• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sikap penerimaan orang tua terhadap anaknya yang menyandang autisme : studi kasus terhadap 3 orang tua yang anaknya sedang terapi autis - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Sikap penerimaan orang tua terhadap anaknya yang menyandang autisme : studi kasus terhadap 3 orang tua yang anaknya sedang terapi autis - USD Repository"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

INDAH SURYANING ASTUTI NIM : 999114010

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2007

(2)
(3)
(4)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

“Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah”.

Yogyakarta, Februari 2007

(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini untuk

Orang-orang tercinta:

Papa dan Mama yang telah banyak bersabar dan berdoa untuk keberhasilan

aku…

Maafkan aku jika terlalu lama…

Adikku Diaz Rizky yang telah banyak

Menghibur dengan cerita yang konyol dan dukunganmu untuk tidak cepat

Putus asa…

Sahabat sekaligus teman terbaikku Hasta “Okie” Brata yang

Menjadi semangat hidupku untuk segera menyelesaikan

Penelitian ini…

I know you’ll always be with me…

Mas Cello and Dek Cupid… Thanks for always

(6)

ABSTRAKSI

Astuti, Indah Suryaning (2007). Sikap Penerimaan Orang tua Terhadap Anaknya Yang Menyandang Autisme. Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui seperti apakah sikap penerimaan orang tua terhadap anaknya yang menyandang autisme. Jenis penelitian ini studi deskriptif kualitatif yang dilakukan pada 6 subjek penelitian yaitu 3 orang tua (ayah ibu) yang memiliki anak yang menyandang autisme dan sedang diterapi di yayasan/ sekolah autis. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara dan data yang dihasilkan dalam penelitian ini berupa data kualitatif. Autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks dan mencakup gangguan perilaku dan kognitif pada anak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar orang tua (6 subjek penelitian) dapat menerima kalau anaknya menyandang autisme. Bentuk penerimaannya adalah dengan mencintai, merawat, mendidik dan mengasuh dengan baik. Para subjek juga memahami kondisi, emosi dan komunikasi anak-anak mereka. Perasaan subjek terhadap anak-anaknya yang menyandang autisme berbeda-beda. Ada yang merasa sedih, ada yang merasa khawatir dengan masa depan anaknya dan ada yang merasa biasa-bisa saja. Tindakan dan upaya untuk anaknya yang menyandang autisme, yang dilakukan oleh subjek satu dengan yang lainnya hampir sama, mereka ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya yang menyandang autisme dengan memberikan perhatian yang besar yaitu menyekolahkan anaknya di yayasan/ sekolah autisme, melakukan terapi secara rutin dan selalu mencari informasi yang up to date tentang autisme.

(7)

ABSTRACT

Astuti, Indah Suryaning (2007). The Parent’s Accepting Attitude to Their Children who is The Autism. Thesis. Yogyakarta : Faculty of Psychology, Sanata Dharma University

This study in order to getting know the parent’s accepting attitude to their children who is the autism. The observation is qualitative descriptive study kind of observation which is done in to six subject of observation, such as three parents who have autism children and getting therapy in autism school. Data collecting through interview technique and the data which is resulted from this observation is qualitative data. In complete words, autism is a complex growth disorder which is also includes behavioral and cognitive disorder in a child.

The result of this study shows that most of parents can accept their children who are autism. The type of acceptance to them are giving love, attention patient and also taking care. Those parents also getting understand for the condition, emotional and communication of their children. Therefore, this parents have a good opinion to their children. Parent’s feeling to their children’s future, but some feel normal. Act and effort for their autism children which is done by subject almost the same with the others. They just want to give the best for their children by giving attention for them, like getting them into autism school or foundation, doing therapy countinously and always looking for the latest information about autism.

(8)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr Wb

Alhamdulillahi Rabbil’alamin, tiada kata yang lebih pantas dan bermakna, kecuali mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan banyak kemudahan, kelapangan jalan dan memberikan yang terbaik bagi penulis selama proses penulisan skripsi hingga terselesaikannya karya tulis ini.

Sebagai sebuah karya tulis, penulis menyadari adanya banyak kekurangan. Oleh sebab itu, banyak pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan, perhatian serta doa yang tulus saat proses pengerjaan skripsi ini. Untuk itu pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Tuhan YME, yang membuat segalanya terjadi pada saya. Semua kejadian-kejadian yang saya alami selama hampir 26 tahun ini, yang sedih sekalipun, jadi great inspirator di kemudian hari… Walaupun kadang saya kurang bijak menyikapinya...

2. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu Titik Kristiyani, S.Psi selaku Dosen Pembimbing Utama Skripsi yang banyak memberikan bimbingan, dorongan dan masukkan serta selalu membesarkan hati penulis sehingga terlesaikannya skripsi ini.

(9)

5. Staf pengajar dan seluruh karyawan Psikologi Sanata Dharma semoga terus maju bersama dedikasinya.

6. Bapak dan Ibu yang tidak berkenan disebutkan namanya, terima kasih telah menjadi subjek penelitian penulis serta kemudahan-kemudahan yang diberikan selama pengambilan data.

7. Mbak Nanik, mas Gandung, mas Muji, mas Doni, dan pak Gik..hehe..maaf kalau sering merepotkan, tanya-tanya terus niy..

8. Keluarga besar Danandjaya dan Ida Wiharharyani yang tak pernah lelah memberikan kasih dan cintanya. Last but not least: Vieeta, my Sista!!!

9. Keluarga Haryo Yudhanto yang banyak memberikan semangat dan doa tak terkecuali mas Bobby, dek Dinda, Mbak Santi, Nean.

10.Rosalina “Ocha” Laksmi… My supporter and my best friend

11.Special Thanks must go to Rena, Nanda, Aji, Dini, Dimas, Obie, Miftah, Yogo, Deviy, Poppy, Haniy, Fikri temen-temen terbaikku di TPR.

12.Pak Prama, mbak Hera, mas Eppy, mbak Rini, mbak Lusi, mbak Susi, mbak Tina, Mr. Godek, pak Jay, mas Bouche, mas Jo, temen-temen CS, gedung sebelah, security, driver dan semuanya ajah deh.. Semangat Pagi GraPARI Telkomsel Jogja.

13.Temen-temen angkatan ’99 untuk persahabatan yang indah selama kita menimba ilmu di fak. Psikologi Universitas Sanata Dharma.

(10)

Yudhis (kau menyelamatkanku di detik2 yang menegangkan), Tessa, Siwi, Berto, Tukino, Galih, Petrus, Hansi, Dennis, Vincent, Doni, and my Big Brother “Robert”..ThankiU..

15.Mas aWAN… thx buat PDF nya…

16.Kakak-kakakku di Inzed Production, mas Mamad, mas Yoyok, mas Desta, mas Rory, mas Zuhdan, mas Otonk, mas Decki, mas Arya, mas Beta, mas Hamam, mas Bimo, mas Ian, mbak Wiewid (Gajian_nya jangan telat mulu yah…), mas Kadek, mas Muhtar, mas Yusuf, mas Yoga, Ijas, Surya..Thank you very much for the beautiful friendship

17.Teman-teman bojoku yang selalu membuatku panik… Ocie, Fuad, Arya, Ichad, Rifki, Roy, Moko (kalian emang benar-benar Pejantan Tangguh) and Nopie, mbak Rini, Citra, Acie, Sandra… kapan kumpul-kumpul lagi jeng?! 18.Teman-temanku yang nggak kesebut, bukan berarti nggak inget dan nggak

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAKSI ... vi

ABSTRACT... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian... 6

D. Manfaat Penelitian... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Autisme ... 7

1. Pengertian Autisme ... 7

2. Penyebab Autisme ... 9

3. Perbedaan Autisme, Schizoprenia dan Retardasi Mental.... 10

4. Penggolongan Perilaku Autisme ... 10

5. Gejala Anak yang Menyandang Autisme……… 11

6. Hal yang Perlu Diperhatikan Berkaitan dengan Autisme... 13

B. Sikap ... 14

1. Pengertian Sikap... 14

(12)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Sikap... 16

C. Orang tua……… 18

1. Pengertian Orang tua ... 18

2. Kewajiban Orang tua... 19

3. Pola Asuh Orang tua... 20

D. Penerimaan Orang tua ... 22

1. Pengertian Penerimaan Orang tua ... 22

2. Ciri-ciri Orang tua yang Menerima Anaknya... 23

E. Sikap Penerimaan Orang tua Terhadap Anaknya yang Menyandang Autisme... 25

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 27

B. Subyek Penelitian ... 27

C. Lokasi Penelitian ... 27

D. Variabel Penelitian ... 28

E. Batasan Istilah ... 29

F. Metode Pengumpulan Data ... 30

G. Metode Analisis Data Penelitian ... 34

H. Pemeriksaan Keabsahan Data ... 35

1. Kredibilitas ... 35

2. Dependibilitas... 36

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Konteks Penelitian ... 37

B. Prosedur Penelitian... 38

C. Hasil Penelitian Sikap Penerimaan Orang tua Terhadap Anaknya yang Menyandang Autisme ... 40

1. Per Subjek ... 1.1. Orang tua I (Subyek A (Ayah) ... 40

1.2. Orang tua I (Subjek B (Ibu)... 43

(13)

