikel ovarium diketahui bahwa

(28)

commit to user

 

 

Hipotesis ketiga menggambarkan bahwa metaplasia selomik dari epitel

mesotelium yang berinvaginasi ke dalam korteks ovarium berperan pada

etiopatogenesis endometrioma. Ini didasarkan pada adanya invaginasi epitel yang

sinambung dengan jaringan endometriosis. Hipotesis ini juga didukung oleh

adanya endometrioma multilokuler dan asal metaplastik dari tumor-tumor

ovarium epitelial. Metaplasia selomik juga dikuatkan oleh adanya endometrioma

yang tidak tertahan di peritoneum, sehingga tidak mungkin merupakan akibat dari

perlekatan dan perdarahan susukan superfisial yang aktif. Bukti lain adanya

endometrioma pada penderita sindrom Rokitansky-Kuster-Mayer-Hauser yang

tidak memiliki haid terbalik.

Ketepatan patogenesis endometrioma tidak hanya diperlukan untuk

kepentingan ilmiah, melainkan juga sebagai dasar praktis dalam menentukan

penatalaksanaan yang paling memadai untuk kista endometriosis di ovarium

(Jacoeb et al, 2009).

3. Klasifikasi

Menentukan stadium endometriosis penting terutama untuk menetapkan

cara pengobatan yang tepat serta untuk evaluasi hasil pengobatan. Sistem

pembagian stadium endometriosis yang dipakai dewasa ini adalah berdasarkan

klasifikasi yang dianjurkan oleh Perkumpulan Fertilitas Amerika (American

Fertility Society = AFS) dan yang dianjurkan oleh Kurt Semm berupa Endoscopic

Endometriosis Classification (EEC) (Baziad, 2003). Klasifikasi yang dibuat oleh

AFS tahun 1979 yang kemudian berganti nama menjadi ASRM (American Society

(29)

commit to user

10 

 

 

dalam klasifikasinya, telah didiskripsikan bentuk lesi endometriosis sebagai lesi

putih, merah atau hitam. Modifikasi ini munculkan berbagai penelitian lain

mengenai beberapa aktifitas biokimia pada lesi dan memungkinkan prognosis

penyakit ini dapat diprediksi dari bentuk implantasinya (Schorge et al, 2008).

Klasifikasi endometrioma dibagi menjadi 3 tipe berdasar pada ukuran, isi

kista, mudahnya dipisahkan dari kapsulnya, adhesi kista terhadap struktur dan

lokasi dari implantasi yang berhubungan dengan dinding kista. Setelah

laparoskopi klinik, kista dievaluasi secara histologi tanpa mengkaitkan dengan

klasifikasi klinis. Secara histologi kecil (<2 cm), terdapat pada lapisan superfisial

kista dan dinding kista sangat sulit untuk dipisahkan merupakan karakteristik tipe

I. Tipe II digambarkan sebagai kista berukuran besar dengan kista yang mudah

dipisahkan dari kapsulnya serta merupakan kista luteal. Sedangkan kista besar

dengan beberapa perlengketan dan memenuhi karakteristik histologi fungsional

(kista luteal atau folikuler) merupakan tipe III (Nehzat et al, 1992).

Sedangkan menurut Jacoeb (2009), ada dua jenis endometrioma yaitu

endometrioma primer atau jenis I dan endometrioma sekunder jenis II. Diagnosis

dipastikan dengan biopsi yang diperoleh dengan laparoskopi. Model

etiopatogenesis ini juga didukung oleh data biologis yang mengungkapkan

kemampuan zalir folikel untuk mendukung pertumbuhan sel endometriosis. Zalir

folikel penderita endometriosis dapat memicu peningkatan proliferasi sel

dibandingkan dengan zalir folikel dari wanita tanpa penyakit. Selain itu, zalir

(30)

commit to user

11 

 

 

dengan kuat pertumbuhan sel endometrium dan endometriosis in vitro. Membagi

endometrioma sebagai berikut :

a. Jenis I : - Endometrioma kecil (1-2 cm) dan berisi cairan gelap

- Terbentuk dari kelenjar-kelenjar endometrium dan

stroma

- Berkembang dari susukan endometriosis permukaan

dan sukar di-eksisi

- Merupakan endometriosis sejati (true endometriosis)

- Secara mikroskopis jaringan endometriosis terlihat pada

semuanya

b. Jenis II : - Terbentuk dari kista luteal atau folikuler

Jenis IIA : - Kista hemoragik, penampakan endometrioma yang

menyeluruh

- Dinding kista terpisahkan dengan mudah dari jaringan

ovarium

- Susukan endometriosis terletak superficial dan

berdekatan dengan kista hemoragik, yang berasal

folikuler atau luteal

- Mikroskopis tidak terlihat selaput endometrium

Jenis IIB : - Selaput kista mudah dipisahkan dari kapsul ovarium dan

stroma, kecuali yang dekat dengan susukan

endometriosis

(31)

commit to user

12 

 

