• Tidak ada hasil yang ditemukan

commit to user

TINJAUAN PUSTAKA

A. Endometrioma 1.Pengertian

  BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Endometrioma 1. Pengertian

Endometrioma merupakan penyakit jinak ginekologi dengan kelainan adanya endometrium ektopik pada ovarium termasuk kelenjar dan stromanya yang berhubungan dengan nyeri pelvis dan infertilitas (Speroff dan Fritz, 2005). Endometrioma merupakan suatu endometriosis ovarii berasal dari kata endometrium, arti endometriosis sendiri secara klinis adalah jaringan endometrium yang terdapat di luar kavum uteri seperti organ-organ genetalia interna, vesika urinaria, usus, peritoneum, paru, umbilikus bahkan dapat dijumpai di mata dan otak (Baziad, 2003). Wanita dengan endometriosis pada ovarium dapat berkembang dan tumbuh sampai dengan 6-8 cm, disebut juga endometrioma yang juga sering dikenal dengan istilah kista coklat karena berisi banyak debris darah bewarna kecoklatan di dalamnya (Tzadik ; Purcell ; Wheeler, 2007).

Endometrioma merupakan juga penyakit progresif ginekologi yang sering ditemukan. Namun demikian prevalensi dan insidensi yang sesungguhnya di populasi umum tidak diketahui, sangat beragam dan bergantung pada banyak faktor. Akibatnya, gambaran yang diperoleh tidak mewakili frekuensi penyakit di populasi umum, karena pemastian diagnosisnya membutuhkan pemeriksaan laparoskopi (Jacoeb et al, 2009). Akhir-akhir ini dengan semakin maraknya penggunaan laparoskopi, meningkatkan terdeteksinya kejadian endometrioma.

commit to user

6   

 

Dilaporkan prevalensi kejadian ini sangat beragam dipandang dari berbagai tingkat sosial maupun indikasi dari laparoskopi. Penelitian pada 1542 wanita caucasian, didapatkan 6 % wanita dengan endometriosis pada sterilisasi secara

laparoskopi, 21 % ditemukan pada wanita dengan infertilitas dan 15 % pada wanita dengan nyeri pelvis. Secara umum pada 1542 sampel tersebut didapatkan prevalensi endometriosis sebesar 33 % (West, 2004).

2. Patogenesis

Perkembangan teori patogenesis endometriosis baik dari ductus wolffii maupun dari jaringan mulleri telah banyak ditentang bahkan sebagian besar mengabaikan. Penemuan endometriosis pada permukaan lapisan serosa colon dan usus halus terjadi murni oleh derivasi embrionik yang terbatas. Teori coelomic metaplasia masih dianggap lemah, karena tidak dapat menjelaskan asal muasal endometriosis. Teori ini tidak dapat menjelaskan mengapa endometriosis hanya terjadi pada wanita reproduksi, terutama pada organ pelvis dan pada wanita dengan endometrium yang berfungsi baik.

Levander dan Normann (1955) mengemukakan teori induksi. Teori ini berdasarkan asumsi adanya substansi spesifik yang dilepaskan oleh endometrium yang berdegenerasi mengiduksi endometriosis dari omnipotent blastema.

Teori implantasi berdasarkan prinsip kemampuan endometrium dalam berimplantasi pada permukaan peritoneum. Teori ini terjadi atas 3 tahapan, yaitu :

a. Menstruasi retrograde

b. Menstruasi retrograde mengandung sel endometrial yang mampu

commit to user

7   

 

c. Adesi pada peritoneum terjadi karena adanya implantasi dan proliferasi Menstruasi retrograde dan adesi peritoneal dari jaringan endometrial merupakan elemen penting pada patogenesis endometriosis sesuai dengan teori Sampson (van der Linden, 1997).

