• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebuntuan yang dilihat bersama. Negosiasi biasanya cenderung terjadi kalau kedua belah pihak melihat kebuntuan dengan cara yang sama, yang

sering disebut sebagai “skakmat yang menyakitkan”.

2. Menangkap “Peluang Kesempatan”. Kehadiran kebuntuan saja, saat itu, tidak cukup. Ia juga bisa menghasilkan jendela kesempatan, waktu yang “matang” untuk penyelesaian, akan tetapi waktu yang matang harus dikenali, ditangkap dan digunakan. Konflik yang sedang berlangsung harus secara konstan dievaluasi dan diamati untuk meyakinkan “jendela-jendela kesempatan” tidak hilang.

3. Pentingnya kepercayaan. Musuh tidak perlu jadi kawan. Tetapi negosiasi memang membutuhkan usaha kooperatif yang minimal.

4. Fleksibilitas. Proses negosiasi perlu tetap fleksibel. Terlalu banyak prakondisi akan menjadi hambatan bagi dialog.23

Guna memecah kebuntuan, IDEA memberikan beberapa teknik atau solusi. Diantaranya adalah dengan cara: Pertama, Membangun koalisi, yakni

22

Barash, D.P. dan Webel, C.P, 2002, Peace and Conflict Studies, London, SAGE Publications hal 283

23

Haris, P dan Reilly, B (Ed), 2000, Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan

untuk egosiator, Judul Asli Democracy and Deep-Rooted Conflict: Options for egotiators, Stockholm, Swedia, International IDEA hal 68.

membangun sebuah koalisi komitmen yang kuat antara semua pihak yang menganggap negosiasi penting. Kedua, Gunakan cara-cara tidak resmi yang dapat melengkapi dan kadang kala menggantikan sementara cara-cara resmi. Semakin banyak terdapat jalur tidak resmi, semakin mudah melanjutkan diskusi mengenai masalah yang dalam forum resmi tidak dapat dinegosiasikan secara terbuka. Ketiga, Subkelompok, Ketika halangan tertentu memacetkan negosiasi, sub-kelompok atau sub-komite dapat membicarakan masalah tersebut secara lebih terbuka, di luar formalitas.

Keempat, Mediasi ulang-alik, yakni Diskusi antara pimpinan sidang atau mediator dengan masing-masing pihak secara bergantian, sehingga memungkinkan proses penjelasan posisi tiap-tiap pihak mengenai masalah tertentu, mengkomunikasikannya secara akurat, dan mendefinisikan keinginan dan harapan tiap pihak mengenai masalah tersebut. 24

Dari sisi waktu dan peran, negosiasi bisa terjadi pada 3 tahapan. Pertama, diawal ketika konflik mulai menjadi isu. Kedua, ketika negosiasi menawarkan solusi dan atau resolusi. Dan ketiga, ketika terjadi krisis, atau ketika tahapan satu dan kedua gagal.

Menurut Marjorie Corman Aaron seperti dikutip oleh Arbono Lasmahadi, dalam melakukan negosiasi, seorang perunding yang baik harus membangun kerangka dasar yang penting tentang negosiasi yang akan dilakukannya agar dapat berhasil menjalankan tugasnya tersebut. Kerangka dasar yang dimaksud antara lain :

24

1. Apakah alternatif terbaik untuk menerima atau menolak kesepakatan dalam negosiasi ?

2. Berapa besar nilai atau penawaran minimum yang akan dapat diterima sebagai sebuah kesepakatan ?

3. Seberapa lentur proses negosiasi akan dilakukan dan seberapa akurat pertukaran yang ingin dilakukan

Untuk membangun kerangka dasar tersebut di atas, beberapa konsep penting yang harus dipahami oleh seorang negosiator, yaitu :

1. BATNA (Best Alternative to a Negotiated Agreement) = Pilihan terbaik dari hasil sebuah negosiasi.

2. WATNA (Worst Alternative to a Negotiated Agreement) = Pilihan terburuk dari hasil sebuah negosiasi.

3. ZOPA (Zone of Possible Agreement) = Zona dimana pihak-pihak yang berunding dapat merumuskan kesepakatan.

4. MLATNA (Most Likely Achievement to a Negotiated Agreement) = Hasil tertinggi yang dapat diperoleh dari sebuah negosiasi.