1.4. Orang tua II (Subjek D (Ibu) ... 51

1.5. Orang tua III (Subjek E (Ayah)………. 55

1.6. Orang tua III (Subjek F (Ibu) ... 60

D. Pembahasan ... 64

a. Aspek Kognitif Sikap Penerimaan Orang tua yang Anaknya Menyandang Autisme... 64

b. Aspek Afektif Sikap Penerimaan Orang tua yang Anaknya Menyandang Autisme ... 67

c. Aspek Konatif Sikap Penerimaan Orang tua yang Anaknya Menyandang Autisme ... 69

d. Sikap Penerimaan Orang tua Terhadap Anaknya yang Menyandang Autisme... 73

BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan... 78

B. Keterbatasan Penelitian……….. 79

C. Saran-saran ... 80

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Blue Print wawancara Sikap Penerimaan Orang Tua

terhadap Anaknya yang Menyandang Autisme……… 33 Tabel 2 : Hasil Penelitian : Deskripsi Subjek Penelitian (di lampiran)……… Tabel 2.1 : Persamaan dan Perbedaan Sikap Penerimaan Orang Tua

terhadap Anaknya yang Menyandang Autisme

(Persamaan Sikap) (di lampiran)……… Tabel 2.2 : Perbedaan Sikap Penerimaan Orang Tua

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Hasil Wawancara Pasangan Orang tua I Subyek A (ayah) ... 1

Lampiran 2 : Hasil Wawancara Pasangan Orang tua I Subyek B (ibu)... 6

Lampiran 3 : Hasil Wawancara Pasangan Orang tua II Subyek C (ayah) ... 11

Lampiran 4 : Hasil Wawancara Pasangan Orang tua II Subyek D (ibu) ... 17

Lampiran 5 : Hasil Wawancara Pasangan Orang tua III Subyek E (ayah) ... 23

(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap manusia pada dasarnya sangat menginginkan hal-hal yang indah dan berkesan dalam hidupnya, seperti mempunyai keluarga bahagia serta keturunan yang normal, akan tetapi terkadang apa yang diharapkan tidaklah sesuai dengan apa yang didapatnya. Salah satunya adalah ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa buah hati yang didambakan selama ini mengalami gangguan atau penyimpangan perkembangan anak yaitu autisme.

Pada saat ini fenomena autisme semakin banyak muncul di permukaan setelah meningkatnya jumlah balita yang mengalami gangguan perkembangan yang kemudian baru diketahui sering disebut sebagai autisme. Hal inilah yang membuat autisme menjadi topik dan kajian yang penting dan mendesak bagi para pakar kesehatan anak, psikologi perkembangan, bahkan orang tua yang anaknya menyandang autisme.

Prevalensi anak autisme mengalami peningkatan di Pensylvania, Amerika Serikat beberapa tahun terakhir ini sebesar 50%, menjadi 40 dari 100.000 kelahiran (Handojo, 2003). Penelitian juga menunjukkan bahwa autisme lebih sering terdapat pada anak laki-laki, bisa sampai tiga hingga empat kali dibanding anak perempuan (Yatim, 2002).

(17)

suami-istri dan anggota keluarga lainnya. Banyak orang tua yang mengalami kebingungan dan kekhawatiran melihat perkembangan anak mereka yang tidak sesuai dengan perkembangan anak-anak lain seusianya. Hal itu disebabkan karena perbedaan informasi tentang autisme yang didapat, selain itu juga kesiapan mental mereka ketika harus dihadapkan dengan keadaan anaknya yang menyandang autisme.

Tidak sedikit pasangan suami-istri juga mengalami konflik, karena tidak adanya persamaan persepsi dan sikap saling mendukung terhadap anaknya yang menyandang autisme. Beberapa orang tua juga shock saat mengetahui hasil diagnosa dari dokter spesialis kalau anaknya menyandang autisme. Tampak jelas bahwa berat ringannya gangguan autisme yang dialami anak juga berpengaruh terhadap hubungan suami istri. Hal inilah yang akan menjadi perhatian, seperti bagaimanakah sikap penerimaan orang tua terhadap anak mereka yang mengalami gangguan perkembangan ini.

Sebagian orang tua terpaksa datang ke tempat-tempat profesi tertentu yang bukan ahlinya dalam perkembangan anak untuk menggali informasi lebih jauh tentang perkembangan anaknya yang menyandang autisme, tetapi sejauh ini jawaban yang didapat masih mengambang, dan menganggap remeh keluhan orang tua ataupun justru menghibur dengan mengatakan bahwa gangguan yang dialami anak mereka biasa dialami anak yang lain (Faradz, 2000).

(18)

yang anaknya berusia 15 tahun baru tahu kalau anaknya menyandang autisme (Handojo, 2003). Kenyataan ini dapat dimengerti mengingat pengetahuan masyarakat atas gangguan autisme masih sangat kurang, bahkan juga di kalangan professional. Autisme merupakan gangguan perkembangan khusus yang terjadi pada anak yang mengakibatkan anak tersebut tidak dapat berkomunikasi, dan tidak dapat mengekspresikan perasaannya dan keinginannya, sehingga terganggunya perilaku hubungan dengan orang lain.

Berikut ini adalah salah satu penuturan orang tua bernama Denny yang anaknya menyandang autisme. Pada awalnya Denny tidak tahu bahwa Lingga anaknya menyandang autisme. Sampai suatu ketika, ada temannya yang datang dan cukup tahu banyak mengenai autisme, temannya tersebut melihat kalau Lingga memiliki gejala-gejala yang mengarah pada autisme. Awal mulanya Denny marah dan tersinggung, karena bagi dia autisme adalah suatu penyakit/ gangguan yang tidak dapat disembuhkan, setelah Denny melihat ada yang tidak wajar dengan perkembangan Lingga, ia pun membawa Lingga ke dokter spesialis, dari diagnosa baru Denny tahu bahwa Lingga menyandang autisme.

(19)

lingkungan)seperti anak normal lainnya walaupun Lingga mengalami gangguan perkembangan.

Orang tua diharapkan bisa menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk melakukan terapi tambahan saat anak berada di rumah bukan di sekolah autisme (Handojo, 2003), dan tentu saja itu semua sebagai usaha untuk menciptakan suatu hubungan yang harmonis dan memuaskan dari kedua belah pihak, orang tua dan anak yang menyandang autisme.

Permasalahan akan timbul jika orang tua tidak menciptakan hubungan yang harmonis dan menyerahkan sepenuhnya penanganan anak mereka ke yayasan atau sekolah-sekolah autisme. Mereka tidak mau mengurusi segala hal yang menyangkut urusan pendidikan anaknya, mereka cukup menyediakan biaya untuk sarana atau keperluan yang dibutuhkan, tetapi ada juga orang tua yang selalu ingin turut campur terhadap proses terapi karena mereka ingin melihat anak mereka dapat “mandiri” dengan cepat, sehingga kelancaran proses terapi menjadi terganggu bahkan terhenti, anak akan semakin tidak mandiri dan merasa tidak diterima di dalam keluarga besarnya.

(20)

Hubungan yang memuaskan adalah ketika orang tua menanamkan kepercayaan, pengertian dan penerimaan terhadap anak mereka, akan tetapi pada kenyataannya, banyak orang tua yang merasa malu ataupun justru mereka sudah pusing dengan permasalahan dan konflik-konflik sendiri. Kebanyakan orang tua menutupi sikap yang kurang baik terhadap anaknya, karena mereka sadar bahwa masyarakat dan lingkungan di sekitar tempat tinggal mereka tidak akan suka kalau para orang tua mengungkapkan kata-kata yang kurang baik atau memperlihatkan sikap yang kurang menyenangkan kepada anak kandungnya (Hurlock, 1999).

Orang tua yang memiliki anak penyandang autisme, dibutuhkan penerimaan dan kesabaran yang besar. Oleh karena itu, seorang ibu atau ayah yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya penyandang autisme akan dapat mempengaruhi kondisi anak (Budiman, 2002), dimana anak akan merasa tidak dihargai, tidak mandiri, tidak bebas dan anak tidak dapat belajar memecahkan masalahnya sendiri, serta anak akan bertingkah laku defensif,

Hubungan yang hangat dan harmonis dalam keluarga akan menimbulkan rangsangan yang baik untuk anak penyandang autisme. Anak akan mempersepsikan bahwa mereka diterima secara baik oleh keluarga sehingga anak penyandang autisme dapat mengembangkan potensi yang dimiliki secara maksimal tanpa adanya tekanan dari lingkungan.

(21)

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian diadakan dan diharapkan dapat menjawab pertanyaan seperti apakah sikap penerimaan orang tua terhadap anaknya yang menyandang autisme.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, peneliti ingin mengetahui seperti apakah sikap penerimaan orang tua terhadap anaknya yang menyandang autisme.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mencari kejelasan tentang seperti apakah sikap penerimaan orang tua terhadap anaknya yang menyandang autisme.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kajian ilmiah psikologi khususnya perkembangan dan psikologi klinis yang berkaitan mengenai sikap penerimaan orang tua terhadap anaknya yang menyandang autisme.

(22)

A. Autisme

1. Pengertian Autisme

Autisme bukanlah masalah baru karena sudah ada sejak jaman dahulu, kalau para orang tua membaca cerita-cerita lama tentang anak yang dianggap aneh karena sejak lahir sudah menunjukkan gejala-gejala tidak normal, seperti meronta jika digendong, selalu menangis di malam hari, dan banyak tidur di siang hari, bicara sendiri seolah-olah ada yang mengajaknya bercanda serta menggigit atau menyakiti diri sendiri. Jikalau dipikir dengan baik maka bisa jadi anak yang menyandang autisme telah menunjukkan gejalanya sejak lahir.

