• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 3 BAHAN DAN METODE

3.5. Pengukuran Faktor Fisika Kimia Perairan

3.5.4. Kecepatan Arus Air

3.5.4. Kecepatan Arus Air

Pengukuran kecepatan arus air dilakukan menggunakan bola pingpong, dengan cara menghanyutkan bola pingpong pada jarak tertentu (10 m) di permukaan air. Kemudian dengan menggunakan stopwatch dihitung waktu yang ditempuh oleh bola pingpong pada jarak yang sudah ditentukan tersebut (Barus, 2004).

3.5.5. pH (derajat Keasaman)

Nilai pH diukur dengan menggunakan pH-meter dengan cara memasukkan pH-meter ke dalam sampel air yang diukur selanjutnya angka yang tertera pada display stabil, langsung dibaca dan angka tersebut menunjukkan nilai pH air yang diukur pada pH-meter tersebut (Barus, 2004).

3.5.6. DO (Disolved Oxygen)

DO diukur dengan menggunakan metode winkler dengan prosedur sebagai berikut: botol winkler diisi dengan air sampel yang hendak diukur nilai oksigen terlarutnya hingga penuh, ke dalam botol winkler kemudian ditambahkan 1 ml mangan sulfat diikuti dengan 1 ml larutan KOH-KI. Botol winkler ditutup dan dibolak balik secara perlahan-lahan, sampai terbentuk endapan berwarna putih/coklat, kemudian diberi larutan 1 ml asam sulfat pekat lalu botol winkler kembali dibolak balik secara perlahan-lahan sehingga didapatkan larutan warna coklat. Ambil larutan dari botol winkler tersebut dengan 100 ml dan dimasukkan kedalam erlenmeyer, dititrasi dengan menggunakan larutan 0,0125 N NaS2O3

sampai warna larutan berwarna kuning pucat, tambahkan sebanyak 3 tetes amilum sehingga larutan berwarna biru. Kemudian dilakukan titrasi dengan larutan 0,0125 N NaS2O3 hingga warna biru hilang secara sempurna atau berwarna bening dan

terakhir menghitung volume NaS2O3 yang terpakai yang merupakan nilai DO akhir dimana setiap 1 ml larutan titrasi yang digunakan setara dengan 1 ml O2

dalam 1 liter air sampel (Suin, 2002 ; Barus, 2004). (Lampiran A).

3.5.7. BOD5(Biochemichal Oxygen Demand)

Pengukuran BOD dilakukan dengan mengambil sampel air yang akan diukur nilai BOD dimasukkan kedalam botol winkler dan disimpan selama 5 hari pada temperatur konstan 20 0C, setelah 5 hari dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: botol winkler diisi dengan air sampel yang hendak diukur nilai oksigen terlarutnya hingga penuh, ke dalam botol winkler ditambahkan 1 ml MnSO4

diikuti dengan 1 ml larutan KOH-KI. Botol winkler ditutup dan dibolak balik secara perlahan-lahan, sampai terbentuk endapan berwarna putih/coklat, kemudian diberi larutan 1 ml H2SO4 pekat lalu botol winkler kembali dibolak balik secara perlahan-lahan sehingga didapatkan larutan warna coklat. Ambil larutan dari botol winkler tersebut sebanyak 100 ml dan dimasukkan kedalam erlenmeyer, dititrasi dengan menggunakan larutan 0,0125 N NaS2O3 sampai warna larutan berwarna kuning pucat dan tambahkan sebanyak 3 tetes amilum sehingga larutan berwarna biru. Kemudian lakukan titrasi dengan larutan 0,0125 N NaS2O3 hingga warna biru hilang secara sempurna atau berwarna bening dan terakhir menghitung volume NaS2O3 yang terpakai yang merupakan nilai DO akhir dimana setiap 1 ml larutan titrasi yang digunakan setara dengan 1 ml O2 dalam 1 liter air sampel. Selisih nilai DO yang diperoleh antara saat awal dan akhir adalah merupakan nilai BOD5 dari sampel air tersebut (Suin, 2002 ; Barus, 2004). (Lampiran B)

3.5.8.Kandungan Nitrat (NO3)

Sampel air diambil sebanyak 5 ml, kemudian ditetesi dengan 1 ml NaCl selanjutnya ditambahkan 5 ml H