Mediasi merupakan salah satu alat yang sangat penting dalam proses penyelesaian perselesihan. Mediasi berasal dari kata Latin mediatio, yaitu suatu cara menyelesaikan pertikaian dengan menggunakan seorang pengantara (mediator). Mediator tidak mempunyai wewenang untuk memberikan keputusan yang mengikat; keputusannya hanya bersifat konsultatif. Pihak-pihak yang bersengketa sendirilah yang harus mengambil keputusan untuk menghentikan perselisihan.

Pada fenomena konflik Pilkada di Aceh yang menjadi penelitian ini, walaupun pada akhirnya proses pelaksanaan pilkada melalui jalur hukum, yakni keputusan Mahkamah Konstitusi sebagai dasar dan pijakan Komite Independen Pemilihan (KIP) Aceh dalam menjalankan penyelenggaraan Pilkada, namun, proses negosiasi dan mediasi dilaksanakan sedemikian rupa. Sehingga dicapai sebuah hasil kompromi yang win-win solution.

1.4.2 'egosiasi pada era ‘post-conflict’

Kesepakatan Damai atau Nota Kesepahaman Perdamaian atau dikenal dengan Memorandum of Understanding (MoU) antara pihak yang bertikai bukan berati segalanya selesai. Benar bahwa MoU dijadikan momentum berakhirnya konflik, namun MoU hanya sebagai pintu gerbang menuju perdamaian yang ‘sebenarnya’. Masih ada tugas yang sangat berat pada masa pasca MoU (post-conflict peacebuilding)25.

Bisa jadi benar apa yang diungkapkan oleh seorang ahli strategi militer dari zaman Presia, Carl Philip Gottfried von Clausewitz bahwa To secure peace is to prepare for war. Perang dan damai merupakan pasangan abadi dari sebuah keping mata uang. Keberadaan yang satu menyiratkan keberadaan yang lain di sisi

25

. Anggoro, Kusnanto, 2009, Pengantar pada jurnal, POST-COFLICT PEACEBUILDIG, Naskah Akademik untuk Penyusunan Manual. Editor T Hari Prihatono, Jakarta, ProPatria Institute, hal 4.

< http://www.propatria.or.id/loaddown/Naskah%20Akademik/4_companion-2_academic%20paper_manual_pcpb%20edit%20kritik%20dan%20sarannya.pdf.> (diakses 22 Agustus 2010). Dalam penelitian ini istilah yang akan digunakan adalah

post-conflict peacebuilding. Namun dalam beberapa redaksional lain menggunakan

istilah Pasca-Konflik. Atribusi “post-konflik” pada istilah “post-conflict peacebuilding” baru muncul pada akhir 1990-an. Sebelum itu, tahapan setelah dicapainya persetujuan damai disebut secara luas sebagai “peacebuilding”, yang bersama dengan peacemaking (peace enforcement) dan peacekeeping, merupakan bagian penting dari strategi resolusi konflik.

sebaliknya. Sebuah perdamaian meski dianggap bagai jembatan emas menuju kebahagiaan, mesti diwaspadai akan kerapuhannya yang dapat berbalik menjadi pertikaian yang berdarah-darah.26

Dengan mengutip sejumlah sumber, Rizal Sukma melansir sebuah kenyataan yang kerap mengganggu bagi mereka yang terlibat dan bertanggungjawab atas penyelenggaraan post-conflict peacebuilding. Menurut Rizal, fakta menyebutkan bahwa sekitar 50 persen konflik yang telah diselesaikan secara politik, terulang kembali dalam kurun waktu sepuluh tahun. Sementara itu, berbagai hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sekitar 30 persen konflik kembali terjadi dalam kurun waktu lima tahun. Doyle dan Sambanis bahkan menemukan bahwa untuk periode 1945-1999, sekitar 30 persen konflik kembali terjadi hanya dalam kurun waktu dua tahun. Data demikian menunjukkan bahwa berakhirnya sebuah konflik tidak secara otomatis melahirkan sebuah perdamaian.27