Istilah autisme pada anak diperkenalkan pertama kali oleh Dr. Leo Kanner, seorang psikiater anak pada tahun 1943. Istilah ini dipakai untuk menggambarkan keadaan dari 11 orang anak yang memiliki karakteristik hampir mirip yaitu ketidakmampuan mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah “hidup dalam dunianya sendiri” (Handojo, 2003). Sejak saat itu, kondisi ini dikenal sebagai gangguan perkembangan, gangguan jiwa anak yang sulit diterapi dengan hasil diagnosis yang jelek. Baru kemudian dikembangkan teknik modifikasi perilaku anak penyandang autisme oleh Ivar Lovaas, dimana diharapkan anak-anak penyandang autisme dapat hidup normal, walaupun autismenya sendiri tidak bisa disembuhkan (Lovaas, 1981).

(23)

Autisme muncul dengan ditandai adanya penurunan respon sosial yang menonjol terhadap lingkungannya, dimana penyandang senang menyendiri dan bersikap dingin sejak kecil, misalnya tidak memberikan respon yaitu tersenyum atau mengerjapkan mata, selain itu kurangnya komunikasi penyandang autisme dengan orang lain juga menjadi penyebab munculnya autisme.

Rusmil, 2001 (dalam Yatim, 2002) mengartikan autisme sebagai suatu kelainan pada anak berupa gangguan perkembangan yang luas dan menyeluruh pada usia balita (dibawah usia 3 tahun). Dimana anak penyandang autisme tidak mampu membentuk hubungan sosial atau mengembangkan komunikasi yang normal (gangguan interaksi sosial, gangguan komunikasi dan bahasa), akibatnya anak menjadi terisolasi dari kontak manusia dan tenggelam dalam dunianya sendiri yang diekspresikan dalam minat dan perilaku yang terpaku dan berulang-ulang.

Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, autisme yang terjadi pada masa kanak-kanak merupakan gangguan perkembangan yang ditandai oleh adanya abnormalitas dan/ atau gangguan perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun. Ciri abnormal yang tampak yaitu interaksi sosial, komunikasi dan perilaku yang terbatas dan berulang. Gangguan ini dijumpai 3 – 4 kali lebih banyak pada anak laki-laki dibanding anak perempuan.

(24)

mengekspresikan perasaannya dan keinginannya, sehingga menyebabkan terganggunya perilaku hubungan dengan orang lain.

2. Penyebab Autisme

Penyebab autisme sendiri masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa penelitian memperlihatkan penyebab autisme adalah multifaktor kemungkinan besar disebabkan karena suatu masalah fisik yang mempengaruhi bagian-bagian dari otak (kerusakan organis pada otak) yang memproses bahasa dan informasi yang berhubungan dengan panca indera. Adanya kerentanan genetic, kemudian dipicu oleh faktor-faktor lingkungan yang multifaktor, seperti infeksi (rubbela, cytomegalovirus) saat anak masih dalam kandungan, bahan-bahan kimia (pengawet, pewarna, perasa makanan dan berbagai food addictives lainnya) serta polutan seperti timbale, timah hitam, atau air raksa dari ikan yang tercemar mercuri sebagai bahan pengawet vaksin

(25)

3. Perbedaan Autisme, Schizoprenia dan Retardasi mental

Schizoprenia juga merupakan gangguan yang membuat anak menarik diri dari dunia luar dan menciptakan dunia fantasinya sendiri, tetapi ada perbedaan yang jelas penyebab dari autisme dan penderita schizoprenia. Schizoprenia mempunyai halusinasi dan disebabkan oleh proses regresi karena penyakit jiwa, sedangkan anak menyandang autisme tidak, mereka disebabkan kegagalan perkembangan yang mempengaruhi tingkat perkembangannya seperti anak normal pada umumnya.

Anak retardasi mental biasanya senang bergaul dengan anak yang sesuai dengan usia mentalnya dan mau menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain, selain itu anak retardasi mental memiliki inteleginsi umum di bawah rata-rata sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh sedangkan anak autisme tidak semua memiliki inteleginsi di bawah rata-rata akan tetapi ada juga yang tingkat inteleginsinya di atas rata-rata (Nakita, 2002).

4. Penggolongan Perilaku Autisme

(26)

berulang-ulang, menepuk-nepuk kepala, menggerakkan jarinya seperti penari, duduk sambil mengoyang-goyangkan badan dan lain sebagainya (Yatim, 2002).

5. Gejala- gejala Anak yang Menyandang Autisme

Anak yang menyandang autisme sebagian kecil sempat berkembang normal, namun sebelum mencapai umur 3 tahun perkembangan terhenti, kemudian timbul kemunduran dan mulai nampak gejala-gejala autisme. Gejalanya akan tampak makin jelas setelah anak mencapai usia 3 tahun, yaitu berupa gangguan dalam bidang komunikasi verbal maupun non-verbal seperti terlambat bicara, banyak meniru (echolalia), bila kata-kata diucapkan anak tidak mengerti artinya.

Bentuk dari gejala-gejala yang digambarkan di bawah ini, tidak harus semua ada pada setiap anak yang menyandang autisme (Gamayanti, 2003). Bentuk dari gejala gangguan anak yang menyandang autisme adalah sebagai berikut :

Gangguan dalam Interaksi Sosial

Kurang responsive terhadap isyarat sosial, menolak dan menghindari untuk bertatap muka dan berkomunikasi, jika didekati menjauh, tidak mau menengok bila dipanggil, seringkali menolak untuk dipeluk, serta lebih asyik untuk bermain sendiri, tidak mampu mengekspresikan rasa senang/ keinginannya secara spontan dan tidak ada empati Gangguan dalam

Perilaku

(27)

agresif/ menyakiti diri sendiri, tantrum (mengamuk) oleh sebab yang tidak jelas, melamun atau bengong, terpukau pada benda berputar atau benda yang bergerak, kelekatan terhadap benda tertentu dan perilaku yang ritualistik. Gangguan dalam

Perasaan/ Emosi

Tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain, menangis, tertawa dan marah tanpa sebab, sering mengamuk tak terkendali terutama bila tak mendapatkan apa yang diinginkan bisa menjadi agresif dan destruktif dan rasa takut yang tidak wajar.

Gangguan dalam Persepsi Sensoris

Mencium-cium, menjilat-jilat dan menggigit mainan, bila mendengar suara keras atau nada tertentu langsung menutup telinga, tidak menyukai rabaan dan pelukan, merasa sangat tidak nyaman bila dipakaikan pakaian dari bahan yang kasar, sangat tahan terhadap sakit.

Gangguan dalam Komunikasi

Terlambat berbicara atau sama sekali belum dapat berbicara, sangat sulit untuk memulai atau mempertahankan percakapan dengan orang lain, komunikasi dengan gerakan/ bahasa tubuh, mengulang-ulang kata, meracau dengan bahasanya sendiri dan tidak memahami pembicaraan orang lain (lebih suka mengulang pertanyaan yang ditanyakan tanpa bisa menjawab apa yang ditanyakan)

(28)

membaik. Kini tidak lagi, berkat kemajuan teknologi, terapi dan obat-obatan, sehingga autisme tidak membebani masyarakat.

6. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Berkaitan dengan Autisme

Ada banyak masalah yang berkaitan dengan autisme, dari gejala maupun perilaku anak yang menyandang autisme terhadap orang tua, masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Hal inilah yang kemudian menjadi kajian hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan saat orang tua/ terapis berhadapan dengan anak yang menyandang autisme :

a. Berilah waktu dan kesempatan pada anak untuk melihat masalahnya secara jelas tanpa dengan cepat-cepat memberikan bantuan.

b. Jangan terlalu cepat memberikan kegiatan, tunggu sampai anak siap dan mengenal dengan baik

c. Jika anak sampai menolak kehadiran kita, jangan putus asa karena harus diingat, sesuatu yang masih baru, anak lebih cenderung untuk menolak.

d. Untuk mengetahui waktu yang tepat bermain bersama anak biasanya ditentukan oleh perasaan kita sebagai orang tua.

e. Masalahnya harus jelas, perintah ringkas, singkat dan cukup terdengar

f. Kalau situasinya sudah menyenangkan, lakukan tindakan yang bervariasi akan tetapi dilakukan dengan konsisten.

(29)

Dari sini tampak jelas bahwa kesabaran yang tinggi/ besar sangat dituntut bagi orang tua dalam menangani anaknya yang menyandang autisme, karena saat menghadapi, menangani ataupun melakukan terapi terhadap anaknya yang menyandang autisme memerlukan waktu yang lama.

B. Sikap

1. Pengertian Sikap

Menurut Berkowitz (dalam Azwar, 2000), beberapa pengertian sikap yang dikemukakan oleh para ahli terdiri dari beberapa kelompok, yaitu:

a) Kelompok pemikiran yang pertama oleh para ahli psikolog, seperti Louis Thurstone dan Charles Osgood. Sikap adalah bentuk evaluasi atau reaksi perasaan, baik perasaan mendukung atau memihak ataupun perasaan tidak mendukung terhadap obyek sikap.

b) Kelompok kedua dikemukakan oleh Gordon Allport. Sikap merupakan kesiapan individu untuk bereaksi terhadap suatu obyek dengan cara-cara tertentu. Kesiapan dalam definisi ini adalah kecenderungan individu untuk bereaksi apabila individu tersebut dihadapkan pada suatu sistem yang menghendaki adanya respon.

c) Kelompok ketiga berorientasi pada teori kognitif dimana merupakan penggabungan dari komponen kognitif, afektif dan konatif yang berorientasi dalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu obyek.

(30)

negatif. Dikatakan positif apabila tindakannya cenderung mendekati, menyenangi, mengharapkan obyek itu, dan dikatakan negatif apabila tindakannya cenderung untuk menjauhi, menghindari, membenci dan tidak menyukai obyek tersebut.

