• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara pola asuh orang tua otoritatif dan perkembangan kemandirian anak usia pra sekolah di kelompok bermain melati - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Hubungan antara pola asuh orang tua otoritatif dan perkembangan kemandirian anak usia pra sekolah di kelompok bermain melati - USD Repository"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

ABSTRACT

Andriana Suryantari

PsychologySanata Dharma University

Correlation between authoritative parenting dan autonomy of a child in the early childhood at Kelompok Bermain Melati

The purpose of this study was to reveal the correlation between

authoritative parenting and autonomy of a child in the early childhood at

Kelompok Bermain Melati. The hypothesis in this study was a positive and

significant correlation between authoritative parenting and autonomy of a child in

the early childhood at Kelompok Bermain Melati. The subjects of the study were

42 students and 42 parents at Kelompok Bermain Melati. The data were collected

using scale method: parenting authoritative scale for the parents and autonomy

observation rating scale for the students wich were rated by the teacher. This

research used the Pearson’s product moment with the help of SPSS for windows

13.00 software. The correlations coefficient was rxy = 0,343 (p<0,05). The

coefficient of determination was r2xy = 0,118. Based on the research result, it

could be concluded that there was a positive correlation between authoritative

parenting and autonomy of a child in early childhood. Therefore, the hypothesis

offered in this study was proven.

(9)

ABSTRAK

Andriana Suryantari Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua yang Otoritatif Dan Perkembangan Kemandirian Anak Usia Pra Sekolah di Kelompok Bermain Melati

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh

orang tua yang otoritatif dan perkembangan kemandirian anak usia pra sekolah di

Kelompok Bermain Melati. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah

ada hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh orang tua yang

otoritatif dan perkembangan kemandirian anak usia pra sekolah di Kelompok

Bermain Melati. Subjek penelitian adalah seluruh murid Kelompok Bermain

Melati yang berjumlah 42 orang dan orang tua murid Kelompok Bermain Melati

yang berjumlah 42 orang. Pengambilan data menggunakan metode skala, yaitu

skala pola asuh orang tua otoritatif yang di isi oleh orang tua murid dan skala

observasi kemandirian yang berbentuk rating untuk siswa yang di isi oleh guru

sebagai rater. Pengujian hipotesis menggunakan teknik analisis korelasi product

moment dari Pearson dengan bantuan SPSS for Window versi 13.00. Koefisien

korelasi yang diperoleh dalam penelitian ini adalah rxy = 0,343 (p < 0,05).

Koefisien determinasinya sebesar r2xy = 0,118. Berdasarkan hasil analisis dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan yang positif antara pola asuh orang tua yang

otoritatif dan kemandirian anak usia pra sekolah di Kelompok Bermain Melati.

Dengan demikian hipotesis dari penelitian ini diterima.

(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah yang telah melimpahkan kasih dan

bimbinganNya kepada penulis sehingga skripsi ini bisa terselesaikan. Dengan

kasih dan pendampinganNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

Hubungan Antara Pola Asuh yang Otoritatif dan Kemandirian Anak Usia Pra

Sekolah di Kelompok Bermain Melati.

Penulis juga menyadari bahwa banyak pihak yang telah membantu dalam

penyelesaian skripsi ini secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu

dengan ketulusan hati penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. P. Eddy Suhartanto, S.Psi.,M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

menyusun skripsi ini dan memberikan semangat kepada penulis.

2. Dr. A. Supratiknya selaku pembimbing skripsi yang telah dengan sabar

memberikan bimbingan, saran dan kritik yang bermanfaat bagi penulis.

3. Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.Si. dan Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. yang

telah memberikan masukan yang sangat bermanfaat pada karya tulis ini.

4. Ayahku: Philipus Surono dan Ibuku: Ch. Sri Edy Murdiyati, yang telah

dengan sabar dan penuh kasih membesarkan, mendampingi dan memberikan

fasilitas baik secara material maupun spiritual kepada penulis sehingga penulis

mampu menyelesaikan karya ini.

5. Agung Santoso, S.Psi dan Y. Heri Widodo, S.Psi.,M.Si. yang telah

memberikan masukan yang bermanfaat bagi peneliti dan

6. Sylvia Carolina M.Y.M, S.Psi., M.Si. sebagai dosen pembimbing akademik.

(11)

7. Orang yang sangat berarti dalam hidupku: Yofi Setyo Tanoyo yang selalu

setia menemani dalam suka dan duka ketika mengerjakan skripsi ini.

8. Adik-adikku yang kucintai: Beni Noviantoro dan Citra Yunita.

9. Saudara-saudaraku yang sangat kusayangi: Henry, Dhany, Anto, mama Anik,

eyang Kasinah, Bulik Tinuk, Budhe Tutik , Mbak Wahyu dan Papit yang telah

memberikan semangat sehingga penulis tidak putus asa dalam menulis skripsi.

10.Teman-temanku: Angga, Tanti, Ayis, Mboot, Mariani, dan Suzi yang telah

banyak memberikan dukungan dan bantuan.

11.Semua dosen, teman-teman Psikologi, dan semua karyawan Fakultas

Psikologi Sanata Dharma Yogyakarta (Mas Gandung, Pak Gie, Mbak Nanik,

Mas Doni, Mas Muji)

12.Septiyati Purwandari, S.Pd selaku kepala sekolah Kelompok Bermain Melati

yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan

penelitian di sekolah yang beliau pimpin.

13.Seluruh siswa siswi, guru, dan orang tua murid Kelompok Bermain Melati

yang telah dengan senang hati dan rela untuk dilakukan penelitian.

14.Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

baik secara langsung maupun tidak langsung.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini jauh dari sempurna, oleh karena itu

penulis sangat terbuka terhadap semua saran dan kritik terhadap kekurangan

ataupun kesalahan pada karya tulis ini sehingga di masa yang akan datang penulis

dapat menulis dengan lebih baik.

Penulis

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRACT ... viii A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II LANDASAN TEORI A. Anak Usia Pra Sekolah ... 9

B. Kemandirian ... 14

1. Pengertian Kemandirian ... 14

ndirian ... 16

2. Aspek-aspek Kema 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian ... 17

C. Pola Asuh Orang Tua ... 19

1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua ... 19

2. Aspek-aspek Pola Asuh Orang Tua ... 20

(13)

3. Bentuk-bentuk Pola Asuh Orang Tua ... 23

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh ... 31

D. Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua Otoritatif dan Kemandirian Anak Usia Pra Sekolah ... 32

E. Hipotesis ... 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB IV HASIL PENELITIAN 52 A. Tujuan Penelitian ... 37

B. Jenis Penelitian ... 37

C. Identifikasi Variabel Penelitian ... 37

D. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 38

1. Kemandirian Anak Usia Pra Sekolah ... 38

2. Pola Asuh Orang Tua yang Otoritatif ... 39

E. Subjek Penelitian ... 41

F. Metode Pengumpulan Data ... 42

1. Skala Observasi Kemandirian dengan Rating Scale ... 42

2. Skala Pola Asuh Orang Tua ... 44

3. Validitas dan Reliabilitas ... 46

1) Skala sikap kemandirian anak usia pra sekolah ... 46

2) Skala pola asuh orang tua otoritatif ... 47

G. Metode Analisis Data ... 50

A. Hasil Uji Asumsi ... 1. Hasil Uji Normalitas ... 52

2. Hasil Uji Linearitas ... 52

B. Hasil Penelitian ... 53

1. Deskripsi Data Penelitian ... 53

2. Hasil Uji Hipotesis ... 56

C. Pembahasan ... 57

(14)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 65

... 67

DAFTAR PUSTAKA Lam Lam Lam Lam Lampiran 1. Skala sikap kemandirian anak usia pra sekolah ... 71

Lampiran 2. Skala pola asuh ... 73

Lampiran 3. Data uji validitas skala pola asuh orang tua otoritatif ... 76

Lampiran 4. Data reliabilitas skala kemandirian anak ... 84

Lampiran 5. Data penelitian skala pola asuh orang tua otoritatif ... 86

piran 6. Data penelitian kemandirian anak usia pra sekolah ... 88

Lampiran 7. Perhitungan kategorisasi ... 92

piran 8. Uji normalitas ... 93

Lampiran 9. Uji linearitas ... 94

piran 10. Uji korelasi ... 95

piran 11. Surat keterangan penelitian ... 96

(15)

xv

Tabel 4. Blue print Skala Pola Asuh Orang Tua setelah uji coba ... 48

Tabel 9. Kategorisasi subjek pada observasi kemandirian dengan rating scale ... 55

DAFTAR TABEL Tabel 1. Blue print Skala Observasi Kemandirian Anak Usia Pra Sekolah SebelumUji Coba ... 43

Tabel 2. Blue print Skala Pola Asuh Orang Tua sebelum uji coba ... 44

Tabel 3. Pemberian Skor pada Skala Pola Asuh Orang Tua ... 46

Tabel 5. Blue print Skala Pola Asuh Orang Tua untuk penelitian setelah penyusunan ulang nomor item ... 49

Tabel 6. Deskripsi hasil penelitian ... 53

Tabel 7. Kategorisasi norma ... 55

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak adalah harapan masa depan baik itu bagi orang tua maupun bangsa

dan negaranya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini secara

tidak langsung akan menuntut anak untuk dapat menguasai berbagai macam

keterampilan dan memiliki mental yang cukup kuat untuk menghadapi masa

depannya. Jika hal ini tidak dilatih sejak dini, maka anak pada saat dewasa nanti

akan mengalami banyak kesulitan, terutama dalam hal menyesuaikan diri dengan

lingkungan sosialnya. Oleh karena itu banyak orang tua yang mulai

menyekolahkan anak-anaknya sedini mungkin.