Dalam kajian lain, bahaya yang lebih besar mengancam jika perjanjian yang telah dicapai tidak dapat dipertahankan, daripada jika ia tidak pernah dicapai sama sekali. Konsekuensi kegagalan mungkin menyebabkan hilangnya

26

LIPI Press, 2006, Editorial Jurnal; “Ambiguitas Perdamaian”, Pusat Penelitian Politik, Year Book 2006, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, LIPI Press, Jakarta, Hal v

27

Sukma, Rizal, 2009, “Stabilisasi dan Pemulihan Pasca Konflik” dalam POST-COFLICT

PEACEBUILDIG, Naskah Akademik untuk Penyusunan Manual, Editor T Hari

kepercayaan dan saling menyalahkan antar pihak-pihak yang ada. Kondisi seperti ini akan mengacaubalaukan seluruh proses (implementasi). 28

Ancaman kembalinya konflik kekerasan merupakan hantu yang amat menakutkan. Dalam berbagai kajian disebutkan bahwa kembalinya konflik kekerasan (conflict reemergence, conflict relapse) membawa konsekuensi yang kerap kali tak tertanggungkan. Selain konsekuensi fisik, misalnya jatuhnya korban yang tidak perlu, kembalinya konflik dipastikan memperkeruh suasana, menghapus kesalingpercayaan, dan kian mengguratkan luka yang semakin dalam. Akumulasi dari sejunlah persoalan itu menyebabkan konflik seringkali memasuki ruang baru yang lebih menjauhkan tujuan-tujuan perdamaian jangka panjang. 29

Ted Robert Gurr menegaskan bahwa kesepakatan damai biasanya mampu meredam konflik bersenjata, namun pertikaian dapat terus berlangsung selama waktu implementasi kesepakatan atau sampai beberapa tahun setelah itu. Konflik bersenjata dapat terus berlangsung dan berkepanjangan bahkan setelah kesepakatan damai ditandatangani. 30

28

Carlos Santiso, Peter Harris, dan David Bloomfield, 2000, “Memelihara Perjanjian Perdamaian”, dalam Peter Harris dan Ben Reilly (Ed), op cit, Hal 347. Dalam kajian IDEA ada beberapa contoh yang dikemukakan. Misalnya di Anggola dimana konsekuensi dari kegagalan Persetujuan Bicesse, ketika Jonas Savimbi menolak untuk menerima hasil pemilihan umum pertama pasca-konflik pada tahun 1992 dan mengumumkan perang sebagai usaha untuk memperoleh kekuasaan dengan kekuatan senjata, menyebabkan kematian 300.000 penduduk. Contoh lain di Rwanda pada tahun 1994, dimana ekstrimis Hutu menolak perjanjian damai Arusha; konsekuensinya adalah pembantaian massal sekitar satu juta penduduk Rwanda.

29

Kusnanto Anggoro, op cit, hal 6 30

Gurr, Ted Robert, 2000, The Challenge of Resolving Ethnonational Conflicts, dalam Peoples

versus States, Minorities at Risk in the ew Century, Washington, D.C, United States

Intitute Of Peace Press, hal 197. Ada sejumlah contoh yang dikemukakan oleh Gurr. Kelompok Basque di Spanyol, misalnya. Mereka telah memperoleh perluasan wilayah otonomi regional, namun separatis ETA tetap melanjutkan aksi teror mereka dalam

Dalam penelitian itu Gurr berkesimpulan konflik bersenjata bisa berlangsung dan kembali terjadi pada 13 dari 30 negara yang mengalami konflik dimana para tokoh/pihak yang bertikai menganggap mereka telah mencapai kesepahaman. Resiko adanya pemberontakan baru akan semakin serius bilamana kesepakatan/perjanjian damai yang baru dicapai tidak secara penuh diimplementasi. 31

