• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengalaman anak sulung terhadap harapan orang tua dan strategi kopingnya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengalaman anak sulung terhadap harapan orang tua dan strategi kopingnya."

Copied!
358
0
0

Teks penuh

(1)

PENGALAMAN ANAK SULUNG TERHADAP HARAPAN ORANG TUA DAN STRATEGI KOPINGNYA

Uli Yunistra Rosari Silaen

ABSTRAK

Studi kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengalaman yang dialami anak sulung terhadap harapan orang tua serta bagaimana strategi koping mereka terhadap dampak yang muncul. Penelitian dilakukan pada tiga orang anak sulung. Teknik pemilihan dengan operational construct sampling, yaitu dipilih dengan kriteria berdasarkan teori tertentu. Informan berusia 18-25 tahun, yang memiliki saudara kandung minimal dua orang. Pengambilan data dilakukan menggunakan wawancara dengan pedoman umum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman yang dialami informan terhadap harapan orang tua adalah pengalaman merespon harapan orang tua serta dampak positif maupun negatif yang dirasakan. Pengalaman mersepon yang dialami anak sulung adalah secara asertif menolak dan bernegosiasi terkait harapan orang tua yang berbeda. Sikap tersebut tidak ditanggapi dengan baik oleh orang tua, sehingga mereka memilih bersikap pasif. Namun adanya kesadaran diri mengenai perannya sebagai anak sulung, mendorong ketiga informan untuk mewujudkan harapan orang tua meskipun mereka menunda mewujudkan pelaksanannya. Dampak positif yang dirasakan adalah melatih kepekaan, kedewasaan, dan tanggung jawab, serta merasa tertantang untuk memenuhi harapan orang tua. Dampak negatif juga dirasakan oleh anak sulung akibat dari harapan orang tua yaitu merasa tertekan. Cara mengatasi dampak negatif tersebut dengan melakukan represi dan bercerita kepada orang lain. Keduanya termasuk dalam strategi koping jenis emotion-focused coping. Selain itu, win-win solution menjadi salah satu cara yang dilakukan informan dalam menghadapi perbedaan harapan dengan orang tua.

(2)

A FIRSTBORN’ EXPERIENCES TOWARDS PARENT’ EXPECTATION AND COPING STRATEGIES

Uli Yunistra Rosari Silaen

ABSTRACT

This qualitative study aimed to reveal a description of experiences that faced by a firstborn towards parents’ expectations and their coping strategies used for the negative impacts that appeared. This study was done for three firstborns. The researcher used Operational Construct Sampling technique, meaning the informants were chosen based on the specific theories. The informants were 18 to 25-year-old people who had at least 2 younger siblings. The data acquisition was done by using a general method interview. The result of this study showed some experiences that faced by the informants towards parents’ expectations is experiencing to respond

the parents’ expectations and the positive or negative impacts that were faced. That informants

refused and assertively tried to negotiate concerning to the parents’ expectations. The parents did not really show a positive respond for their opinion, so the informants chose to be passive. However, they were aware of being a firstborn, and that situation pushed them to actualise the

parents’ expectations although they postponed it. The positive impacts are training the sensitivity,

maturity, and responsibility. Then, sense the challenge to fulfill the parents’ expectations. The negative impacts were also felt by the firstborns. The felt stressful. They overcame the impacts by repression and sharing with others, which include as emotion-focused coping. The informants also used win-win solution to solved the difference expectation.

(3)

PENGALAMAN ANAK SULUNG TERHADAP HARAPAN

ORANG TUA DAN STRATEGI KOPINGNYA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh: Uli Yunistra Rosari Silaen

109114149

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)
(5)
(6)

iv

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang

ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan,

yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan

kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang

penuh harapan.”

(Yeremia 29:11)

“Believe in all that can be, A miracle starts whenever you dream,

Believe and sing your heart you’ll see, Your song will hold the key.” (OST “Barbie And The Diamond Castle”)

S

Saayya a ppeerrsseemmbbaahhkkaann kkaarryyaa ininii uunnttuukk::

T

Tuuhhaann YeYessuuss,,

M

Maammaa ddaann BBaappaakk,,

S

Syyllvvii – –ShSheerrllyy – – IItata,,

S

(7)
(8)

vi

PENGALAMAN ANAK SULUNG TERHADAP HARAPAN ORANG TUA DAN STRATEGI KOPINGNYA

Uli Yunistra Rosari Silaen

ABSTRAK

Studi kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengalaman yang dialami anak sulung terhadap harapan orang tua serta bagaimana strategi koping mereka terhadap dampak yang muncul. Penelitian dilakukan pada tiga orang anak sulung. Teknik pemilihan dengan operational construct sampling, yaitu dipilih dengan kriteria berdasarkan teori tertentu. Informan berusia 18-25 tahun, yang memiliki saudara kandung minimal dua orang. Pengambilan data dilakukan menggunakan wawancara dengan pedoman umum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman yang dialami informan terhadap harapan orang tua adalah pengalaman merespon harapan orang tua serta dampak positif maupun negatif yang dirasakan. Pengalaman mersepon yang dialami anak sulung adalah secara asertif menolak dan bernegosiasi terkait harapan orang tua yang berbeda. Sikap tersebut tidak ditanggapi dengan baik oleh orang tua, sehingga mereka memilih bersikap pasif. Namun adanya kesadaran diri mengenai perannya sebagai anak sulung, mendorong ketiga informan untuk mewujudkan harapan orang tua meskipun mereka menunda mewujudkan pelaksanannya. Dampak positif yang dirasakan adalah melatih kepekaan, kedewasaan, dan tanggung jawab, serta merasa tertantang untuk memenuhi harapan orang tua. Dampak negatif juga dirasakan oleh anak sulung akibat dari harapan orang tua yaitu merasa tertekan. Cara mengatasi dampak negatif tersebut dengan melakukan represi dan bercerita kepada orang lain. Keduanya termasuk dalam strategi koping jenis emotion-focused coping. Selain itu, win-win solution menjadi salah satu cara yang dilakukan informan dalam menghadapi perbedaan harapan dengan orang tua.

(9)

vii

A FIRSTBORN’ EXPERIENCES TOWARDS PARENT’ EXPECTATION

AND COPING STRATEGIES

Uli Yunistra Rosari Silaen

ABSTRACT

This qualitative study aimed to reveal a description of experiences that faced by a firstborn towards parents’ expectations and their coping strategies used for the negative impacts that appeared. This study was done for three firstborns. The researcher used Operational Construct Sampling technique, meaning the informants were chosen based on the specific theories. The informants were 18 to 25-year-old people who had at least 2 younger siblings. The data acquisition was done by using a general method interview. The result of this study showed some experiences that faced by the informants towards parents’ expectations is experiencing to respond

the parents’ expectations and the positive or negative impacts that were faced. That informants

refused and assertively tried to negotiate concerning to the parents’ expectations. The parents did not really show a positive respond for their opinion, so the informants chose to be passive. However, they were aware of being a firstborn, and that situation pushed them to actualise the

parents’ expectations although they postponed it. The positive impacts are training the sensitivity,

maturity, and responsibility. Then, sense the challenge to fulfill the parents’ expectations. The negative impacts were also felt by the firstborns. The felt stressful. They overcame the impacts by repression and sharing with others, which include as emotion-focused coping. The informants also used win-win solution to solved the difference expectation.

(10)
(11)

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus atas kasih-Nya sehingga berkat dan

penyertaan-Nya tercurah kepada peneliti untuk menyelesaikan penelitian ini

dengan baik. Peneliti menyadari bahwa pengalaman dan perenungan akan hidup

memberi sumbangan bagi penelitian ini. Penelitian berjudul “Pengalaman dan

Strategi Koping Anak Sulung terhadap Harapan Orang Tua” diajukan untuk

mendapatkan gelar sarjana dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma dan

sebagai bentuk kepedulian terhadap fenomena harapan orang tua terhadap anak

sulung.

Penelitian ini telah menemukan bagaiamana gambaran pengalaman anak

sulung terhadap harapan-harapan dari orang tua dan cara-cara mengatasi dampak

yang timbul dari harapan orang tua. Penelitian ini ditujukan kepada pembaca yang

memiliki pengalaman serupa maupun tidak, sehingga diharapkan dapat membantu

untuk lebih peduli dan menyadari keberadaan keluarga, orang tua, adik maupun

kakak.

Proses penyelesaian skripsi ini melibatkan banyak pihak yang dengan

tulus memberikan bantuan, dukungan serta doa. Oleh karena itu, peneliti

mengucapkan terimakasih kepada

1. Tuhan Yesus Kristus atas kasih, penyertaan, talenta dan penyelenggaraan

hidup yang ajaib sehingga peneliti dapat menyelesaikan proses penelitian

(12)

x

2. Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma dan sebagai dosen pembimbing skripsi atas

bimbingan dan kepercayaan penuh kepada peneliti sehingga peneliti

menjadi lebih kreatif selama proses penyelesaian penelitian ini.

3. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si selaku Kepala Program Studi yang telah

menerapkan pengajaran baik selama proses kuliah.

4. Ibu P.Henrietta P.D.A.D.S., S.Psi., M.A selaku Wakil Kepala Program Studi

dan sebagai dosen pembimbing akademik atas keramahan, perhatian,

dukungan, dan waktu yang diluangkan untuk membimbing peneliti selama

proses penelitian dan perkuliahan.

5. Dosen penguji…

6. Ibu Monica Eviandaru M. M. App., Psych. Selaku dosen pembimbing

akademik terdahulu atas ajaran, ide, sebagai inspirasi peneliti untuk lebih

tekun, untuk literature dan waktu luang yang diberikan untuk mengoreksi

penelitian ini.

7. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma atas

pengenalan ilmu serta berbagi pengalaman kepada peneliti.

8. Staff Fakultas Psikologi: Mas Gandung, Bu Nanik, Pak Gik, Mas Muji dan

Mas Doni. Terima kasih sudah membantu dalam segala keperluan penulis

dalam menyelesaikan studi.

9. TT, AA, dan AJ sebagai informan penelitian atas kesediaannya berbagi

(13)

xi

10. Fiona Damanik atas ketulusannya membantu sebagai inter-rater dalam

mengolah data.

11. Bapak, Holant Tumbur Silaen, dan Mama, Yuni Astutik, orang tua yang

mendidik dan menegur dengan kasih, selalu mendukung peneliti untuk

berkembang, dan ajaran untuk bersyukur serta berpengharapan kepada

Tuhan.

12. Sylvia Martha Aprilia Silaen (Silpup), Sherly Tania Natalie Silaen (Dek

Sur), dan Ita Sondang Permata Puteri Silaen (Itakun), adik-adik yang

dengan karakternya masing-masing mewarnai keluarga.

13.Untuk teman, sahabat, saudaraku KEPOMPI: Owe, Disti, Sheila, Cintem,

Mega, dan Aning atas kebersamaan saling mendengarkan dan didengarkan,

untuk dukungan dan teguran, serta kejutan-kejutannya setiap hari.

14.Untuk Louis Rony Aditya, partner yang dengan sabar mendukung dan

mendampingi dengan penuh kasih dan ketulusan.

15.Teman-teman Psikologi 2010: Suster Petra, Kak Ria, Esri, Suster Marcell,

Opah, Tyas, Irma, Nani, Tirza, Monik, dan semuanya atas proses

pertemanan dan perkuliahan yang menyenangkan bersama kalian.

16.Keluargaku di Paduan Suara Mahasiswa Cantus Firmus: Pak Mbong, Kak

Ichak, Rijang, Nitnot, Mas Yogis, Pewl, Kimcil, Satya, Satriyo, Susi, Adit,

Detha, Kuntil, Kepi, Tamara, Yose, Dion, Lintang, Ayuk, semuanya yang

tidak bisa disebutkan satu per satu. Bersyukur dapat berproses dan dibentuk

(14)

xii

17.Kakak dan saudaraku di XPECTA: Mbak Elsa, Ully, Gita, Elga, Kak Oliv

untuk kesempatan bermimpi dan mewujudkan mimipi kita bersama,

terimakasih atas dukungan dan pengertiannya.

18.Gita Indriya SD Negeri Ungaran Yogyakarta, yang memberi kesempatan

saya untuk berkembang dalam mengajar, membimbing dan bersosialisasi

dengan para murid.

19.Untuk Ratri Kepsii, Leo, dan Paul telah mau berbagi kisah hidup yang luar

biasa dalam mengambil keputusan. Saya salut dengan kalian!

20.Semua orang hebat dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-per

satu yang mendukung, menyemangati, menegur, mengingatkan dengan doa

dan perhatian baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga saya

dapat menyelesaikan karya ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu,

penulis memohon maaf apabila terdap hal-hal yang kurang berkenan. Penulis

menerima segala masukan yang membangun demi perbaikan penelitian

selanjutnya. Semoga karya ini bisa bermanfaat bagi banyak pihak. Terimakasih.

Yogyakarta,

Penulis,

(15)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR SKEMA ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

1. Manfaat Teoretis ... 11

(16)

xiv

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13

A. Anak Sulung ... 13

1. Pengertian Anak Sulung ... 13

2. Karakteristik Anak Sulung ... 13

3. Review Penelitian Terdahulu tentang Anak Sulung dan Urutan kelahiran 18 B. Harapan Orang Tua ... 23

1. Pengertian Harapan Orang Tua ... 23

2. Jenis-jenis Harapan Orang Tua ... 24

3. Harapan Orang Tua terhadap Anak Sulung Dalam Tinjauan Mendetail 26

a. Faktor yang mempengaruhi ... 26

b. Macam-macam harapan orang tua ... 27

c. Dampak harapan orang tua ... 30

C.Strategi Koping... 31

1. Pengertian Strategi Koping ... 31

2. Fungsi dan jenis Koping... 32

3. Review penelitian Terdahulu tentang Strategi Koping pada Anak Sulung 37 D.Kerangka Penelitian ... 40

E.Pertanyaan Penelitian ... 41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 42

A. Jenis Penelitian ... 42

B. Fokus Penelitian ... 43

(17)

xv

D. Metode Pengumpulan Data ... 44

E. Prosedur Analisis Data ... 49

F. Keabsahan Data ... 51

1. Kredibilitas Penelitian ... 52

2. Dependabilitas ... 56

3. Transferabilitas ... 59

4. Konfirmabilitas ... 59

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 61

A. Pelaksanaan Penelitian ... 61

1. Persiapan Penelitian ... 61

2. Pelaksanaan Penelitian ... 62

3. Jadwal Pengambilan Data ... 63

4. Proses Analisis Data ... 67

B. Profil Informan dan Deskripsi Harapan Orang Tua ... 69

1. Informan 1 (TT)... 69

2. Informan 2 (AA) ... 71

3. Informan 3 (AJ) ... 74

C. Hasil Penelitian ... 76

1. Informan 1 ... 76

2. Informan 2 ... 86

3. Informan 3 ... 97

(18)

xvi

a. Pengalaman Anak Sulung Terhadap Harapan Orang Tua ... 109

1) Gambaran Pengalaman Merespon Harapan Orang Tua ... 109

2) Gambaran Pengalaman Terkait Dampak Harapan Orang tua ... 114

b. Strategi Koping terhadap Dampak Harapan Orang Tua ... 117

D. Pembahasan ... 121

1. Pengalaman Anak Sulung terhadap Harapan Orang Tua ... 121

a. Gambaran Pengalaman Merespon Harapan Orang Tua... 121

b. Gambaran Pengalaman terkait Dampak Harapan Orang Tua... 127

2. Strategi Koping Anak Sulung terhadap Harapan Orang Tua ... 132

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 137

A. Kesimpulan ... 137

B. Keterbatasan Penelitian ... 138

C. Saran ... 138

DAFTAR PUSTAKA ... 141

(19)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Panduan Wawancara... 46

Tabel 2 Tabel Identitas Informan ... 63

Tabel 3 Jadwal Wawancara Informan 1 (TT) ... 64

Tabel 4 Jadwal Wawancara Informan 2 (AA) ... 65

Tabel 5 Jadwal Wawancara Informan 3 (AJ) ... 66

Tabel 6 Tema Utama: Pengalaman terhadap Harapan Orang tua... 119

(20)

xviii

DAFTAR SKEMA

(21)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Tema Utama Informan 1 (TT) ... 148

Lampiran 2 Catatan Lapangan Wawancara ke-1 Informan 1 (TT) ... 149

Lampiran 3 Transkrip Verbatim Wawancara ke-1 dan Analisis Data

Informan 1 (TT) ... 151

Lampiran 4 Catatan Lapangan Wawancara ke-2 Informan 1 (TT) ... 177

Lampiran 5 Transkrip Verbatim Wawancara ke-2 dan Analisis Data

Informan 1 (TT) ... 179

Lampiran 6 Tema Utama Informan 2 (AA) ... 195

Lampiran 7 Catatan Lapangan Wawancara ke-1 Informan 2 (AA) ... 197

Lampiran 8 Transkrip Verbatim Wawancara ke-1 dan Analisis Data

Informan 2 (AA) ... 199

Lampiran 9 Catatan Lapangan Wawancara ke-2 Informan 2 (AA) ... 231

Lampiran 10 Transkrip Verbatim Wawancara ke-2 dan Analisis Data

Informan 2 (AA) ... 233

Lampiran 11 Tema Utama Informan 3 (AJ) ... 261

Lampiran 12 Catatan Lapangan Wawancara ke-1 Informan 3 (AJ) ... 262

Lampiran 13 Transkrip Verbatim Wawancara ke-1 dan Analisis Data

Informan 3 (AJ) ... 264

Lampiran 14 Catatan Lapangan Wawancara ke-2 Informan 3 (AJ) ... 299

Lampiran 15 Transkrip Verbatim Wawancara ke-2 dan Analisis Data

(22)

xx

Lampiran 16 Protokol Wawancara ... 331

Lampiran 17 Informed Consent ... 334

Lampiran 18 Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara ... 336

(23)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menjadi anak sulung merupakan peran yang harus dijalani

dengan kuat dan tahan banting. Kurniawan (komunikasi pribadi, 19 Mei,

2013), menuliskan keluh kesah kehidupan perannya sebagai anak sulung

dalam blog pribadi.