Masa kanak-kanak dimulai setelah melewati masa bayi yaitu sekitar umur

2 tahun dan diakhiri pada saat anak matang secara seksual yaitu sekitar umur 12 –

14 tahun (Hurlock, 1980). Perkembangan intelektual seseorang paling banyak

persentasenya (50%) ketika seseorang berumur sekitar 0 – 4 tahun. Oleh karena

itu masa balita sering disebut sebagai masa keemasan (Golden age) karena pada

masa balita ini terjadi perkembangan yang sangat pesat pada intelektual dan

kreativitas anak (Santrock, 2002).

Usia dini juga termasuk usia dimana anak mempunyai rasa ingin tahu yang

besar baik itu terhadap lingkungan sekitar maupun dirinya. Salah satu ciri khas

perkembangan psikologis usia ini adalah mulai meluasnya lingkungan sosial anak.

Anak mulai mencoba untuk bereksplorasi dengan lingkungannya. Di sini peran

(17)

secara psikologis maupun motorik anak. Usia ini sering disebut sebagai usia

menjelajah. Salah satu cara yang umum dalam menjelajahi lingkungannya ini

adalah dengan bertanya. Akibatnya, awal masa kanak-kanak ini selain disebut

sebagai usia menjelajah juga disebut sebagai usia bertanya (Hurlock, 1980).

Anak dengan rasa ingin tahunya yang sangat besar mulai mengembangkan

keterampilan berbahasa untuk mendapatkan informasi tentang apa yang ingin dia

ketahui. Oleh karena itu kita dapat mengetahui tingkat intelektual anak dari

banyaknya kosakata dan kelancaran anak dalam berbicara. Proses ini sangat

kompleks dan lingkungan mempunyai andil yang sangat besar. Dengan

kemampuan berbahasa inilah nantinya anak akan mulai mengembangkan

keterampilan sosial.

Pada awal masa kanak-kanak ini mereka mulai mengembangkan

keterampilan sosial dengan lingkungan sekitarnya. Salah satu bagian dari proses

perkembangan sosial yang mengarah pada terbentuknya keterampilan sosial ini

adalah dituntutnya kemandirian anak. Anak akan lebih mudah untuk

mengembangkan keterampilan sosialnya ini jika anak sudah mempunyai dasar

sikap mandiri. Terbentuknya sikap mandiri anak ini tidak terlepas dari peran

orang tua yang secara langsung berinteraksi dengan anak.

Kemandirian anak ditandai dengan mulai mampunya anak untuk dapat

terlepas dari orang tua, dimana ketergantungan anak terhadap figur orang tua

sudah tidak begitu mencolok dan ini ditandai dengan sikap penerimaan anak dan

kemauan anak untuk berinteraksi dengan orang lain di luar lingkungan

(18)

percaya diri anak ketika sedang melakukan suatu aktivitas dan anak sudah mulai

lepas dari kelekatan terhadap orang tuanya. Kemandirian pada anak bukan berarti

anak itu bersikap individual, tetapi anak mulai tidak tergantung pada orang lain.

Artinya, apapun yang dirasakan dan dilakukan tidak tergantung pada apa yang

dipikirkan, dirasakan dan dilakukan orang lain (dalam ”Membuat prioritas”,

2006).

Pada anak pra sekolah, tingkah laku mandiri ini berawal dari rasa ingin

tahu dan mulai berkembangnya kesadaran anak akan dirinya sendiri yang berbeda

dengan lingkungan sekitarnya sehingga anak berusaha untuk dapat menyesuaikan

diri dengan lingkungan sosialnya tersebut. Bila anak mendapatkan kesempatan

dan dukungan yang cukup baik dari lingkungannya maka anak tersebut secara

tidak langsung akan mempunyai rasa percaya diri dan cenderung lebih kreatif.

Rasa percaya diri inilah yang nantinya akan memunculkan kemandirian anak atau

dengan kata lain dasar dari kemandirian anak adalah rasa percaya diri anak pada

kemampuannya sendiri.

Orang tua sebagai seseorang yang paling dekat dengan anak mempunyai

tiga tugas utama yang berhubungan dengan tumbuh kembang anak, yaitu ”Asah,

Asih dan Asuh” (Izzaty, 2004). ”Asah” adalah tugas orang tua sebagai pendidik

anak dalam rangka proses pembelajaran anak. ”Asih” adalah peran orang tua

sebagai pemberi kasih sayang utama kepada anak. Peran orang tua yang terakhir

adalah ”Asuh”, yaitu peran sebagai seseorang yang membimbing dan

mengarahkan anak dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhannya. Banyak

(19)

satunya adalah pola asuh yang otoritatif, yaitu pola asuh yang memprioritaskan

kepentingan anak dan mengarahkan anak untuk melakukan perilaku yang benar

tanpa membatasi ruang gerak anak. Pola asuh inilah yang nantinya dapat

membantu anak untuk berkembang menjadi lebih mandiri.

Orang tua dengan pola asuh otoritatif menggunakan cara-cara yang

demokratis dalam mengasuh anak-anaknya. Mereka tidak mendikte dan

memprioritaskan kepentingan anak dengan memberikan penghargaan atas

eksistensi anak tanpa syarat. Anak yang mendapatkan kasih sayang dan

penghargaan tanpa syarat dari orang tuanya akan mempunyai pandangan yang

positif terhadap dirinya sendiri. Rasa penghargaan anak terhadap dirinya sendiri

ini akan memunculkan rasa percaya diri. Anak yang mempunyai keyakinan diri

akan lebih mudah untuk bersikap mandiri.

Orang tua yang bersikap otoriter dan yang memberikan kebebasan penuh

menjadi pendorong bagi anak untuk berperilaku agresif. Orang tua yang bersikap

demokratis tidak memberikan andil terhadap perilaku anak untuk agresif dan

menjadi pendorong terhadap perkembangan anak ke arah yang positif. Hasil

penelitian Manning (1978) menyatakan bahwa keluarga mempunyai pengaruh

yang sangat besar terhadap anak remaja untuk berperilaku agresif atau tidak.

Sedangkan hasil penelitian Farrington (1978) menyatakan bahwa sikap orang tua

yang kasar, keras, dan dingin menjadi pendorong anak berperilaku agresif.

Beberapa penelitian tentang pola asuh juga telah dilakukan di Indonesia.

Hasil penelitian Lutfi (1991) menunjukkan bahwa pola asuh dan sikap orang tua

(20)

orang tua dan adanya kehangatan yang membuat anak merasa diterima oleh orang

tua sehingga ada rasa pertautan. Sedangkan hasil penelitian Nur Hidayah (dalam

Moh. Shochib: 1998) menunjukkan bahwa penyebab remaja berperilaku agresif

adalah pola asuh orang tua terhadap anaknya.

Konstelasi hasil penelitian di Barat dengan indikasi hasil penelitian di

Indonesia terhadap pengaruh kondisi keluarga dan pola sikap orang tua terhadap

anak untuk berperilaku agresif atau tidak adalah: (1) hubungan suami istri yang

harmonis dapat mencegah anak untuk berperilaku agresif dan sebaliknya; (2)

hubungan yang harmonis antara anak dan orang tua dapat mencegah anak untuk

berperilaku agresif dan begitu juga sebaliknya; (3) orang tua yang dapat

memberikan penghargaan dan menerima anak dalam keluarga dapat mencegah

anak untuk berperilaku agresif; (4) konsistensi orang tua dalam bertindak, berkata,

dan berbuat dapat dijadikan teladan oleh anak sehingga tidak berperilaku agresif;

(5) komunikasi dialogis yang mengikut-sertakan anak-anak dalam memecahkan

masalah keluarga dan diterima di keluarga dapat membuat anak tidak berperilaku

agresif dan sebaliknya serta (6) keutuhan keluarga membuat anak merasakan dan

memahami arahan dan bimbingan orang tua walaupun mereka tidak hadir secara

fisik dihadapannya.

Berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dapat

dikemukakan bahwa penelitian psikologis mengenai pola asuh orang tua yang

(21)

penelitian ini nantinya akan di lihat sejauh mana pola asuh orang tua yang

otoritatif mempengaruhi perkembangan kemandirian anak usia pra-sekolah.