Dalam studinya, Dan Smith mengidentifikasikan empat penyebab utama pengulangan konflik. Pertama, konflik terulang kembali karena tidaknya adanya kesungguhan dari pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaikan konflik. Kedua, karena adanya kekecewaan dari salah satu atau lebih pihak yang bertikai ketika apa yang diharapkannya dari perdamaian tidak tercapai. Misalnya, ada pihak yang bersedia menandatangani penghentian konflik bersenjata karena yakin akan menang dalam pemilu. Namun, ketika harapan itu tidak terwujud, maka pihak tersebut akan kembali memulai konflik bersenjata. Alasan ketiga adalah perpecahan internal dalam salah satu kelompok yang bertikai, yang kemudian melahirkan kelompok sempalan, yang terus melanjutkan konflik bersenjata.

tuntutan untuk merdeka secara penuh sampai dengan tahun 1998. Di akhir tahun 1999, dalam penelitian Gurr tersebut ditemukan 4 dari 30 negara mengalami konflik dikarenakan adanya kelompok yang memberontak yang menolak implementasi kesepakatan (MoU), seperti di Palestina dan kelompok militan pro Indonesia di Timor Leste. Di sejumlah negara lainnya, konflik senjata masih terus terjadi bahkan sampai 10 (sepuluh) tahun tercapainya kesepahaman atau perjanjian damai. Konflik di Philipina Selatan, misalnya. Disana ada kelompok pergerakan yang memberontak menuntut adanya implementasi secara penuh terhadap kesepakatan damai di tahun 1996 yang sebetulnya telah disepakati oleh kebanyakan masyarakat muslim di Mindinao. Contoh lain di Sudan, kesepakatan yang dicapai mampu berlangsung damai selama 1 dekade, namun, selanjutnya terjadi pemberontakan baru.

31

Alasan keempat adalah tidak tertanganinya penyebab utama konflik yang bersifat struktural, seperti ketidakadilan dan kemiskinan. 32

Ukuran keberhasilan masa post-conflict masih menjadi perdebatan diantara para pengamat. Praktek internasional yang hanya memberi waktu sekitar 2-3 tahun kerapkali dianggap tidak cukup untuk membuahkan perubahan sosial politik yang kondusif untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Roland Paris menyarankan ”dua kali siklus pemilihan umum”,atau antara 8-10 tahun.33

Dalam analisis Kusnanto Anggoro, tak ada rentang waktu pasti tentang hal ini, kecuali untuk sekedar ancangan dalam menyusun program-program kerja. Kurun waktu 3-7 tahun adalah periode yang ditetapkan sebagai masa yang cukup memadai untuk menyelanggarakan post-conflict peacebuilding karena sejumlah alasan. Pertama, pengalaman dari proses resolusi konflik kekerasan yang terjadi di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa periode tersebut merupakan periode yang paling rawan terhadap kemungkinan terjadinya kembali konflik kekerasan (conflict relapse). Kedua, dari segi dinamika politik, tahun ke-3 dan tahun ke-7 merupakan median dari dua siklus pemerintahan yang berurutan; sehingga memburuknya suasana, kalau terjadi, seharusnya dapat diantisipasi dengan berbagai kebijakan politik. Pilihan apakah rejim postconflict peacebuilding akan lebih mengedepankan pendekatan keamanan atau pendekatan politik harus ditetapkan melalui proses itu. 34

32

Rizal Sukma, op cit, hal 57 33

Kusnanto Anggoro, op cit, hal 7 34

Sejumlah analisa yang dikemukakan diatas sangat relevan dengan apa yang terjadi di Aceh saat ini. Baik tentang rentannya konflik berulang pasca-MoU terjadinya konflik di internal Gerakan Aceh Merdeka (GAM), maupun prediksi waktu munculnya konflik, yakni satu kali putaran pemilu, atau sekitar 6 (enam) tahun. Perang ‘statement’ antara dua kubu yang pro dan kontra calon perseorangan, antara daerah (Aceh) dan pusat, munculnya gerakan adu kekuatan berupa penggalangan massa, ancaman menginternasionalisasi konflik dengan mengadukan ke Uni Eropa, bahkan munculnya korban jiwa menjadi indikator jelas bahwa konflik (baru) terjadi kembali.

