• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsepsi Dasar 2.1 Konsepsi Dasar

2.3 Implementasi Kebijakan

Tahap implementasi merupakan salah satu tahapan penting dalam kerangka kebijakan publik. Suatu kebijakan tidak dapat mencapai tujuan yang ditetapkan

apabila tidak diimplementasikan dengan baik. Menurut Lester and Stewart (dalam Winarno, 2011:147) menyatakan bahwa,

“implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas,

merupakan tahap dari proses kebijakan segera setelah penetapan undang-undang. Implementasi dipandang secara luas mempunyai makna pelaksanaan undang-undang di mana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program.”

Sedangkan menurut Ripley dan Franklin (dalam Winarno, 2011:148) menyatakan bahwa,

“implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit) atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output)”.

Menurut Grindle (dalam Winarno, 2011:149) implementasi kebijakan merupakan,

“secara umum, tugas implementasi adalah membentuk suatu kaitan

(linkage) yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Oleh karena itu, tugas

implementasi mencakup terbentuknya ”a policy delivery system,” dimana

sarana-sarana tertentu dirancang dan dijalankan dengan harapan sampai pada tujuan-tujuan yang diinginkan.”

Berdasarkan ketiga pengertian implementasi kebijakan yang telah diungkapkan oleh para ahli tersebut maka implementasi kebijakan termasuk tahapan penting dalam suatu proses kebijakan karena menyangkut bagaimana suatu kebijakan dilaksanakan demi mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan.

2.3.1 Model-Model Implementasi Kebijakan

2.3.1.1 Model Implementasi Kebijakan Menurut Van Meter Van Horn

Gambar 2.1 Model Implementasi kebijakan Van Meter Van Horn Sumber : D. S Van Meter Van Horn dikutip Winarrno (2011:160)

Dalam bagan di atas terdapat enam variabel bebas yang menghubungkan antara kebijakan dan kinerja kebijakan, yaitu:

1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan

Menurut Van Meter dan Van Horn (dalam Winarno, 2011:159) menyatakan bahwa identifikasi indikator pencapaian merupakan tahap yang krusial dalam analisis implementasi kebijakan. Indikator-indikator pencapaian ini menilai sejauh mana ukuran dasar dan tujuan kebijakan telah direalisasikan. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan berguna dalam menguraikan tujuan-tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh.

2. Sumber-Sumber Kebijakan

Menurut Van Meter Van Horn (dalam Winarno, 2011:158) menjelaskan bahwa disamping ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujnua kebijakan, yang perlu Ukuran dan Tujuan Kebijakan Sumber-sumber Kebijakan

Komunikasi antar organisasi dan kegiatan pelaksanaan Karakteristik Badan Pelaksana Sikap para Pelaksana Lingkungan : Ekonomi, sosial, politik Kinerja Kebijakan

mendapatkan perhatian dalam proses implementasi kebijakan adalah sumber-sumber yang tersedia. Sumber-sumber-sumber yang dimaksud adalah mencakup dana atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif.

3. Komunikasi Antar Organisasi Terkait dan Kegiatan-Kegiatan Pelaksanaan Menurut Van Meter Van Horn (dalam Winarno, 2011:162-163) menyatakan bahwa implementasi yang berhasil sering kali membutuhkan mekanisme-mekanisme dan prosedur-prosedur lembaga. Hal ini sebenarnya akan mendorong kemungkinan yang lebih besar kepada para pejabat tinggi untuk mendorong pelaksana bertindak dalam suatu acara yang konsisten dengan ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan. Para pejabat dalam struktur organisasi mempunyai kekuasaan personil yang diukur dari: Pertama, rekruitmen dan seleksi; Kedua, penugasan dan relokasi; Ketiga, kenaikan pangkat dan; Keempat, akhirnya pemecatan

4. Karakteristik Badan Pelaksana

Menurut Van Meter Van Horn (dalam Winarno, 2011:166) mengetengahkan beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan, yaitu:

a. kompetisi dan ukuran staf suatu badan;

b. tingkat pengawasan hirarkis terhadap keputusan-keputusan sub unit dan proses-proses dalam badan-badan pelaksana;

c. sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di antara anggota-anggota legislatif dan eksekutif);

d. vitalisasi suatu organisasi;

e. tingkat komunikasi-komunikasi “terbuka”, yang didefinisikan sebagai

jaringan kerja komunikasi horizontal dan vertikal secara bebas serta tingkat kebebasan yang secara relatif tinggidalam komunikasi dengan individu-individu di luar organisasi;

f. kaitan formal dan informal suatu badan “pembuat keputusan” atau “pelaksana keputusan”

5. Kondisi-Kondisi Ekonomi, Sosial dan Politik

Dampak kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik pada kebijakan publik merupakan pusat perhatian yang besar. Sekalipun dampak dari faktor- faktor ini pada implementasi keputusan-keputusan kebijakan mendapat perhatian yang kecil, namun menurut Van Meter Van Horn (dalam Winarno, 2011:167) menyatakan bahwa faktor-faktor ini mungkin mempunyai efek yang mendalam terhadap pencapaian badan-badan pelaksana.