Penelitian ini akan dilakukan di Kelompok Bermain Melati yang berlokasi

di jalan Magelang KM 7,5 Sendangadi, Mlati, Sleman, Daerah Istimewa

Yogyakarta. Kelompok Bermain Melati adalah salah satu lembaga pendidikan

yang memfasilitasi anak usia dini untuk mulai belajar mengenal diri sendiri dan

lingkungannya. Kelompok Bermain Melati (KB Melati) merupakan lembaga

pendidikan non formal untuk anak-anak usia 2 – 5 tahun. Anak-anak yang

bersekolah di KB Melati saat ini sebanyak 42 orang. KB Melati berupaya untuk

membimbing anak usia dini agar dapat menjadi pribadi yang mandiri dengan

memfasilitasi anak agar dapat menggali potensi yang ada dalam dirinya. Di KB

Melati anak-anak usia dini mulai dilatih untuk mengembangkan keterampilan

sosial dan intelektualnya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjabaran di atas maka peneliti merumuskan masalah

sebagai berikut :

”Adakah hubungan positif dan signifikan antara pola asuh orang tua yang

otoritatif dengan kemandirian anak usia pra-sekolah di Kelompok Bermain

(22)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan secara empiris

hubungan antara pola asuh orang tua yang otoritatif dengan kemandirian anak usia

pra-sekolah di Kelompok Bermain Melati di jalan Magelang KM 7,5 Sendangadi,

Mlati, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoretis

a. Penelitian ini nantinya akan bermanfaat dalam pengembangan ilmu

pengetahuan khususnya di dalam bidang Psikologi Perkembangan

b. Penelitian ini nantinya dapat digunakan sebagai referensi bagi penelitian

selanjutnya

2. Manfaat praktis

Manfaat penelitian ini antara lain:

a. Bagi peneliti, sebagai sarana untuk mempelajari dan mendalami bidang

ilmu Psikologi dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

b. Bagi orang tua, sebagai salah satu wacana dalam rangka memberikan

pengertian tentang pola asuh apa yang cocok untuk diterapkan dalam

mendidik anak-anaknya.

c. Bagi masyarakat umum, penelitian ini bermanfaat untuk menambah

wawasan masyarakat sebagai salah satu anggota utama lingkungan sosial

tempat anak tumbuh dan berkembang sehingga dapat memberikan

(23)

BAB II

LANDASAN TEORI

Peran keluarga sangat penting bagi perkembangan anak. Hal ini

dikarenakan keluarga adalah lingkungan tempat anak pertama kali belajar

mengenal dan memahami hal-hal baru. Sejak kecil anak dipelihara dan dibesarkan

oleh dan dalam keluarga. Segala sesuatu yang ada dalam keluarga, baik yang

berupa benda-benda dan orang-orang serta peraturan-peraturan dan adat istiadat

yang berlaku dalam keluarga itu sangat berpengaruh dan menentukan corak

perkembangan anak-anak. Bagaimana cara mendidik yang berlaku dalam keluarga

itu, demikianlah cara anak itu menanggapi stimulus dari lingkungannya.

Pola asuh yang diterapkan dalam keluarga membuat anak meniru tingkah

laku dan norma-norma yang berlaku dalam keluarga. Sikap ini akan tertanam

dalam diri anak dan akan mempengaruhi perilaku dan cara berpikirnya. Jika di

dalam lingkungan keluarganya seorang anak selalu dianggap dan dikatakan bahwa

ia masih kecil dan karena itu belum dapat melakukan sesuatu, kemungkinan besar

anak itu akan menjadi orang yang selalu merasa kecil, tidak berdaya, tidak

sanggup mengerjakan sesuatu. Anak akan berkembang menjadi orang yang

bersifat masa bodoh, tidak atau kurang mempunyai perasaan harga diri.

Sebaliknya, jika anak itu dibesarkan dan dididik oleh orang tua atau lingkungan

keluarga yang mengetahui akan kehendak-Nya dan berdasarkan kasih sayang

maka anak itu akan menjadi anak yang tenang dan mudah menyesuaikan diri

(24)

teman-temannya. Wataknya akan berkembang dengan tidak mengalami

kesulitan-kesulitan yang besar (Purwanto, 2004).

Pada umumnya orang tua menginginkan anaknya melakukan sesuatu yang

mereka perintahkan, bukan apa yang diinginkan dan dibutuhkan anak. Hal ini

sangat tampak ketika orang tua mengasuh anak-anak yang berusia antara 3 – 5

tahun ketika anak cenderung memunculkan sikap patuh dan cenderung masih

bingung untuk menyikapi stimulus dari lingkungannya. Cara pengasuhan yang

mengabaikan kepentingan anak seperti itu nantinya akan membawa dampak

negatif pada perkembangan anak, sehingga cara pengasuhan yang benar sangat

perlu diketahui oleh orang tua demi menunjang perkembangan anak.

A. Anak Usia Pra Sekolah

Para pendidik menyebut tahun-tahun awal masa kanak-kanak sebagai usia

pra sekolah untuk membedakannya dari saat anak dianggap cukup matang baik

secara fisik maupun mental, sebelum mereka mengikuti pendidikan formal

(Hurlock, 1980). Selain itu masa ini juga disebut ”usia pragang” (pregang age).

Pada masa ini sejumlah hubungan yang dilakukan anak dengan anak-anak lain

meningkat dan ini sebagian menentukan bagaimana gerak maju perkembangan

sosial mereka (Hurlock, 1980). Pada tahapan perkembangan, masa kanak-kanak

merupakan suatu periode yang sangat penting untuk meletakkan landasan bagi

tahun-tahun orang dewasa atau masa selanjutnya.

Anak yang termasuk dalam usia pra sekolah pada umumnya adalah

anak-anak yang berumur 3 – 5 tahun. Mereka yang termasuk usia pra sekolah ini adalah

anak-anak yang mengikuti taman indria maupun playgroup. Taman kanak-kanak

(25)

kompetensi sosialnya (Sylva & Lunt, 1988). Patmonodewo (1995)

mengemukakan bahwa ciri-ciri anak pra sekolah ada empat gugus, yaitu:

1. Ciri Fisik

a. Anak pra sekolah umumnya sangat aktif dan telah memiliki penguasaan

terhadap tubuhnya dan sangat menyukai kegiatan yang dilakukan sendiri,

b. Setelah anak melakukan kegiatan, anak membutuhkan istirahat yang

cukup,

c. Otot-otot besar pada anak pra sekolah lebih berkembang dari kontrol

terhadap jari dan tangan. Oleh karena itu biasanya anak belum terampil,

belum bisa melakukan kegiatan yang rumit,

d. Anak masih sering mengalami kesulitan apabila harus memfokuskan

pandangannya pada obyek-obyek yang kecil dan mata masih kurang

sempurna.

2. Ciri Sosial

a. Umumnya anak tahapan ini memiliki satu atau dua sahabat, tetapi sahabat

ini cepat berganti, mereka umumnya dapat cepat menyesuaikan diri secara

sosial, mereka mau bermain dengan teman. Sahabat yang dipilih biasanya

sama jenis kelaminnya tetapi kemudian berkembang sahabat yang terdiri

dari jenis kelamin yang berbeda,

b. Kelompok bermainnya cenderung kecil dan tidak terlalu terorganisir

secara baik, oleh karena itu kelompok tersebut cepat berganti-ganti,

c. Anak yang lebih muda seringkali bermain bersebelahan dengan anak yang

lebih besar,

d. Pola bermain anak pra sekolah sangat bervariasi fungsinya sesuai dengan

(26)

e. Perselisihan sering terjadi tetapi sebentar kemudian mereka telah berbaik

kembali. Anak laki-laki lebih banyak melakukan tingkah laku agresif dan

perselisihan,

f. Pada anak pra sekolah sudah berkembang kesadaran terhadap perbedaan

jenis kelamin dan peran sebagai anak laki atau perempuan. Anak

laki-laki umumnya lebih menyukai bermain di luar, bermain kasar dan

bertingkahlaku agresif. Anak perempuan lebih suka bermain yang bersifat

kesenian, bermain boneka dan menari.

3. Ciri Emosional

a. Cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka. Sikap

marah sering diperlihatkan oleh anak pada usia tersebut,

b. Iri hati pada anak pra sekolah sering terjadi. Seringkali anak pra sekolah

memperebutkan perhatian guru.

4. Ciri Kognitif

a. Umumnya telah terampil dalam berbahasa sebagian besar dari anak pra

sekolah senang berbicara, khususnya dalam kelompoknya,

b. Kompetensi anak perlu dikembangkan melalui interaksi, minat,

kesempatan, mengagumi dan kasih sayang.

Sementara itu, Ali dan Asrori (2004) mengatakan bahwa pada masa usia

pra sekolah ini dapat diperinci lagi menjadi dua masa, yaitu masa vital dan masa

estetik.

1) Masa vital

Pada masa ini, individu menggunakan fungsi-fungsi biologis untuk

(27)

menamakan tahun pertama dalam kehidupan individu itu sebagai masa oral

(mulut), karena mulut dipandang sebagai sumber kenikmatan dan

ketidaknikmatan. Anak memasukkan apa saja yang dijumpai ke dalam

mulutnya, tidaklah karena mulut merupakan sumber kenikmatan utama, tetapi

karena waktu itu mulut merupakan alat untuk melakukan eksplorasi

(penilaian) dan belajar.

Pada tahun kedua anak telah berjalan, dengan mulai berjalan anak

akan mulai belajar menguasai ruang dan umumnya terjadi pembiasaan

terhadap kebersihan (kesehatan). Melalui latihan kebersihan ini, anak belajar

mengendalikan implus-implus atau dorongan-dorongan yang datang dari

dalam dirinya (umpamanya, buang air kecil dan air besar).

2) Masa estetik

Masa ini dianggap sebagai masa perkembangan rasa keindahan. Kata

estetik di sini dalam arti bahwa pada masa ini, perkembangan anak yang

terutama adalah fungsi pancainderanya. Kegiatan eksploitasi dan belajar anak

juga terutama menggunakan pancainderanya. Pada masa ini, indera masih

peka, karena itu Montessori menciptakan bermacam-macam alat permaian

untuk melatih pancaindera anak.

Banyak cara yang dipakai orang tua untuk mengoptimalkan potensi yang

dimiliki anak, antara lain dengan memasukkan anak ke taman indria (playgroup).