“Saat ini saya sedang merasa lelah mengemban peran sebagai anak sulung. ingin rasanya titel „anak sulung-harapan semua pihak‟ yang saya emban untuk dicopot sementara lalu saya bergerak bebas menikmati apa yang ingin saya nikmati. Tapi kenyataan bilang kalau sebagai anak sulung harus dibawa selama hayat dikandung badan,……..Sebagai anak sulung saya merasa begitu „dibebani‟ banyak harapan dari berbagai pihak termasuk orang tua, tapi saya jarang meminta reward kepada sebagai balasan atas tercapainya beberapa harapan,……….Apakah memang anak sulung memang diberikan peran untuk jadi yang paling kuat, paling tahan banting dan terkesan sebagai superhero bagi adik-adiknya dan seluruh anggota keluarga? Apakah semua anak sulung diwajibkan harus mendapatkan pencapaian yang membanggakan orang tua dan sebagus mungkin…..? Saya rasa anak sulung memang sudah diprogram untuk memiliki kepatuhan di atas rata-rata, sehingga mereka jarang mengungkapkan tuntutan/ keinginan mereka sendiri. Anak sulung sepertinya diciptakan sebagai individu yang selalu mengutamakan kepentingan keluarga di atas kepentingan pribadinya.” (Kurniawan, komunikasi pribadi, 19 Mei, 2013)

Tulisan tersebut ingin mengungkapkan pengalaman seorang

anak sulung yang merasa lelah dan terbebani menyandang status sebagai

anak sulung. Pengalaman diatas mengungkapkan begitu banyak harapan

yang dititipkan kepadanya, baik orang tua maupun sanak saudara. Orang tua

(24)

sehingga dapat menjadi teladan bagi adik-adiknya. Selain itu, diharapkan

mampu meringankan beban orang tua untuk menyekolahkan adik-adiknya.

Ia diwajibkan mendapatkan pencapaian yang membanggakan orang tua.

Oleh karena itu, ia merasa bahwa menjadi anak sulung memang sudah di

program untuk memiliki kepatuhan di atas rata-rata, sehingga terkesan

seperti superhero bagi adik dan seluruh anggota keluarga.

Tulisan di atas ingin mengungkapkan bahwa begitu banyak

harapan orang tua terhadap anak sulung, sehingga dirasakan menjadi beban

bagi diri anak tersebut. Martin (dalam Palmer, 1966) mengatakan bahwa

sebagian besar anak pertama merupakan korban tuntutan, harapan, serta

ambisi orang tua yang berlebihan. Orang tua memiliki tuntutan dan

menentukan standar yang tinggi terhadap anak yang lahir pertama kali

dibandingkan dengan anak yang lahir berikutnya. Mereka memberikan lebih

banyak tekanan untuk berhasil dan bertanggung jawab serta ikut campur

dalam kegiatan-kegiatannya (Rothbart dalam Santrock, 2002; 2007).

Faktor yang mempengaruhi tingginya harapan orang tua

terhadap anak sulung adalah urutan kelahiran. Orang tua menaruh harapan

yang lebih tinggi pada anak-anak yang lahir duluan daripada anak-anak

yang lahir kemudian (Santrock, 2002). Individu yang lahir pertama kali

langsung menjadi sorotan orang tua serta harapan-harapan mereka, tanpa

adanya perantaraan saudara kandung. Oleh karena itu, orang tua cenderung

memiliki harapan yang tinggi kepada anak yang lahir duluan (Palmer,

(25)

anak (Agustina, 2014). Misalnya, memberikan perhatian dan perlindungan

yang berlebihan (Hurlock dalam Susanti, 2004). Dampaknya orang tua lebih

cerewet serta menuntut lebih banyak terhadap anak sulung (Vitamind,

2002). Sebuah penelitian mengatakan bahwa banyak orang tua memberi

perlakuan lebih keras dalam mendidik anak pertama. Hasil positifnya adalah

statistik tingkat kecerdasan anak sulung lebih tinggi dibandingkan anak

bungsu. Menurut V. Joseph Host, ketua penelitian, bukan urutan kelahiran

yang mempengaruhi tingkat kecerdasan anak, akan tetapi lebih kepada

bagaimana pola asuh disiplin yang diterapkan orang tua pada

masing-masing anak (Agustina, 2014).

Harapan orang tua yang tinggi ditekankan lebih besar terhadap

prestasi dan tanggung jawab kepada anak sulung (Sumiyati dalam Andre,

2010). Pertama, terhadap tanggung jawab, Santrock (2002) menyatakan,

saudara yang paling tua diharapkan berlatih mengendalikan diri dan

memperlihatkan tanggung jawab dalam berinteraksi dengan adik-adiknya.

Mereka diharapkan lebih dominan, kompeten dan berkuasa daripada

saudaranya yang lebih muda. Selain itu, orang tua juga mengharapkan anak

sulung untuk mampu mengajari dan membantu adik-adiknya. Ditambahkan

oleh Sujanto (1986), orang tua menyerahkan tanggungjawab kepada anak

sulung terkait kehidupan, keselamatan, dan kebahagiaan

saudara-saudaranya. Penyerahan tanggung jawab ini sudah dilatih sejak kecil, yaitu

mengasuh adik-adiknya, menjaga, mengajak bermain, memberikan makan,

(26)

diharapkan dapat berbuat seperti yang diperbuat orang tuanya. Hal ini

menyebabkan anak sulung yang paling mungkin mengambil posisi

kepemimpinan, karena pada umumnya mereka bertindak sebagai pemimpin

saudara-saudaranya dalam keluarga (Whitbourne, 2013).

Penelitian terkait dilakukan Herrera et al (2003) mengenai

keyakinan tentang urutan kelahiran. Terdapat empat penelitian yang

dilakukan. Salah satu penelitiannya menghasilkan kesimpulan terkait anak

sulung, bahwa anak sulung diyakini yang paling cerdas, bertanggung jawab,

taat, stabil dan sedikit emosional. Hasil ini konsisten dengan penelitian yang

dilakukan oleh Nyman (dalam Herrera et al, 2003) bahwa anak pertama

dipercayai lebih bertanggung jawab.

Kedua, anak sulung diharapkan oleh orang tua memiliki

pencapaian prestasi yang baik. Kurniawan (komunikasi pribadi, 19 Mei,

2013) : “Nak, kuliahmu harus berhasil agar adik-adikmu termotivasi.

Bayangkan jika kuliahmu gagal lalu adik-adikmu dihantui bayang-bayang

kegagalanmu saat mereka kuliah nanti.” Ini merupakan salah satu contoh

bahwa orang tua memiliki harapan besar agar anak sulung memiliki prestasi

yang baik. Adler (1957:126) mengatakan: “You are the larger, the stronger,

the older, and therefore you must also be cleverer than the others.” Karena

anak pertama dianggap yang paling besar, maka ia dituntut orang tua untuk

lebih pandai dibandingkan saudara-saudaranya. Anak sulung harus siap

memberikan passing grade yang tinggi agar adik-adiknya bisa mendapatkan

(27)

perguruan tinggi yang dia inginkan. Anak sulung harus bisa menjadi

patokan untuk adik-adiknya. Hal ini dikarenakan ia akan dijadikan contoh

dan perbandingan. Oleh karena itu, diharapkan anak sulung bisa

memberikan upaya terbaiknya untuk dapat menjadi teladan bagi

adik-adiknya (Efranda, komunikasi pribadi, 6 April, 2014).