2SO

4 dan 4 tetes asam Brucine Sulfat Sulfanik. Larutan ini dipanaskan selama 25 menit pada suhu 950C kemudian didinginkan, kandungan nitrat dapat diukur dengan spektrofotometri pada γ = 410 nm (Suin, 2002). (Lampiran C)

3.5.9.Kandungan Fosfat (PO43-)

Sampel air diambil sebanyak 5 ml, kemudian ditetesi dengan reagen Amstrong sebanyak 2 ml ditambahkan n 1 ml asam askorbat. Larutan didiamkan selama 20 menit kemudian konsentrasi Posfat dapat diukur dengan

spektrofotometri pada γ = 880 nm (Suin, 2002). (Lampiran D)

Tabel 3.1. Alat dan Satuan Yang Dipergunakan Dalam Pengukuran Faktor Fisika dan Kimia Perairan

N o

Parameter Fisika-Kimia

Satuan Alat Tempat

Pengukuran 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Intensitas Cahaya Kecerahan Temperatur Air DO pH BOD5

Nitrat & Posfat Arus Pb Cd candella cm o C mg/l - mg/l mg/l m/s ppm ppm Luxmeter Keping secchi

Termometer air raksa Metode Winkler pH meter Metode Winkler&Inkubasi Spektrofotometer Bola Pimpong AAS AAS In-situ In-situ In-situ In-situ In-situ Laboratorium Laboratorium In-situ Laboratorium Laboratorium 3.6. Analisis Data

3.6.1. Kandungan Logam Berat

Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan membandingkan kandungan logam berat pada ikan batak terhadap batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan menurut SNI 7387 : 2009. Sedangkan kandungan logam berat dalam air dibandingkan dengan baku mutu air menurut PP.RI No.82 Tahun 2001. (Lampiran F)

3.6.2. Metode Storet

Metode Storet merupakan salah satu metode untuk menentukan status mutu air yang umum digunakan. Dengan metode storet dapat diketahui parameter-parameter yang telah memenuhi dan melampau baku mutu air. Secara prinsip

metode storet membandingkan antara data kualitas air dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya dengan menggunakan status mutu air. Mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur dengan parameter-parameter tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Ratnaningsih, 2010).

Nilai parameter fisika kimia lingkungan air Sungai Asahan yang diukur mengacu pada kriteria mutu air menurut PP No. 82 Tahun 2001 (Lampiran G).

Pada merode storet, status mutu air dengan menggunakan sistem klasifikasi US-EPA (Enviromental Protection Agency), dinyatakan pada Tabel 3.2. berikut:

Tabel 3.2. Klasifikasi Mutu Air Berdasarkan Metode Storet

No. Kelas Skor Karakteristik Kualitas Air

1 A 0 Baik sekali

2 B -1 s/d -10 Baik

3 C -10 s/d -30 Tercemar sedang

4 D ≤ -31 Tercemar berat

Penentu status mutu air dengan menggunakan metode storet dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Hitung nilai maksimum, minimum dan rata-rata setiap parameter kualitas air yang diamati, kemudian cantumkan dalam tabel

2. Bandingkan nilai rata-rata, nilai maksimum, dan nilai minimum dari masing-masing parameter kualitas air tersebut dengan nilai baku mutu

3. Jika nilai-nilai dari hasil pengukuran tersebut memenuhi nilai baku mutu air, maka diberi skor 0 (nol)

4. Jika nilai-nilai tersebut tidak memenuhi nilai baku mutu air, maka diberi skor tertentu sebagai berikut (Tabel 3.3) :

a. Bila jumlah data (pengamatan) kurang dari 10, maka untuk nilai maksimum, minimum dan rata-rata untuk parameter fisika berturut-turut diberi skor (-1,-1-3), untuk parameter kimia (-2,-2,-6), dan untuk parameter biologi (-3,-3,-9).

b. Bila jumlah data sama atau lebih dari 10, maka untuk nilai maksimum, minimum, dan rata-rata untuk parameter fisika berturut-turut diberi skor

(-2,-2,-6), untuk parameter kimia (-4,-4,-12), dan untuk parameter biologi (-6,-6,-18).