Menurut Bulun (2009) endometriosis mempunyai 3 bentuk klinis yang nyata, yaitu :

a. Implantasi endometrium pada permukaan peritoneum pelvis dan

ovarium (peritoneal endometriosis)

b. Kista ovarii yang berisi mucosa endometrioid (endometrioma)

c. Massa solid kompleks yang terdiri dari campuran jaringan

endometrium dengan jaringan adiposa serta jaringan fibromuskular yang letaknya antara rectum dan vagina (rectovaginal endometriotic nodule)

Endometriosis pada ovarium lazim ditemukan pada wanita usia reproduksi, khususnya mereka yang sedang menjalani penilaian dan penanganan infertilitas. Secara klinis bentuk ini biasanya terdiagnosis sebagai lesi kistik dan disebut endometrioma. Ukurannya beragam, dari 1-2 cm hingga mencapai 10 cm atau lebih dan dapat menyerang satu atau kedua ovarium.

Histogenesis endometrioma belum seluruhnya jelas. Ternyata endometrioma memiliki protein yang berbeda dari susukan endometriosis nir-kistik, dengan tampilan kolagen VI yang relatif berlebihan dan tampilan bcl-2 dan metaloproteinase IX yang kurang. Pada perkembangan dan pemeliharaan dua

commit to user

8   

 

jenis ini, secara pembandingan imunohistokimiawi dapat ditampilkan gen-gen yang berbeda.

Ada tiga model yang paling mungkin untuk menjelaskan endometriosis ovarium. Pembentukan kista coklat yang khas dapat disebabkan oleh satu atau lebih hipotesis berikut ini :

Hipotesis pertama didukung oleh temuan irisan serial ovarium yang berisi endometrioma, ternyata pembentukan khas 90% kista coklat adalah penyusukan jaringan mirip endometrium yang melipat keluar ke permukaan ovarium dan berikutnya melekat ke peritoneum pelvik. Dengan demikian, kebanyakan endometrioma tampaknya dibentuk oleh invaginasi korteks setelah tumpukan serpih perdarahan susukan endometriosis permukaan melekat ke peritoneum.

Hipotesis kedua berasal dari teori Sampson yang menyatakan peran folikel ovarium dalam patogenesis kista endometriosis. Dalam hal ini ada penyebaran lokal endometriosis oleh alir balik darah haid melalui tuba dan susukan endometriosis permukaan menyerbu kista fungsional. Dengan demikian, susukan endometriosis di ovarium adalah serupa dengan endometriosis di sisi ekstraovarium yang ukurannya terbatasi oleh fibrosis dan jaringan parut. Artinya, endometrioma besar berkembang karena keterlibatan sekunder kista-kista folikel atau luteal oleh susukan-susukan permukaan. Beberapa endometrioma besar terbukti memiliki ciri histologik kista ovarium luteal atau folikuler. Dengan ultrasonografi transvaginal yang menjejaki folikel ovarium diketahui bahwa endometrioma dapat berkembang dari folikel ovarium.

commit to user

9   

 

Hipotesis ketiga menggambarkan bahwa metaplasia selomik dari epitel mesotelium yang berinvaginasi ke dalam korteks ovarium berperan pada etiopatogenesis endometrioma. Ini didasarkan pada adanya invaginasi epitel yang sinambung dengan jaringan endometriosis. Hipotesis ini juga didukung oleh adanya endometrioma multilokuler dan asal metaplastik dari tumor-tumor ovarium epitelial. Metaplasia selomik juga dikuatkan oleh adanya endometrioma yang tidak tertahan di peritoneum, sehingga tidak mungkin merupakan akibat dari perlekatan dan perdarahan susukan superfisial yang aktif. Bukti lain adanya endometrioma pada penderita sindrom Rokitansky-Kuster-Mayer-Hauser yang tidak memiliki haid terbalik.

Ketepatan patogenesis endometrioma tidak hanya diperlukan untuk kepentingan ilmiah, melainkan juga sebagai dasar praktis dalam menentukan penatalaksanaan yang paling memadai untuk kista endometriosis di ovarium (Jacoeb et al, 2009).