Dari beberapa pengertian sikap di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sikap adalah suatu reaksi atau evaluasi terhadap suatu obyek ke dalam perilaku baik lisan maupun perbuatan. Sikap yang terdapat pada seseorang akan memberikan warna pada perbuatan atau perilaku individu yang bersangkutan. Jadi lebih pada kesiapan seseorang untuk bereaksi terhadap sesuatu dan menghendaki adanya respon.

2. Komponen Sikap

Menurut Walgito (1994) sikap mempunyai tiga komponen, yaitu: komponen kognisi; komponen afeksi serta komponen konasi atau psikomotor. Ketiga komponen tersebut menentukan predisposisi seseorang untuk bertindak senang atau tidak senang terhadap obyek tertentu dan ketiga komponen itu saling berinteraksi dalam menentukan sikap.

Komponen kognisi merupakan komponen yang berhubungan dengan obyek tertentu atau dengan kata lain komponen kognisi menjawab tentang apa yang dipikirkan dan dipersepsikan seseorang terhadap obyeknya, dengan demikian komponen kognisi berkaitan dengan ide, keyakinan atau kepercayaan tertentu dalam diri seseorang terhadap obyeknya.

(31)

senang atau tidak senang, dengan demikian komponen afeksi akan menjawab pertanyaan tentang apa yang dirasakan seseorang terhadap obyeknya.

Komponen konasi menunjuk pada seluruh kesediaan untuk bertingkah laku atau melakukan tindakan. Jadi komponen konasi akan menjawab pertanyaan tentang bagaimana kesiapan atau kesediaan seseorang dalam melakukan tindakan tertentu. Ketiga komponen di atas saling berinteraksi dan tidak berdiri sendiri. Komponen kognisi, komponen konasi dan komponen afeksi atau perasaan merupakan komponen sikap yang mempunyai peranan menghasilkan perilaku tertentu terhadap obyek.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap

Pembentukan sikap tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan senantiasa berlangsung dalam interaksi manusia dan yang berkenaan dengan obyek tertentu. Oleh karena itu interaksi sosial di dalam kelompok maupun di luar kelompok dapat mengubah sikap atau pembentukan sikap yang baru.

Azwar (1995), mengemukakan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap, antara lain:

a. Pengalaman pribadi

(32)

b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Orang-orang yang dianggap penting bagi orang tua adalah pasangan, orang tua terapis, guru, teman dekat. Pada umumnya orang tua akan cenderung memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting. c. Pengaruh kebudayaan

Kebudayaan ditempat orang tua hidup dan dibesarkan memberikan pengaruh besar terhadap pembentukan sikap terhadap masalah dan memberikan pengalaman pada orang tua yang menjadi kelompok masyarakat.

d. Media massa

Selain sebagai wahana komunikasi yang menyampaikan informasi, media massa juga membawa pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan pada opini.

e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama

Kedua lembaga tersebut meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu, juga memberikan pemahaman akan baik dan buruk moral. Ajaran agama sangat menentukan sistem kepercayaan, sehingga konsep tersebut ikut berperan dalam menentukan sikap orang tua terhadap anak mereka.

f. Pengaruh faktor emosional

(33)

C. Orang Tua

1. Pengertian Orang Tua

Orang tua adalah hubungan pria dan wanita yang saling mencintai dan saling memiliki satu sama lain dalam satu ikatan resmi secara hukum maupun agama (pernikahan) untuk belajar hidup bersama, belajar mengelola rumah tangga serta mengasuh dan merawat anak-anak mereka (Kartono, 1992).

Setiap orang tua yaitu ayah dan ibu, masing-masing memiliki tugas/ peran yang berbeda-beda dalam mengurus rumah tangganya dan dalam mengurus anak-anak mereka. Ayah yang merupakan kepala rumah tangga/ tulang punggung keluarga memiliki tugas untuk bekerja mencari uang supaya kebutuhan rumah tangganya selalu terpenuhi.

Seorang ayah memiliki peranan yang sangat besar di dalam keluarganya, dimana ayah juga harus menunjukkan sikap kepemimpinan, sifat yang bijaksana,. Demokratis dan berani bertanggung jawab, supaya istri dan anak-anaknya dapat melihat figur seorang pemimpin di dalam sebuah keluarga. Di dalam keluarga, ayah juga memiliki wewenang penuh terhadap keputusan penting yang diambil.

(34)

2. Kewajiban Orang Tua

Menurut Kartono (1992), orang tua memiliki kewajiban terhadap anaknya yaitu:

a) Membuat si anak sampai bisa mandiri

Orang tua membantu anaknya dengan memberikan pekerjaan sampingan yang tidak sampai menyita waktu sekolahnya, supaya anak dapat merasakan jika ia menginginkan sesuatu, maka ia harus berusaha.

b) Mempersiapkan biaya pendidikan dan memenuhi sebagian keperluan/ kebutuhan anak-anaknya

Sebagai orang tua wajib mengingatkan anaknya, supaya anak menyadari bahwa dengan dibiayai pendidikannya, anak juga harus ada timbal balik dengan pendidikannya secara optimal (prestasi diri). Hal ini dilakukan supaya anak dapat berkonsentrasi di sekolah dan memiliki banyak waktu untuk mengembangkan diri serta bersosialisasi.

c) Mendidik anak menjadi seorang yang beriman dan tidak selalu memanjakan

Di sini beriman adalah tak lain agar setiap usaha yang dilakukan anaknya terarah dan prinsip menghalalkan segala cara dapat ditepis. Sebaiknya orang tua yang memiliki kemampuan finansial yang berlebih juga tidak terlalu memanjakan anaknya.

(35)

Ini adalah kewajiban utama orang tua ketika mereka harus dihadapkan pada posisi dimana mereka memiliki buah hati.

3. Pola Asuh Orang Tua

Menurut Johnson dan Medinus (dalam Walgito, 1985), pola asuh adalah sikap serta perbuatan orang tua terhadap anaknya untuk mencapai tujuan keluarga. Jika sikap orang tua menguntungkan, hubungan orang tua dan anak akan jauh lebih baik daripada bila sikap orang tua tidak positif. Banyak kasus penyesuaian yang buruk pada anak maupun orang dewasa dapat ditelusuri dengan melihat kembali hubungan awal orang tua dan anak (Hurlock, 1984).

Dalam melakukan pendidikan dan pembibingan terhadap anaknya, setiap keluarga memiliki metode pola asuh yang berbeda-beda. Menurut Baumrind (dalam Vasta dkk., 1992), macam pola asuh yang dikenal ada 3 macam, yaitu: a) Pola Asuh Otoriter

Pola asuh yang ditandai dengan kontrol yang keras dan tuntutan kedewasaan namun rendah dalam kehangatan dan komunikasi. Cara pendidikan otoriter ini memperbolehkan anak memberikan pandangan dan pendapatnya, akan tetapi tanpa turut dipertimbangkan. Orang tua tetap menentukan dan mengambil keputusan-keputusan. Orang tua jarang memuji ataupun memberikan reward pada anak.

b) Pola Asuh Permisif

(36)

sangat sensitif dan responsif kepada anak-anaknya, tetapi mereka menyediakan peraturan yang sangat sedikit dan struktur kedisiplinan yang kecil untuk anak-anaknya.

Dengan demikian anak tidak diajarkan peraturan-peraturan, anak tidak dihukum karena sengaja melanggar peraturan, juga tidak ada hadiah bagi anak yang berlaku sosial (Hurlock, 1980).

c) Pola Asuh Demokratis

Pola asuh yang ditandai dengan adanya kehangatan, tuntutan kedewasaan, kontrol diri serta komunikasi antara orang tua dengan anak yang baik. Cara pendidikan demokratis adalah anak boleh mengemukakan pendapatnya sendiri, mendiskusikan pandangan-pandangan mereka dengan orang tua, menentukan dan mengambil keputusan. Akan tetapi orang tua masih melakukan pengawasan dalam hal pengambilan keputusan terakhir dan bila diperlukan persetujuan dari orang tua.

(37)

D. Penerimaan Orang Tua

1. Pengertian Penerimaan Orang Tua

Penerimaan orang tua adalah suatu sikap yang dibentuk melalui perhatian yang kuat dan cinta kasih terhadap anak serta sikap yang penuh kebahagiaan dalam mengasuh anak (Hurlock, 1999).

Penerimaan adalah sikap konsisten dan tidak berpura-pura terhadap kehadiran seseorang. Hal ini ditandai dengan sikap yang tulus dan tanpa harus merasa terpaksa terhadap kehadiran seseorang.

Drever (1988) dalam kamus psikologi mendefinisikan penerimaan dalam bahasa asingnya “acceptance” sebagai fase dan suggestion (sugesti) yang terdiri dari penerimaan ide, pertimbangan atas apa yang ditandaskan. Dalam kamus bahasa Indonesia penerimaan adalah suatu proses, penyambutan, pendapat dari suatu stimulus.

Dwiyani (dalam Kartono, 1992) mengatakan bahwa penerimaan orang tua timbul setelah ada proses pengorganisasian dan perubahan terhadap hal-hal yang diamati. Dasar-dasar perubahan ini diperngaruhi oleh latar belakang pengalaman dan kejadian yang dialami. Kecintaan orang tua dan dukungan diberikan dalam berbagai cara tetapi yang lebih ideal, ekspresi sikap dan perilaku orang tua dilakukan secara konsisten. Orang tua yang menerima anaknya biasanya memperhatikan perkembangan kemampuan dan minat anaknya. Sikap penerimaan orang tua tersebut berpengaruh positif terhadap perkembangan anak.