Kelompok Bermain Melati (KB Melati) adalah salah satu lembaga pendidikan

non-formal yang memfasilitasi anak untuk mengembangkan potensi yang

(28)

Sendangadi, Mlati, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, berdiri sejak tanggal 23

Februari 2003 dan telah diakui oleh pemerintah daerah akan partisipasinya dalam

mengembangkan potensi anak usia dini. Visi dan misi dari Kelompok Bermain

Melati ini adalah “Terwujudnya anak cerdas, mandiri dan cinta lingkungan”.

Adapun strategi pembelajaran yang diterapkan adalah Multiple Intelligences

dengan pendekatan kasih sayang dalam suasana bermain sebagai kebutuhan dasar

anak. Murid playgroup ini sekarang berjumlah 42 yang terdiri dari 21 murid

perempuan dan 21 murid laki-laki. Usia murid-murid di playgoup ini berkisar

antara 2 – 5 tahun. Kelompok Bermain Melati membagi muridnya menjadi dua

kelompok, yaitu Kelompok Persiapan untuk anak usia 4-5 tahun dan Kelompok

Kecil untuk anak usia 2-3 tahun. Pembagian ini dianggap penting untuk

memberikan pendidikan dan pengarahan yang sesuai dengan perkembangan umur

anak sehingga potensi yang dimiliki anak dapat berkembang dengan maksimal.

Anak yang memperoleh pendidikan sejak dini akan sangat terbantu

perkembangan kemandiriannya. Anak dilatih sejak dini untuk dapat

mengandalkan diri sendiri dalam mengenal lingkungannya dan bertanggung jawab

atas tindakannya. Pola asuh orang tua juga sangat mempengaruhi perkembangan

kemandirian anak, karena orang tualah yang memberikan pendidikan pertama kali

kepada anak. Dengan pola asuh yang benar maka akan mendukung perkembangan

(29)

B. Kemandirian

1. Pengertian Kemandirian

Kemandirian pada umumnya dipelajari melalui suatu proses kondisioning

dalam hubungannya dengan upaya memenuhi kebutuhan pokok. Kebutuhan ini

merupakan bagian tuntutan yang tidak terpisahkan dengan apa yang disebut

dorongan untuk mengaktualisasikan diri sebagai pribadi. Kemandirian itu sendiri

berasal dari kata mandiri. Mandiri adalah keadaan dapat berdiri sendiri, tidak

bergantung kepada orang lain. Sedangkan kemandirian adalah hal atau keadaan

dapat berdiri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain (Depdikbud, 1999).

Kemandirian, menurut Sutari Imam Barnadib (Mu’tadin, 2002) meliputi

perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan/masalah, mempunyai

rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain.

Selanjutnya Mu’tadin (2002) menjelaskan bahwa kemandirian mengandung

pengertian: a) Suatu keadaan dimana seseorang yang memiliki hasrat bersaing

untuk maju demi kebaikan dirinya; b) Mampu mengambil keputusan dan inisiatif

untuk mengatasi masalah yang dihadapi; c) Memiliki kepercayaan diri dalam

mengerjakan tugas-tugasnya; dan d) Bertanggungjawab terhadap apa yang

dilakukannya.

Selain itu Martin dan Stendler (dalam Afiatin, 1992), mengatakan bahwa

kemandirian sebagai kemampuan seseorang untuk berdiri di atas kaki sendiri,

mengurus diri sendiri dalam semua aspek kehidupannya, ditandai dengan adanya

inisiatif, kepercayaan diri dan kemampuannya untuk mempertahankan diri.

(30)

dalam perkembangan sosialnya berada pada peralihan dari tahap ”otonomi vs rasa

malu dan ragu-ragu” ke tahap ”inisiatif vs rasa bersalah”. Anak mulai

mempelajari apakah yang diharapkan dari dirinya, kewajiban dan haknya serta

pembatasan-pembatasan yang dikenakan pada dirinya. Nilai kemauan muncul

pada tahap ini, karena kemauan akan menyebabkan anak secara bertahap mampu

menerima peraturan dan kewajiban. Dengan adanya kemauan maka anak akan

bisa membuat pilihan-pilihan bebas, memutuskan, mengendalikan diri dan

bertindak sesuai dengan keinginannya sendiri yang membawa anak pada sikap

mandiri. Anak yang berhasil menyesuaikan diri dalam tahap ini akan memperoleh

rasa harga diri yang kuat sehingga akan mampu berpisah untuk periode waktu

terbatas dari orang tua dan pengasuhnya.

Anak yang mandiri adalah anak yang mampu berpikir dan berbuat untuk

dirinya sendiri. Anak yang mandiri bisanya aktif, kreatif, kompeten, tidak

tergantung pada orang lain, dan tampak spontan. Ciri khas dari anak yang mandiri

antara lain (dalam ”Membuat prioritas”, 2006) :

a. Mempunyai kecenderungan memecahkan masalah daripada berkutat dalam

kekhawatiran bila terlibat masalah,

b. Tidak takut mengambil risiko karena sudah mempertimbangkan baik

buruknya,

c. Percaya pada penilaian sendiri sehingga tidak sedikit-sedikit bertanya atau

meminta bantuan orang lain,

(31)

2. Aspek-aspek Kemandirian

Kemandirian anak mencakup empat aspek (Havighurst dalam “Membuat

prioritas”, 2006 ; Suyata, dkk, 1982 ) , yaitu :

a. Aspek intelektual dimana anak percaya pada kemampuannya sendiri dalam

memecahkan masalah, memiliki inisiatif, bersikap kompeten, kreatif, dapat

mengambil keputusan sendiri dalam bentuk kemampuan memilih dan

bertanggung jawab atas tindakannya,

b. Aspek sosial dimana anak mampu secara aktif untuk berinteraksi dengan

lingkungan sosialnya. Di dalam berinteraksi ini anak mempunyai rasa percaya

diri sehingga mampu berpisah dari kelekatan dengan orang tua sehingga anak

akan merasa aman meskipun tidak ada orang tua disampingnya,

c. Aspek emosi dimana anak mampu mengelola emosinya dan mempunyai

kontrol diri yang baik,

d. Aspek ekonomi, maksudnya bukan berarti anak mampu untuk menghidupi

dirinya sendiri tetapi anak mampu secara sederhana untuk mengelola

ekonominya sendiri. Contohnya anak mampu untuk mengelola uang saku

yang diberikan orang tua, mampu memutuskan apa yang sebaiknya dibeli dan

tidak.

Kemauan anak untuk bertindak atas keinginannya sendiri dan dengan

penuh percaya diri akan menimbulkan rasa puas atas usaha yang sudah dia

lakukan. Rasa puas dan rasa percaya diri anak pada apa yang dia kerjakan sendiri

(32)

Berdasarkan pendapat yang diuraikan tentang pengertian kemandirian,

maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kemandirian anak mencakup empat aspek,

yaitu aspek intelektual, sosial, emosi dan ekonomi. Anak yang mandiri akan

mempunyai integritas yang baik dari keempat aspek tersebut sehingga anak yang

mandiri adalah anak yang percaya pada kemampuannya sendiri dalam mengambil

dan memutusakan tindakan, mempunyai tanggung jawab, memiliki inisiatif,

kreatif, berkompeten, mampu membebasakan diri dari kelekatannya dengan orang

tua sehingga mampu beradaptasi dengan lingkungan baru dan mempunyai kontrol

diri yang baik dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kemandirian

a. Umur

Anak mulai menampakkan perilaku mandiri pada sekitar usia dua sampai

tiga tahun (Smart & Smart, 1977). Kemandirian pada usia kanak-kanak ditandai

dengan adanya kemampuan anak untuk dapat makan sendiri, berpakaian sendiri

dan ke kamar mandi sendiri. Anak nantinya akan tumbuh menjadi remaja dimana

ketika usia remaja anak berusaha untuk lepas dari pengawasan orang tua dan

mulai belajar memutuskan sendiri apa yang baik untuknya. Jadi dengan

bertambahnya umur maka seseorang akan semakin tidak tergantung kepada orang

(33)

b. Jenis kelamin

Perbedaan perlakuan yang diberikan oleh orang tua menyebabkan

perbedaan terbentuknya kemandirian antara remaja putra dengan remaja putri

(dalam Johnson & Medinnus, 1974). Perbedaan kemandirian remaja putra dan

putri juga disebabkan karena adanya perbedaan stereotipe bahwa remaja putra dan

remaja putri memiliki peranan yang berbeda di masyarakat. Menurut penelitan

Kimmel (dalam Soetjipto, 1989) menunjukkan bahwa masyarakat menganggap

remaja putri terlihat kurang mandiri daripada remaja putra karena remaja putri

dipandang lebih bersikap kurang percaya diri, tidak ambisius dan sangat

tergantung. Berbeda dengan remaja putra yang dipandang lebih dominan, aktif,

lebih percaya diri dan ambisius. Jadi perbedaan perlakuan dan stereotipe antara

peran pria dan wanita di dalam kehidupan bermasyarakat membuat perbedaan

dalam perkembangan kemandirian antara anak laki-laki dan perempuan.

c. Lingkungan Keluarga dan Sosial Masyarakat

Keluarga dimana tempat anak tumbuh memberikan andil yang besar dalam

perkembangan kemandirian anak. Hal ini disebabkan karena keluarga adalah

lingkungan pertama kali tempat anak belajar mengenai nilai-nilai kehidupan.