3. Klasifikasi

Menentukan stadium endometriosis penting terutama untuk menetapkan cara pengobatan yang tepat serta untuk evaluasi hasil pengobatan. Sistem pembagian stadium endometriosis yang dipakai dewasa ini adalah berdasarkan klasifikasi yang dianjurkan oleh Perkumpulan Fertilitas Amerika (American Fertility Society = AFS) dan yang dianjurkan oleh Kurt Semm berupa Endoscopic

Endometriosis Classification (EEC) (Baziad, 2003). Klasifikasi yang dibuat oleh

AFS tahun 1979 yang kemudian berganti nama menjadi ASRM (American Society for Reproductive Medicine) mengalami revisi. Walaupun tidak ada perubahan

commit to user

10   

 

dalam klasifikasinya, telah didiskripsikan bentuk lesi endometriosis sebagai lesi putih, merah atau hitam. Modifikasi ini munculkan berbagai penelitian lain mengenai beberapa aktifitas biokimia pada lesi dan memungkinkan prognosis penyakit ini dapat diprediksi dari bentuk implantasinya (Schorge et al, 2008).

Klasifikasi endometrioma dibagi menjadi 3 tipe berdasar pada ukuran, isi kista, mudahnya dipisahkan dari kapsulnya, adhesi kista terhadap struktur dan lokasi dari implantasi yang berhubungan dengan dinding kista. Setelah laparoskopi klinik, kista dievaluasi secara histologi tanpa mengkaitkan dengan klasifikasi klinis. Secara histologi kecil (<2 cm), terdapat pada lapisan superfisial kista dan dinding kista sangat sulit untuk dipisahkan merupakan karakteristik tipe I. Tipe II digambarkan sebagai kista berukuran besar dengan kista yang mudah dipisahkan dari kapsulnya serta merupakan kista luteal. Sedangkan kista besar dengan beberapa perlengketan dan memenuhi karakteristik histologi fungsional (kista luteal atau folikuler) merupakan tipe III (Nehzat et al, 1992).

Sedangkan menurut Jacoeb (2009), ada dua jenis endometrioma yaitu endometrioma primer atau jenis I dan endometrioma sekunder jenis II. Diagnosis dipastikan dengan biopsi yang diperoleh dengan laparoskopi. Model etiopatogenesis ini juga didukung oleh data biologis yang mengungkapkan kemampuan zalir folikel untuk mendukung pertumbuhan sel endometriosis. Zalir folikel penderita endometriosis dapat memicu peningkatan proliferasi sel dibandingkan dengan zalir folikel dari wanita tanpa penyakit. Selain itu, zalir folikel mewakili lingkungan yang nyaman bagi proliferasi sel yang merangsang

commit to user

11   

 

dengan kuat pertumbuhan sel endometrium dan endometriosis in vitro. Membagi endometrioma sebagai berikut :

a. Jenis I : - Endometrioma kecil (1-2 cm) dan berisi cairan gelap

- Terbentuk dari kelenjar-kelenjar endometrium dan

stroma

- Berkembang dari susukan endometriosis permukaan

dan sukar di-eksisi

- Merupakan endometriosis sejati (true endometriosis) - Secara mikroskopis jaringan endometriosis terlihat pada

semuanya

b. Jenis II : - Terbentuk dari kista luteal atau folikuler

Jenis IIA : - Kista hemoragik, penampakan endometrioma yang menyeluruh

- Dinding kista terpisahkan dengan mudah dari jaringan ovarium

- Susukan endometriosis terletak superficial dan

berdekatan dengan kista hemoragik, yang berasal folikuler atau luteal

- Mikroskopis tidak terlihat selaput endometrium

Jenis IIB : - Selaput kista mudah dipisahkan dari kapsul ovarium dan stroma, kecuali yang dekat dengan susukan endometriosis

commit to user

12   

 

dalam dinding kista, sehingga sukar dieksisi

- Temuan histologis endometriosis terlihat pada dinding kista pada kedua subtipe ini

- Endometrioma jenis IIB dan IIC berukuran besar dan

seringkali terkait dengan perlekatan adneksa dan pelvik 4. Diagnosis

Keragaman tampilan klinis dan keluhan pada endometriosis bergantung pada lokasi dan luasnya lesi. Lesi yang tersebar menyebabkan tampilnya banyak gejala yang tumpang tindih atau mirip dengan penyakit lain, seperti sindrom usus iritabel dan penyakit radang pelvik. Sebagian wanita pengidap endometriosis bahkan sama sekali tak bergejala. Akibatnya seringkali ada keterlambatan beberapa tahun antara awitan gejala dan diagnosis pasti (Jacoeb et al, 2009). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mendiagnosis endometriosis :

a. Tampilan klinis dan keluhan endometriosis sangat beragam (tak bergejala, ringan, berat)

b. Endometriosis tak dapat didiagnosis hanya dengan riwayat penyakit saja c. Diagnosis sementara dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan

pemeriksaan fisik, tetapi diagnosis pasti tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar gejala-gejala saja

d. Pemeriksaan pelvis yang amat jelas sekalipun tidak dapat dianggap

patognomonik

e. Belum ada satu pun uji diagnostik nir-invasif atau uji laboratorik

commit to user

13   

 