5. Nilai IKA Storet adalah nilai penjumlahan dari skor yang ada

6. Berdasarkan nilai total skor tersebut kualitas perairan dapat digolongkan apakah baik sekali, baik, tercemar sedang atau tercemar berat sebagaimana dijelaskan pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3. Pemberian Skor dalam Penentuan Indeks Storet Jumlah

Data

Nilai Parameter

Fisika Kimia Biologi

< 10 Maksimum -1 -2 -3 Minimum -1 -2 -3 Rata-rata -3 -6 -9 ≥ 10 Maksimum -2 -4 -6 Minimum -2 -4 -6 Rata-rata -6 -12 -18

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Nilai Faktor Fisika Kimia Perairan

Data hasil pengukuran faktor fisika kimia di setiap stasiun penelitian di Sungai Asahan dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Faktor fisika kimia air Sungai Asahan pada stasiun penelitian berdasarkan PP No. 82 tahun 2001.

a. Temperatur

Dari penelitian yang telah dilakukan nilai rata-rata suhu yang diperoleh berkisar antara 22-26ºC, dan suhu tertinggi terdapat pada stasiun 5 dan stasiun 4, yaitu dengan nilai 26ºC. Berdasarkan PP. No.82 Tahun 2001 menyatakan bahwa nilai temperatur diperairan tergolong normal. Hal ini disebabkan karena pengambilan sampel dilakukan pada siang hari dengan cuaca yang cerah.

Menurut Barus (2004), pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketingggian geografis dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi. Di samping itu, pola temperatur perairan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor anthropogen (faktor

N o

Parameter Satuan Nilai Rata-rata Baku mutu Air (Kelas III) Stasiun 1 2 3 4 5 FISIK 1. Temperatur oC 23 22 24 26 26 Deviasi 3 2. Arus m/s 0,5 0,8 0,6 0,5 0,8 - 3. Kecerahan cm 80 65 70 76 75 -

4. Intensitas Cahaya candella 1490 1055 1114 1778 1157 -

KIMIA 5. pH - 6,2 6,3 6,3 6,5 6,6 6-9 6. DO mg/l 8,2 8,0 7,6 7,1 7,6 > 4 7. BOD5 mg/l 4,6 4,1 3,2 3,1 3,9 3 8. Nitrat mg/l 0,1 0,2 0,2 0,1 0,1 20 9. Posfat mg/l 0,12 0,25 0,19 0,21 0,11 0,2

yang diakibatkan oleh manusia) seperti limbah panas yang berasal dari air pendingin pabrik, penggundulan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mengakibatkan hilangnya perlindungan sehingga badan air terkena cahaya matahari secara langsung.

b. Kecepatan Arus

Dari penelitian yang dilakukan diperoleh nilai kecepatan arus berkisar antar 0,5- 0,8 m/s, dengan nilai tertinggi terdapat pada stasiun 5 dan stasiun 2 dengan nilai 0,8 m/s. Hal ini disebabkan karena stasiun 5 atau Sungai Hula-Huli mempunyai kedalaman yang lebih besar dibandingkan dengan stasiun lainnya. Berdasarkan kecepatan arus, Welch (1952) mengelompokkan sungai menjadi berarus sangat deras (>100 cm/detik), arus cepat (50-100 cm/detik), arus sedang (25-50 cm/detik), arus lambat (10-25 cm/detik), dan arus sangat lambat (>10 cm/detik).

Arus merupakan faktor pembatas pada aliran air, arus yang tertentu dan berkesinambungan adalah ciri utama habitat lotik. Arus merupakan faktor yang penting dalam susunan struktur komunitas setempat pada ekosistem lotik. Hal ini berhubungan dengan penyebaran organisme, gas-gas terlarut dan mineral yang terdapat di dalam air. Kecepatan arus ditentukan oleh kemiringan, kekasaran, kedalaman, dan kedalam dasarnya (Hynes, 1986).

Menurut Welch (1952), arus mempengaruhi transportasi sedimen dan mengikis substrat dasar perairan. Kecepatan dan tipe arus berpengaruh langsung terhadap pembentukan substrat dasar perairan, aerasi air, dan meningkatnya proses pembusukan. Hal ini didukung oleh Nugroho (2006), menyatakan bahwa kecepatan arus sangat menentukan habitat alamiah pada suatu perairan. Arus yang deras pada perairan lotik mempengaruhi pola pendistribusian oksigen. Semakin tinggi arus maka akan meningkatkan kandungan oksigen terlarut dan semakin tinggi arus air maka kandungan CO2 rendah (Asdak, 1995).

c. Kecerahan

Dari penelitian yang telah dilakukan nilai rata-rata kecerahan yang diperoleh berkisar antara 65-80 cm, dan nilai tertinggi terdapat pada stasiun 1, yaitu dengan nilai 80 cm. Hal ini disebabkan karena pengambilan sampel dilakukan pada siang hari dengan cuaca yang cerah dan kondisi sungai yang nampak jernih.