 

dalam dinding kista, sehingga sukar dieksisi

- Temuan histologis endometriosis terlihat pada dinding

kista pada kedua subtipe ini

- Endometrioma jenis IIB dan IIC berukuran besar dan

seringkali terkait dengan perlekatan adneksa dan pelvik

4. Diagnosis

Keragaman tampilan klinis dan keluhan pada endometriosis bergantung

pada lokasi dan luasnya lesi. Lesi yang tersebar menyebabkan tampilnya banyak

gejala yang tumpang tindih atau mirip dengan penyakit lain, seperti sindrom usus

iritabel dan penyakit radang pelvik. Sebagian wanita pengidap endometriosis

bahkan sama sekali tak bergejala. Akibatnya seringkali ada keterlambatan

beberapa tahun antara awitan gejala dan diagnosis pasti (Jacoeb et al, 2009).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mendiagnosis endometriosis :

a. Tampilan klinis dan keluhan endometriosis sangat beragam (tak bergejala,

ringan, berat)

b. Endometriosis tak dapat didiagnosis hanya dengan riwayat penyakit saja

c. Diagnosis sementara dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan

pemeriksaan fisik, tetapi diagnosis pasti tidak dapat ditegakkan hanya atas

dasar gejala-gejala saja

d. Pemeriksaan pelvis yang amat jelas sekalipun tidak dapat dianggap

patognomonik

e. Belum ada satu pun uji diagnostik nir-invasif atau uji laboratorik

(32)

commit to user

13 

 

 

Diagnosis endometriosis sangat erat dihubungkan pada wanita dengan

riwayat awitan gejalanya. Infertilitas, dismenore dan dispareuni sering kali

sebagai keluhan utama pada penyakit ini. Sebagian besar penderita mengeluhkan

nyeri pelvik yang konstan dan nyeri punggung yang terjadi premenstruasi yang

berangsur menghilang pada saat menstruasi datang. Dispareuni sering dialami

apabila penetrasi dalam. Keluhan-keluhan tersebut sering juga tidak muncul

karena perbedaan implantasinya (Sajari, 2003).

Pemeriksaan fisik pada genetalia eksterna tidak ada kelainan. Adakalanya,

pada pemeriksaan dengan spekulum tampak implantasi berwarna biru atau merah

sebagai lesi proliferasi yang sering mengakibatkan perdarahan kontak, dan

keduanya sering didapat pada fornix posterior. Pada infiltrasi endometriosis lebih

dalam, implantasi pada septum rektovaginal sering teraba. Tidak jarang juga dapat

terlihat. Sering didapat posisi uterus retrofleksi dan sedikit mobile atau terfiksir.

Wanita dengan endometrioma didapatkan massa pada adneksa yang terfiksir,

nyeri tekan dan ligamen uterosakral yang teregang karena perlengketan.

Pemeriksaan fisik merupakan diagnosis paling sensitif bila dilakukan pada saat

menstruasi dan apabila tidak ditemukan tanda klinis tersebut belum juga dapat

menyingkirkan diagnosis endometriosis. Dibandingkan dengan diagnosis secara

bedah sebagai baku standar untuk endometriosis, pemeriksaan fisik relatif kurang

sensitif, spesifik dan bernilai prediktif.

Laparoskopi dengan pemeriksaan histologi pada lesi merupakan baku

(33)

commit to user

14 

 

 

pemeriksaan fisik yang teliti serta sistematik ketepatan diagnosis sebelum

dilakukan laparoskopi menjadi dua kali lebih sensitif (Speroff dan Fritz, 2005).

5. Histopatologi

Menurut Taufan (2009), terdapat 3 tipe patologi yang dikenali yaitu :

a. Endometriosis superficial (endometriosis bebas)

i. Peritoneal

Terdapat 2 tipe implantasi peritoneum endometrium yakni, lesi sub

mesothelial dan intraepithelial. Kedua tipe ini mengandung unsure

glandula dan stroma, dan terpengaruh oleh perubahan hormonal yang

berelasi dengan siklus menstruasi, hal ini menunjukkan perubahan

siklik yang mirip (tapi tidak identik) dengan sel endometrium normal.

Lesi endometrium yang sembuh ditandai dengan adanya dilatasi

glandula, ditopang oleh sel stroma, dan dikelilingi oleh jaringan

fibrosa. Tipe lesi ini tidak terpengaruh oleh perubahan hormon.

ii. Ovarium

Lesi superfisial ovarium mirip dengan lesi di peritoneal, dan dapat

terjadi di semua tempat di ovarium. Lesi hemoragik yang biasa

didapati dihubungkan dengan bentuk berbagai keparahana adesi

peri-ovarian, biasanya terdapat pada posterior ovarium.

b. Deep infiltrating (adenomatous) endometriosis (endometriosis yang

terperangkap)

Ditandai dengan jaringan fibromuskular dengan glandular

(34)

commit to user

15 

 

 

adenomyosis) tanpa epitel permukaan. Tidak seperti lesi peritoneal, deep

endometriosis tidak memperlihatkan perubahan yang berarti selama siklus

menstruasi. Nodul nodul ini khas berada di ruang rektovaginal dan

melibatkan ligament sakrouterina, dinding posterior vagina dan dinding

anterior rectum. Bisa juga meluas sampai ke lateral dan mempengaruhi

ureter.

c. Ovarian endometrioma

Merupakan kista yang dibatasi jaringan endometrium dan berwarna

coklat gelap atau cairan kecoklatan yang merupakan akibat dari

perdarahan kronis yang berulang dari implantasi sel endometrium. Pada

endometrioma yang lama, jaringan endometrium digantikan oleh jaringan

fibrosa. Bahkan, semua jaringan glandular endometrium menghilang,

tanpa meninggalkan bekas histopatologis endometriosis. Pada kebanyakan

kasus, dinding kista merupakan dinding yang fibrotik dengan fokus

hipervaskularisasi dan lesi perdarahan endometrium.

Secara biomolekuler, peran tumor suprresor gene p27 berperan dalam

tumorigenesis endometrioma. Hilangnya ekspresi p27 menyebabkan pertumbuhan

endometrioma tak terhambat yang juga dapat menyebabkan debris darah dalam

endometrioma imbibisi keluar yang mengakibatkan tumor melekat pada jaringan

(35)

commit to user

16 

 

  B. Karsinoma Ovarii

1. Pengertian

Dari semua keganasan ginekologi, keganasan ovarium merupakan sebuah

tantangan klinis. Karsinoma ovarii merupakan kanker primer dari ovarium

(Andrijono, 2004).