Sebuah penelitian terkait prestasi dilakukan oleh Kristensen &

Tor Bjerkedel (dalam Pincott 2011) mengenai urutan kelahiran dan

kecerdasan yang dilakukan pada lebih dari 240.000 sampel bersaudara dari

kalangan militer. Hasil penelitian menyatakan bahwa anak-anak tertua

memiliki IQ hampir tiga poin rata-rata lebih tinggi daripada anak kedua dan

empat poin lebih tinggi dari anak ketiga. Melalui penelitian ini, terlihat anak

sulung memiliki kemampuan IQ yang baik. Hal ini menyebabkan anak

sulung unggul dalam kemampuan akademik (Santrock, 2007).

Kontras dengan anak sulung, hampir kebanyakan anak bungsu

memiliki motivasi berprestasi yang relatif lemah. Mereka tidak ditekan oleh

orang tua untuk mencapai sesuatu, seperti prestasi. Selain itu, anak bungsu

cenderung dimanja oleh saudara-saudaranya dan orang tua, sehingga

memungkinkan adanya sedikit tekanan bagi anak bungsu. Begitu juga

dengan anak tengah yang memiliki pencapaian kurang dalam hidup dan

secara akademis dibandingkan dengan anak sulung. Penyebabnya adalah

kurangnya harapan-harapan orang tua dan kurangnya tekanan untuk

berprestasi, serta sedikitnya tanggung jawab yang diberikan oleh orang tua

(28)

serta tekanan lebih banyak ditujukan kepada anak sulung dibandingkan anak

tengah maupun bungsu. Hal inilah yang mendasari penelitian ini.

Harapan-harapan orang tua yang ditujukan kepada anak sulung

memberikan dampak tersendiri bagi anak sulung. Beberapa fakta

mengungkapkan pengaruh harapan orang tua terhadap anak sulung, baik

secara positif maupun negatif. Beberapa dampak positif adalah anak sulung

memiliki kepuasan pribadi yang diperoleh akibat dari perannya sebagai

teladan bagi adik-adiknya. Mereka juga lebih bersikap dewasa dan memiliki

karir akademik yang professional dan memuaskan akibat dari tuntutan orang

tua dan standar tinggi (Hurlock, 1980; Santrock, 2002). Selain itu, harapan

orang tua memberikan dampak positif bagi anak sulung yaitu memiliki

ambisi menjadi orang yang sukses. Studi yang dilakukan terhadap 1.500

keluarga di Inggris menunjukkan bahwa anak sulung baik perempuan

maupun lelaki sama-sama berambisi untuk meneruskan pendidikan hingga

ke perguruan tinggi atau jenjang universitas yang lebih tinggi. Salah satu

penyebabnya adalah harapan yang besar orang tua pada anak sulungnya agar

menjadi figur yang dibanggakan. Orangtua berharap agar anak sulung akan

menjadi orang besar dan hebat (Liwun, komunikasi pribadi, 4 Mei, 2014).

Pada kenyataannya harapan-harapan orang tua juga memberikan

dampak negatif bagi anak sulung. Seperti telah dipaparkan pada awal

paragraf (Kurniawan, komunikasi pribadi, 19 Mei, 2013), bahwa perannya

sebagai anak sulung dirasakan sebagai beban. Dampak negatif lainnya

(29)

mereka membenci tekanan-tekanan dari orang tua untuk hidup sesuai

dengan harapan mereka. Hal ini dikarenakan anak sulung merasa benci

karena harus berlaku sebagai teladan bagi adik-adiknya (Hurlock, 1980).

Disisi lain, tekanan-tekanan yang dikenakan kepada anak sulung untuk

dapat berprestasi tinggi memberikan beberapa dampak seperti rasa bersalah

yang tinggi, cemas, serta kesulitan dalam mengatasi situasi yang tidak

menyenangkan (Santrock, 2002). Bahkan harapan orang tua dapat menjadi

faktor penyebab seorang anak bunuh diri. Pada kasus anak sulung yang

diteliti Huang dan Ying (dalam Santrock 2002) mengungkapkan bahwa

seorang remaja laki-laki berusia 17 tahun yang merupakan anak sulung,

memiliki kecenderungan depresi dan bunuh diri. Hal ini dikarenakan orang

tuanya memiliki tuntutan terhadapnya untuk menjadi dokter. Akibat depresi

yang di derita, ia gagal dalam beberapa mata pelajaran dan berkali-kali

absen serta terlambat masuk sekolah. Hal ini membuat orang tuanya marah

dan merasa frustasi oleh kegagalan akademis remaja tersebut

Menurut psikolog dari YKAI (Yayasan Kesejahteraan Anak

Indonesia dalam Solahudin, 2011), harapan dari orang tua akan

mempengaruhi sikap dan kepribadian si sulung. Biasanya anak sulung

cenderung lebih tenang, kontrol diri lebih kuat, lebih bijaksana, dan tidak

terlalu ekspresif dalam memperlihatkan emosinya. Hal ini dikarenakan

adanya tuntutan peran untuk lebih bersikap rasional. Sebaliknya, anak

sulung justru menjadi temperamental, terutama ketika tuntutan orang tua

(30)

mengakibatkan manifestasi berupa pemberontakan. Contohnya ketika orang

tua menyuruh anak sulung melakukan sesuatu, mereka cenderung melawan

atau menolaknya. Meskipun demikian, anak sulung akan tetap berusaha

mengerjakan harapan-harapan tersebut dengan sempurna. Ia akan merasa

sangat patah hati jika ada harapan yang tidak terpenuhi. Jika mendapat kritik

akibat kesalahan yang diperbuat, dapat menimbulkan kesedihan yang luar

biasa (Vitamind, 2002).

Berdasarkan informasi di atas, diketahui bahwa orang tua

memiliki harapan terhadap anak sulung yang dipengaruhi faktor urutan

kelahiran. Orang tua memberi harapan terhadap anak sulung terkait rasa

tanggung jawab serta berprestasi. Hal ini memberikan berbagai dampak,

baik positif dan negatif. Berkaitan dengan dampak negatif yang

ditimbulkan, anak sulung perlu melakukan sesuatu untuk mengatasinya

supaya mereka tetap memberikan yang terbaik bagi orang tua, keluarga, dan

terpenting bagi diri sendiri. Hal tersebut adalah koping. Koping adalah

suatu proses ketika individu mencoba mengelola jarak yang ada dalam

tuntutan-tuntutan (baik tuntutan yang berasal dari individu maupun berasal

dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang digunakan seseorang

dalam menghadapi situasi menekan (Lazarus & Folkman dalam Smet,

1994). Dalam mengelola tuntutan dengan daya tersebut, diperlukan tindakan

nyata yang disebut strategi koping. Strategi koping secara konseptual

(31)

tuntutan yang dibuat oleh stressor (McCubbin & McCubbin dalam Plunkett

et al, 2000).

Sebuah penelitian terkait strategi koping dan urutan kelahiran

dilakukan oleh Farah (2013). Responden dalam penelitian tersebut

merupakan anak sulung, tengah, dan bungsu berusia remaja akhir. Hasil

penelitian adalah tidak ada perbedaan dalam strategi koping jenis Emotional

Focused Coping pada urutan kelahiran. Akan tetapi, ada perbedaan yang

nyata dalam startegi koping jenis Problem Focused Coping pada urutan

kelahiran. Anak sulung memiliki Problem Focused Coping yang lebih

tinggi daripada anak tengah dan anak bungsu. Oleh karena itu, penelitian

tersebut menyimpulkan ada perbedaan nyata dalam strategi koping secara

total, yaitu anak sulung memiliki strategi koping yang lebih tinggi daripada

anak tengah dan anak bungsu.

Kebanyakan penelitian sebelumnya membandingkan anak

sulung dengan anak bungsu dalam hal perbedaan kecerdasan emosional

(Susanti, 2004) atau membandingkan secara umum urutan kelahiran dengan

kecerdasan emosional (Wulanningrum, 2011) dan kemandirian pada remaja

(Rini, 2012), penyesuaian sosial (Herdiana, 2009) dan perbedaan harga diri

(Septiani, 2011), serta penelitian yang terfokus pada kecemasan neurotik

pada anak sulung (Saulina, 2009). Penelitian-penelitian sebelumnya kurang

membahas secara pribadi mengenai pengalaman anak sulung itu sendiri

terhadap harapan orang tua serta kurang mengeksplorasi cara mengatasi

(32)

Adanya harapan dan tekanan yang ditujukan lebih besar bagi

anak sulung dibandingkan anak tengah maupun bungsu, pengalaman anak

sulung terkait harapan orang tua yang memberikan dampak positif maupun

dampak negatif, serta penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya

mengenai strategi koping pada anak sulung, membuat peneliti tertarik untuk

mengungkapkan lebih detail tentang bagaimana sebenarnya pengalaman

anak sulung terhadap harapan orang tua dan bagaimana strategi kopingnya.