Menurut Sastrawijaya (1991), menjelaskan bahwa cahaya matahari tidak dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau terlarut tinggi, akibatnya akan mempengaruhi proses fotosintesis di dalam perairan tersebut. Selain itu, kekeruhan air terjadi disebabkan adanya zat-zat koloid yaitu zat yang terapung serta zat yang terurai secara halus sekali, jasad-jasad renik, lumpur tanah liat dan adanya zat-zat koloid yang tidak mengendap dengan segera (Mahida, 1993). Penetrasi cahaya atau kecerahan adalah batas pandang kedalam air untuk melihat warna putih yang berada dalam air. Semakin keruh badan air maka akan semakin dekat batas pandangnya, sebaliknya jika airnya jernih maka batas pandang akan jauh. Cahaya matahari akan menentukan intensitas dan kecerahan pada kedalaman tertentu dan akan mempengaruhi suhu perairan (Nugroho, 2006).

d. Intensitas Cahaya

Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh nilai intensitas cahaya berkisar antara 1.055-1.778 candella, dengan nilai tertinggi terdapat pada stasiun 4 dengan nilai 1.778 candella. Hal ini terjadi karena pada stasiun 4 daerah sungai terbuka, sehingga cahaya matahari langsung masuk kedalam badan air tanpa adanya penghalang.

Menurut Tarumingkeng (2001), bahwa antara penetrasi cahaya dan intensitas cahaya saling mempengaruhi. Semakin maksimal intensitas cahaya, maka semakin tinggi penetrasi cahaya. Jumlah radiasi yang mencapai permukaaan perairan sangat dipengaruhi oleh awan, ketinggian dari permukaan air, letak geografis dan musiman.

e. pH

Nilai pH yang diperoleh dari setiap stasiun berkisar antara 6,2-6,6, dimana stasiun 5 memiliki pH dengan nilai tertinggi yaitu 6,6. Rendahnya pH pada stasiun 1 disebabkan karena senyawa organik maupun anorganik yang lebih banyak dibandingkan stasiun yang lain. Berdasarkan PP. No.82 Tahun 2001 menyatakan bahwa nilai pH pada setiap stasiun masih tergolong normal.

Menurut Kristanto (2002), bahwa nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumya terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. pH air sangat berpengaruh terhadap organisasi air, baik tumbuhan maupun hewan yang hidup di dalamnya. pH air dapat digunakan untuk menyatakan baik buruknya kondisi suatu perairan sebagai lingkungan hidup. Adapun pH air yang dapat menjadikan ikan dapat tumbuh secara optimal yaitu berkisar antara 6,5-9,0 (Cahyono, 2000).

f. DO (Dissolved Oxygen)

Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh rata-rata DO berkisar antara 7,1-8,2 mg/l. DO tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu sebesar 7,1-8,2 mg/l. Menurut Barus (2004), Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting didalam ekosistem air, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme air. Umumnya kelarutan oksigen dalam air sangat terbatas dibandingkan dengan kadar oksigen di udara yang mempunyai konsentrasi sebanyak 21% volume, air hanya mampu menyerap 1% volume saja. Berdasarkan PP. No.82 Tahun 2001 menyatakan bahwa nilai DO (Dissolved Oxygen) pada setiap stasiun masih tergolong normal.

Menurut Sastrawijaya (1991), oksigen terlarut bergantung kepada suhu, kehadiran tanaman fotosintetik, tingkat penetrasi cahaya, yang bergantung kepada kedalaman dan kekeruhan air, tingkat kederasan aliran air, jumlah bahan organik

yang diuraikan dalam air seperti sampah, ganggang mati atau limbah industri. Jika tingkat oksigen terlarut rendah, maka organisme aerob akan mati dan organisme anaerob akan menguraikan bahan organik dan menghasilkan bahan seperti metana dan hidrogen sulfida.

g. BOD(Biochemical Oxygen Demand)

Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh rata-rata BODberkisar antara 3,1-4,6 mg/l, dan nilai BOD tertinggi terdapat pada stasiun 5 yaitu sebesar 3,1-4,6 mg/l. Tingginya nilai BOD pada stasiun 1 disebabkan oleh banyaknya kandungan senyawa organik dan anorganik yang terdapat dalam badan perairan tersebut sehingga membutuhkan banyak oksigen untuk menguraikannya. Sedangkan nilai BOD terendah terdapat pada stasiun 4 yaitu 3,1 mg/l. Rendahnya BOD pada stasiun 4 dapat disebabkan oleh senyawa organik maupun anorganik yang terdapat pada stasiun tersebut masih tergolong rendah. Berdasarkan PP. No.82 Tahun 2001 menyatakan bahwa nilai BOD(Biochemical Oxygen Demand) pada setiap stasiun masih tergolong normal.