Karsinoma ovarium jenis epitel adalah penyebab utama kematian akibat

kanker ginekologi di Amerika Serikat. Pada tahun 2003 diperkirakan terdapat

25400 kasus kanker ovarium dengan 14300 kematian, yang mencakup kira-kira

5% dari semua kematian wanita karena kanker. Kanker ovarium jarang ditemukan

pada usia di bawah 40 tahun. Angka kejadian meningkat dengan makin tuanya

usia. Dari 15-16 per 100000 pada usia 40-44 tahun, menjadi paling tinggi dengan

angka 57 per 100000 pada usia 70-74 tahun. Usia median saat diagnosis adalah 63

tahun dan 48% penderita berusia di atas 65 tahun. Karena belum ada metode

skrining yang efektif untuk karsinoma ovarii, 70% kasus ditemukan pada keadaan

yang sudah lanjut yakni setelah tumor menyebar jauh di luar ovarium (Busmar,

2006).

2. Etiologi

Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan etiologi kanker ovarium,

beberapa diantaranya Busmar (2006) menuliskan :

a. Hipotesis Incessant Ovulation

Teori ini menyatakan bahwa pada saat terjadi ovulasi, terjadi

kerusakan pada sel-sel ovarium. Untuk penyembuhan luka yang sempurna

(36)

commit to user

17 

 

 

atau trauma baru, proses penyembuhan akan terganggu dan kacau

sehingga dapat menimbulkan proses transformasi menjadi sel-sel tumor

b. Hipotesis Gonadotropin

Kadar hormon estrogen rendah di sirkulasi perifer, kadar hormon

gonadotropin akan meningkat. Peningkatan kadar hormon gonadotropin

ini ternyata berhubungan dengan makin bertambah besarnya tumor

ovarium.

Dari percobaan pada binatang rodentia, kelenjar ovarium yang

telah terpapar pada zat karsinogenik dimetilbenzantrene (DMBA) akan

menjadi tumor ovarium bila ditransplantasikan pada tikus yang telah

diooforektomi, tetapi tidak menjadi tumor jika rodentia tersebut dilakukan

hipofisektomi.

c. Hipotesis androgen

Epitel ovarium mengandung reseptor androgen. Epitel ovarium

selalu terpapar pada androgenik steroid yang berasal dari ovarium itu

sendiri dan kelenjar adrenal, seperti androstenedion,

dehidroepiandrosteron dan testosteron. Dalam percobaan invitro androgen

dapat menstimulasi pertumbuhan epitel ovarium normal dan juga sel-sel

kanker ovarium dalam kultur sel. Dalam penelitian epidemologi juga

ditemukan tingginya kadar androgen dalam darah wanita penderita kanker

(37)

commit to user

18 

 

  d. Hipotesis Progesteron

Penelitian pada ayam Gallus domesticus menemukan 3 year

incidence terjadinya kanker ovarium secara spontan pada 24% ayam yang

berusia lebih dari 2 tahun. Dengan pemberian makanan yang mengandung

pil kontarsepsi ternyata menurunkan terjadinya kanker ovarium.

Penurunan insiden ini ternyata makin banyak jika ayam tersebut diberikan

hanya progesteron.

e. Paritas

Penelitian menjukkan bahwa wanita dengan paritas yang tinggi

memiliki risiko terjadinya kanker ovarium yang lebih rendah daripada

nulipara, yaitu dengan risiko relatif 0,7. Pada wanita mengalami 4 atau

lebih kehamilan aterm, risiko terjadinya kanker ovarium berkurang sebesar

40% jika dibandingkan dengan wanita nulipara.

f. Pil kontrasepsi

Penelitian dari Center for Disease Control menemukan penurunan

risiko terjadinya kanker ovarium sebesar 40% pada wanita usia 20-54

tahun yang memakai pil kontrasepsi, yaitu dengan risiko relatif 0,6.

Penelitian lain melaporkan juga bahwa pemakaian pil kontrasepsi selama

setahun menurunkan risiko hingga 11%, sedangkan pemakaian selama 5

tahun menurunkan risiko hingga 50%. Penurunan risiko semakin nyata

(38)

commit to user

19 

 

  g. Talk

Pemakaian talk (hydrous magnesium silicate) pada daerah

perineum dilaporkan meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium

dengan risiko relatif 1,9%. Akan tetapi, penelitian propestif mencakup

78000 wanita ternyata tidak mendukung teori tersebut. Meskipun 40%

kohort melaporkan pernah memakai talk, hanya sekitar 15% yang

memakainya setiap hari. Risiko relatif terkena kanker ovarium pada yang

pernah memakai talk tidak meningkat (RR 1,1). Demikian juga bagi yang

selalu memakainya.

h. Ligasi Tuba

Pengikatan tuba ternyata menurunkan risiko terjadinya kanker

ovarium dengan risiko relatif 0,3. Mekanisme terjadinya efek protektif in

diduga dengan terputusnya akses talk atau karsinogen lainnya dengan

ovarium.

i. Terapi Hormon Pengganti pada Masa Menopause

Pemakaian terapi hormon pengganti pada masa menopause (Menopausal

Hormone Therapy = MHT) dengan estrogen saja selama 10 tahun

meningkatkan risiko relatif 2,2. Sementara itu, jika masa pemakaian MHT

selama 20 tahun atau lebih, risiko relatif meningkat menjadi 3,2.