Peneliti akan menggunakan pendekatan kualitatif yang mampu

mendeskripsikan serta memahami gambaran pengalaman anak sulung

terhadap harapan orang tua dan strategi kopingnya. Melalui pendekatan

kualitatif ini, diharapkan dapat mengungkapkan kedalaman secara detail

dari fokus permasalahan yang diangkat (Poerwandari, 2005).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah

pada penelitian ini adalah bagaimana gambaran pengalaman dan strategi

koping anak sulung terhadap harapan orang tua?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran

pengalaman anak sulung terhadap harapan orang tua. Selain itu, mengetahui

(33)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan

dibidang psikologi khususnya psikologi perkembangan, psikologi klinis,

dan psikologi keluarga dalam memberikan gambaran mengenai

pengalaman dan strategi koping anak sulung terhadap dampak dari

harapan orang tua. Diharapkan penelitian ini mampu menambah

pemahaman mendalam mengenai gambaran pengalaman anak sulung

terkait yang dialami, dirasakan, dan dipikirkan mengenai harapan orang

tua. Selain itu, memberi gambaran mengenai strategi koping anak sulung

secara khusus terhadap dampak dari harapan orang tua, sehingga

menjadi informasi dalam menentukan sikap yang tepat terhadap realitas

yang dialami anak sulung.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini bermanfaat bagi anak sulung untuk lebih menyadari proses

dari pengalamannya sebagai anak sulung terhadap harapan orang tua

serta dampak-dampak negatif yang ditimbulkan. Penelitian ini

diharapkan mampu menyadarkan dan memberi pemahaman mengenai

pentingnya mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan dengan

strategi-strategi koping. Hal ini dilakukan demi tercapainya harapan orang tua,

keluarga, serta anak sulung itu sendiri. Selain itu, penelitian ini

diharapkan mampu memberikan manfaat bagi orang tua dalam hal

(34)

melihat kualitas dan realitas anak tanpa memaksakan kehendak orang

tua.

(35)

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anak Sulung

1. Pengertian Anak Sulung

Anak sulung merupakan anak yang paling tua atau anak pertama

yang lahir dari suatu keluarga. Ia sering dikenal sebagai “experimental

child”, karena orang tua belum memiliki pengalaman dalam merawat

serta mendidik anak (Gunarsa, 2003). Sebelum adiknya lahir, anak

sulung adalah anak tunggal yang menjadi pusat perhatian orang tuanya

(Vitamind, 2002). Ia adalah satu-satunya yang tidak harus berbagi kasih

sayang dan sentuhan orang tua dengan saudara kandung lainnya hingga

adik-adiknya lahir (Santrock, 2002).

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan

bahwa anak sulung adalah anak yang lahir pertama kali sehingga

dianggap istimewa oleh orang tua dan dikenal sebagai “experimental

child”.

2. Karakteristik Anak Sulung

Sejarah mengakui bahwa anak tertua memiliki posisi yang

menguntungkan. Hal ini memberikan kelebihan bagi perkembangan

kehidupan psikisnya (Adler, 1957). Ia menempati posisi yang unik,

(36)

Orang tua mencurahkan lebih banyak waktu dan perhatian kepadanya.

Hal ini membuat anak pertama merasakan kegembiraan dan lebih merasa

aman hingga kelahiran anak berikutnya Ketika adiknya lahir, anak

sulung merasa dalam kondisi “turun tahta”, yaitu ketika orang tua tidak

lagi mencurahkan perhatian utuh padanya. Tak ada yang menduga

mengenai pergantian “tahta” ini memberikan rasa sakit bagi anak sulung

dan posisi yang tidak mampu melawan (Hidayat, 2011). Anak sulung

akan memberikan reaksi atas kedatangan adiknya seperti mencari-cari

perhatian dengan cara yang aneh (Gunarsa, 1981). Pengalaman ini

memberikan pengaruh terhadap tingkah laku bagi anak sulung (Hall &

Lindzey, 1993). Berikut akan dipaparkan beberapa karakteristik anak

sulung yang dikemukakan oleh para ahli.

Ada beberapa ciri-ciri umum anak sulung yang dikemukakan

oleh Vitamind (2002), antara lain berperilaku secara matang dikarenakan

ia berhubungan dengan orang dewasa, mempunyai perasaan kurang aman

dan tidak menyukai peristiwa lahirnya adik kandung yang akan menjadi

pusat perhatian, benci terhadap perannya sebagai teladan dan pengasuh

bagi adik-adiknya, cenderung mengikuti kehendak dan tekanan

kelompok, mudah dipengaruhi untuk mengikuti kehendak orang tua, dan

mengembangkan kemampuan memimpin sebagai akibat dari peran

memikul tanggung jawab di rumah serta mencapai sukses tinggi dalam

bidang yang ditekuninya. Selain itu, anak sulung memiliki sikap yang

(37)

memasang tujuan dan target yang tinggi untuk dicapai. Terkait dengan

peran anak sulung sebagai pengasuh bagi adik-adiknya, akan membuat

anak sulung lebih matang secara intelektual untuk memiliki tingkat yang

lebih tinggi dibandingkan dengan adik-adiknya (Hidayat, 2011).

Selain itu, beberapa sifat yang terlihat pada anak sulung

dikemukakan oleh Gunarsa (1981), antara lain: bertanggung jawab

terhadap adik-adik, disertai perasaan berkuasa terhadap adiknya; adanya

pandangan ke depan, yaitu pengertian tentang kehidupan dan

proses-prosesnya; senang mengajar orang lain, karena terbiasa mengajar adik;

berpikir secara mendalam, sungguh-sungguh, lebih matang dan kurang

bersikap humor; selalu merasa diri tidak aman dan cemas yang

cenderung diabaikan; dan mencari kedudukan pemimpin.

Menurut ahli lain, anak sulung lebih berorientasi pada

kedewasaan, suka menolong, dapat menyesuaikan diri, kecemasan tinggi,

rasa bersalah tinggi, dan lebih dapat mengendalikan diri dibandingkan

saudara kandungnya (Santrock, 2002/ 2007). Selain itu, Adler (dalam

Hidayat, 2011) mengatakan bahwa anak sulung juga memiliki orientasi

hidup ke masa lalu. Ia terfokus pada nostalgia sehingga sering kali

menjadi pesimis dengan masa depan. Anak sulung juga memiliki minat

yang tidak biasa dalam hal keteraturan dan otoritas. Ia dapat menjadi

organizer yang baik, penuh hati-hati dan cermat dalam hal-hal yang

(38)

Hurlock (1974) dalam sebuah studi mengungkapkan beberapa

kecenderungan anak sulung antara lain penurut, mandiri, lebih

membutuhkan teman (afiliasi) terutama dalam situasi stres, rentan

terhadap tekanan kelompok, introvert, kurang memiliki toleransi serta

rentan terhadap amarah yang meledak-ledak, takut dalam situasi yang

menyakitkan dan menakutkan serta lebih sering mengalami kecemasan

karena takut tidak mampu memenuhi harapan orang tua.

Beberapa sisi buruk anak sulung diungkapkan oleh Vitamind

(2002) antara lain sering bersikap murung, kurang berperasaan, kadang

bertindak dengan mengintimidasi, mendorong orang lain bekerja keras

dan jarang ada yang berani menolak, kurang mempercayai orang lain

dalam mendelegasikan tugas, dan cenderung bersikap bossy.

Ditambahkan oleh Adler (dalam Feist & Feist, 2010) bahwa anak sulung

memiliki perasaan berkuasa dan superioritas yang kuat serta

kecenderungan overprotektif.

Pada tahap perkembangannya, karakteristik yang khas

berdasarkan urutan kelahiran seperti temperamen, sifat, kebiasaan, selera,

kebutuhan, keinginan, dan minat akan menjadi kepribadian yang relatif

menetap dan tidak berubah. Ini akan menjadi ciri khas seseorang. Semua

ini terbentuk akibat perlakuan dan pembelajaran yang diterima anak

sehingga menjadi pengalaman psikologis dalam kehidupannya dari

(39)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa ciri khusus anak

sulung, yaitu:

a. Berorientasi dewasa dan lebih matang, karena sering berhubungan

dengan orang dewasa dan tugas mengasuh adik.

b. Berjiwa pemimpin, penolong dan bertanggung jawab. Hal ini sebagai

akibat dari perannya memikul tanggung jawab di rumah, terutama

dengan adik-adiknya.

c. Memiliki sifat dominasi dan berkuasa, yang merupakan akibat dari

kepemimpinannya terhadap adik-adik. Hal ini menyebabkan anak

sulung lebih overprotektif, bossy, dan kurang memberi kepercayaan

kepada orang lain.

d. Menuruti kehendak orang tua serta kelompok-kelompok. Ketika

mereka tidak mampu memenuhi harapan-harapan tersebut dapat

menyebabkan anak sulung sering merasa cemas, rasa bersalah tinggi

dan tidak aman.

e. Kompeten, intelektualitas tinggi, kooperatif dan detail dalam

melakukan sesuatu.

f. Memiliki pengendalian diri yang baik dibandingkan saudaranya,

namun terkadang menunjukkan emosi yang meledak-ledak dan kurang

berperasaan.

g. Memiliki keinginan kuat untuk maju dan pandangan tentang masa

depan terkait prosesnya, karena memiliki target yang tinggi.