Diagnosis endometriosis sangat erat dihubungkan pada wanita dengan riwayat awitan gejalanya. Infertilitas, dismenore dan dispareuni sering kali sebagai keluhan utama pada penyakit ini. Sebagian besar penderita mengeluhkan nyeri pelvik yang konstan dan nyeri punggung yang terjadi premenstruasi yang berangsur menghilang pada saat menstruasi datang. Dispareuni sering dialami apabila penetrasi dalam. Keluhan-keluhan tersebut sering juga tidak muncul karena perbedaan implantasinya (Sajari, 2003).

Pemeriksaan fisik pada genetalia eksterna tidak ada kelainan. Adakalanya, pada pemeriksaan dengan spekulum tampak implantasi berwarna biru atau merah sebagai lesi proliferasi yang sering mengakibatkan perdarahan kontak, dan keduanya sering didapat pada fornix posterior. Pada infiltrasi endometriosis lebih dalam, implantasi pada septum rektovaginal sering teraba. Tidak jarang juga dapat terlihat. Sering didapat posisi uterus retrofleksi dan sedikit mobile atau terfiksir. Wanita dengan endometrioma didapatkan massa pada adneksa yang terfiksir, nyeri tekan dan ligamen uterosakral yang teregang karena perlengketan. Pemeriksaan fisik merupakan diagnosis paling sensitif bila dilakukan pada saat menstruasi dan apabila tidak ditemukan tanda klinis tersebut belum juga dapat menyingkirkan diagnosis endometriosis. Dibandingkan dengan diagnosis secara bedah sebagai baku standar untuk endometriosis, pemeriksaan fisik relatif kurang sensitif, spesifik dan bernilai prediktif.

Laparoskopi dengan pemeriksaan histologi pada lesi merupakan baku emas endometriosis. Dari bervariasinya keluhan yang didapatkan dan

commit to user

14   

 

pemeriksaan fisik yang teliti serta sistematik ketepatan diagnosis sebelum dilakukan laparoskopi menjadi dua kali lebih sensitif (Speroff dan Fritz, 2005). 5. Histopatologi

Menurut Taufan (2009), terdapat 3 tipe patologi yang dikenali yaitu : a. Endometriosis superficial (endometriosis bebas)

i. Peritoneal

Terdapat 2 tipe implantasi peritoneum endometrium yakni, lesi sub mesothelial dan intraepithelial. Kedua tipe ini mengandung unsure glandula dan stroma, dan terpengaruh oleh perubahan hormonal yang berelasi dengan siklus menstruasi, hal ini menunjukkan perubahan siklik yang mirip (tapi tidak identik) dengan sel endometrium normal. Lesi endometrium yang sembuh ditandai dengan adanya dilatasi glandula, ditopang oleh sel stroma, dan dikelilingi oleh jaringan fibrosa. Tipe lesi ini tidak terpengaruh oleh perubahan hormon.

ii. Ovarium

Lesi superfisial ovarium mirip dengan lesi di peritoneal, dan dapat terjadi di semua tempat di ovarium. Lesi hemoragik yang biasa didapati dihubungkan dengan bentuk berbagai keparahana adesi peri-ovarian, biasanya terdapat pada posterior ovarium.

b. Deep infiltrating (adenomatous) endometriosis (endometriosis yang

terperangkap)