Pemakaian MHT dengan estrogen yang kemudian diikuti progestin,

(39)

commit to user

20 

 

  j. Obat Fertilisasi

Obat- obat yang meningkatkan fertilitas seperti klomifen sitrat

yang diberikan secara oral dan obat-obat gonadotropin yang diberikan

dengan suntikan seperti FSH, kombinasi FSH dan LH akan menginduksi

terjadinya ovulasi atau multipel ovulasi. Menurut hipotesis incessant

ovulation dan hipotesis gonadotropin, pemakaian obat-obatan ini jelas

meningkatkan kejadian kanker ovarium.

k. Faktor Herediter

Adanya riwayat keluarga dengan kanker ovarium ditemukan risiko relatif

meningkat dan berbeda pada anggota lapis pertama. Ibu dari penderita

kanker ovarium risiko relatifnya 1,1 saudara perempuan risiko relatifnya

3,8 dan anak dari penderita risiko relatifnya 6. Yang sering dikaitkan pada

angka kejadian ini melalui BRCA gen dan HNPCC (hereditary

nonpolyposis colorectal cancer).

3. Klasifikasi

Busmar (2006) mengemukakan 90% kanker ovarium berasal dari epitel

coelom atau mesotelium (epithelial ovarian tumor) dan 10% adalah kanker

ovarium non epitelial (non epithelial ovarium tumor).

Kanker ovarium dikelompokkan menjadi 6 kelompok, yaitu :

a. Tumor epitelial

b. Tumor sel germinal

c. Tumor sex cord dan stromal

(40)

commit to user

21 

 

 

e. Sarkoma

f. Tumor metastasis

80% dari tumor ovarium merupakan tumor epitelial yang sering

didapatkan pada wanita umur diatas 45 tahun. Relatif sangat jarang ditemukan

pada wanita yang lebih muda. Dan pada usia muda lebih sering didapatkan jenis

tumor sel germinal. Pada wanita pasca menopouse hanya 7% tumor ovarium

epitelial yang ganas. Secara histopatologi tumor ovarium epitelial menurut WHO

diklasifikasikan menjadi :

a. Serous tumor

i. Benign

- Cystadenoma and papillary cystadenoma

- Surface papilloma

- Adenofibroma and cystadenofibroma

ii. Malignant

- Adenocarcinoma

- Surface papillary adenocarcinoma

- Malignant adenofibroma and cystadenofibroma

b. Mucinous tumor

i. Benign

- Cystadenoma

(41)

commit to user

22 

 

  ii. Malignant

- Adenocarcinoma

- Malignant adenofibroma

- Mural nodule arising in mucinous cystic tumor

c. Endometrioid tumor

i. Benign

- Adenoma and cystadenoma

- Adenofibroma and cystadenofibroma

ii. Malignant

- Adenocarcinoma

- Adenoacanthoma

- Adenosquamous carcinoma

- Malignant adenofibroma with a malignant stromal component

- Adenosarcoma

- Endometrial stromal sarcoma

- Carcinoma, homologous and heterologous

- Undifferentiated sarcoma

d. Clear cell tumor

i. Benign

- Tumor of low malignant potential

ii. Malignant

(42)

commit to user

23 

 

  e. Transitional cell tumor

i. Brenner’s tumor

ii. Proliferating Brenner’s tumor

iii. Malignant Brenner’s tumor

iv. Transitional cell carcinoma (non Brenner type)

f. Squamous cell carcinoma

g. Mix epithelial tumor

h. Undifferentiated carcinoma

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa keganasan ovarium jenis

epitelial bukan merupakan penyakit tunggal tetapi terdiri berbagai kelompok

tumor yang dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi yang khas dan fitur

genetika molekular. Satu kelompok tumor, disebut sebagai tipe I, terdiri dari

low-grade serous, low-low-grade endometrioid, clear cell, mucinous dan karsinoma

transisional (Brenner). Tumor ini umumnya berkembang perlahan, terbatas pada

ovarium, sebagai tipe yang relatif stabil secara genetis. Tipe ini tidak memiliki

mutasi p53, tetapi masing-masing jenis histopatologi mempunyai profil genetik

molekular berbeda. Selain itu, tipe ini mempunyai kecenderungan ke arah jinak

dan sering juga merupakan border line tumor. Kelompok lain, disebut tipe II,

sangat agresif, berkembang dengan cepat dan hampir selalu ditemukan pada

stadium lanjut. Terdiri dari high-grade serous, undifferentiated carcinoma dan

malignant mixed mesodermal tumor (carcinosarcoma). Semuanya menunjukkan

mutasi p53 lebih dari 80% dan mutasi ini jarang terdapat pada tipe I (Kurman dan

(43)

commit to user

24 

 

  4. Karsinogenesis

Karsinogenesis merupakan proses yang berlangsung melalui beberapa

tahapan (multistage). Paling sedikit karsinogenesis ada 2 tahap, bahkan ada yang

mengemukakan paling sedikit 6-7 tahap. Kanker merupakan akumulasi dari

perubahan genetik. Kerusakan materi genetik ini dapat berupa mutasi, kelainan

jumlah atau struktur. Proses dimulai dengan tahapan inisiasi dimana gen tertentu

mengalami kerusakan dan sifat kerusakan ini bersifat menetap (irreversible).

Sebelum mengalami perubahan menjadi sel kanker, secara fenotipe sel tersebut

tidak berbeda dengan sel normal lainnya. Hanya saja ia lebih sensitif terhadap

perubahan sekitarnya jika dibandingkan dengan sel normal yaitu mudah

terangsang baik oleh faktor pertumbuhan maupun faktor penghambat. Sesudah

tahapan inisiasi, terjadi tahapan berikutnya yaitu tahap promosi. Pada tahapan ini

sel yang terinisiasi tadi akan dipacu untuk membelah oleh substansi yang dapat

berupa karsinogen atau oleh bahan/substansi lain yang disebut substansi promotif

sering disebut juga promoting agent (Aziz, 2006).