(38)

dukungan yang besar serta rasa aman dan nyaman serta kebahagiaan dalam mengasuh anak. Hal ini ditandai dengan sikap orang tua yang mengungkapkan perasaannya dengan tulus dan tidak berpura-pura.

2. Ciri-ciri orang tua yang menerima anaknya

Orang tua yang menerima anaknya anak meletakkan anaknya pada posisi penting dalam keluarga dan mengembangkan hubungan emosional orang tua dan anak yang hangat. Lebih rinci Porter (dalam Hurlock, 1956) mengungkapkan ciri-ciri orang tua yang menerima anaknya sebagai berikut:

a) Orang tua menghargai anaknya sebagai manusia yang memiliki perasaan, mengakui hak-hak anak dan kebutuhan untuk mengekspresikan perasaan anak. b) Orang tua tidak mengalami gangguan emosional ketika anak menunjukkan

penolakan, tetapi justru menerima dan mengarahkan anak.

c) Orang tua mendorong anak untuk bebas mengekspresikan emosinya.

d) Orang tua membangun komunikasi terbuka dan mendengarkan dengan pikiran yang tenang terhadap konflik yang dialami anak.

e) Orang tua menilai suatu keputusan anak yang unik dan berusaha menjaganya dalam batas kepribadian yang sehat dan penyesuaian sosial yang baik.

f) Orang tua menghargai keinginan anak untuk dibedakan dan memisahkan diri dari orang tua dan menjadi individu yang mandiri.

(39)

a) Bersama anak melakukan permainan, olahraga, kesenangan anak atau melakukan perjalanan. Dengan itu anak akan merasakan bahwa orang tua sangat berperan penting dan mendukung sepenuhnya dalam segala bentuk kegiatannya.

b) Melibatkan anak di dalam pekerjaannya. Di sini anak akan merasa diterima dan memahami akan pentingnya pertanggungjawaban dalam pekerjaan. Misalnya, membuang sampah pada tempatnya, membereskan tempat tidur, dan lain-lain.

c) Memberi perhatian besar terhadap rencana serta ambisi anak. Orang tua yang menerima anaknya akan memberi dukungan yang maksimal kepada anaknya, bisa dalam bentuk memberikan sesuatu yang dibutuhkan anaknya untuk mewujudkan rencana serta ambisinya.

d) Memperhatikan kemajuan prestasi anak. Orang tua yang menerima anaknya tahu segala masalah yang dihadapi anaknya ketika mereka menghadapi kesulitan dalam pelajaran atau kegiatan yang berhubungan dengan prestasi anak mereka.

e) Tidak mengharapkan terlalu banyak dari anak. Ini sangat penting, karena anak akan merasakan penghargaan yang besar ketika orang tuanya menerima keadaan anaknya apa adanya tanpa menuntut macam-macam.

(40)

g) Bertutur manis pada anak merupakan salah satu hal yang dilakukan oleh orang tua yang menerima anaknya. Jika orang tua kasar terhadap anak mereka, sudah dipastikan dalam perkembangannya nanti anak akan merasa tidak dihargai dan terhambat perkembangannya.

h) Memberikan dorongan pada anaknya

E. Sikap Penerimaan Orang Tua Terhadap Anaknya yang Menyandang Autisme

Pada anak yang menyandang autisme, tidak jarang ditemui kalau sebagian dari mereka lebih tertarik pada benda dibandingkan manusia, karena anak yang menyandang autisme mempunyai sikap menarik diri dan tidak menjalin komunikasi dengan orang lain. Mereka lebih menyukai berbicara sendiri atau berbicara dengan benda-benda yang ada di sekitarnya. Hal ini pulalah yang menjadi awal dari sikap para orang tua terhadap anaknya yang menyandang autisme, dimana mereka mengalami kesulitan sehingga hubungan dengan anaknya mengalami masalah/ terganggu.

(41)

tersebut merupakan wujud kasih sayang dan cinta yang diberikan orang tua kepada anaknya.

Tidak hanya itu saja, sikap penerimaan juga harus ditularkan ke seluruh orang yang berada dalam lingkungan anak tersebut. Hal ini penting dilakukan, agar sikap penerimaan yang telah dilakukan oleh orang tua akan bermanfaat ketika anak yang menyandang autisme harus dihadapkan pada situasi yang berbeda dengan apa yang dilakukan oleh orang tua.

Pupusnya impian, harapan dan muncul kebingungan atas masa depan anaknya, biaya finansial yang harus dikeluarkan dan kerepotan-kerepotan lainnya serta tidak adanya sikap yang baik dari orang tua, merupakan beban berat yang harus dipikul para orang tua dan hal tersebut akan menimbulkan depresi bila orang tua tidak siap menerima kondisi anak mereka (Sutandi, 1998). Tidak banyak orang tua yang mengetahui bahwa autisme bukanlah hal yang sulit untuk ditangani, apabila mereka dapat menerima dan memberi perlakuan yang tepat bagi anak yang menyandang autisme.

(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif, dimana data yang diperoleh akan disajikan secara naratif. Desain penelitian kualitatif bersifat alamiah, dalam arti bahwa peneliti tidak berusaha untuk memanipulasi segala hal yang ada di sekitar penelitian (setting), melainkan akan melakukan studi kasus terhadap suatu hal atau peristiwa dalam situasi dimana peristiwa itu ada.

B. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah 6 orang (yang terdiri dari 3 laki-laki (ayah) dan 3 wanita (ibu) dan merupakan suami istri) yang memiliki anak yang menyandang autisme serta sedang diterapi di yayasan/ sekolah autisme. Untuk masing-masing orang tua juga tinggal satu rumah dengan anaknya yang menyandang autisme. Sebagian besar subjek penelitian yang memiliki anak yang menyandang autisme merupakan keluarga mampu atau berada. Pemilihan subjek ini didasarkan atas pertimbangan hubungan baik antara peneliti dengan subjek penelitian.

C. Lokasi Penelitian

(43)

Wirosaban Barat Kav. 9 Karangkajen, Yogyakarta, pada hari Sabtu, 12 Maret 2005 pukul 10.00 Subjek A (ayah) dan pada hari Minggu, 13 Maret 2005 pukul 09.00 Subjek B (ibu). Wawancara berjalan dengan baik dan subjek juga tidak sungkan-sungkan atau malu menceritakan keadaan anaknya yang menyandang autisme.

Orang tua kedua dilakukan di rumah subjek di daerah Perum. Sendok Indah, Kotagede, Yogyakarta pada hari Sabtu, 19 Maret 2005 pukul 09.30 Subjek D (ibu) dan pada hari Minggu, 20 Maret 2005 pukul 14.05 Subjek C (ayah). Ketika mewawancarai subjek D, wawancara sempat terhenti karena subjek menjemput anaknya yang menyandang autisme di yayasan autis, selama perjalanan subjek sempat menceritakan perasaannya ketika anaknya menyandang autisme.

Orang tua ketiga dilakukan di rumah peneliti, karena subjek masih ada status saudara dengan peneliti maka wawancaranya sangat mudah dilakukan. Saat ini subjek bertempat tinggal di Jl. Kalimantan Blok. A, Depok Utara, Bogor Jawa Barat. Pada saat wawancara, subjek berada di Yogyakarta dalam rangka liburan, maka kesempatan ini dipergunakan untuk melakukan penelitian. Wawancara dilakukan pada hari Jum’at, 25 Maret 2005 Subjek E (ayah) pukul 16.00 dan pada hari Sabtu, 26 Maret 2005 pukul 10.30 Subjek F (ibu).

D. Variabel Penelitian

(44)

Reaksi ini muncul karena adanya interaksi antara aspek sikap penerimaan kognitif, aspek sikap penerimaan afektif dan aspek sikap penerimaan konatif, dan hal ini dapat diungkapkan secara verbal maupun fisik.

E. Batasan Istilah

Batasan istilah dalam penelitian ini adalah: 1. Sikap Penerimaan

Sikap penerimaan adalah suatu sikap yang dibentuk melalui cinta kasih, perhatian yang kuat, dukungan yang besar serta rasa aman, nyaman dan kebahagiaan dalam mengasuh anak mereka ke dalam perilaku, baik lisan maupun perbuatan. Jadi, seperti apakah bentuk perilaku mereka dalam memberikan perhatian, dukungan yang besar melalui cinta kasih serta sikap yang penuh kebahagiaan dalam mengasuh anak.

(45)

2. Orang tua

Orang tua adalah hubungan antara pria dan wanita yang saling mencintai dan saling memiliki satu sama lain dalam satu ikatan yang resmi secara hukum maupun agama (pernikahan) untuk belajar hidup bersama, belajar mengelola rumah tangga serta mengasuh dan merawat anak-anak mereka (Kartono, 1992).

3. Anak Penyandang Autisme

Autisme adalah gangguan perkembangan khususnya terjadi pada masa kanak-kanak yang membuat anak tidak dapat mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri.

Anak penyandang autisme dalam penelitian ini adalah mereka yang baru berusia di bawah 5 tahun, apalagi mereka baru diketahui menyandang autisme ketika diperiksakan orang tuanya ke dokter anak/ psikolog perkembangan anak, selain itu mereka juga sedang terapi di yayasan/ sekolah autisme ± 3 bulan.

F. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah metode wawancara terhadap orang tua yang memiliki anak menyandang autisme dan menitipkan anaknya di yayasan/ sekolah autisme.

(46)

peneliti tidak hanya terfokus pada panduan wawancara tersebut, peneliti dapat bertanya hal-hal yang lain/ tertentu dimana subjek juga bisa memberikan informasi tambahan untuk peneliti.

