B. Kecemasan pada Penderita Fobia Kucing (Ailurophobia) 1. Kecemasan
3. Kecemasan Fobia dalam Tinjauan Islam
Fobia dalam tinjauan Islam termasuk dalam gangguan cemas (khauf), sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Baqarah (2): 38-39
لاَو ْمِهْيَلَع ٌفْوَخ لاَف َياَدُى َعِبَت ْنَمَف ىًدُى ِّنِِّم ْمُكَّنَ يِتْأَي اَّمِإَف اًعيَِجَ اَهْ نِم اوُطِبْىا اَنْلُ ق
َنوُنَزَْيَ ْمُى
.
ِئَلوُأ اَنِتاَيآِب اوُبَّذَكَو اوُرَفَك َنيِذَّلاَو
َنوُدِلاَخ اَهيِف ْمُى ِراَّنلا ُباَحْصَأ َك
Artinya: “Kami berfirman: "Turunlah kamu semua dari surga
itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati". Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”99
Kata khauf (takut) disebut secara beriringan dengan kata huzn dalam bentuk negatif dalam Al-Qur‟an sebanyak 16 kali. kata
khauf berarti kondisi hati tidak tenang terkait perkara dimasa
datang. Khauf berbeda dengan khasyyah, khasyyah adalah rasa takut karena kebesaran dan keagungan sesuatu yang ditokohkan, sedangkan khauf terjadi akibat lemahnya mental walaupun yang ditakuti sesuatu yang sepele. Sedangakan kata yahzanun terambil
98 Ibid., h. 35-38
99
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Al-Qur’an dan Tafsirnya. (Jakarta: Kementreian Agama RI, 2012), Jil;id 1, h. 88-89
dari kata hazn atau huzn yang berarti sedih. Sedih adalah kondisi
hati tidak tenang berkaitan dengan perkara dimasa lampau.100
Menurut Ibnul Qayyim, individu yang mengalami khauf merespon dengan menghindar dan menjauhi objek yang ditakuti, sedangkan individu yang mengalami khasyyah bereaksi dengan pengetahuan dan mendekati penyakit dengan penelitian dan
percobaan dengan menggunakan obat-obatan atau terapi.101
Al Qusyairi menegaskan bahwa khauf sangat berpengaruh pada masa depan. Ia berkata, khauf adalah sebuah makna yang berhubungan dengan masa depan, karena orang yang bersangkutan takut melakukan sesuatu yang tidak disukai atau takut melewatkan sesuatu yang disukai, dan semua itu hanya dapat terjadi di masa depan.102
Cemas (khauf) merupakan ungkapan derita batin (hati) dan kegundahan karena ada sesuatu yang tidak disukai akan terjadi pada dirinya. Individu yang takut atau cemas dalam kategori ini disebabkan karena mengikuti bisikan syetan yang menebarkan benih-benih kecemasan diantara umat manusia.103 Hal ini telah dijelaskan Allah Swt dalam ayat berikut:
َينِنِمْؤُم ْمُتْنُك ْنِإ ِنوُفاَخَو ْمُىوُفاََتَ لاَف ُهَءاَيِلْوَأ ُفِّوَُيُ ُناَطْيَّشلا ُمُكِلَذ اََّنَِّإ
Artinya: “Sesungguhnya hanya setanlah yang menakut-nakuti
para pengikutnya. Karena itu, janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar beriman”. (QS. Ali Imran (3): 175)104
Pikiran buruk dan ide buruk datangnya dari setan yang kemudian terefleksikan dalam perilaku buruk. Namun, bukan
100 Ibid.,
101 Ibid., h. 89
102 M. Fathullah Gulen, Tasawuf Untuk Kita Semua, (Jakarta: Republika Penerbit, 2013).
h. 79
103 Sri Rejeki, Psikologi Abnormal Tinjauan Islam, (Semarang: CV Karya Abadi Jaya,
2015), h. 79-80
104
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Al-Qur’an dan Tafsirnya. (Jakarta: Kementreian Agama RI, 2012), Jilid 2, h. 78
berarti perilaku tersebut dilakukan oleh syetan. Perilaku timbul karena suatu stimulus, setan mempergunakan setiap kesempatan yang ada untuk menanamkan ide dan pikirannya dalam diri manusia, hingga kemudian kelak akan menjadi pandangan dan
diejawentahkan dalam bentuk perilaku.105
Dapat disimpulkan bahwa setan ikut masuk dalam diri individu bersamaan dengan berbagai stimulus yang muncul dari peristiwa-peristiwa yang dialami individu. Dalam keadaan seperti inilah setan membisikkan segala ide buruknya untuk mendorong individu melakukan perilaku menyimpang. Lalu, kemudian setan pun mulai melemparkan pikiran dan prasangka buruk pada individu.