Dalam tahapan progresi, perubahan-perubahan malignitas tersebut

diakibatkan oleh adanya kelainan atau mutasi pada beberapa gen antara lain tumor

suppresor gene, DNA mismatch repair dan protoonkogen-onkogen serta gen

apoptosis. Tumor suppressor gene (TSG) merupakan gen yang sangat penting

terutama yang bekerja pada fase G1-S yang diperankan oleh famili KIP ,p21, p27

dan p57, terhadap fungsi pengontrolan siklus sel. Hilangnya fungsi TSG akan

menyebabkan kegagalan penghentian siklus sel, sehingga bila terjadi kelainan gen

(44)

commit to user

25 

 

 

membelah dengan kelainan-kelainan yang menyebabkan perubahan sifat ataupun

morfologi sel. Proliferasi sel atau pembelahan sel berjalan tanpa faktor kontrol.

DNA mismatch repair penting artinya untuk memperbaiki gen yang rusak,

perbaikan dengan beberapa cara. Kegagalan perbaikan sel akan terjadi bila gen

yang mengatur atau mengontrol perbaikan mengalami mutasi sehingga gen

tersebut tidak berfungsi lagi. Onkogen merupakan gen yang berasal dari mutasi

proto-onkogen, proto-onkogen merupakan gen normal tetapi karena proses mutasi

menyebabkan perubahan gen yang mempunyai sifat merangsang fungsi.

Peningkatan onkogen akan menyebabkan proliferasi sel yang berlebihan sehingga

merangsang terjadinya keganasan. Salah satu aktifitas penting untuk mencegah

hal ini adalah mekanisme apoptosis yang merupakan mekanisme kematian sel

yang terjadi akibat kerusakan gen. Dengan terjadinya apoptosis maka sel yang

mengalami mutasi akan mati kecuali adanya faktor-faktor penghambat apoptosis

(Andrijono, 2004).

Gambar 2.1. Peran tumor supressor gen dalam siklus sel ( Dikutip dengan modi- fikasi dari Andrijono, 2004)

Keterangan : Proses transformasi sel normal menjadi sel karsinoma akibat perubahan yang terjadi pada salah satu gen pengatur yaitu proto-onkogen yang bertugas menyandi protein yang terlibat dalam regulasi sel normal, termasuk didalamnya tumor supresor gen, apoptosis, growth factor, inhibitor growth factor dan sinyal tranduksi.

C. p27

Siklus sel dikontrol oleh beberapa cyclin dan cyclin-dependent kinase

(CDK) komplek dan kesemuanya diregulasi oleh famili inhibitor yang disebut TUMOR SUPPRESSOR GENE

[image:44.612.132.508.226.713.2]
(45)

commit to user

26 

 

 

CKIs (Patah et al, 2003). Dalam kata lain, cyclin dan cyclin-dependent kinase

merupakan hal yang paling penting dalam regulasi siklus sel. Keduanya

membentuk kompleks yang bertanggung jawab dalam konduksi sel pada fase

siklus sel. Aktivitas kompleks tersebut diatur oleh INK4 dan Cip/Kip family

protein. Kelompok protein cip/kip diantaranya p21, p27 dan p57 dikenal sebagai

CKI. Dapat berinteraksi dengan cyclin A, E, D1, D2, dan D3, dan pada

umumnya dengan kompleks cyclin D-CDK4/6 dan cyclin E-CDK2. Bertolak

belakang dengan protein INK4 dimana secara langsung berikatan dengan

beberapa cyclin, protein cip/kip dan menon-aktifkan kompleks cyclin-CDK. p27

sendiri berfungsi menghambat kompleks CDK2-cyclin E dengan regulasi check

point pada G1 transisi ke S pada sel normal (Schor et al, 2009).

Protein p27 memiliki nama lain cylin dependent kinase inhibitor 1B

(CDKN1B) berada sebagian besar di nukleus dan dalam kondisi tertentu keluar

ke sitoplasma. Mempunyai berat molekul 27 kDa. Protein ini mengkodekan

cyclin dependent kinase inhibitor, yang mempunyai kemiripan dengan cyclin

dependent kinase inhibitor 1A atau lebih dikenal dengan p21. Protein yang

dikodekan mengikat dan mencegah aktivasi kompleks cyclin D-CDK4, cyclin

E-CDK2 dan berperan mengendalikan perkembangan siklus sel di G1. Degradasi

protein ini dipicu oleh fosforilasi dan ubiquination oleh kompleks SCF yang

diperlukan untuk transisi selular dari kaeadaan rest ke tahap proliferasi

(46)

commit to user

27 

 

 

Gen p27 memiliki sekuens DNA mirip dengan anggota lain dari keluarga

Cip/Kip yang meliputi p21Cip1/Waf1 dan p57Kip2 gen. Selain itu kesamaan

struktural Cip/Kip protein berbagi karakteristik fungsional mampu mengikat

berbagai kelas molekul cyclin dan CDK. Sebagai contoh, p27 mengikat cyclin D

baik sendiri, atau ketika dikomplekskan untuk CDK4 subunit katalitik. p27

menghambat aktivitas katalitik CDK4, yang berarti mencegah CDK4 dari

penambahan residu fosfat untuk substrat pokok nya, retinoblastoma (PRB)

protein. Peningkatan kadar protein p27 biasanya menyebabkan sel untuk

menangkap dalam fase G1 dari siklus sel. p27 juga mampu mengikat protein

CDK lainnya ketika dikomplekskan untuk cyclin subunit seperti cyclin E/CDK2

dan cyclin A/CDK2 (http://en.wikipedia.org/wiki/CDKN1B , access on

September 2010).