Perbedaan pola asuh yang diterapkan oleh orang tua dalam mendidik anaknya

sangat mempengaruhi perkembangan kemandirian anak. Anak yang diasuh dalam

pola asuh otoritatif akan lebih mudah untuk bersikap mandiri daripada anak yang

diasuh dengan pola asuh otoriter dan permisif. Jadi perbedaan pola asuh akan

(34)

dalam Jersild, 1978). Selain lingkungan keluarga, lingkungan sekolah juga

mempunyai andil yang besar dalam mengembangkan kemandirian karena anak

akan banyak memperoleh informasi dan pengertian akan nilai-nilai baru baik dari

sekolah maupun dari pergaulan dengan teman-teman sebaya.

C. Pola Asuh Orang Tua

1. Pengertian Pola Asuh

Menurut Dayaksini (1988) pola asuh orang tua adalah perlakuan orang tua

terhadap anak dalam rangka memenuhi kebutuhan perlindungan dan mendidik

anak dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Langveld (dalam Afiatin,

Purnamaningsih dan Utami, 1994) mengasuh atau mendidik anak bertujuan

mendukung anak untuk mengembangkan diri dalam rangka melaksanakan tugas

perkembangannya, yaitu agar mampu mandiri dalam bersikap, mampu

mengembangkan diri untuk mencapai tujuan hidupnya dan mampu

bertanggungjawab secara moral atas segala perbuatannya kepada Tuhan, diri

sendiri dan masyarakat.

Menurut Simanjuntak (1984), pola asuh adalah cara mengasuh anak oleh

ayah dan ibu secara ideal tidak terpisah, terdapat bahu membahu dalam

melaksanakan tanggungjawab sebagai orang tua dan mampu memenuhi tugas

sebagai pendidik. Menurut Gerungan (1978) yang dimaksud pola asuh adalah

sikap orang tua dalam memimpin anaknya sehingga akan mempengaruhi

pertumbuhan kepribadian anak-anaknya. Havinghurst (dalam Rasyid, 1978)

(35)

dilakukan oleh orang tua sebagai perwujudan tanggungjawab dalam pembentukan

kedewasaan anak.

Menurut Rohn (dalam Rasyid, 1978) mengatakan pola asuh adalah sikap

orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya, meliputi cara orang tua

memberi peraturan-peraturan, hadiah dan hukuman, cara orang tua menunjukkan

kekuasaan, dan cara orang tua memberi perhatian serta tanggapan terhadap

keinginan-keinginan anaknya. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan

bahwa pola asuh adalah sikap dan cara-cara orang tua dalam berinteraksi dengan

anak-anaknya sebagai pengasuh atau pendidik dan sebagai pembimbing dalam

menumbuhkan kedewasaan dan kemandirian anak.

2. Aspek-aspek Pola Asuh Orang Tua

Pola asuh yang diterapkan dalam keluarga dapat membentuk sikap, watak,

tingkah laku, moral dan juga memberikan dasar bagi pendidikan anak. Kartono

(1985) menyatakan bahwa pola asuh orang tua dalam mendidik anak-anaknya

dapat diwujudkan dalam empat aspek, yaitu:

a. Komunikasi

Komunikasi di sini dibedakan menjadi dua, yaitu komunikasi verbal dan

non-verbal. Komunikasi verbal di sini maksudnya yaitu orang tua secara

langsung memberikan arahan dan nasehat kepada anak dengan bahasa yang

mudah dimengerti anak. Komunikasi non-verbal maksudnya orang tua dalam

memberikan pengarahan dan nasehat kepada anak menggunakan contoh sikap

dan perilaku yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Komunikasi antara

(36)

anak dalam memutuskan segala sesuatu. Anak diberikan kesempatan untuk

mengeluarkan pendapat dan adanya interaksi yang hangat antara orang tua dan

anak.

b. Disiplin

Orang tua dalam mengasuh anaknya dapat diwujudkan dengan

menerapkan nilai-nilai ataupun aturan-aturan yang mudah dipahami oleh anak

sehingga anak mempunyai kontrol diri yang baik terhadap dirinya sendiri.

Dalam pola asuh otoritatif, peraturan-peraturan yang diterapkan tidak terlalu

ketat dan selalu memperhatikan dan disesuaikan dengan anak.

c. Pemenuhan kebutuhan

Orang tua dalam mengasuh anak tidak terlepas dari tugasnya untuk

memenuhi segala kebutuhan anak baik itu kebutuhan fisik maupun psikis.

Contoh dari kebutuhan fisik yaitu pemenuhan sandang, pangan, dan papan.

Sedangkan contoh kebutuhan psikis yaitu berupa kasih sayang, penanaman

nilai-nilai moral dan pendidikan. Kedua hal tersebut saling mendukung bagi

tumbuh kembang anak dan hendaknya diberikan dalam porsi yang seimbang.

Pemenuhan kebutuhan anak sesuai dengan apa yang benar-benar dibutuhkan

anak. Pemenuhan kebutuhan ini selalu memperhatikan dan disesuaikan dengan

keperluan anak.

d. Pandangan terhadap anak

Pandangan terhadap anak maksudnya adalah cara orang tua untuk

memahami kebutuhan anak dengan cara memberikan penghargaan terhadap

(37)

orang tua memberikan penghargaan dan kasih sayang kepada anak-anaknya.

Orang tua memberikan kepercayaan kepada anak karena adanya komunikasi

yang terbuka antara orang tua dan anak.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

yang dimaksud dengan pola asuh orang tua adalah cara atau metode yang

diterapkan oleh orang tua di dalam mendidik anak-anaknya agar anak-anaknya

dapat mencapai tujuan hidupnya dengan menggali dan memaksimalkan potensi

yang dimiliki anak. Cara untuk memaksimalkan potensi anak yaitu dengan

mencukupi kebutuhan anak dalam empat aspek yaitu (a) aspek komunikasi dua

arah yang baik dan hangat antara orang tua dan anak; (b) disiplin yang tidak kaku

dengan penerapan aturan dan norma yang sesuai dengan anak; (c) pemenuhan

kebutuhan anak yang baik dengan memperhatikan hal-hal yang benar-benar

dibutuhkan anak dan (d) pandangan terhadap anak yang mencakup penghargaan

atas prestasi anak dan berfikir dengan memperhatikan pola pikir anak.

Keempat aspek tersebut ada dalam setiap pola asuh (otoriter, otoritatif dan

permissif) yang diterapkan orang tua, hanya saja diberikan dalam porsi yang

berbeda. Pola asuh yang baik adalah pola asuh yang memberikan pemenuhan dari

keempat aspek tersebut dengan porsi yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan

(38)

3. Bentuk-Bentuk Pola Asuh Orang tua

Menurut Santrock (2002) pola asuh dapat dibedakan menjadi:

a. Pola asuh otoriter (authoritarian parenting)

Pola asuh ototiter adalah pola asuh dimana orang tua adalah pemegang

otoritas dalam keluarga. Dalam pola asuh ini komunikasi yang terjalin antara

orang tua dan anak berjalan satu arah. Anak tidak diberikan kesempatan untuk

mengeluarkan pendapat. Segala keputusan untuk anak orang tualah yang

menentukan tanpa memperhatikan kebutuhan yang benar-benar diperlukan

anak. Segala hal yang diperintahkan orang tua bersifat mutlak sehingga

hubungan antara orang tua dan anak terlihat kaku. Menurut Hemas (1993),

dalam pola asuh otoriter orang tua tidak memberikan kesempatan sama sekali

pada anaknya untuk menyampaikan dan melaksanakan keinginannya. Segala

sesuatu yang dilakukan anak harus diatur orang tuanya. Jadi, komunikasi lebih

bersifat dari orang tua ke anak, seolah-olah anak bagaikan robot yang harus

siap dengan perintah majikannya.

Disiplin yang diterapkan dalam pola asuh ini cenderung berupa

pembatasan-pembatasan dan hukuman-hukuman yang keras tanpa pernah

dikomunikasikan dengan anak. Amaliyah (2006) mengatakan bahwa pola asuh

otoriter ialah suatu gaya membatasi dan menghukum, yang menuntut anak

untuk mengikuti perintah-perintah orang tua. Hasil dari pola asuh otoriter

adalah seringkali cemas akan perbandingan sosial, gagal memprakarsai

kegiatan, memiliki keterampilan komunikasi yang rendah, dan disiplin awal

(39)

diasuh dengan pola asuh otoriter perkembangan kemandiriannya akan

cenderung terhambat. Model pengasuhan ini sering menerapkan

hukuman-hukuman dan disiplin yang kaku dan keras. Bahkan tidak jarang dalam

penerapan disiplin ini orang tua dapat menggunakan hukuman fisik maupun

ancaman.

Pemenuhan kebutuhan anak juga ditentukan oleh orang tua tanpa

dikomunikasikan dengan anak. Dalam memenuhi kebutuhan anak terkadang

hal-hal yang diberikan orang tua tidak sesuai dengan kebutuhan yang

benar-benar dibutuhkan anak. Orang tua menganggap semua yang diberikan untuk

anak adalah hal yang terbaik padahal belum tentu apa yang diberikan orang

tua sesuai bagi anak. Anak tidak mempunyai hak untuk meminta apa yang

diinginkan sehingga segala sesuatu mengenai kebutuhan anak orang tualah

yang memegang kendali. Anak mau tidak mau harus menerima apa yang

ditentukan oleh orang tua dan apabila ada penolakan maka anak akan

cenderung mendapatkan hukuman.