(40)

3. Review Penelitian Terdahulu Tentang Anak Sulung dan Urutan Kelahiran

Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan

anak sulung. Beberapa penelitian berfokus pada kecemasan yang dialami

anak sulung. Salah satu penelitian dilakukan oleh Taganing (2006)

mengenai kecemasan pada anak sulung yang menganggur (belum

mendapat pekerjaan). Tujuan dilakukan penelitian ini untuk mengetahui

kecemasan anak sulung yang menganggur dan beberapa alasan maupun

penyebab terjadinya kecemasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

terdapat empat karakteristik kecemasan yang dialami, antara lain;

manifestasi kognitif yang menyebabkan sulit berkonsentrasi, insomnia,

dan sulit mengambil keputusan; manifestasi motorik yang menyebabkan

subjek melakukan gerakan-gerakan tidak beraturan dan tidak terarah

tanpa disadari; manifestasi somatik yang menyebabkan gangguan fisik;

dan manifestasi afeksi yang menimbulkan ketidaknyamanan, rasa

terancam, dan cemas berkepanjangan. Selain hasil di atas, hasil lain

menyebutkan bahwa terdapat faktor eksternal yaitu tuntutan dari orang

tua yang berlebihan sehingga mengakibatkan konflik dalam diri anak

sulung.

Penelitian serupa terkait kecemasan pada anak sulung dilakukan

oleh Saulina (2009) yang ingin mengetahui sejauh apa kondisi

kecemasan neurotik yang di alami anak sulung serta dinamika kecemasan

(41)

menggunakan pendekatan fenomenologis dengan subjek sebanyak tiga

orang anak sulung berusia antara 20 – 30 tahun. Hasil penelitian

menyimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan

kecemasan neurotik pada anak sulung berdasarkan psikoanalisis, antara

lain; pola asuh yaitu permisif pada salah satu subjek dan otoriter pada

kedua subjek lainnya; modeling lingkungan yaitu modeling dari orang

tuanya sendiri; trauma atau konflik yang belum selesai dengan orang tua;

dan penggunaan mekanisme pertahanan ego yang maladaptif. Salah satu

bentuk pola asuh otoriter yang diterapkan orang tua adalah memberikan

tuntutan berprestasi dan tanggungjawab terhadap adik-adiknya.

Masing-masing subjek mengalami kesulitan dalam meletakkan kecemasannya ke

dalam kesadaran atau ketidaksadaran, atau bagaimana cara merespon

sesuatu sebagai yang memotivasi atau menjadikannya maladaptif. Selain

itu, mekanisme pertahanan ego tidak memberi penyelesaian masalah,

justru semakin membuat beban karena lingkungan yang terus menuntut.

Dari penelitian di atas terkait kecemasan pada anak sulung,

peneliti mendapat gambaran bahwa terdapat faktor eksternal yang

memberikan kontribusi terhadap kecemasan anak sulung yaitu tuntutan

orang tua. Orang tua menuntut terkait prestasi, tanggungjawab, dan

pekerjaan yang dapat menimbulkan konflik dalam diri anak sulung.

Penelitian berikutnya terkait urutan kelahiran dan kecerdasan

emosional yang dilakukan oleh Wulanningrum (2011). Tujuan dari

(42)

keluarga dengan kecerdasan emosional pada remaja. Metodologi

penelitian ini adalah kuantitatif deskriptif korelatif, yang ditujukan pada

remaja SMA sebanyak 340 siswa. Hasil penelitian mengatakan bahwa

terdapat hubungan yang bermakna (signifikan) urutan kelahiran dalam

keluarga dengan kecerdasan emosional.

Penelitian lain dilakukan oleh Whiteman, McHale, & Crouter

(2003) tentang anak sulung sebagai first draft (rancangan pertama) bagi

orang tua. Tujuan penelitian ini adalah mencari bukti pengalaman

pengasuhan orang tua pada anak pertama remaja yang akan

meningkatkan interaksi orang tua dalam mengasuh anak berikutnya.

Penelitian ini merupakan penelitian longitudinal mengenai hubungan

dalam keluarga. Setengah dari subjek penelitian difokuskan pada

keluarga yang memiliki anak remaja (tahun pertama penelitian) dan

setengah lainnya fokus pada keluarga yang memilki anak usia

kanak-kanak. Secara spesifik jumlah subjek adalah 192 keluarga dengan 2

saudara kandung berusia remaja dan 200 keluarga dengan dua saudara

kandung berusia kanak-kanak. Desain penelitian ini adalah ikut terlibat

selama tiga tahun dalam semua keluarga yang memiliki anak remaja dan

ikut terlibat selama enam tahun pada keluarga yang memiliki anak usia

kanak-kanak. Desain tersebut diikuti dengan tiga perbandingan; pertama,

fokus pada kohort anak usia kanak-kanak (anak pertama dengan anak

berikutnya pada keluarga yang sama); kedua, fokus pada kohort anak

(43)

sama); ketiga, membandingkan pengalaman antara anak pertama dan

anak yang lahir berikutnya pada keluarga yang berbeda.

Penelitian ini mengukur dua hal. Pertama, tentang konflik orang

tua dengan anak remaja yang diukur menggunakan item-item yang telah

diadaptasi. Kedua, mengukur pengetahuan orang tua tentang aktivitas

anak remajanya dengan cara mengukur keefektifan orang tua dalam

memantau aktivitas anak remajanya setiap hari. Masing-masing akan

dilihat dalam dua sudut pandang, yaitu di dalam keluarga dan

membandingkan antar keluarga.

Hasil penelitian mengenai konflik orang tua dengan anak

remajanya jika dilihat dalam satu keluarga memperoleh hasil bahwa anak

pertama memiliki konflik lebih banyak dengan orang tua dibandingkan

anak kedua setelah mereka memasuki usia remaja. Hasil berikutnya

mengenai konflik orang tua dengan anak remaja jika membandingkan

antar keluarga, memperoleh hasil yang kongruen dengan sebelumnya,

bahwa konflik anak pertama dengan orang tua lebih besar dibandingkan

anak kedua. Selain itu, hasil penemuan tersebut tidak berpengaruh pada

partisipan yang terlibat di dalam penelitian longitudinal ini. Hasil kedua

terkait pengetahuan orang tua tentang aktivitas anak remajanya jika

dilihat dalam satu keluarga memperoleh hasil bahwa orang tua lebih

mempelajari tentang aktivitas-aktivitas anak keduanya dibandingkan

anak pertamanya, ketika mereka dalam satu umur yang sama. Analisis

(44)

kelahiran dengan komposisi gender pada saudara kandung. Kedua,

pengetahuan orang tua jika dilihat antara keluarga memperoleh hasil

bahwa pengaruh hasil sebelumnya (orang tua lebih mempelajari

aktivitas-aktivitas anak keduanya) tidak mempengaruhi partisipan yang

terlibat dalam penelitian ini. Secara keseluruhan hasil penelitian

menyimpulkan bahwa orang tua belajar dari pengalaman sebelumnya

dalam membesarkan anak sampai usia remaja. Hal ini menunjukkan

strategi parenting yang lebih efektif (dibuktikan dengan hasil:

pengetahuan yang lebih luas tentang pengalaman sehari-hari anak kedua).

Kesimpulan kedua yaitu orang tua mencapai hubungan yang lebih

harmonis (dibuktikan dengan konflik orang tua yang semakin rendah).

Oleh karena itu, penelitian longitudinal ini membuktikan bahwa anak

sulung memang merupakan first experience bagi orang tua dalam

mengasuh anak.

Dari penelitian-penelitian di atas dapat diperoleh gambaran

mengenai kecemasan yang dialami anak sulung dan penyebabnya,

kecerdasan emosional yang memiliki hubungan dengan urutan kelahiran

dan anak sulung sebagai pengalaman pembelajaran bagi orang tua dalam

(45)

B. Harapan Orang Tua

1. Pengertian Harapan Orang Tua

Definisi „harapan‟ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

sesuatu yang (dapat) diharapkan, orang yang diharapkan atau dipercaya.