Contoh ‘perang statement’ tersebut adalah mantan GAM mengatakan bahwa untuk kesekian kalinya pemerintah pusat melakukan kebohongan (seperti halnya pada konflik-konflik sebelumnya yang terjadi di Aceh- pra Gerakan Aceh Merdeka 1976) dan tidak berkomitmen terhadap kesepakatan damai MoU Helsinki. Disisi lain, pemerintah pusat menganggap DPRA (yang didominasi oleh mantan GAM) tidak menghormati konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Mencermati siklus konfik yang rentan terjadi di wilayah bekas konflik, maka dibutuhkan proses negosiasi jika diantara pihak-pihak yang terlibat dalam mengisi perdamaian masih terjadi perbedaan yang berujung pada munculnya konflik baru. Pendekatan negosiasi secara tertutup dan rahasia menjadi salah satu solusinya.

1.4.3 'egosiasi dan Kekerasan

Kekerasan baik yang terjadi secara nyata maupun sebagai sebuah ancaman menjadikan alat yang efektif untuk mendatangkan kepatuhan. Pesan yang terkandung dalam di dalam ancaman berisi informasi yang lebih banyak mengenai konsekuensi yang akan terjadi 35. Dengan kata lain, munculnya kekerasan dan ancaman sebagai bagian dari bargaining dalam melakukan negosiasi.

Mengutip pendapat Pilar dan Aggestam & J nsson, Kristine Hoglund mengatakan bahwa berakhirnya perang dapat dilihat sebagai proses tawar-menawar. Ada tiga hal yang dikemukakan oleh Hoglund tentang kekerasan dan negosiasi. Pertama, insiden kekerasan dapat mempengaruhi proses negosiasi. Tindakan kekerasan dapat menyebabkan salah satu pihak untuk menarik atau melanjutkan mendukung negosiasi. Misalnya, pada Juni 1992, Kongres Nasional Afrika (ANC) memutuskan hubungan resmi dengan pemerintah dalam menanggapi pembantaian ANC-pendukung di Boipatong di selatan Transvaal. Akibatnya, pembicaraan di Afrika Selatan hanya bisa dilanjutkan setelah keterlibatan PBB dan kekerasan tambahan.

Kedua, kekerasan dapat mempengaruhi pihak yang sedang bernegosiasi. Bom yang meledak di kota Omagh, Co Tyrone, Irlandia Utara pada tanggal 15 Agustus 1998 dimana kelompok IRA mengakui bertanggung jawab atas serangan tersebut, memberikan ilustrasi contoh ketika kedua belah pihak bereaksi terhadap insiden kekerasan. Bom tersebut menewaskan 29 orang dari kedua komunitas.

35

Pruitt, D.G. dan Rubbin, J.Z, 2004, Teori Konflik Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hal 122-123.

Akibatnya kedua belah pihak bergabung untuk mengutuk serangan itu. Selain itu, Pemerintah Inggris dan Irlandia menanggapi pemboman tersebut sebagai langkah bersama untuk melawan terorisme.

Ketiga, kekerasan dapat mempengaruhi keterlibatan aktor eksternal untuk negosiasi. Meskipun aktor eksternal mungkin tidak terlalu berpengaruh, namun pengaruh mereka secara tidak langsung dapat melemahkan atau memperkuat proses perdamaian dengan menarik atau meningkatkan dukungan untuk negosiasi36.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kekerasan didefiniskan sebagai perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Dalam kompleksitas motivasi manusia, Menurut T. Robert Gurr, seorang pakar resolusi konflik mengatakan bahwa para neurofisiologis menemukan dua sistem hasrat (appetitive system) besar sebagai pembentuk motivasi yang terjadi pada manusia.