Ditandai dengan jaringan fibromuskular dengan glandular endometrium yang jarang dan jaringan stroma ( mirip dengan

commit to user

15   

 

adenomyosis) tanpa epitel permukaan. Tidak seperti lesi peritoneal, deep endometriosis tidak memperlihatkan perubahan yang berarti selama siklus menstruasi. Nodul nodul ini khas berada di ruang rektovaginal dan melibatkan ligament sakrouterina, dinding posterior vagina dan dinding anterior rectum. Bisa juga meluas sampai ke lateral dan mempengaruhi ureter.

c. Ovarian endometrioma

Merupakan kista yang dibatasi jaringan endometrium dan berwarna coklat gelap atau cairan kecoklatan yang merupakan akibat dari perdarahan kronis yang berulang dari implantasi sel endometrium. Pada endometrioma yang lama, jaringan endometrium digantikan oleh jaringan fibrosa. Bahkan, semua jaringan glandular endometrium menghilang, tanpa meninggalkan bekas histopatologis endometriosis. Pada kebanyakan kasus, dinding kista merupakan dinding yang fibrotik dengan fokus hipervaskularisasi dan lesi perdarahan endometrium.

Secara biomolekuler, peran tumor suprresor gene p27 berperan dalam

tumorigenesis endometrioma. Hilangnya ekspresi p27 menyebabkan pertumbuhan endometrioma tak terhambat yang juga dapat menyebabkan debris darah dalam endometrioma imbibisi keluar yang mengakibatkan tumor melekat pada jaringan sekitar yang akhirnya dapat meningkatkan stadium penyakit.

commit to user

16      B. Karsinoma Ovarii 1. Pengertian

Dari semua keganasan ginekologi, keganasan ovarium merupakan sebuah tantangan klinis. Karsinoma ovarii merupakan kanker primer dari ovarium (Andrijono, 2004).

Karsinoma ovarium jenis epitel adalah penyebab utama kematian akibat kanker ginekologi di Amerika Serikat. Pada tahun 2003 diperkirakan terdapat 25400 kasus kanker ovarium dengan 14300 kematian, yang mencakup kira-kira 5% dari semua kematian wanita karena kanker. Kanker ovarium jarang ditemukan pada usia di bawah 40 tahun. Angka kejadian meningkat dengan makin tuanya usia. Dari 15-16 per 100000 pada usia 40-44 tahun, menjadi paling tinggi dengan angka 57 per 100000 pada usia 70-74 tahun. Usia median saat diagnosis adalah 63 tahun dan 48% penderita berusia di atas 65 tahun. Karena belum ada metode skrining yang efektif untuk karsinoma ovarii, 70% kasus ditemukan pada keadaan yang sudah lanjut yakni setelah tumor menyebar jauh di luar ovarium (Busmar, 2006).

2. Etiologi

Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan etiologi kanker ovarium, beberapa diantaranya Busmar (2006) menuliskan :

a. Hipotesis Incessant Ovulation

Teori ini menyatakan bahwa pada saat terjadi ovulasi, terjadi kerusakan pada sel-sel ovarium. Untuk penyembuhan luka yang sempurna diperlukan waktu. Jika sebelum penyembuhan tercapai terjadi lagi ovulasi

commit to user

17   

 

atau trauma baru, proses penyembuhan akan terganggu dan kacau sehingga dapat menimbulkan proses transformasi menjadi sel-sel tumor b. Hipotesis Gonadotropin

Kadar hormon estrogen rendah di sirkulasi perifer, kadar hormon gonadotropin akan meningkat. Peningkatan kadar hormon gonadotropin ini ternyata berhubungan dengan makin bertambah besarnya tumor ovarium.

Dari percobaan pada binatang rodentia, kelenjar ovarium yang telah terpapar pada zat karsinogenik dimetilbenzantrene (DMBA) akan menjadi tumor ovarium bila ditransplantasikan pada tikus yang telah diooforektomi, tetapi tidak menjadi tumor jika rodentia tersebut dilakukan hipofisektomi.

c. Hipotesis androgen

Epitel ovarium mengandung reseptor androgen. Epitel ovarium selalu terpapar pada androgenik steroid yang berasal dari ovarium itu sendiri dan kelenjar adrenal, seperti androstenedion, dehidroepiandrosteron dan testosteron. Dalam percobaan invitro androgen dapat menstimulasi pertumbuhan epitel ovarium normal dan juga sel-sel kanker ovarium dalam kultur sel. Dalam penelitian epidemologi juga ditemukan tingginya kadar androgen dalam darah wanita penderita kanker ovarium.