Menurut Kreitner (2005), harapan merupakan keyakinan individu dengan

melakukan usaha tertentu untuk memperoleh tingkat prestasi tertentu.

Siagian (1989) menyatakan bahwa harapan merupakan kuatnya

kecenderungan seseorang bertindak dengan cara tertentu tergantung pada

kekuatan harapan tersebut dan akan diikuti oleh hasil tertentu.

Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

harapan merupakan sesuatu yang menyebabkan seseorang berusaha dan

bertindak untuk mencapai hasil tertentu.

Orang tua adalah orang terdekat yang paling besar peranannya

pada perkembangan anak. Orang tua sangat berperan dalam merawat dan

membesarkan anak, memenuhi kebutuhan fisiologis dan psikis,

membimbing dan mengarahkan, memberikan contoh dan teladan yang

baik, memberikan afeksi atau kasih sayang yang menimbulkan

kehangatan, rasa aman dan perlindungan yang diperlukan anak (Gunarsa,

2001).

Beberapa ahli memberikan pendapatnya mengenai pengertian

harapan orang tua. Christenson, Rounds, & Gorney (1992)

mendefinisikan harapan orang tua (parent expectations) sebagai aspirasi

(46)

Poerwadarminta (1996), menyatakan bahwa harapan orang tua adalah

keinginan, kehendak orang tua terhadap anak untuk mendapatkan sesuatu

yang maksimal. Setiawan & Tjahjono (1997) mendefinisikan harapan

orang tua merupakan suatu keinginan orang tua akan pencapaian prestasi

anak. Menurut Hadawi (2001), orang tua harus mengambil sikap agar

anak dapat berkembang secara optimal. Anak dipandang sebagai orang

yang memiliki kemampuan tertentu. Oleh karena itu, orang tua sebaiknya

membimbing dan membantu anak, sehingga mereka dapat

mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki.

Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa

harapan orang tua adalah semua usaha, keinginan dan kehendak orang

tua terhadap anak agar mendapatkan sesuatu yang maksimal.

2. Jenis-jenis Harapan Orang Tua

Secara umum, ada dua macam harapan orang tua menurut

Gunarsa (1995), yaitu:

a. Harapan dalam arti spiritual

Harapan ini mengandung arti bahwa segala sesuatu yang diberikan

orang tua sebaiknya selalu diingat dan dilakukan oleh anak dalam

pergaulan hidup sehari-hari, baik dalam keluarga maupun

(47)

b. Harapan untuk penyalur energi dalam setiap kegiatan

Harapan ini merupakan harapan yang jelas dan konkrit karena orang

tua mengatur dan menentukan kegiatan anak. Orang tua

mengharapkan agar anaknya mengerjakan apa saja yang dipandang

baik oleh orang tua. Harapan ini meliputi suksesnya belajar, berhasil

dalam pekerjaan ataupun terpenuhi kebutuhan hidup sehari-hari

keluarga.

Menurut Conger (1997) harapan orang tua terdiri dari dua hal.

Pertama, orang tua mengharapkan anak melakukan sesuatu secara

mandiri. Orang tua hanya memberikan nasihat dan memberikan

bimbingan berupa alternatif pemecahan masalah bagi anak. Kedua, orang

tua mengharapkan anak berprestasi, sehingga anak yang berhasil akan

diberi ganjaran dan anak yang tidak berhasil mendapatkan hukuman.

Hadawi (2001) memaparkan beberapa ciri dari harapan orang

tua, antara lain:

1. Komunikasi terus menerus dengan anak

2. Visi keberhasilan masa depan

3. Pandangan bahwa kerja keras merupakan kunci dari keberhasilan

4. Membangun tanggung jawab pada anak

Berdasarkan uraian di atas, secara umum orang tua memiliki

harapan yang ditujukan kepada anak. Harapan-harapan tersebut meliputi

harapan secara spiritual, harapan melakukan kegiatan yang dikehendaki

(48)

yang menunjukkan harapan orang tua, seperti komunikasi intensif,

pandangan tentang masa depan dan kerja keras, serta memberikan

tanggung jawab pada anak.

3. Harapan Orang Tua Terhadap Anak Sulung dalam Tinjauan Mendetail

a. Faktor yang mempengaruhi

Orang tua menaruh harapan yang lebih tinggi pada anak-anak

yang lahir duluan daripada anak-anak yang lahir berikutnya (Santrock,

2002). Selain itu, orang tua akan langsung menyoroti anak yang

pertama kali lahir dengan harapan-harapan mereka, tanpa ada

perantaraan saudara kandung (Palmer, 1966). Oleh karena itu,

peneliti menyimpulkan bahwa satu-satunya faktor yang

mempengaruhi harapan orang tua terhadap anak sulung adalah urutan

kelahiran.

Beberapa sumber menyebutkan tentang definisi urutan

kelahiran. Krohn (2000) menyebutkan bahwa urutan kelahiran sebagai

urutan seseorang dari sebuah rangkaian kelahiran antar saudara

kandung. Adler (dalam Vitamind, 2002) menyimpulkan ada empat

kelompok posisi urutan kelahiran, yaitu anak tunggal, anak sulung,

anak tengah, dan anak bungsu.

Urutan kelahiran akan mempengaruhi cara orang tua

(49)

seorang anak diasuh dengan cara yang sama, maka tidak akan ada

anak yang memiliki sifat yang sama. Hal ini juga berlaku pada anak

kembar. Sifat terbentuk dari pengalaman psikologis mereka, sebagai

penafsiran si anak terhadap posisi dirinya di dalam keluarga, serta

bagaimana anak membiasakan diri berperilaku dalam peran tersebut.

Misalnya, orang tua memperlakukan anak sulung dengan lebih

cerewet dan banyak menuntut (Vitamind, 2002). Selain itu, orang tua

memberikan perhatian dan perlindungan yang berlebihan kepada anak

sulung (Hurlock dalam Susanti 2004).

Menurut Vitamind (2002), konsep urutan kelahiran tidak

didasarkan pada nomor urutan kelahiran dalam keluarga saja, akan

tetapi lebih berdasarkan persepsi psikologis yang terbentuk dari

pengalaman psikologis seseorang semasa kecil (terutama usia 2-5

tahun). Kepribadian yang terbentuk menurut urutan kelahiran

kemungkinan tidak berubah dan memberi dampak bagi setiap sisi

kehidupan.

b. Macam-macam harapan orang tua

Secara khusus, penelitian ini lebih membahas harapan orang

tua yang ditujukan kepada anak sulung. Sebagian besar anak pertama

merupakan korban tuntutan serta ambisi orang tua yang berlebihan

(Martin (dalam Palmer, 1966). Orang tua memiliki tuntutan dan

(50)

dibandingkan dengan anak yang lahir berikutnya. Mereka

memberikan lebih banyak tekanan untuk berhasil dan

bertanggungjawab serta ikut campur dalam kegiatan-kegiatannya

(Rothbart dalam Santrock, 2002/ 2007). Berikut akan dipaparkan

macam-macam harapan orang tua yang ditujukan kepada anak sulung.

Menurut Gunarsa (1981), pada kelahiran anak pertama, orang

tua cenderung terlalu cemas dan terlalu melindungi anak sulung.

Ketika anak sulung bertambah besar, disamping sikap orang tua yang

terlalu sayang dan sangat melindungi, orang tua juga terlalu

membebani anak dengan tanggung jawab yang berlebihan. Orang tua

kadang-kadang mengharapkan anak menerima tanggung jawab

melebihi kesediaan psikis untuk melaksanakannya. Kesanggupan

untuk melakukan tugas tersebut belum berarti anak bersedia menerima

dan melaksanakannya Perasaan tanggung jawab adalah kemampuan

untuk menyingkirkan semua godaan, gangguan dan menyadari

keuntungan dari pelaksanaan tugas yang memuaskan.

Harapan orang tua yang tinggi terlihat pada penekanan yang

lebih besar terhadap prestasi dan tanggung jawab kepada anak sulung

(Sumiyati dalam Andre, 2010). Hadawi (2001) mengatakan bahwa

harapan tersebut misalnya agar dapat belajar sehingga berhasil

menyelesaikan studinya. Seperti yang disampaikan Adler (1957:126):

You are the larger, the stronger, the older, and therefore you must

(51)

paling besar, maka ia dituntut orang tua untuk lebih pandai

dibandingkan saudara-saudaranya

Selain itu, Vitamind (2002) mengatakan bahwa anak sulung

dilatih dan diberi tugas oleh orang tua terkait kepemimpinan, misalnya

membimbing adik atau memberitahu adik atas apa yang harus

dilakukan. Selain itu, anak sulung diharapkan mampu mengatasi

masalah mereka sendiri secara mandiri, seperti yang dilakukan orang

dewasa. Anak sulung merasa bahwa orang tua terlalu banyak

membebani dengan berbagai tanggung jawab. Dalam

pertumbuhannya, bila anak sulung diberi tanggung jawab penuh maka

ia akan menjadi penggerak dan reformis yang agresif.