D. Hubungan antara Endometrioma dan Karsinoma Ovarii Berkaitan

dengan Ekspresi p27

Endometriosis mempunyai gambaran campuran antara penyakit yang jinak

dan keganasan. Patogenesisnya meliputi kehilangan kontrol proliferasi sel yang

dihubungkan dengan penyebaran lokal atau jauh, dimana endometriosis tidak

meyebabkan gangguan katabolisme, konsekuensi metabolisme atau kematian.

Meskipun endometriosis tidak dapat dikategorikan suatu kondisi premaligna

menurut data epidemiologi, histopatologi dan molekuler diduga bahwa

endometriosis mempunyai potensial menjadi karsinoma.

Histopatologi dan epidemiologi menunjukkan bahwa terdapat hubungan

(47)

commit to user

28 

 

 

hipotesis, yaitu (1) implantasi endometriotik mengalami transformasi ke arah

keganasan melalui fase transisi endometriosis atipik, (2) mekanisme yang

mendahului atau faktor predisposisi baik endometriosis maupun kanker sama,

seperti cacat genetik, disregulasi imunologi, paparan zat karsinogenik (Varma et

al, 2004).

Korelasi spesifik endometriosis dan keganasan ovarium serta pola

epidemologinya telah diteliti secara ekstensif. Beberapa mekanisme umum pada

kedua penyakit tersebut mempunyai gambaran yang sama, diantaranya pada hal

teori etiologi, faktor protektif, faktor risiko dan mekanisme patogenesis secara

[image:47.612.124.533.213.594.2]

umum.

Tabel 2.1. Kesamaan faktor pada endometriosis dan karsinoma ovarii

Similar theories on etiology Protective

factors

Risk

factors

Common patho-

genetic mechanism

•Damaged ovarian epithelium •Oral contraceptive •Early menarche • Family predisposition

•Elevated gonadotropins •Tubal ligation •Late menopouse

• Immunobiological factors

•Androgen excess with progesterone deficiency

•Hysterectomy • Cell adhesion

factors

•Retrograde menstruation •Pregnancy • Angiogenic

factors

• Chronis inflamation       

(48)

commit to user

29 

 

 

Mekanisme patogenesis yang sama dari endometriosis dan kanker ovarium

meliputi faktor predisposisi keluarga, faktor imunobiologi, perubahan genetik,

faktor sel adhesi, angiogenik dan faktor hormon.

Molekuler dan ciri genetik dari hubungan endometriosis dengan

karakteristik kanker dikenal dengan The Hallmarks of Cancer, yaitu (1)

Menghasilkan sendiri sinyal pertumbuhan, (2) Insensitivitas terhadap sinyal

penghambat pertumbuhan, (3) Resisten terhadap apoptosis, (4) Potensi replikasi

tanpa batas, (5) Angiogenesis berkelanjutan, (6) Kemampuan invasi and

metastasis, (7) Ketidakstabilan gen (Varma et al, 2004).

Ketidakstabilan genomik dikenal sebagai karakteristik sel kanker. Secara

somatik endometriosis menunjukkan perubahan genetik serupa dengan yang

ditemukan dalam kanker, menyebabkan ekspansi klon sel-sel yang abnormal

secara genetik. Kista endometriosis adalah monoklonal yang dicirikan oleh

hilangnya heterozigositas/ LOH (Loss of Heterozygosity) dalam 75% dari kasus

kista endometriosis yang berhubungan dengan adenokarsinoma, dan 28% kasus

tanpa karsinoma. Yang paling sering terkena lengan kromosom 9p, 11q, dan 22q.

Loss of Heterozygotsity di 5q, 6q, 9p, 11q, 22q, p16 dan p53, menunjukkan

hilangnya tumor supressor gen, telah diidentifikasi dalam endometriosis,

endometrioid karsinoma maupun clear cell carsinoma (Nehzat et al, 2008).

 

Gambar 2.2. Multistep Tumor Progression (Dikutip dengan modifikasi dari Varma et al, 2004)

Keterangan : sel endometriosis mengalami inisiasi oleh pengaruh lingkungan, metabolik, endokrin dan immunologi selanjutnya mengalami promosi menjadi premaligna sel oleh karena kerusakan gen, CLONALITY         GENETIC      CANCER HALMARKS 

[image:48.612.132.507.210.452.2]
(49)

commit to user

30 

 

 

terdapat gambaran atipikal endometriosis. Atipikal endometriosis akan mengalami progresivitas menjadi endometrioid dan clear cell carcinoma apabila kerusakan gen terjadi lebih lanjut dan lebih komplek