Hubungan antara peneliti dengan subyek sangat baik, fleksibel serta tidak kaku. Dalam pelaksanaan wawancara peneliti menggunakan tape recorder dengan tujuan hanya untuk cross-check hasil wawancara. Penelitian ini menggunakan teknik wawancara yang bersifat informal dan campuran, namun topik materi akan dibatasi agar tidak menyimpang dari tujuan penelitian ini.

Gambaran umum tentang karakteristik subyek penelitian akan diperoleh setelah subyek mengisi data yang ada di lembaran pertama pada panduan wawancara di bawah ini, seperti identitas subyek penelitian dan juga data keluarga subyek, setelah itu subyek wajib tanda tangan di tempat yang telah disediakan. Ini dilakukan supaya apa yang telah diisi subyek itu adalah benar dan bisa dipertanggungjawabkan.

(47)

Panduan Wawancara (Interview Guide) I. Identitas Diri Subyek

Nama : Usia : Alamat : Jenis Kelamin :

Pekerjaan : II. Data Keluarga Subyek

1. Berapa jumlah anak dalam keluarga : 2. Anak nomor berapa yang menyandang autisme : 3. Nama anak penyandang autisme :

4. Usia anak saat ini :

5. Usia anak saat diketahui menyandang autisme : 6. Nama yayasan/ sekolah khusus : 7. Usia anak saat masuk yayasan : 8. Hubungan anak yang menyandang autisme

dengan anak yang lainnya

(Harmonis/ dijauhi/ tidak diajak bermain) :

(48)

Tabel 1

Blue Print Wawancara

Sikap Penerimaan Orang tua terhadap Anaknya yang Menyandang Autisme

Aspek Sikap Penerimaan Pertanyaan

1. Kognitif a. Pengetahuan tentang autisme secara umum.

1. Sebelumnya, apakah bapak/ ibu mengetahui tentang autisme? b. Pandangan orang tua

terhadap anak yang menyandang autisme.

2. Bagaimanakah pandangan ibu terhadap anak yang menyandang autisme?

c. Pengetahuan orang tua tentang harapan dan keyakinan akan anak mereka yang menyandang autisme

3. Bagaimana keyakinan dan harapan ibu terhadap anak yang menyandang autisme?

2. Afektif d. Perasaan orang tua ketika mengetahui bahwa anaknya menyandang autisme.

1. a. Bagaimana perasaan ibu ketika mengetahui kalau anak ibu menyandang autisme? e. Perasaan orang tua ketika

mengakui kondisi anak terhadap keluarga/ masyarakat.

b.Perasaan ibu terhadap pandangan keluarga/ masyarakat terhadap anak tersebut? (masih banyak yang belum dapat menerima keadaan mereka) f. Perasaan orang tua ketika

harus berhadapan, berinteraksi dan merawat anak yang menyandang autisme.

2. Apakah yang ibu rasakan ketika menghadapi anak yang menyandang autisme?

g. Perasaan orang tua ketika harus melakukan

komunikasi dengan

anaknya yang menyandang autisme.

3. Seperti diketahui anak penyandang autisme sulit untuk diajak

berkomunikasi. Apakah ibu mengalami kesulitan? Kenapa?

(49)

antara orang tua dengan anak mereka yang menyandang autisme.

menerima (seperti ikatan emosional) dengan anak yang menyandang autisme?

3. Konatif i. Usaha orang tua untuk mengajak anaknya ke tempat dimana anaknya bisa berkembang dengan baik.

1. Siapakah yang memiliki ide untuk memasukkan anak ke sekolah/ yayasan khusus autisme? Kenapa?

j. Tindakan yang dilakukan orang tua ketika anak mengalami emosi tertentu.

2. Apakah ibu mendorong anak yang menyandang autisme untuk bebas mengekspresikan emosinya? Kenapa?

k. Usaha yang dilakukan orang tua untuk mendidik dan mengasuh anak yang menyandang autisme.

3. Bagaimana cara mendidik dan mengasuh anak yang menyandang autisme dengan anak yang lainnya? Apakah ada perbedaan? Begitu pula ketika melibatkan anak pada pekerjaan rumah (yang membutuhkan

kerjasama)? l. Usaha atau tindakan orang

tua seperti apakah yang diberikan untuk anak yang menyandang autisme.

4. Menurut ibu perhatian seperti apakah yang pantas diberikan terhadap anak penyandang autisme?

G. Metode Analisis Data Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan langkah-langkah dalam menganalisis data yaitu:

(50)

dapat disusun dan digolongkan dalam suatu kategori yang sama sesuai dengan tujuan penelitian.

2. Peneliti membaca, mempelajari dan menelaah seluruh data hasil wawancara supaya data-data yang diperoleh menunjukkan hasil yang signifikan tentang sikap penerimaan orang tua terhadap anaknya yang menyandang autisme. 3. Data rekapitulasi, dimana data mentah diolah dan dikategorisasikan yang

nanti anak diuji apakah data telah mewakili semua aspek-aspek tentang sikap penerimaan orang tua yang anaknya menyandang autisme (Tabel 2). Setelah itu disusun sehingga data-data yang telah diperoleh menampilkan suatu pola hubungan.

4. Interpretasi data dan penarikan kesimpulan. Interpretasi dilakukan dengan melihat dan membandingkan hasil data penelitian dengan beberapa teori tentang sikap penerimaan dan orang tua.

H. Pemeriksaan Keabsahan Data 1. Kredibilitas

(51)

Kredibilitas dalam penelitian ini dicapai melalui:

a. Validitas Komunikatif, yaitu mengkonfirmasikan data dan analisisnya kepada subjek penelitian, dimana peneliti menunjukkan hasil penelitian kepada mereka dan menunjukkan hasil konkrit tentang sikap penerimaan mereka sebagai orang tua terhadap anaknya yang menyandang autisme, termasuk juga kesimpulan yang didapat dari penelitian.

2. Dependebilitas

Dependebilitas menggantikan istilah reliabilitas (Poerwandari, 1998), yang dalam penelitian ini diperoleh melalui:

a. Koherensi, yaitu metode yang digunakan memang mencapai tujuan yang diinginkan. Pencatatan informasi dengan alat perekam, memberikan uraian secara deskriptif tentang sikap penerimaan orang tua yang anaknya menyandang autisme disertai adanya catatan verbatim, sehingga tidak menimbulkan tafsiran yang beraneka ragam dan cenderung menyimpang. b. Diskursus, peneliti dapat melakukan diskusi dengan apa yang didapatnya

(52)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Konteks Penelitian

Penelitian ini dilakukan tehadap orang tua (ayah ibu) yang memiliki anak yang menyandang autisme dan sedang menitipkan anaknya ke yayasan autisme atau sekolah-sekolah autisme diYogyakarta atau di Jakarta.

Untuk subjek orang tua perempuan (ibu), mereka tidak ada yang bekerja di luar rumah, kebanyakan dari mereka ibu rumah tangga/ wiraswasta. Jadi mereka lebih banyak fokus di rumah untuk total memperhatikan, mengasuh dan mendidik anaknya yang menyandang autisme. Berbeda dengan orang tua pria (ayah), mereka sebagai kepala rumah tangga/ tulang punggung keluarga, sehingga memiliki kewajiban untuk mencari nafkah.

Penelitian dilakukan di rumah subjek (orang tua) atas permintaan sendiri, dikarenakan masalah keterbatasan waktu bagi subjek yang bekerja dan kenyamanan dalam diri subjek. Jika subjek berada dirumah, mereka merasa dapat melakukan wawancara dengan tenang, santai, dapat dijadikan untuk saling sharing apalagi wawancara ini juga cukup rahasia dan satu lagi alasan mereka adalah tetap dapat mengawasi setiap kegiatan anaknya yang menyandang autisme dirumah.

(53)

Asri, Rejowinangun; Gedong Kuning, Jogjakarta dan Kasih Bunda di daerah Jln. Kalimantan, Depok Utara, Bogor Jawa Barat.

B. Prosedur Penelitian

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Membuat Interfiew Guide yang disesuaikan dengan topik penelitian ini yaitu sikap penerimaan orang tua terhadap anaknya yang menyandang autisme.

2. Membuat surat ijin dari Universitas yang isinya universitas memberikan ijin penelitian untuk melakukan penelitian yang berkaitan untuk menyelesaikan tugas akhir.

3. Menentukan subyek penelitian 3 pasangan orang tua (ayah dan ibu) yang masing-masing pasangan baru petama kali memiliki anak yang menyandang autisme dan usia anak mereka di bawah 4 tahun

4. Penelitian membuat janji dengan subyek guna menentukan waktu dan tempat yang tepat untuk melakukan wawancara karena wawancara ini juga bersifat rahasia. Yang kemudian disetujui/ ditentukan wawancara dilakukan di kediaman subyek masing-masing.

5. Melakukan penelitian.

(54)

7. Jika pertanyaan telah terjawab semua, maka penelitian melakukan pencatatan terhadap jawaban untuk diketahui Variasi jawaban responden. 8. Melakukan editing terhadap data wawancara, dimana penelitian mengecek

kelengkapan hasil wawancara dan kejelasan jawaban subyek terhadap pertanyaan dengan mendengarkan lebih detail lagi hasil wawancara.

9. Menyusun data yang diperoleh dari hasil editing ke dalam satuan-satuan untuk menghaluskan pencatatan data yang sudah terkumpul.

10.Setelah penelitian melakukan proses diatas, data diolah untuk kemudian dianalisa dalam pembahasan secara deskripfif.