6. Kecenderungan Pelaksana (Implementor)

Menurut Van Meter Van Horn (2011:168) berpendapat bahwa setiap komponen dari model yang dibicarakan sebelumnya harus disaring melalui persepsi-persepsi pelaksana dalam yuridiksi dimana kebijakan tersebut dihasilkan. Arah kecenderungan-kecenderungan pelaksana terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan juga merupakan suatu hal yang sangat penting. Para pelaksana mungkin gagal dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan dengan tepat karena mereka menolak tujuan-tujuan yang terkandung dalam kebijakan-kebijakan tersebut. Dan begitu sebaliknya, penerimaan terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan yang diterima secara luas oleh para pelaksana kebijakan akan menjadi pendorong bagi implementasi kebijakan yang berhasil.

2.3.1.2 Model Implementasi Kebijakan Menurut Merilee S. Grindle

Menurut Wibawa (1994:22, dalam Nugroho 2012:690) model Grindle ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilan ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Isi kebijakan tersebut mencakup hal-hal berikut:

1. kepentingan yang terpengaruhi kebijakan; 2. jenis manfaat yang akan dihasilkan;

3. derajat perubahan yang diinginkan; 4. kedudukan pembuat kebijakan; 5. pelaksana program;

6. sumber daya yang dikerahkan.

Sementara itu konteks implementasinya adalah:

1. kekuasaan, kepentingan dan startegi aktor yang terlibat 2. karakteristik lembaga dan penguasa

3. kepatuhan dan daya tanggap

Namun apabila kita mencermati model Grindle, kita dapat memahami bahwa keunikan model Grindle terletak pada pemahamannya yang komprehensif akan konteks kebijakan, khususnya yang mencakup tentang implementor, penerima implementasi dan arena konflik yang mungkin terjadi di antara para aktor implementasi, serta kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan.

2.3.1.3 Model Implementasi Kebijakan Menurut Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier

Mazmanian dan Sabatier (dalam Wahab, 2008:65) mengatakan bahwa implementasi kebijakan adalah sebagai berikut:

“memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan, yakni kejadian-kejadian dn kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat atau dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.”

Model ini dikenal pula dengan sebutan model kerangka analisis implementasi (A Framework for Implementation Analysis). Disini Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier membaginya menjadi tiga variabel yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. mudah tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan

3. pengaruh langsung sebagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijakan tersebut

Ketiga variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain dan masing-masing faktor dapat digambarkan sebagai berikut

Gambar 2.2 Model Implementasi Kebijakan Daniel Mazmanian dan Paul A.Sabatier Sumber : Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier dalam Wahab (2008:82)

Berdasarkan model implementasi kebijakan Daniel Mazmanian dan Paul A. yang dikutip Nugroho (2012:685) harus melakukan analisis terhadap tiga variabel yaitu:

A.Mudah/tidaknya masalah dikendalikan

Kesukaran-kesukaran teknis

Keragaman perilaku kelompok sasaran

Prosentase kelompok sasaran dibanding jumlah penduduk

Ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan

B.Kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses

implementasi

Kejelasan dan konsistensi tujuan

Digunakannya teori kausal yang memadai

Keterpaduan hierarki dalam dan di antara lembaga pelaksana

Aturan – aturan keputusan dari badan pelaksana

Rekruitmen pejabat pelaksana

Akses formal pihak luar

C.Variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi

Kondisi sosial ekonomi dan teknologi

Dukungan publik

Sikap dan sumber – sumber yang dimiliki kelompok-kelompok

Dukungan dari pejabat atasan

Komitmen dan kemampuan

kepemimpinan pejabat-pejabat pelaksana

D.Tahap-tahap Proses Implementasi

Output Kesediaan Dampak Dampak Perbaikan kebijakan kelompok nyata output mendasar badan- sasaran output kebijakan dalam badan mematuhi kebijakan sebagai undang-

pelaksana output diperepsi undang

a. Variabel independen, yaitu mudah atau tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki

b. Variabel intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hierarkis di antara lembaga pelaksana, aturan pelaksanaan dari lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana dan keterbukaan terhadap pihak luar, serta variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosial ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, serta komitmen dan dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana c. Variabel dependen, yaitu tahapan dalam proses implementsi dengan lima tahapan

seperti pemahaman dari lembaga atau badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana, kepatuhan objek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut dan akhirnya mengarah pada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut.