Beberapa penelitian mengenai LOH (juga disebut ketidakseimbangan

alelik) pada DNA yang diperoleh dari jaringan endometriosis. Metode spesifik

menggunakan analisis PCR (poliymerase chain reaction) berbasis mikrosatelit

bagian kromosom yang berbeda dengan tujuan untuk mengevaluasi potensi calon

inaktivasi lokus genetik yang terlibat dalam kerentanan terhadap penyakit. Studi

allelotyping memiliki kelemahan bahwa gen atau bagian kromosom yang harus

dipilih harus tepat. Gangguan terhadap bagian tersebut harus terdeteksi oleh

metode yang dipilih. Selain itu, mereka dibatasi oleh keharusan untuk

mengevaluasi jaringan endometriosis dengan kontaminasi minimal dan sampel

endometrium normal dari pasien yang sama sebagai kontrol. Mengingat potensi

asosiasi endometriosis dengan kanker ovarium, dari beberapa penelitian

mengevaluasi sampel endometriosis pada lengan kromosom 6q, 9p, 11q, 17p, 17q

dan 22q yang berpotensi terjadi delesi DNA yang teridentifikasi menyimpan TSG

(tumor supressor gene) penting untuk pertumbuhan tumor ovarium. Sebanyak

27,5% kasus, jaringan endometriotik menunjukkan LOH pada satu atau lebih

lokus pada kromosom 9p (18%), 11q (18%) dan 22q (15%) serta tidak

menunjukkan adanya LOH pada endometrium normal (Thomas and Champbell,

2001). Dalam sebuah studi lainnya, kelompok yang sama diperiksa 14 kasus

jaringan endometriotik sinkron dengan kanker ovarium. Adanya LOH pada 12

lengan kromosom (2q, 4q, 5p, 5q, 6q, 7p, 9p, 11q, 17p, 17q 22q dan Xq) dan 64%

(50)

commit to user

31 

 

 

perubahan ditemukan pada LOH di lengan kromosom tertentu pada endometriosis

[image:50.612.130.519.154.606.2]

dan kanker ovarium endometrioid ditunjukkan dalam tabel 2.2 (Jiang et al, 1998)

Tabel 2.2 Hasil LOH pada Endometriosis, EAOC (Endometriosis Associated with Ovarian Carcinoma, Karsinoma Ovarium Tipe Endometrioid Lengan Kromosom Endometriosis

(%)

EAOC (%) Karsinoma Ovarii tipe Endometrioid

(%) 1p 0

1p21-p31 0

1q21-q23 5

1q42-q43 0

2p 0

2q 0 0 40

2q21-q33 0

2q32 0

3p24.2-p22 0

4q 0 8 29

5p 0 0 14

5q 6 20 46

6q 0 27 29

7p 0 0 28

9 100

9p 0

9p21 0 31 64

9p22 0

Lengan Kromosom Endometriosis (%)

EAOC (%) Karsinoma Ovarii tipe Endometrioid

(51)

commit to user

32 

 

 

9q22-q23 25

10q23.3 56 40 42

11p16 0

11q 18 20 37

13q14.1-q14.2 0

14q32 0

17 23

17p13.1 0 0 42

17q11.2-2-q12 0

17q21 0 0 46

17q22-q24 20

18q21.1 0

22q 15 20 45

Xq11.2-q12 0 0 38

(dikutip dengan modifikasi dari Jiang et al, 1998)

Sebagian besar gen yang ditargetkan oleh LOH belum teridentifikasi,

namun lokus genetik 9p21 diketahui sebagai labuhan TSG regulator siklus sel

p16Ink4, gen reseptor progesteron terletak di 11q22 kromosom-q23, sedangkan

gen reseptor estrogen dan TSG superoksida dismutase gen 2 terpetakan pada 6q

meskipun minimal (Jiang et al, 1998).

LOH di lengan kromosom 10q23.3 telah dibuktikan dalam 56,5% dari 23

kasus kista endometriosis. Dilaporkan frekuensi dari LOH di daerah ini untuk

endometrioid karsinoma ovarium dan karsinoma sel jernih adalah 42,1 dan 27,3%.

Disimpulkan secara umum adanya LOH terdeteksi dalam kasus endometriosis

(52)

commit to user

33 

 

 

bahwa hilangnya fungsi hanya alel tunggal PTEN cukup untuk memberikan

pertumbuhan berlebihan karena inaktivasi gen (Vigano et al, 2005).

Siklus sel dikontrol oleh beberapa cyclin dan cyclin-dependent kinase

(CDK) komplek dan kesemuanya diregulasi oleh famili inhibitor yang disebut

CKIs (Patah et al, 2003). Dalam kata lain, cyclin dan cyclin-dependent kinase

merupakan hal yang paling penting dalam regulasi siklus sel. Keduanya

membentuk kompleks yang bertanggung jawab dalam konduksi sel pada fase

siklus sel. Aktivitas kompleks tersebut diatur oleh INK4 dan Cip/Kip family

protein. Kelompok protein cip/kip diantaranya p21, p27 dan p57 dikenal sebagai

CKI. Dapat berinteraksi dengan cyclin A, E, D1, D2, dan D3, dan pada umumnya

dengan kompleks cyclin D-CDK4/6 dan cyclin E-CDK2. Bertolak belakang

dengan protein INK4 dimana secara langsung berikatan dengan beberapa cyclin,

protein cip/kip dan menon-aktifkan kompleks cyclin-CDK. p27 sendiri berfungsi

menghambat kompleks CDK2-cyclin E dengan regulasi check point pada G1

transisi ke S pada sel normal (Schor et al, 2009).

Gambar 2.3. Regulasi cyclin-CDK komplek pada siklus sel (Dikutip dengan modifikasi dari Abukhdeir dan Park, 2009)

Keterangan : p27 berperan menghambat aktivasi enzimatik kompleks cyclin E-CDK 2 dimana aktivitasnya memfosforilasi protein retinoblastoma (pRB) yang mengikat faktor transkripsi E2F sehingga tidak terjadi transkripsi berlebihan

Setelah stimulus mitogenic, keputusan untuk memasuki siklus sel diatur

oleh komplek-komplek cyclin B-CDK1 dan cyclin C-CDK3. Selanjutnya selama

fase G1, cyclin D dan E meregulasi dan merakit dengan pasangan Cdk

[image:52.612.130.509.214.710.2]
(53)

commit to user

34 

 

 

masing. Cyclin D-CDK4 / 6 dan komplek cyclin E-CDK2 kemudian

memfosforilasi protein retinoblastoma (pRb) (Abukhdeir dan Park, 2009).