C. Hasil Penelitian Sikap Penerimaan Orang Tua Terhadap Anak Mereka yang Menyandang Autisme

1. Per Subjek

1.1Orang Tua I (Subjek A (ayah))

a. Aspek kognitif dari sikap penerimaan orang tua terhadap anaknya menyandang autisme

(55)

Subjek A (ayah) sedikit banyak tahu tentang apa dan bagaimana itu autisme dari sahabatnya yang memiliki anak autisme. Subjek pun tertarik untuk bertanya dan menggali informasi yang lebih mendalam tentang autisme, karena subjek banyak memperhatikan ada perbedaan perilaku dan komunikasi anaknya yang tidak sesuai dengan perkembangannya (A.kog.IA.1.(3-4), seperti anaknya tidak mau disentuh atau dipeluk, cara bermain aneh (mainan dibuang-buang) dan berulang-ulang serta ketika dipanggil sama sekali tidak ada kontak mata (A.kog.IA.1.(4-8). Subjek mencoba membawa anaknya ke dokter spesialis, dengan menguraikan perbedaan-perbedaan yang dialami anaknya, setelah melalui banyak pemeriksaan, hasilnya anak subjek didiagnosa mengalami gangguan perkembangan yaitu autisme (A.kog.IA.4.(2-3).

Subjek A (ayah) memandang bahwa anak yang menyandang autisme merupakan titipan dari Allah SWT. Sebagai orang tua, mereka harus memberikan kasih sayang, cinta serta perhatian yang besar, karena itu merupakan langkah awal yang diberikan orang tua untuk kesembuhan anak mereka dan anak akan merasa diterma keluarganya (A.kog.IA.2.(1-5).

b. Aspek afektif dari sikap penerimaan orang tua terhadap anaknya yang menyandang autisme

(56)

anaknya yang berteriak-teriak, selama masih bisa diredam, subjek tidak mempermasalahkan hal itu.(A.afe.IA.7.(1-3).

Menghadapi banyaknya cibiran maupun omongan dari orang lain/ masyarakat yang tidak baik tentang anak mereka yang menyandang autisme, subjek A (ayah) bersama dengan istrinya yaitu Subjek B (Ibu) sama-sama tidak peduli dan masa bodoh. Sebagai orang tua yang memiliki anak autisme, Subjek A (ayah) tahu akan keadaan anaknya yang menyandang autisme dan subjek belajar untuk mendidik serta merawatnya (A.afe.IA.3b.(1-7).

Perasaan subjek A (ayah) ketika harus berhadapan dan merawat anaknya yang menyandang autisme, pada awalnya sedih karena merasa kesulitan, tapi setelah menjalaninya, subjek A (ayah) merasa bahagia. Ternyata, tidak hanya menerima, memberi perhatian dan merawat saja (A.afe.IA.5.(1-4), sebagai orang tua yang memiliki anak yang menyandang autisme, subjek juga harus berkorban segala hal, biaya, waktu dan pekerjaan (A.afe.IA.3b.(3).

c. Aspek Konatif dari sikap penerimaan orang tua tehadap anaknya yang menyandang autisme

(57)

Subjek A (ayah) juga menyekolahkan anaknya ke yayasan khusus autisme, selain itu, untuk kemajuan perkembangan anaknya, subjek mengenalkan lingkungan baru dengan mengajak anaknya liburan ke rumah neneknya atau ke taman bermain di sekitar tempat tinggalnya. Supaya anak bisa mengenal saudara-saudaranya dan tidak akan merasa minder atau terbuang dari lingkungan/ teman-teman sebayanya. Dari situ anaknya yang menyandang autisme diharapkan dapat berkembang dan meneruskan masa depannya dengan baik (A.kon.IA.9.(3-6).

Untuk membina hubungan yang baik dengan anaknya, subjek A (ayah) tidak pernah melarang bentuk ekspresi emosi anaknya yang menyandang autisme, hal ini dimaksudkan agar anak merasa bahwa mereka diterima. Subjek juga membimbing anaknya supaya dapat sedikit mengontrol emosi dengan merawat dan memperhatikan anaknya (A.kon.IA.9.(1-3).

Tindakan khusus yang diberikan subjek A (ayah) tehadap anaknya yang menyandang autisme yaitu, setiap pulang kerja subjek kadang mengajak anaknya bercanda dan bermain, kadang juga dibelikan oleh-oleh makanan/ mainan supaya anak merasa senang dan dekat dengan ayahnya. Selama ini subyek sibuk dan tidak memiliki banyak waktu luang untuk mendampingi anaknya, oleh sebab itu untuk menunjukkan rasa sayang dan perhatiannya subyek meluangkan waktunya untuk ikut mendampingi setiap kegiatan anaknya (A.kon.IA.10.(1-7).

(58)

(subjek B) untuk menjelaskan apa yang dimaksud anaknya (A.kon.IA.6.(1-5). Untuk membantu kemajuan perkembangan anaknya, Subjek A (ayah) tidak pernah memanjakan anaknya, subjek tetap memberikan peraturan walaupun tidak memberatkan anaknya, subjek juga mengajak anaknya untuk mengenal lingkungan sekitar, seperti dengan menunjukkan taman bermain, pasar, tempat ibadah (masjid, gereja) dan lain-lain (A.kon.IA.8.(4-8).

1.2Orang Tua I (Subjek B (ibu))

a. Aspek kognitif dari sikap penerimaan orang tua terhadap anaknya menyandang autisme

Pengetahuan Subjek B (ibu) tentang autisme secara umum baik. Subjek banyak menggali informasi tentang autisme dari televisi, media massa dan teman-temannya karena pada saat itu autisme sedang marak-maraknya diulas dan dibicarakan (A.kog.IB.1.(4-8). Subjek berpendapat bahwa autisme adalah gangguan perkembangan yang tidak normal dan biasa dialami anak-anak sebelum usia anak mencapai 3 tahun (A,kog.IB.1.(1-3).

(59)

Subjek B (ibu) memandang bahwa anak yang menyandang autisme merupakan cobaan dari Tuhan, sebagai orang tua yang memiliki anak yang menyandang autisme mereka diharapkan bisa menerima keadaan anak mereka apa adanya serta dirawat/ diasuh dengan baik (A.kog.IB.2.(1-3).

b. Aspek afektif dari sikap penerimaan orang tua terjadi anaknya yang menyandang autisme

Perasaan Subyek B (ibu) saat melihat ekspresi emosi anaknya yang berteriak-teriak atau berputar-putar tak tentu arah, selama masih dalam taraf wajar, subjek tidak mempermasalahkannya. Selama ini subjek merasa masih bisa membimbing dan menanggulangi kearah yang benar (A.afe.IB.7.(1-2). Saat pertama kali subjek tahu bahwa anaknya menyandang autisme, subjek merasa sedih dengan cobaan yang dihadapinya, tapi subjek membesarkan hatinya untuk menerima keadaan anaknya dengan lapang dada (A.afe.IB.3a.(2-4).

Subjek B (ibu) tahu dengan keadaan anaknya yang menyandang autisme, jadi subjek merasa tidak masalah/ masa bodoh terhadap pandangan/ cibiran dari orang lain/ masyarakat yang tidak baik tentang anak mereka yang mengalami gangguan perkembangan ini (A.afe.IB.3b.(1-5).

(60)

untuk bersabar dan mencoba mendampingi setiap kegiatan yang dilakukan anaknya (A.afe.IB.5.(1-4).

c. Aspek Konatif dari sikap penerimaan orang tua tehadap anaknya yang menyandang autisme

Tindakan atau usaha saat pertama kali tahu bahwa anaknya menyandang autisme, Subjek B (ibu) menerima keadaan anaknya apa adanya, karena subjek yakin dengan melakukan itu, Tuhan tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan umatnya (A.kon.IB.2.(2-4). Subjek juga melakukan konsultasi dengan psikolog untuk membantu proses penyembuhan anaknya.

Subjek B (ibu) selalu melakukan yang terbaik untuk perkembangan anaknya yang menyandang autisme, karena suaminya (subjek A) sibuk bekerja, subjek tidak ingin anaknya kekurangan perhatian dan bimbingan dari orang tuanya. Oleh sebab itu, subjek selalu mendampingi semua kegiatan anaknya yang menyandang autisme dan mencoba menuruti semua keinginannya supaya tidak marah/ ngambek, tapi bukan berarti dimanjakan, tetap ada batasnya (A.kon.IB.10.(4-8).

(61)

Dalam mendidik anaknya yang menyandang autisme, subjek B (ibu) berusaha membimbing dan membantu anaknya jika mengalami kesulitan, bukan malah memberikan peraturan yang memberatkan. Misalnya, ketika pertama kali masuk sekolah/ yayasan, anaknya sama sekali tidak mau masuk kelas, subjek pun langsung membujuk anaknya dengan dijanjikan akan dibelikan permen jika mau masuk kelas (A.kon.IB.8.(5-7). Menurut subjek, itu bukan berarti memanjakan, melainkan subjek ingin anaknya dapat berkembang dan masuk lingkungan baru. Begitu pula saat anak mulai belajar mengenal barang/ bernyanyi, subjek mengajarinya dengan pelan-pelan, barang-barangnya juga yang mudah diingat dan gampang (mis: sendok, bola, piring dan lain-lain) (A.kon.IB.9.(5-9).

Subjek B (ibu) selalu melakukan yang terbaik untuk anaknya yang menyandang autisme, yaitu dengan mencari dan mempelajari informasi yang up to date tentang autisme, supaya anaknya bisa sembuh dan dapat berkembang

seperti anak normal lainnya (A.kon.IB.11.(1-5).