Pertama stimulasi yang menghasilkan perasaan gembira, kepuasan, dan cinta. Kedua, stimulasi yang menghasilkan sensasi kecemasan, teror, depresi, dan kemarahan. Perasaan-perasaan ini mewarnai persepsi manusia dan mendorong tindakan-tindakannya. Frustasi yang dialami manusia kemungkinan akan menimbulkan tindakan agresi. Hubungan frustasi-agresi menyebabkan terjadinya

36

Kristine Hoglund , 2001, “VIOLENCE—CATALYSTOROBSTACLETOCONFLICT RESOLUTION?SEVENPROPOSITIONSCONCERNINGTHEEFFECTOF VIOLENCEONPEACENEGOTIATIONS”

<http://www.pcr.uu.se/sdigitalAssets/18/18597_UPRP_No_3.pdf>, (diakses 3 Oktober 2012).

dinamika psikologis untuk hubungan antara intensitas deprivasi dan potensi bagi kekerasan kolektif. Deprivasi relatif (relative deprivation) menurut Gurr adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan ketegangan yang terjadi akibat suatu kesenjangan antara yang harus menjadi (ought) dan yang menjadi (is) dalam kepuasan nilai kolektif, dan yang mendorong manusia untuk melakukan kekerasan37.

Dengan kata lain Gurr hendak mengatakan bahwa penyebab utama terjadinya kekerasan adalah karena ketidakpuasan. Sementara Johan Galtung menyimpulkan bahwa kekerasan adalah segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensinya secara wajar. Galtung menambahkan bahwa penghalang itu adalah sesuatu yang dapat dihindarkan. Dengan kata lain, kekerasan dapat dihindarkan kalau penghalang itu disingkirkan38.

Lebih detail lagi Johan Galtung (1981), mengelompokkan kekerasan menjadi empat bagian.

1.4.3.1 Kekerasan langsung (direct violence): Tindakan yang menyerang secara fisik atau psikologis seseorang secara langsung. Dengan kata lain, kekerasan yang terjadi berupa kontak langsung antara pelaku

37

Thomas Susanto (ed), 2002, Teori-Teori Kekerasan, Jakarta: Ghalia Indonesia dan Universitas Kristen Petra, hal. 64 dan 65.

38

Galtung, Johan, 1980, The True Worlds: A Transnational Perspective, New York, The Free Press, Hal 67, dikutip dari Bambang Suswanto, Sunyoto Usman, dan Lambang Trijono, dalam “Kerusuhan Sosial: Kasus Pemilihan Kepala Desa Sirau Purbalingga”. Program Studi Ketahanan Nasional Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Jurnal Sosiohumanika, nomer 3, Volume XIII, Tahun 2000. Hal, 546. <

dan korban. Kekerasan ini meliputi pemusnahan etnis, kejahatan perang, pengusiran paksa, serta perkosaan dan penganiayaan. Kekerasan langsung mengancam HAM, khususnya hak untuk hidup.

1.4.3.2 Kekerasan tak langsung (indirect violence); Tindakan yang membahayakan manusia, bahkan sampai membunuh, namun tidak melibatkan hubungan langsung antara korban dan pihak (orang, masyarakat atau institusi) yang bertanggung jawab atas tindakan kekerasan tersebut. Dalam arti kekerasan yang terjadi melalui sebuah mendium, tidak secara langsung mengenai korban baik secara fisik maupun psikologis.

Ada dua jenis kekerasan tak langsung.

1. Kekerasan karena kelalaian (violence by ommision) Yakni kekerasan yang menyebabkan seseorang dalam bahaya dan tidak ada orang yang menolongnya. Jenis kekerasan ini meliputi kekerasan sosial (misalnya distribusi makanan yang tidak merata) dan ’kekerasan bisu’ (misalnya kelaparan). 2. Kekerasan perantara (mediated violence). Yakni kekerasan

yang merupakan hasil dari intervensi manusia secara sengaja terhadap lingkungan alam atau sosial yang membawa pengaruh secara tidak langsung pada manusia lain. Salah satu bentuk kekerasan perantara yaitu ecocide (tindak penghancuran, mengganggu dan perusakan lingkungan alam karena

mengganggu kesehatan, menyebabkan manusia menderita dan sengsara.