Progresi siklus sel secara normal terjadi bila pRb diinaktivasi oleh

fosforilasi yang dikatalisis oleh cyclin-CDK komplek. pRb berisi 16 situs

potensial untuk fosforilasi CDK, dan berosilasi antara bentuk

hypophosphorylated dan hyperphosphorylated selama siklus sel. Setidaknya ada

tiga cyclin-CDK kompleks dapat memfosforilasi pRb selama siklus sel.

Diperkirakan bahwa cyclin D-CDK4 / 6 memfosforilasi pRb pada tahap awal G1,

cyclin E-cdk2 memfosforilasi pRb pada tahap akhir G1, dan cyclin A-CDK2

dapat mempertahankan fosforilasi Rb selama fase S. Beberapa studi terbaru

menunjukkan bahwa pRb tidak terfosforilasi dan tidak aktif di G0, dan fosforilasi

yang terjadi pada awal tahap G1 oleh CDK4/6 mengarah pada hipofosforilasi.

Dalam sebuah penelitian, fosforilasi berturut-turut oleh cyclin D-CDK4/6 dan

cyclin E-CDK2 diperlukan untuk terjadinya hiperfosforilasi, sehingga

menonaktifkan dan melepaskan faktor transkripsi E2F dari hambatan tersebut.

E2F kemudian mengaktifkan berbagai faktor pertumbuhan dan promosi gen, yang

mengirim siklus sel ke tahap sintesis (Harbour dan Dean, 2000).

Gambar 2.4. Mekanisme p27 pada siklus sel ( Dikutip dengan modifikasi dari Andrijono, 2004)

[image:53.612.138.506.518.735.2]
(54)

commit to user

35 

 

 

p27, sebuah cyclin-CDK inhibitor, adalah tumor suppressor gen. Pada

jumlah yang sangat besar berkorelasi dengan besarnya tumor pada manusia. Pada

hewan percobaan penurunan ekspresi p27 mendukung insiden terjadinya tumor.

Inaktivasi sebagian besar tumor suppressor gen terjadi pada tingkat mutasi gen

atau silencing, sedangkan p27 diatur posttranscriptionally (Koff, 2006). p27 dapat

secara langsung menghambat aktifitas enzimatik CDK cyclin komplek. Proses

regulasinya pada fase G1 ke S dan menjaga sel tetap dalam keadaan istirahat

(Patah et al, 2003). Berkurangnya ekspresi dari cyclin-dependent kinase inhibitor,

p27Kip1, terbukti berhubungan dengan prognosis buruk pada beberapa kasus

keganasan (D’Andrilli et al, 2008).

Deregulasi tumor supresor gen, p27kip1 telah terlibat dalam berbagai

kanker manusia, mungkin ini dapat menjadi sasaran terapi yang baik dengan

adanya perkembangan pemahaman intervensi dan regulasi p27-spesifik pada sel

normal maupun patologis. Karakteristik p27 sebagai cyclin dependent kinase

inhibitor, gangguan fungsi inhibitor berperan dalam tumorigenesis. Sebuah

pemahaman yang lebih komprehensif p27 akan memfasilitasi perkembangan

terapeutik terhadap gangguan p27 berkaitan dengan kanker pada manusia (Nho et

al, 2003).

Mutasi gen atau silencing pada lokus p27 sangat jarang, dan ekspresi dari

p27 tampaknya sebagian besar dikendalikan oleh mekanisme posttranskripsional.

Mekanisme pengendalian ekspresi p27 didapat dari translasi dalam sel hingga

mekanisme proteolitik yang bekerja pada tahap tertentu siklus sel atau di

(55)

commit to user

36 

 

 

pergantian protein dan lokalisasi, terdapat tiga jalur mekanisme. Yang paling

mudah dipahami, melalui jalur ubiquination SCFskp2/cks1 dalam siklus sel di S

dan G2/M. Dengan tidak adanya jalur ini, penurunan tingkat p27 menyebakan sel

kembali ma

Gambar

Gambar 2.1.  Peran tumor supressor gen dalam siklus sel……………………….. 26
Tabel 2.2. Hasil  LOH  pada  Endometriosis,   EAOC (Endometriosis Asso-
Grafik Rerata Prosentase Ekspresi p27 pada Endometrioma
gambaran mekanisme hubungan antara keduanya.
+7

Referensi

Dokumen terkait

______ murid dapat mencapai objektif yang ditetapkan dan ______ murid yang tidak mencapai objektif akan diberi bimbingan khas dalam sesi akan datang.

Pejabat Pengadaan Barang/Jasa III Kegiatan APBD pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Musi Banyuasin Tahun Anggaran 2014, berdasarkan Berita Acara Hasil Pengadaan

kesesuaian soal dengan indikator soal dan materi ajar penelitian. Berdasarkan hasil validitas muka dan isi yang telah dilakukan, diperoleh.. hasil bahwa yang harus

menjadi sebuah data dimana E adalah hasil yang akan dicari seperti varian rasa. coklat, keju, dan blueberryDan H merupakan hipotesa bahwa E adalah

Ketidakcermatan dalam pencatatan pengambilan gambar akan menjadi kesalahan yang sangat fatal ketika produksi video yang dilakukan berkaitan dengan sebuah peristiwa

For Horace &#34;the foundation and source of literary excellence is wisdom,&#34; and he asserts that &#34;the works written about Socrates are able to reveal the true subject matter

Selain faktor sosial masyarakat yang perlu diperhatikan adalah faktor habitat seperti ketersediaan pakan, pelindung, air, dan ruang yang juga dapat menentukkan

Nah, saya sudah berusaha menuangkan ide itu, tapi tu, ee menuangkan argumen itu memberikan argumen itu kepada bapak ibu saya, tapi tuh mereka tetep