commit to user

18   

  d. Hipotesis Progesteron

Penelitian pada ayam Gallus domesticus menemukan 3 year incidence terjadinya kanker ovarium secara spontan pada 24% ayam yang

berusia lebih dari 2 tahun. Dengan pemberian makanan yang mengandung pil kontarsepsi ternyata menurunkan terjadinya kanker ovarium. Penurunan insiden ini ternyata makin banyak jika ayam tersebut diberikan hanya progesteron.

e. Paritas

Penelitian menjukkan bahwa wanita dengan paritas yang tinggi memiliki risiko terjadinya kanker ovarium yang lebih rendah daripada nulipara, yaitu dengan risiko relatif 0,7. Pada wanita mengalami 4 atau lebih kehamilan aterm, risiko terjadinya kanker ovarium berkurang sebesar 40% jika dibandingkan dengan wanita nulipara.

f. Pil kontrasepsi

Penelitian dari Center for Disease Control menemukan penurunan risiko terjadinya kanker ovarium sebesar 40% pada wanita usia 20-54 tahun yang memakai pil kontrasepsi, yaitu dengan risiko relatif 0,6. Penelitian lain melaporkan juga bahwa pemakaian pil kontrasepsi selama setahun menurunkan risiko hingga 11%, sedangkan pemakaian selama 5 tahun menurunkan risiko hingga 50%. Penurunan risiko semakin nyata dengan semakin lama pemakaiannya.

commit to user

19   

  g. Talk

Pemakaian talk (hydrous magnesium silicate) pada daerah perineum dilaporkan meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium dengan risiko relatif 1,9%. Akan tetapi, penelitian propestif mencakup 78000 wanita ternyata tidak mendukung teori tersebut. Meskipun 40% kohort melaporkan pernah memakai talk, hanya sekitar 15% yang memakainya setiap hari. Risiko relatif terkena kanker ovarium pada yang pernah memakai talk tidak meningkat (RR 1,1). Demikian juga bagi yang selalu memakainya.

h. Ligasi Tuba

Pengikatan tuba ternyata menurunkan risiko terjadinya kanker ovarium dengan risiko relatif 0,3. Mekanisme terjadinya efek protektif in diduga dengan terputusnya akses talk atau karsinogen lainnya dengan ovarium.

i. Terapi Hormon Pengganti pada Masa Menopause

Pemakaian terapi hormon pengganti pada masa menopause (Menopausal Hormone Therapy = MHT) dengan estrogen saja selama 10 tahun

meningkatkan risiko relatif 2,2. Sementara itu, jika masa pemakaian MHT selama 20 tahun atau lebih, risiko relatif meningkat menjadi 3,2. Pemakaian MHT dengan estrogen yang kemudian diikuti progestin, ternyata menunjukkan meningkatnya risiko relatif menjadi 1,5.

commit to user

20   

  j. Obat Fertilisasi

Obat- obat yang meningkatkan fertilitas seperti klomifen sitrat yang diberikan secara oral dan obat-obat gonadotropin yang diberikan dengan suntikan seperti FSH, kombinasi FSH dan LH akan menginduksi terjadinya ovulasi atau multipel ovulasi. Menurut hipotesis incessant ovulation dan hipotesis gonadotropin, pemakaian obat-obatan ini jelas

meningkatkan kejadian kanker ovarium. k. Faktor Herediter

Adanya riwayat keluarga dengan kanker ovarium ditemukan risiko relatif meningkat dan berbeda pada anggota lapis pertama. Ibu dari penderita kanker ovarium risiko relatifnya 1,1 saudara perempuan risiko relatifnya 3,8 dan anak dari penderita risiko relatifnya 6. Yang sering dikaitkan pada angka kejadian ini melalui BRCA gen dan HNPCC (hereditary nonpolyposis colorectal cancer).

3. Klasifikasi

Busmar (2006) mengemukakan 90% kanker ovarium berasal dari epitel coelom atau mesotelium (epithelial ovarian tumor) dan 10% adalah kanker ovarium non epitelial (non epithelial ovarium tumor).