1.4.3.3 Kekerasan represif; Kekerasan yang dilakukan dengan mengekang kebebasan hak-hak seseorang, yang meliputi pencabutan hak-hak dasar selain hak untuk hidup dan hak untuk dilindungi dari kecelakaan. Kekerasan represif terkait dengan tiga hak dasar, yaitu hak sipil, hak politik dan hak sosial.

1.4.3.4 Kekerasan alienatif; Kekerasan yang mengakibatkan seseorang terasingkan dengan lingkungannya. Mencakup pencabutan hak-hak individu yang lebih tinggi, misalnya hak perkembangan emosional, budaya atau intelektual. Jenis kekerasan ini penting untuk menegaskan bahwa keberadaan manusia juga membutuhkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan non-materi. Salah satu bentuk kekerasan ini adalah ethnocide, yaitu kebijakan atau tindakan yang betul-betul mengubah kondisi material atau sosial menjadi di bawah satu identitas kultural kelompok tertentu. 39

Analisa lain tentang kekerasan adalah dari Don R. Bowen dan Louis H. Masotti. Menurutnya kekerasan sipil (civil violence) adalah suatu kekerasan yang bertujuan untuk melakukan perlawanan secara langsung terhadap orang-orang, barang-barang yang merupakan simbol-simbol dari politik pemerintahan sipil.

39

Nugroho, Amar Benni, 2011, < http://amarbenninugroho.blogspot.com/2011/11/jenis-jenis-kekerasan.html.> (diakses 8 Januari 2012).

Ada dua hal yang menjadi penyebab kekerasan sipil ini. Pertama, perasaan tidak puas antara apa yang diperoleh dengan apa yang dicita-citakan atau apa yang diharapkan tidak sesuai. Dengan kata lain, ada jarak atau perbedaan antara kenyataan dengan keinginan. Kedua, adanya konflik kelompok yang merupakan hasil dari perjuangan kelompok dalam masyarakat, sehingga menimbulkan perpecahan dalam masyarakat. Seperti etnis, ras, agama, pembagian wilayah, kepemimpinan dan sebagainya.

Sikap saling menyerang satu sama lain merupakan cermin perbedaan sosial yang menimbulkan kekerasan sipil. Dengan adanya konflik antar kelompok, maka kekerasan menjadi semakin meningkat. Dan Penyebab yang mendasar kekerasan sipil adalah adanya pemerintahan yang kehilangan legitimasi. Kalaupun legitimasi itu masih ada, maka kekerasan sipil yang ada berupa kerusuhan sosial. Untuk menyelesaikan kekerasan sipil ini, pemerintah harus memiliki kapasitas sistem yang berhubungan dengan kemampuan untuk merespon kekerasan sipil ini dengan kekuatan melakukan perubahan 40.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dibatasi pada dua aspek. Pertama; dari sisi waktu, rentang penelitian ini adalah 30 Desember 2010 sampai dengan 7 Maret 2012 atau 434 hari. Hal ini didasarkan pada waktu dikabulkannya calon perseorangan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 30 Desember 2010 hingga 7 Maret

40

2012 sebagai keputusan resmi KIP menetapkan pasangan dari Partai Aceh ikut dalam Pemilihan Kepala Daerah Aceh 2012.

Kedua; dari sisi cakupan, walaupun hasil keputusan MK dan Keputusan KIP berlaku untuk pemilihan kepala daerah untuk propinsi dan kabupaten kota/kota se Aceh, namun penelitian ini dibatasi hanya untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh.

1.6 Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis dan metode deskriptif kualitatif yang bertujuan menggambarkan realitas sosial yang kompleks dengan menerapkan konsep-konsep teori yang telah dikembangkan oleh ilmuwan sosial. 41

Dilihat dari segi pengumpulan data, penelitian ini dapat digolongkan sebagai penelitian lapangan (field research) yang dilakukan dengan mengamati secara langsung terhadap gejala sosial yang diteliti dengan teknik sampel bertujuan (purposive sampel) dengan cara wawancara, dan mengkaji data sekunder berupa literatur seperti buku, makalah atau dokumen.

Dalam penelitian ini teknik validitas data yang digunakan adalah teknik

Dokumen terkait