Orang tua otoriter mempunyai tuntutan yang tinggi terhadap anak-anaknya

sehingga cita-cita anak orang tualah yang menentukan. Orang tua menganggap

bahwa masa depan anak harus ditentukan sejak dini sehingga orang tua

terkadang memasukkan anak ke tempat kursus ketrampilan tanpa

dikomunikasikan dengan anak. Orang tua yang otoriter menjadikan anak

sebagai alat untuk mewujudkan ambisinya. Penghargaan akan prestasi dan

(40)

sebagai individu yang dapat dibentuk, diatur sesuai dengan keinginan orang

tua dan mengabaikan kepentingan dasar anak.

Anak-anak yang diasuh dengan pola asuh semacam ini cenderung tidak

bahagia, takut, inferior, menarik diri, tidak sopan, dan memiliki kepedulian

rendah terhadap sesamanya (lingkungan sosialnya) atau terhadap pengalaman

baru (Baumrind dalam Stenberg dkk, 1991). Pola asuh ini juga cenderung

membuat anak mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap orang tuanya

karena segala perilaku dan gerak gerik anak tersebut selalu diawasi dan diatur

oleh orang tua sehingga menghambat perkembangan kemandirian anak.

b. Pola asuh Permisif

Pola asuh permisif adalah suatu pola asuh di mana orang tua tidak banyak

terlibat dalam kehidupan anak-anaknya. Tidak atau jarang adanya komunikasi

antara orang tua dan anak membuat hubungan anak dan orang tua kurang

harmonis. Segala keputusan yang diambil oleh anak, orang tua tidak ikut

campur tangan. Orang tua menganggap anak mampu mengurus dirinya

sendiri. Dalam keluarga dengan pola asuh permisif komunikasi dalam

keluarga bukanlah hal yang penting untuk dilakukan.

Dalam hal disiplin, orang tua permisif memberikan kebebasan kepada

anak-anaknya untuk melakukan apa saja tanpa terlibat dalam pembentukan

kontrol diri anak. Anak-anak yang diasuh dengan gaya pengasuhan ini

memperlihatkan kendali diri yang buruk dan tidak bisa membangun

(41)

melakukan apa saja ini dapat mengakibatkan anak-anak tidak pernah belajar

untuk mengendalikan perilaku mereka sendiri dan selalu mengharapkan semua

keinginan mereka dituruti. Mereka yang diasuh dengan pola asuh ini pada

umumnya mempunyai pengendalian diri yang rendah dan cenderung tidak

perduli dengan orang lain (kurang mempunyai empati). Pola asuh yang terlalu

memberikan kebebasan kepada anak ini cenderung menyebabkan kedisiplinan

anak menjadi lemah dan tidak ada upaya untuk melatih kemandirian anak.

Anak menjadi tidak terkontrol dan secara berkelanjutan dapat menyebabkan

ketidakmatangan kepribadian anak dan pada akhirnya anak cenderung

melakukan penentangan terhadap norma-norma dan menjadi tidak terkendali

perilakunya.

Orang tua permisif memenuhi kebutuhan anak tanpa memperhatikan apa

yang benar-benar dibutuhkan anak. Mereka tidak perduli apakah kebutuhan

anak benar-benar tercukupi atau tidak. Orang tua permisif menganggap anak

mengetahui dan dapat mencukupi sendiri apa yang dibutuhkan sehingga orang

tua permisif sebagian besar hanya menyediakan uang sebagai salah satu

bentuk tanggung jawab orang tua terhadap anak. Amaliyah (2006)

mengatakan bahwa pola asuh permisif ialah pola asuh dimana orang tua sangat

tidak terlibat dalam kehidupan anak. Soetjipto (1989) dalam laporan

penelitiannya mengatakan bahwa orang tua yang menerapkan pola asuh

permisif cenderung tidak pernah mengarahkan perilaku anaknya, hampir tidak

pernah memberikan hukuman dan disiplin kepada anaknya. Berdasarkan

(42)

tidak pernah menghiraukan akan perkembangan yang terjadi pada

anak-anaknya, segala persoalan yang menyangkut diri anak diserahkan sepenuhnya

pada anak.

Orang tua yang permisif sangat kurang dalam memperhatikan dan

memberikan penghargaan terhadap prestasi yang anak raih. Mereka

menganggap prestasi yang diraih anak adalah hal yang wajar dan tidak perlu

mendapatkan pujian. Anak yang diasuh dalam pola asuh ini cenderung tidak

mempunyai semangat bersaing karena menganggap hasil yang mereka capai

tidak akan pernah mendapatkan penghargaan dari orang tua.

Anak yang diasuh dalam pola asuh permisif perkembangan

kemandiriannya akan terhambat karena anak tersebut selalu berorientasi pada

dirinya sendiri dan kurang dapat bersosialisasi dengan lingkungan sosialnya.

Anak akan kesulitan menerima perbedaan yang tidak sesuai dengan yang dia

harapkan ketika berinteraksi dengan orang lain.

c. Pola asuh otoritatif (authoritative parenting)

Komunikasi dalam pola asuh orang tua yang otoritatif terjadi dalam bentuk

komunikasi dua arah baik secara verbal maupun non verbal. Komunikasi

verbal disini antara lain dalam bentuk kesempatan bagi anak untuk

mengungkapkan pendapat, ide-ide, gagasan, keinginan, dan keluh kesah.

Orang tua yang otoritatif dalam mendiskusikan segala sesuatu yang

menyangkut kepentingan anak memberikan kesempatan dan menunjukkan

penerimaan dan penghargaan atas pendapat anak. Orang tua sebagai pengasuh

(43)

bentuk non verbal adalah cara orang tua dalam mendidik anak dalam bentuk

memberikan contoh langsung prilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari.

Contoh: apabila orang tua ingin melatih anak untuk dapat menggosok gigi

sendiri, maka hendaknya orang tua memberikan contoh dan mengajak anak

bersama-sama menggosok gigi sehingga anak nantinya terbiasa untuk

melakukannya sendiri. Orang tua otoritatif selalu mengkomunikasikan segala

masalah yang dihadapi dalam keluarga dan mengajak anak untuk ikut

berdiskusi. Keputusan yang diambil dalam menentukan sesuatu yang

berhubungan dengan anak maupun kepentingan seluruh anggota keluarga

selalu dimusyawarahkan untuk menemukan kesepakatan dengan

mempertimbangkan kepentingan seluruh anggota keluarga.

Orang tua yang otoritatif menerapkan disiplin yang tidak ketat terhadap

anak-anaknya. Peraturan-peraturan yang ada dalam keluarga tidak bersifat

mengekang anak karena dibuat dengan kesepakatan bersama antara orang tua

dan anak. Orang tua dalam menerapkan peraturan-peraturan senantiasa

mengajak anak untuk belajar bertanggung jawab dalam setiap tindakan yang

akan diambil. Apabila anak melakukan kesalahan, orang tua yang otoritatif

akan mendengarkan dahulu alasan kenapa anaknya sampai melakukan

perbuatan tersebut sebelum memberikan hukuman. Orang tua tidak

memberikan hukuman dalam bentuk kekerasan fisik yang merugikan anak

tetapi dalam bentuk nasehat dan contoh yang mudah dipahami anak sehingga

anak mengerti hal-hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan beserta

konsekuensi dari tindakannya. Dalam pola asuh otoritatif ini prioritas utama

(44)

berbuat hal-hal yang benar (Prasetya, 2003). Pola asuh otoritatif mendorong

anak-anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan

pengendalian atas tindakan-tindakan mereka.

Pemenuhan kebutuhan anak merupakan kewajiban orang tua.

Kepemilikian nilai ekonomi dalam diri anak dapat diupayakan orang tua

melalui ketekunan dan konsistensi orang tua dalam mencari, menata, dan

menggunakan keuangan keluarga yang didialogkan kepada anak-anaknya.

Selain itu, adanya transparansi dalam keuangan keluarga serta melatih dan

membiasakan mereka menata keuangan pribadi. Hal ini mutlak dilakukan

guna membangun kesadaran empati anak. Dalam memenuhi kebutuhan anak

orang tua yang otoritatif senantiasa menyesuaikan dengan perkembangan

anak.

Pemenuhan kebutuhan anak terdiri dari pemenuhan kebutuhan secara fisik

dan psikis. Pemenuhan kebutuhan fisik dapat terwujud dalam bentuk

pemberian sandang, pangan dan papan yang mendukung tumbuh kembang

anak. Orang tua otoritatif dalam memenuhi kebutuhan anak selalu

mempertimbangkan baik buruknya materi yang akan diberikan kepada anak

sehingga anak mendapatkan pemenuhan kebutuhan yang sesuai dengan tahap

perkembangannya. Orang tua yang otoritatif dalam memenuhi kebutuhan anak

khususnya kebutuhan pangan, selalu mencari alternatif menu lain yang

kandungan gizinya cukup dalam mendukung tumbuh kembang anak. Dalam

memenuhi kebutuhan anak yang berupa pangan, orang tua yang otoritatif

senantiasa berusaha untuk mencukupi kebutuhan anak yaitu kebutuhan 4 sehat

(45)

pertumbuhannya. Sedangkan pemenuhan kebutuhan secara psikis yaitu

pemberian kasih sayang dan perhatian dari orang tua kepada anak sehingga

anak merasa dirinya diterima dan dicintai oleh orang tuanya. Anak yang

merasa dirinya dicintai dan diterima tanpa syarat oleh orang tuanya akan

tumbuh menjadi pribadi yang baik.