1.3Orang tua II (Subjek C (ayah))

a. Aspek kognitif dari sikap penerimaan orang tua tehadap anaknya yang menyandang autisme

(62)

melihat ada yang berbeda dengan perkembangan dan perilaku anak subjek. Saudaranya melihat kalau anak kedua subjek bertingkah laku yang hampir sama seperti anaknya yang juga menyandang autisme, yaitu sering berteriak sambil melempar barang tak tentu arah. Oleh sebab itu, Subjek C disarankan untuk cepat-cepat membawa anaknya ke dokter spesialis, dan hasilnya anak subjek didiagnosa menyandang autisme (A.kog.IIC.1.(1-9).

Subjek C (ayah) memiliki harapan untuk kesembuhan anaknya yang menyandang autisme supaya dapat berkembang seperti anaknya yang pertama yang tidak mengalami gangguan perkembangan (A.kog.IIC.11.(1-6).

Subjek C (ayah) berpandangan bahwa anak autis berbeda dari anak-anak normal lainnya, untuk mendidik dan mengasuhnya membutuhkan proses, usaha dan waktu yang sangat panjang, apalagi mereka juga kesulitan untuk bermain dan berkomunikasi dengan anak-anak sebayanya, oleh sebab itu hanya orang tua dan keluarganya yang bisa mendampinginya dan berkorban besar untuk kesembuhan mereka (A.kog.IIC.2.(1-7).

b. Aspek afektif dari sikap penerimaan orang tua tehadap anaknya yang menyandang autisme

(63)

Perasaan sedih juga sering muncul ketika subjek harus berinteraksi/ bertemu anaknya yang menyandang autisme saat pulang kerja, subjek merasa kesulitan, tapi perasaan itu cepat dihilangkan karena subjek sadar, membutuhkan waktu untuk bisa menerima keadaan anaknya (A.afe.IIC.3a.(1-10). Untuk mengakui dan menerima keadaan anaknya yang menyandang autisme, awalnya Subjek C (ayah) mengalami proses yang cukup sulit dan harus menekan perasaannya juga terhadap pandangan orang lain (masyarakat) yang belum bisa menerima keberadaan anak mereka (A.afe.IIC.3b.(1-6).

Seiring berjalannya waktu dan banyaknya informasi yang didapat tentang autisme, perasaan Subjek C (ayah) mengalami perubahan. Subjek merasa termotivasi untuk kesembuhan anaknya yang menyandang autisme, apalagi subjek juga merasa kaget dan bahagia sekali melihat hubungan antara anak pertamanya yang normal dengan anaknya yang menyandang autisme dapat terjalin dengan baik (A.afe.IIC.3a.(5-7). Subjek C (ayah) tidak perlu lagi menekan perasaannya, dengan banyaknya media yang mengulas tentang autisme, masyarakat jadi tahu dan tidak jarang saudara/ tetangga memberikan saran/ masukan kepada subjek untuk kesembuhan anak mereka (A.afe.IIC.3b.(7-11).

(64)

(A.afe.IIC.10.(1-4) walaupun awalnya subjek merasa kesulitan dan jengkel, tapi subjek tetap berusaha untuk belajar berkomunikasi dan menghadapi anaknya yang menyandang autisme, dengan sendirinya perasaan tidak enak itu hilang (A.afe.IIC.5.(1-7)

c. Aspek Konatif dari sikap penerimaan orang tua tehadap anaknya yang menyandang autisme

Tindakan atau usaha pertama kali yang dilakukan Subjek C (ayah) ketika tahu bahwa anaknya didiagnosa dokter spesialis menyandang autisme adalah subjek langsung mengikuti saran saudaranya untuk mencari informasi tentang sekolah/ yayasan autisme, dan secepatnya memasukkan anaknya kesana (A.kon.IIC.4.(5-8), dengan menunjukkan sikap bersyukur dan menerima pemberian dari Tuhan juga merupakan tindakan yang penting dilakukan orang tua terhadap anaknya yang menyandang autisme (A.kon.IIC.3a.(7-12).

Subjek C (ayah) banyak menghabiskan waktunya di luar rumah untuk bekerja, saat menghadapi emosi anaknya subjek berusaha mengerti dan mecoba menenangkan anaknya, kadang subjek juga akan menegur dan memarahi anaknya yang lain (anak pertamanya yang normal) jika menggoda atau mengganggu adiknya yang menyandang autisme (A.kon.IIC.7.(1-9)

(65)

panggilan sayang untuk anaknya yang menyandang autisme yaitu “dedek” (A.kon.IIC.9.(4-12). Tidak jarang, jika libur kantor subjek meluangkan waktunya untuk mengajak anaknya bermain lempar bola di halaman belakang/ taman bermain, mengobrol, menyanyi, bercanda dan kadang juga membacakan dongeng/ cerita lucu saat akan tidur (A.kon.IIC.9.(1-9). Itu semata-mata ditunjukkan oleh subjek untuk memberikan yang terbaik untuk anaknya yang menyandang autisme.

Menurut Subjek C (ayah), hubungan antara anaknya yang menyandang autisme dengan anak pertamanya yang normal, tidak terlalu mengalami hambatan, walaupun kesulitan itu pasti ada. Jika bercandanya kelewatan sehingga membuat adiknya marah/ menangis, kakaknya (anak pertama subjek yang normal) akan membujuk dan membelikan adiknya permen (A.kon.IIC.7.(8-11).

1.4Orang tua II (Subjek D (ibu))

a. Aspek kognitif dari sikap penerimaan orang tua tehadap anaknya yang menyandang autisme

(66)

dokter spesialis dan hasilnya anak Subjek D (ibu) didiagnosa menyandang autisme (A.kog.IID.1.(5-8).

Subjek D (ibu) melihat perkembangan anaknya mengalami kemajuan, subjek pun memiliki keyakinan dan harapan yang besar untuk kesembuhan anaknya yang menyandang autisme seperti anak normal lainnya (A.kog.IID.11.(4-6).

Subjek D (ibu) memandang bahwa anak yang menyandang autisme merupakan titipan dari Allah SWT dan mereka membutuhkan perhatian yang besar. Oleh sebab itu, sebagai orang tua, mereka harus dapat merawat dengan baik supaya anak yang menyandang autisme dapat merasakan diterima dan menjadi bagian dari orang-orang yang tidak memiliki gangguan perkembangan (normal) (A.kog.IID.2.(3-9).

b. Aspek afektif dari sikap penerimaan orang tua tehadap anaknya yang menyandang autisme

Perasaan Subjek D (ibu) sedih sekali ketika mengetahui anaknya menyandang autisme, karena subjek memikirkan bagaimana anaknya yang menyandang autisme dapat melewati/ melanjutkan masa depannya dengan keadaan yang berbeda dari anak-anak normal lainnya (A.afe.IID.3a.(1-2).

(67)

yang cukup sulit dan membutuhkan waktu untuk bisa menerima kenyataan kalau anaknya menyandang autisme (A.afe.IID.3b.(2-7). Ternyata tidak hanya itu, Subjek D juga harus menekan perasaannya saat banyak orang (masyarakat) membicarakan tentang keadaan anaknya, karena untuk menjelaskannya saja subjek juga merasa kesulitan (A.afe.IID.3b.(2-7).

Subjek D (ibu) kadang merasa sedih ketika melihat anaknya yang pertama (normal) bermain dengan anaknya yang menyandang autisme, subjek tahu kalau anaknya yang pertama pasti mengalami hambatan saat harus berkomunikasi/ menghadapi adiknya, tapi perasaan itu dapat ditepisnya saat melihat anak pertamanya terlihat senang-senang saja dan tidak ada masalah dengan keadaan adiknya (A.afe.IID.5.(5-10).

Kini, setelah mengalami proses yang panjang, perasaan Subjek D terhadap anaknya yang menyandang autisme mengalami perubahan, karena banyaknya informasi yang diperoleh serta banyak orang juga yang sudah paham tentang autisme, Subjek D (ibu) merasa termotivasi untuk kesembuhan anaknya dan tidak perlu lagi menekan perasaannya (A.afe.IID.4.(2-4).

Gambar

Tabel  1 Blue Print Wawancara
Tabel 2
Tabel 2.1
Tabel 2.2

Referensi

Dokumen terkait

Hasil wawancara yang dilakukan dengan delapan narasumber menjelaskan bahwa kelian adat adalah pemimpin wilayah banjar yang memilik peran dalam mengayomi seluruh

Kemudian dilakukan perancangan model Adaptive Neuro Fuzzy Inference System (ANFIS) menggunakan software Matlab 7.9.0, dimana pada tahap ini software digunakan sebagai

Hal Ini merupakan tantangan tersendiri bagi pihak public relations Telkomsel dengan membuktikan bahwa mereka dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan tepat pada

ndrangheta tudi daleč najbolj razkropljena mafija po vsem svetu, zaradi svoje krutosti pa ogroţa celo neapeljsko camorro, s katero tekmujeta za primat Saviano, 2008... Sacra

Tujuan penelitian ini adalah memetakan lokasi dan kapasitas dari informasi inventarisasi mata air di Kecamatan Cidahu, mengkaji variasi dari data deret waktu mata air yang

Suhu optimal proses SFS adalah 38°C, yang merupakan perpaduan suhu optimal hidrolisis (45–50°C) dan suhu optimal fermentasi (30°C). Proses SFS memiliki keunggulan

Kami mengunjungi kantor pusat TLKM Padang, Gerai retail serta  infrastruktur  berupa  tower  Telkomsel  yan  berwilayah  di  Teluk  Bayur.  Telkomsel  mempunyai 

Siklus karbon di perairan sekitar terumbu karang relatif lebih kompleks dibandingkan perairan sekitar mangrove dan laut, karena banyaknya organisme yang terlibat dengan siklus