Sedangkan faktor penyebab kecemasan fobia dalam tinjauan Islam, antara lain:
a.
Faktor hati yang sakit (qalbun maridl)Ibnu Faris mendefinisikan “qalbun maridl” sebagai segala sesuatu yang mengakibatkan manusia bertindak melampaui
batas keseimbangan atau kewajaran, sehingga
mengantarkannya kepada gangguan fisik, mental, bahkan
kepada tidak sempurnanya amal seseorang.106
Menurut Al-Ghazali, individu yang memiliki “qalbun
maridl” adalah individu yang tidak memiliki ke-i’tidal-an
(keseimbangan) jiwa dalam berperilaku (tercela). Individu yang memiliki “qalbun maridl” itu buruk akhlaknya, seperti bersifat nifak, berlebih-lebihan dalam bicara, marah, iri, dengki, sombong, dan ghurur. Sifat-sifat tercela ini dapat membawa
kepada ketidakseimbangan qalbu.107
Dengan demikian, perilaku abnormal merupakan pengaruh dari ketidakseimbangan qalbu. Qalbu yang baik akan
105
M. Izzudin Taufiq, At-Ta’shil al-Islami lil Dirasaat an-Nafsiyah, terj. Sari Narulita, Panduan Lengkap dan Praktis Psikologi Islam, (Depok: Gema Insani, 2006), h. 514
106 Rejeki, Psikologi Abnormal..., h. 118
membentuk kepribadian yang baik dan membentuk mentalitas yang baik pula. Sebaliknya, qalbu yang buruk akan membentuk kepribadian yang buruk sehingga membentuk perilaku abnormal.
b. Faktor syahwat dan hawa nafs
Selain qalbu yang berpengaruh terhadap kepribadian individu, Allah Swt. juga menjadikan syahwat dan hawa nafsu sebagai bagian dalam diri individu, serta menciptakan setan yang selalu membisikkan keraguan, pikiran, dan prasangka buruk sehingga berpengaruh terhadap perilaku individu dalam bereaksi terhadap peristiwa-peristiwa yang dialaminya.
Kondisi jiwa (nafs) yang buruk akan memengaruhi emosi, pikiran, dan perasaan yang pada akhirnya menimbulkan ketidaktenangan psikologis. Ketidaktenangan itu pada akhirnya
akan menjelma pada perilaku-perilaku abnormal dan
menyelewengan dengan norma-norma yang berlaku secara
umum.108
Sebagaimana halnya di atas, maka dapat disimpulkan bahwa fobia (khauf) merupakan kondisi jiwa yang lemah berupa kegundahan dan derita batin (hati) terhadap sesuatu yang tidak disukai dan merespon dengan menghindar atau menjauhi objek tersebut, sehingga menjadi perilaku yang menetap.
Fobia (khauf) menurut al-Ghazali disebabkan oleh
ketidakseimbangan qalbu (hati). Selanjutnya, al-Ghazali dalam bukanya Ihya’ Ulumuddin sebagaimana dikutip oleh Netty Hartati,
et,al mengungkapkan metode al-Ghazali dalam mengobati
penyakit hati. Metode itu adalah perilaku yang berlawanan dengan keinginan dan kecenderungan jiwa. Terapi akhlak atau perilaku yang buruk adalah dengan memaksakan diri melakukan peilaku atau akhlak yang baik dan bertentangan dengan yang hendak
diobati, serta terus melakukannya sehingga menjadi sebuah kebiasaan dan tabiat.109
Jika akhlak buruk bersifat menetap atau kuat didalam perilaku. Al-Ghazali memeberikan solusi untuk menerapkan metode
at-tadrij (bertahap) dalam mengobatinya, yaitu dengan memindahkan
si individu dari akhlak yang buruk menuju akhlak lain yang lebih ringan dan terus seperti itu sehingga akhirnya ia terbebas dari akhlak buruk. Dengan metode ini, atau perilaku buruk akan hilang
dan digantikan dengan akhlak atau perilaku yang baik.110
C. Hubungan Terapi Desensitisasi Sistematik dengan Dzikir Terhadap