Kanker ovarium dikelompokkan menjadi 6 kelompok, yaitu : a. Tumor epitelial

b. Tumor sel germinal

c. Tumor sex cord dan stromal d. Tumor sel lipid

commit to user

21      e. Sarkoma f. Tumor metastasis

80% dari tumor ovarium merupakan tumor epitelial yang sering didapatkan pada wanita umur diatas 45 tahun. Relatif sangat jarang ditemukan pada wanita yang lebih muda. Dan pada usia muda lebih sering didapatkan jenis tumor sel germinal. Pada wanita pasca menopouse hanya 7% tumor ovarium epitelial yang ganas. Secara histopatologi tumor ovarium epitelial menurut WHO diklasifikasikan menjadi :

a. Serous tumor

i. Benign

- Cystadenoma and papillary cystadenoma

- Surface papilloma

- Adenofibroma and cystadenofibroma

ii. Malignant

- Adenocarcinoma

- Surface papillary adenocarcinoma

- Malignant adenofibroma and cystadenofibroma

b. Mucinous tumor

i. Benign

- Cystadenoma

commit to user

22      ii. Malignant - Adenocarcinoma - Malignant adenofibroma

- Mural nodule arising in mucinous cystic tumor

c. Endometrioid tumor

i. Benign

- Adenoma and cystadenoma

- Adenofibroma and cystadenofibroma

ii. Malignant

- Adenocarcinoma

- Adenoacanthoma

- Adenosquamous carcinoma

- Malignant adenofibroma with a malignant stromal component

- Adenosarcoma

- Endometrial stromal sarcoma

- Carcinoma, homologous and heterologous

- Undifferentiated sarcoma

d. Clear cell tumor

i. Benign

- Tumor of low malignant potential

ii. Malignant

commit to user

23   

  e. Transitional cell tumor

i. Brenner’s tumor

ii. Proliferating Brenner’s tumor

iii. Malignant Brenner’s tumor

iv. Transitional cell carcinoma (non Brenner type)

f. Squamous cell carcinoma

g. Mix epithelial tumor

h. Undifferentiated carcinoma

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa keganasan ovarium jenis epitelial bukan merupakan penyakit tunggal tetapi terdiri berbagai kelompok tumor yang dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi yang khas dan fitur genetika molekular. Satu kelompok tumor, disebut sebagai tipe I, terdiri dari low-grade serous, low-low-grade endometrioid, clear cell, mucinous dan karsinoma

transisional (Brenner). Tumor ini umumnya berkembang perlahan, terbatas pada ovarium, sebagai tipe yang relatif stabil secara genetis. Tipe ini tidak memiliki mutasi p53, tetapi masing-masing jenis histopatologi mempunyai profil genetik molekular berbeda. Selain itu, tipe ini mempunyai kecenderungan ke arah jinak dan sering juga merupakan border line tumor. Kelompok lain, disebut tipe II, sangat agresif, berkembang dengan cepat dan hampir selalu ditemukan pada stadium lanjut. Terdiri dari high-grade serous, undifferentiated carcinoma dan malignant mixed mesodermal tumor (carcinosarcoma). Semuanya menunjukkan

mutasi p53 lebih dari 80% dan mutasi ini jarang terdapat pada tipe I (Kurman dan Ie-Ming, 2010).

commit to user

24   

  4. Karsinogenesis

Karsinogenesis merupakan proses yang berlangsung melalui beberapa tahapan (multistage). Paling sedikit karsinogenesis ada 2 tahap, bahkan ada yang mengemukakan paling sedikit 6-7 tahap. Kanker merupakan akumulasi dari perubahan genetik. Kerusakan materi genetik ini dapat berupa mutasi, kelainan jumlah atau struktur. Proses dimulai dengan tahapan inisiasi dimana gen tertentu mengalami kerusakan dan sifat kerusakan ini bersifat menetap (irreversible). Sebelum mengalami perubahan menjadi sel kanker, secara fenotipe sel tersebut tidak berbeda dengan sel normal lainnya. Hanya saja ia lebih sensitif terhadap perubahan sekitarnya jika dibandingkan dengan sel normal yaitu mudah

Dokumen terkait