Orang tua yang otoritatif biasanya memberikan perhatian dan penghargaan

terhadap prestasi yang anak raih. Dalam pola asuh otoritatif orang tua

memahami bahwa setiap individu itu unik dengan karakter yang berbeda-beda.

Keunikan yang dimiliki setiap anak menjadi acuan bagi orang tua otoritatif

dalam mengembangkan potensi yang dimiliki anak. Dalam pola asuh otoritatif

anak diberikan kebebasan untuk menentukan cita-cita dan orang tua

memberikan arahan dan dukungan. Penghargaan terhadap keberadaan anak

dan memahami pola pikir anak merupakan salah cara orang tua yang otoritatif

dalam mengasuh anak. Orang tua yang dapat memberikan penghargaan dan

menerima anak dalam keluarga dapat mencegah anak untuk berlaku agresif

(Shochib, 1998).

Hasil dari pola asuh otoritatif ialah anak-anak yang berkompeten secara

sosial, percaya diri, dan bertanggung-jawab secara sosial (Amaliyah, 2006).

Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang menerapkan pola asuh ini akan

merasa dicintai, merasa diterima dan dihargai oleh lingkungan sekitarnya.

Anak-anak yang merasa diterima oleh lingkungan sekitarnya akan

menumbuhkan rasa percaya pada dirinya sendiri yang membawa anak pada

(46)

kemandiriannya akan cenderung lebih positif karena anak mendapatkan

tuntunan dan pemenuhan kebutuhannya dengan porsi yang cukup.

Berdasarkan adanya uraian tentang bentuk-bentuk (tipe) pola asuh orang

tua di atas, maka penelitian ini hanya menfokuskan atau mengambil salah satu

variabel penelitian saja, yaitu pola asuh orang tua yang otoritatif karena

dianggap sebagai variabel yang lebih mendekati dalam membentuk

kemandirian anak. Sehingga penelitian ini mengabaikan dua bentuk pola asuh

yang lain (otoriter dan permisif).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh

a. Pendidikan orang tua

Tingkat pendidikan orang tua mempunyai pengaruh terhadap pola asuh

yang diterapkan oleh orang tua. Semakin tinggi pendidikan yang dimiliki oleh

orang tua maka semakin baik pula cara pengasuhan yang diterapkan kepada

anak-anaknya. Orang tua dengan pendidikan yang lebih tinggi akan lebih

bijaksana dan tahu harus bersikap bagaimana dalam mengasuh anak-anaknya

yang mempunyai karakter yang berbeda-beda. Sedangkan orang tua yang

berpendidikan rendah cenderung akan memperlakukan anak dengan cara yang

sama dan tidak memperhatikan perbedaan karakter dari masing-masing anak.

b. Latar belakang keluarga

Setiap keluarga yang mempunyai latar belakang yang berbeda-beda akan

menerapkan pola asuh yang berbeda dalam mendidik anak-anaknya. Keluarga

(47)

mempengaruhi pola asuh orang tua yang diterapkan. Oleh karena itu

dibutuhkan kerja sama dari keluarga untuk mengasuh anaknya dengan pola

asuh yang tepat sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.

c. Lingkungan sosial

Faktor lingkungan sosial berpengaruh pada jenis pola asuh yang

diterapkan keluarga. Misalnya pola asuh keluarga yang hidup dilingkungan

nelayan akan berbeda dengan keluarga yang hidup di lingkungan perumahan

dalam mengasuh anaknya. Oleh karena itu maka lingkungan sosial dimana

keluarga itu berada akan mempengaruhi jenis pola asuh yang diterapkan

keluarga tersebut.

D. Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua Otoritatif dan Kemandirian

Anak Usia Pra sekolah

Peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara pola asuh orang tua dan

perkembangan kemandirian anak karena perkembangan kemandirian anak adalah

modal dasar bagi seseorang untuk mengembangkan dirinya. Anak yang

mempunyai perkembangan kemandirian yang baik sejak awal maka anak tersebut

nantinya akan tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang sukses dalam

menggali dan memaksimalkan potensi yang ada dalam dirinya.

Perkembangan yang paling penting bagi anak usia pra sekolah adalah

perkembangan kemandirian. Anak yang mulai mandiri menunjukkan sikap

(48)

membebaskan diri dari kelekatan dengan orang tua akan mulai mengembangkan

kemampuan bersosialisasi dengan orang lain. Dalam bersosialisasi itulah maka

kemampuan anak untuk memutuskan tindakan dan bertanggung jawab atas

tindakannya mulai terlatih. Anak akan mulai berinisiatif dan mulai berlatih untuk

mengontrol diri dan bertanggung jawab atas setiap tindakannya ketika berinteraksi

dengan lingkungan sosial.

Perkembangan anak yang baik didukung oleh bentuk pola asuh yang

diterapkan oleh orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Pola asuh yang

diterapkan oleh orang tua akan sangat mendukung dalam perkembangan fisik dan

mental anak. Ada pandangan dimasyarakat yang mengatakan bahwa anak laki-laki

akan lebih mandiri daripada anak perempuan. Anggapan ini terbentuk karena

anggapan masyarakat bahwa anak perempuan dipandang kurang percaya diri,

tidak ambisius dan sangat tergantung pada orang lain, berbeda dengan anak

laki-laki yang dipandang lebih dominan, aktif dan lebih percaya diri. Hal ini tidak

sepenuhnya benar karena perkembangan kemandirian anak sejak kecil sebagian

besar merupakan pengaruh dari pola asuh orang tua.

Ada tiga jenis pola asuh yang kita kenal, yaitu pola asuh otoriter, permisif

dan otoritatif. Dari ketiga pola asuh tersebut yang paling mendukung

perkembangan kemandirian anak adalah pola asuh otoritatif, karena dalam pola

asuh otoritatif orang tua mengembangkan komunikasi dua arah yang baik dengan

anak, menerapkan disiplin yang disesuaikan dengan perkembangan anak,

memenuhi kebutuhan anak dalam porsi yang cukup, serta adanya penghargaan

(49)

memfokuskan pada bentuk pola asuh orang tua yang otoritatif karena pola asuh ini

merupakan pola asuh yang paling mendekati dan paling baik bagi perkembangan

fisik dan mental anak, khususnya perkembangan kemandirian anak.

Pola asuh otoritatif mendorong anak untuk mengembangkan kemampuan

intelektualnya. Pola asuh orang tua yang otoritatif mengembangkan komunikasi

dua arah antara orang tua dan anak sehingga anak terlatih untuk mengungkapkan

pendapatnya, ide-ide dan juga anak terlatih untuk menghargai pendapat orang

lain. Anak yang terbiasa mengungkapkan ide-ide dan gagasannya akan terlatih

untuk terus berfikir dan menemukan cara-cara baru yang kreatif dalam

menghadapi suatu masalah. Anak yang diasuh dalam pola asuh otoritatif akan

mempunyai kontrol diri yang baik dalam bertindak karena orang tua memberikan

norma-norma yang dipahami anak dan anak terlatih untuk bertanggung jawab

dalam setiap tindakannya. Anak diajak untuk berfikir dan membuat keputusan

sendiri dalam memecahkan masalah dan diajak untuk bersikap kooperatif dengan

orang lain karena dalam keluarga anak sudah terbiasa untuk mengemukakan

pendapatnya secara terbuka. Anak yang merasa dihargai dan dipercaya oleh orang

tua akan memandang dirinya positif sehingga anak tersebut akan percaya pada

kemampuannya sendiri yang pada perkembangannya akan membawa anak untuk

bersikap lebih mandiri dalam bertindak.

Orang tua yang otoritatif senantiasa berusaha untuk memenuhi kebutuhan

anak baik secara fisik maupun psikis. Pemenuhan kebutuhan ini senantiasa

disesuaikan dengan perkembangan anak dengan selalu mempertimbangkan

(50)

yang merasa kebutuhan fisik dan psikisnya terpenuhi akan merasa bahwa dirinya

disayangi dan diterima oleh orang tua. Penerimaan dari orang tua membuat anak

merasa aman secara emosional. Perasaan aman dan diterima oleh orang tua akan

mendorong anak untuk mengembangkan kemampuan bersosialisasi dengan orang

lain.

Anak yang terlatih untuk mengungkapkan ide-ide, pendapat dan

mengendalikan emosinya akan mudah untuk beradaptasi dengan lingkungan baru

yang dia temui. Anak yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru akan

sangat mendukung dalam perkembangan kemandiriannya. Lingkungan baru yang

sangat mendukung dalam perkembangan intelektual, emosi dan kemampuan sosial

anak antara lain adalah lingkungan sekolah. Sekolah merupakan tempat bagi anak

untuk berlatih menggali dan mengoptimalkan kemampuan yang mereka miliki.

Interaksi anak dengan lingkungan sosial akan melatih anak untuk mengambil

sikap dan mengontrol tindakan dan juga akan melatih anak untuk mengabil

keputusan ketika anak tersebut menghadapi suatu masalah. Anak yang percaya

pada kemampuannya sendiri serta mampu mengelola emosi pada umumnya akan

lebih mudah untuk mengambil tindakan ketika menghadapi suatu masalah. Anak

yang percaya pada kemampuannya sendiri dan berkompeten akan lebih mudah

menyesuaikan diri dan akan lebih mandiri karena anak tersebut mempunyai

kemantapan diri dan penghargaan terhadap dirinya.