Terkait posisinya sebagai saudara yang paling tua, Santrock

(2002) mengatakan bahwa orang tua mengharapkan anak sulung

berlatih mengendalikan diri dan memperlihatkan tanggung jawab

dalam berinteraksi dengan saudara-saudara yang lebih muda. Selain

itu, mereka diharapkan untuk membantu dan mengajari saudara yang

lebih muda, lebih dominan, kompeten dan berkuasa daripada

saudaranya yang lebih muda. Sujanto (1986) menambahkan, orang tua

menyerahkan tanggungjawab kepada anak sulung terkait kehidupan,

keselamatan dan kebahagiaan saudara-saudaranya. Penyerahan

tanggungjawab ini sudah dilatih sejak kecil, yaitu mengasuh

(52)

mencucikan pakaian, memandikan dan lain sebagainya. Tanggung

jawab mengurusi adik-adik diserahkan padanya.

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa harapan orang tua

yang ditujukan kepada anak sulung terkait dua hal, yaitu prestasi dan

tanggungjawab. Prestasi yang dimaksud adalah prestasi akademik.

Sedangkan tanggung jawab meliputi tanggungjawab terhadap diri

sendiri dan tanggungjawab terhadap adik-adiknya.

c. Dampak harapan orang tua

Harapan dan standar tinggi yang ditetapkan bagi anak sulung

memberikan beberapa dampak positif, seperti memiliki karir

akademik yang memuaskan. Namun, tekanan untuk berprestasi tinggi

juga menjadi sebab mengapa anak sulung memilki rasa bersalah

tinggi, cemas, dan kesulitan mengatasi situasi yang kurang

menyenangkan (Santrock, 2002). Selain itu, anak sulung mendapat

kepuasan pribadi akibat perannya sebagai teladan bagi adik-adiknya.

Disisi lain, juga timbul perasaan benci akibat tekanan-tekanan orang

tua untuk hidup sesuai harapan mereka harus berlaku sebagai teladan

bagi adik-adiknya (Hurlock, 1980).

Anak sulung berusaha mengerjakan harapan tersebut dengan

sempurna (Solahudin, 2011). Ketika mereka tidak dapat memenuhi

harapan tersebut, ia akan sangat patah hati. Kegagalan ini dapat

(53)

menimbulkan kesedihan yang luar biasa (Vitamind, 2002). Seperti

yang diungkapkan Hurlock (1992) bahwa anak yang gagal memenuhi

harapan orang tua akan menyebabkan anak sering mendapat kritik,

dimarahi, dan dihukum.

C. Strategi Koping

1. Pengertian Strategi Koping

Koping berasal dari kata coping yang bermakna harafiah

pengatasan/ penanggulangan (to cope with = mengatasi, menanggulangi).

Koping sering disamakan dengan adjustment (penyesuaian diri). Koping

juga sering dimaknai sebagai cara untuk memecahkan masalah (problem

solving). Oleh karena itu, dapat dimaknai bahwa koping merupakan

rekasi seseorang ketika menghadapi tekanan (Siswanto, 2007).

Pengertian lain menurut Papalia (2009), koping adalah cara

berpikir atau perilaku adaptif yang bertujuan mengurangi atau

menghilangkan stress yang timbul dari kondisi berbahaya, mengancam,

atau menantang. Menurut Lazarus & Folkman (dalam Smet, 1994),

koping didefinisikan sebagai suatu proses di mana individu mengelola

jarak antar tuntutan-tuntutan (berasal dari individu maupun lingkungan)

dengan sumber-sumber daya yang digunakan dalam menghadapi situasi

stressful. Selain itu, menurut Sarafino (2008) koping merupakan proses

(54)

sumber daya dalam menilai situasi stressful. Kata kunci penting dalam

koping adalah “manage” atau mengelola.

Berdasarkan pengertian-pengertian koping menurut para ahli,

peneliti menyimpulkan bahwa koping mengarah pada cara seseorang

mengatasi/ mengelola tuntutan dari kondisi yang menekan.

Sebuah strategi koping (penanggulangan) diperlukan dalam

mengatasi stres, terlepas apakah masalah tersebut besar maupun kecil.

Kata “strategi” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005)

didefinisikan sebagai rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk

mencapai sasaran khusus. Istilah strategi koping itu sendiri memiliki

pengertian yaitu cara yang dilakukan dalam mengubah situasi atau

menyelesaikan masalah yang sedang dirasakan atau dihadapi (Farah,

2013). Selain itu secara konseptual, strategi koping didefinisikan sebagai

tingkah laku yang digunakan untuk menyelesaikan tuntutan yang dibuat

oleh stressor (McCubbin & McCubbin dalam Plunkett, Radmacher, &

Donna, 2000).

Oleh karena itu, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa

strategi koping adalah rencana untuk mencapai sasaran khusus yaitu cara/

tingkah laku untuk menyelesaikan tuntutan.

2. Fungsi dan Jenis Koping

Lazarus & Folkman (dalam Sarafino, 2008),mengungkapkan

(55)

yang bisa mengatur emosi dalam menanggapi masalah (emotion-focused

coping) dan koping yang mengubah masalah penyebab stress

(problem-focused coping). Berikut akan dibahas lebih lanjut mengenai keduanya.

a. Koping yang terfokus pada emosi (emotion-focused coping)

Koping jenis ini bertujuan mengatur respon emosional

terhadap situasi stress. Seseorang dapat meregulasi/ mengatur respon

emosi mereka dengan pendekatan kognitif dan perilaku. Contoh

untuk pendekatan perilaku yaitu seseorang pengguna alkohol akan

mencari dukungan emosional secara sosial dari teman atau kerabat

serta ikut terlibat dalam aktivitas seperti olahraga, yang dapat

mengalihkan perhatian dari masalah.

Pada pendekatan kognitif, misalnya ketika seseorang berpikir

tentang situasi stress. Dalam pendekatan ini, seseorang

mendefinisikan kembali situasi untuk mengambil hal-hal yang baik

dalam situasi bermasalah tersebut, seperti mencatat hal-hal terburuk,

membuat perbandingan dengan orang lain yang kurang baik, atau

melihat sesuatu yang baik akan muncul dari masalah ini. Seseorang

yang mendefinisikan kembali situasi stresnya akan menemukan jalan

keluar, karena selalu ada aspek dari salah satu kehidupan yang dapat

dilihat secara positif.

Strategi lain dalam pendekatan kognitif adalah yang disebut

Freud “mekanisme pertahanan diri”, yang melibatkan distorsi realitas

Gambar

Tabel 1  Panduan Wawancara.......................................................................
Tabel 1
Tabel Identitas Informan
Tabel 3
+5

Referensi

Dokumen terkait

Besar harapan saya bapak / ibu berkenan untuk mengisi angket tersebut dengan sejujurnya dan jangan ada jawaban yang terlewatkan atau kosong. Jawaban bapak / ibu terjamin

Kondisi global yang penuh persaingan, kemandirian merupakan salah satu modal yang ada pada diri kita baik kemandirian bekerja maupun kemandirian belajar. Untuk mencapai

Jika anak saya bertanya tentang suatu tugas saya berusaha membantunya dengan memberikan penjelasan dengan bahasa yang dia pahami. 03 Saya mengajarkan anak untuk membuang sampah pada

Saya bersekolah di YSKI mulai dari SD hingga SMU. Selama itu pula secara tidak saya sadari, karakter saya dibentuk disana tidak hanya menjadi manusia yang

Pengasuh melihat kenakalan yang ada pada anak kecil tidak sesuai dengan usianya (nakal.. Kalau yang gede-gede itu lumayan tapi ya takutnya itu ya sama saya,

Saya merasa kurang nyaman jika orang tua membahas mengenai karir saya kelak Membahas keinginan orang tua terhadap karir dan pendidikan saya hanya menambah beban pikiran Bantuan

Sebenarnya MD Hasyim Asy’ari itu dekat dengan rumah, jadi saya tidak perlu antar jemput, tapi dinilai dari kwalitas tingkah laku siswa yang sekolah di MD Hasyim

Selain itu, hubungan antara variabel self disclosure anak kepada orang tua dengan kenakalan anak di sekolah dengan memparsialkan variabel gaya parenting orang tua tidak ada