2.3.1.4 Model Implementasi Kebijakan Menurut George Edward III

Tahapan implementasi merupakan tahap yang krusial. Menurut Edwards (dalam Winarno, 2011:177)

“studi implementasi kebijakan adalah krusial bagi public administration dan public policy. Implementasi kebijakan adalah salah satu tahap kebijakan publik, antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang telah direncanakan dengan sangat baik, mungkin juga akan mengalami kegagalan, jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para

Berdasarkan kutipan tersebut maka ketepatan sasaran implementasi kebijakan merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan keberhasilan maupun kegagalan implementasi kebijakan. Begitu pula ketika kebijakan telah direncanakan dengan baik namun tidak diimplementasikan dengan baik pula oleh pelaksana kebijakan maka kebijakan tersebut dapat mengalami kegagalan. Model implementasi Edwards dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.3 Model Implementasi kebijakan George Edward III Sumber : George C. Edward dikutip Winarno (2011:211)

Dalam mengkaji implementasi kebijakan Edwards (dalam Winarno, 2011:177) memulainya dengan mengajukan dua buah pertanyaan yaitu prakondisi-prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil dan hambatan-hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal. Edwards berusaha menjawab dua pertanyaan penting ini dengan membicarakan empat faktor atau variabel krusial dalam implementasi kebijakan publik. Faktor-faktor atau variabel-variabel tersebut adalah komunikasi, sumber-sumber, disposisi atau sikap dan struktur birokrasi.

1. Komunikasi

Implementasi suatu kebijakan dapat berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggug jawab dalam pencapaian tujuan kebijakan. Edwards (dalam Nugroho, 2012:693)

Komunikasi Struktur Birokrasi Sumber sumber Kecenderungan – kecenderungan Efektivitas Implementasi

menjelaskan bahwa komunikasi berkenaan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan pada organisasi dan publik dan sikap serta tanggapan dari pihak yang terlibat. Menurut Edwards (dalam Winarno, 2011:178) membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan yaitu transmisi, konsistensi dan kejelasan (clarity).

Transmisi adalah faktor pertama yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan. Menurut Winarno (2011:179) sebelum pejabat mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Banyak sekali ditemukan keputusan-keputusan tersebut diabaikan atau jika tidak demikian, seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap keputusan-keputusan yang dikeluarkan.

Kejelasan merupakan faktor kedua yang berpengaruh dalam komunikasi kebijakan. Menurut Winarno (2011:180) ketidakjelasan pesan komunikasi yang disampaikan berkenaan dengan implementasi kebijakan akan mendorong terjadinya interprestasi yang salah bahkan mungkin bertentangan dengan makna pesan awal.

Konsistensi merupakan faktor ketiga yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan. Perintah yang diberikan dalam suatu komunikasi kebijakan haruslah konsisten dan jelas. Jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan. Menurut Winarno (2011:180) mengatakan bahwa perintah-perintah implementasi kebijakan yang tidak konsisten akan mendorong para pelaksana mengambil tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan mengimplementasikan kebijakan.

2. Sumber-sumber

Menurut Winarno (2011:184) mengatakan bahwa perintah-perintah implementasi mungkin harus dijelaskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan maka implementasi ini pun cenderung tidak efektif. Sumber-sumber yang penting meliputi staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang

diperlukan untuk menerjemahkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan pelayanan-pelayanan publik.

3. Disposisi atau sikap

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas implementasi kebijakan adalah sikap implementor atau pelaksana kebijakan. Menurut Edwards (dalam Winarno, 2011:197),

“kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan faktor ketiga yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan. Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu dan hal ini berarti ada dukungan, kemungkinan besar mereka melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pebuat keputusan awal. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku-tingkah laku atau perspektif-perspektif para pelaksana berbeda dengan para pembuat keputusan maka proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi

semakin sulit.”

Sikap pelaksana kebijakan dalam menyikapi suatu kebijakan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Kesamaan sudut pandang antara pelaksana dan pembuat kebijakan harus berjalan selaras agar implementasi kebijakan dapat dilakukan dengan baik. Apabila terdapat perbedaan pandangan antara pelaksana dan pembuat kebijakan maka akan membuat kebijakan menjadi semakin sulit.

4. Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi organisasi pelaksana kebijakan memiliki peran yang penting pada implementasi. Nugroho (2012:693) mengatakan bahwa struktur birokrasi berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggara implementasi kebijakan publik. Menurut Edwards (dalam Winarno, 2011:206) ada dua karakteristik utama birokrasi yaitu prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering disebut Standart Operating Procedures (SOP) dan fragmentsi. Edwards (dalam Winarno, 2011:208) mengatakan bahwa:

“SOP sangat mungkin menghalangi implementasi kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan. Di samping itu, semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang lazim dari suatu organisasi, semakin besar pula probabilitas SOP menghambat

implementasi.”

Sedangkan sifat kedua dalam struktur organisasi yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan adalah fragmentasi organisasi. Fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab suatu kebijakan kepada beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan koordinasi. Edwards (dalam Winarno, 2011:209) mengatakan bahwa konsekuensi paling buruk dari fragmentasi birokrasi adalah usaha untuk menghambat koordinasi. Para birokrat karena alasan-alasan prioritas dari badan yang berbeda mendorong para birokrat ini untuk berkoordinasi dengan badan-badan lain. Padahal, penyebaran wewenang dan sumber-sumber untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang kompleks membutuhkan koordinasi.

Dokumen terkait