Dari uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa pola asuh

otoritatif akan membawa dampak positif bagi perkembangan kemandirian anak

(51)

perkembangan yang positif dalam tiga aspek yaitu aspek intelektual, pengendalian

emosi, dan hubungan sosial yang mana ketiga aspek tersebut merupakan aspek

kemandirian. Semakin otoritatif pola asuh yang diterapkan orang tua maka anak

akan semakin mandiri.

E. HIPOTESIS

Berdasarkan penjelasan di atas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

Ada hubungan positif dan signifikan antara pola asuh orang tua yang otoritatif dan

(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan secara empiris

hubungan antara pola asuh orang tua yang otoritatif dengan kemandirian anak usia

pra-sekolah di Kelompok Bermain Melati di jalan Magelang KM 7,5 Sendangadi,

Mlati, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

B. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain

penelitian korelasional. Penelitian korelasional adalah penelitian yang bertujuan

untuk mencari hubungan antara variabel satu dengan variabel yang lain. Penelitian

ini akan mencari ada tidaknya hubungan positif antara pola asuh orang tua yang

otoritatif dan kemandirian anak usia pra-sekolah di Kelompok Bermain Melati.

C.Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel adalah segala sesuatu yang dapat menjadi objek penelitian.

Penelitian ini terdiri dari 2 variabel yaitu variabel bebas dan variabel tergantung.

Variabel Tergantung : kemandirian anak usia pra sekolah

Variabel Bebas :pola asuh orang tua yang otoritatif

Peneliti tidak mengontrol faktor-faktor pendidikan orang tua, latar belakang

(53)

belakang yang kurang lebih sama terkait dengan ketiga hal tersebut. Orang tua

subjek sebagian besar lulusan SMU, bekerja sebagai karyawan (karyawan

perusahaan swasta, wiraswasta, PNS) dan hidup di lingkungan sosial yang hampir

sama yaitu di lingkungan perumahan daerah pedesaan. Oleh karena itu peneliti

tidak mengontrol faktor-faktor tersebut diatas.

D. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Kemandirian Anak Usia Pra Sekolah

Kemandirian anak usia pra sekolah adalah kemampuan seorang anak

usia pra sekolah untuk berdiri sendiri dalam aspek kehidupannya yang ditandai

dengan adanya inisiatif, percaya diri, berusaha mengatasi rintangan yang ada,

menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan mengerjakan sendiri tugas

rutinnya.

Kemandirian anak usia pra sekolah dalam penelitian ini diukur dengan

skala kemandirian anak usia pra sekolah yang telah dibuat oleh penulis

berdasarkan aspek-aspek kemandirian (Havighurst dalam “Membuat prioritas”,

2006 ; Suyata, dkk, 1982) yang terdiri dari empat aspek yaitu:

a. Aspek intelektual dimana anak percaya pada kemampuannya sendiri dalam

memecahkan masalah, memiliki inisiatif, bersikap kompeten, kreatif , dapat

mengambil keputusan sendiri dalam bentuk kemampuan memilih dan

bertanggung jawab atas tindakannya,

b. Aspek sosial dimana anak mampu secara aktif untuk berinteraksi dengan

(54)

percaya diri sehingga mampu berpisah dari kelekatan dengan orang tua

sehingga anak akan merasa aman meskipun tidak ada orang tua

disekitarnya,

c. Aspek emosi dimana anak mampu mengelola emosinya dan mempunyai

kontrol diri yang baik,

d. Aspek ekonomi, maksudnya bukan berarti anak mampu untuk menghidupi

dirinya sendiri tetapi anak mampu secara sederhana untuk mengelola

ekonominya sendiri. Contohnya anak mampu untuk mengelola uang saku

yang diberikan orang tua, mampu memutuskan apa yang sebaiknya dibeli

dan tidak.

Dengan demikian arah kemandirian subjek penelitian dapat diketahui

dengan melihat aspek-aspek kemandirian diatas. Jika subjek terlihat mampu

mengatur dirinya sendiri, percaya pada kemampuannya sendiri, mempunyai

kontrol diri yang baik, dan mampu lepas dari kelekatan dengan orang tua, maka

subjek memiliki kemandirian yang tinggi. Sebaliknya jika subjek terlihat

cenderung tergantung pada orang lain, cenderung dikendalikan oleh situasi, dan

kurang mampu mengontrol emosinya, maka subjek memiliki kemandirian yang

rendah. Semakin tinggi skor yang diberikan kedua rater kepada subjek,

mengindikasikan bahwa subjek yang diamati semakin mandiri.

2. Pola Asuh Orang Tua yang Otoritatif

Pola asuh orang tua yang otoritatif adalah sikap dan cara-cara orang tua

(55)

pembimbing yang memperlihatkan kehangatan kasih sayang, komunikasi yang

baik dengan anak, memperioritaskan kepentingan anak, mengendalian perilaku

anak untuk berbuat yang benar, serta cenderung mendorong anak untuk

menumbuhkan kedewasaan dan kemandirian anak.

Pola asuh orang tua yang otoritatif dapat diukur dengan skala pola asuh

orangtua yang otoritatif yang akan di isi oleh salah satu orang tua murid

Kelompok Bermain Melati yang mempunyai peran utama sebagai pengasuh

anak dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan anak yang diasuhnya. Skala

pola asuh orang tua otoritatif dibuat sendiri oleh penulis berdasarkan

aspek-aspek pola asuh orang tua (Kartono, 1985) yaitu:

a. Aspek komunikasi, yaitu terdiri komunikasi dua arah baik secara verbal

maupun non verbal yang dari kesempatan mengungkapkan pendapat, ide-ide,

gagasan, keinginan, keluh kesah, kesempatan berdiskusi, dan pemberian

contoh prilaku yang benar,

b. Aspek disiplin, yaitu terdiri dari adanya penerapan peraturan-peraturan yang

tidak mengekang, nilai-nilai dalam keluarga, pemberian hukuman dalam

bentuk non fisik, dan melatih tanggung jawab anak atas tindakannya,

c. Aspek pemenuhan kebutuhan, yaitu terdiri dari pemenuhan kebutuhan fisik

dan psikis. Adapun kebutuhan fisik yaitu kebutuhan dalam hal sandang,

pangan dan papan. Sedangkan kebutuhan psikis yaitu pemberian kasih sayang

dan perasaan aman kepada anak,

d. Aspek pandangan terhadap anak, yaitu dari penghargaan terhadap keberadaan

(56)

untuk menentukan cita-citanya, dan menghargai usaha yang telah dilakukan

anak.

Dengan demikian arah pola asuh orang tua otoritatif subjek penelitian

dapat diketahui dengan melihat aspek-aspek pola asuh orang tua otoritatif diatas.

Jika subjek lebih banyak menerapkan komunikasi dua arah baik secara verbal

maupun non verbal dengan anak, menerapkan disiplin yang tidak mengekang,

mencukupi kebutuhan anak, dan menghargai anak, maka subjek tergolong orang

tua yang otoritatif. Sedangkan apabila subjek kurang komunikatif dengan anak,

cenderung memutuskan segala sesuatu sesuai dengan apa yang dianggapnya baik,

kurang memperhatikan kebutuhan anak, kurang menghargai keberadaan anak,

maka subjek tidak tergolong orang tua dengan pola asuh otoritatif. Skor total yang

diperoleh subjek nantinya mengindikasikan tinggi rendahnya pola asuh otoritatif

yang diterapkan masing-masing subjek dan pada keseluruhan subjek yang diteliti.

E. Subjek Penelitian

Subjek penelitian merupakan sumber utama data penelitian, yaitu yang

mempunyai data mengenai variabel yang diteliti pada dirinya. Subjek penelitian

adalah yang akan dikenai kesimpulan hasil penelitian (Azwar, 2001).

Subjek dari penelitian ini adalah:

1. Anak-anak yang bersekolah di Kelompok Bermain Melati dan berusia 4-5

tahun yang berjumlah 42 orang. Murid laki-laki berjumlah 21 orang dan murid

Gambar

Tabel 2. Blue print Skala Pola Asuh Orang Tua sebelum uji coba .......................
Tabel 1. Blue print Skala Observasi  Kemandirian Anak Usia Pra Sekolah dengan Rating Scale sebelum uji coba
Tabel 5. Blue print Skala Pola Asuh Orang Tua untuk penelitian setelah
Tabel 6. Deskripsi hasil penelitian
+2

Referensi

Dokumen terkait

2 = Dilakukan dengan sempurna, atau bila aspek tersebut tidak dilakukan mahasiswa karena situasi yang tidak memungkinkan (misal tidak diperlukan dalam skenario

[r]

Pada Penulisan Ilmiah ini penulis mencoba untuk membahas tentang pembuatan website troubleshooting (pemecahan masalah), bagaimana kita memadukan gambar, teks, suara dan animasi ke

Keberadaan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Solok Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Fatwa Perencanaan Lingkungan Dan Retribusi Atas Fatwa Perencanaan Lingkungan

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Kota Solok Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penyertaan Modal Daerah Pada Perseroan Terbatas Bank Pembangunan Daerah

Peraturan Bersama Menteri Pendidikan Nasional dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 14 Tahun 2010 dan Nomor 03/V/PB/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan pilihan (alternatif) kombinasi obat untuk memperpanjang lama kerja pembiusan spinal dengan membandingkan

Dalam pandangan marxist theory revolusi hanya akan terjadi pada sebuah.. 9