Menurut Kristanto (2002), BOD menunjukkan jumlah oksigen yang terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk menguraikan atau mengoksidasi bahan-bahan buangan (limbah) di dalam air. Konsumsi oksigen tinggi ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut di dalam air, berarti kandungan bahan buangan yang membutuhkan oksigen adalah tinggi.

h. Kadar Nitrat

Dari data di atas menunjukkan bahwa hasil pengukuran nitrat berkisar antara 0,1-0,2 mg/l. Nilai kandungan nitrat tertinggi didapatkan pada stasiun 2 dan 3 sebesar 0,2 mg/l, tingginya nilai kandungan nitrat pada stasiun ini berasal dari

pembusukan vegetasi yang terbawa oleh arus dari hulu sungai. Berdasarkan PP. No.82 Tahun 2001 menyatakan bahwa kadar nitrat pada setiap

Menurut Barus (2004), nitrat merupakan produk akhir dari proses penguraian protein dan nitrit. Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan termasuk algae dan fitoplankton untuk dapat tumbuh dan berkembang, sementara nitrit merupakan senyawa toksik yang dapat mematikan organisme air.

i. Kadar Posfat

Dari data diatas menunjukkan bahwa hasil pengukuran posfat berkisar antara 0,11-0,25 mg/l. Nilai kandungan posfat tertinggi didapatkan pada stasiun 2 sebesar 0,25 mg/l, tingginya nilai kandungan posfat pada stasiun ini berasal dari limbah masyarakat yang terbawa oleh arus dari hulu sungai yang banyak mengandung senyawa organik dan anorganik. Sedangkan nilai kandungan posfat terendah terdapat pada stasiun 5 yaitu sebesar 0,11 mg/l. Berdasarkan PP. No.82 Tahun 2001 menyatakan bahwa kadar phosfat pada setiap stasiun masih tergolong normal.

Menurut Alaert (1984), untuk mencapai pertumbuhan plankton yang optimal, diperlukan konsentrasi Fosfat pada kisaran 0,27 mg/l – 5,51 mg/l dan akan menjadi faktor pembatas apabila kurang dari 0,02 mg/l. Bila kadar Fosfat pada air alam sangat rendah (<0,01 mg/l), maka pertumbuhan tanaman ganggang akan terhalang, keadaan inilah yang dinamakan oligotrop. Sedangkan bila kadar Fosfat dan nutrien lainnya tinggi, maka pertumbuhan tanaman dan ganggang tidak terbatas lagi. Keadaan inilah yang dinamakan eutotrop sehingga tanaman tersebut akan dapat menghabiskan oksigen dalam sungai atau kolam pada malam hari.

4.2. Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan Metode Storet

Tabel 4.2. Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan Metode Storet

N o

Parameter Satuan Baku Mutu Air Kelas III

Skor Metode Storet Stasiun 1 2 3 4 5 FISIK 1. Temperatur oC Deviasi 3 0 0 0 0 0 2. Arus m/s - - - - - - 3. Kecerahan cm - - - - - - 4. Intensitas Cahaya candella - - - - - - KIMIA 5. pH - 6-9 0 0 0 0 0 6. DO mg/l > 4 0 0 0 0 0 7. BOD5 mg/l 3 0 0 0 0 0 8. Nitrat mg/l 20 0 0 0 0 0 9. Posfat mg/l 0,2 0 0 0 0 0 Jumlah 0 0 0 0 0

Dari Tabel 3.4. dapat dilihat bahwa skor pada setiap stasiun bernilai 0. Berdasarkan Klassifikasi mutu air kelas III dengan menggunakan metode storet dapat disimpulkan bahwa setiap stasiun tergolong karakteristik kualitas air kelas A kategori perairan baik sekali. Menurut Nybakken (1992), mengatakan bahwa perubahan faktor fisik kimia perairan sangat dipengaruhi oleh aktivitas-aktivitas yang terdapat di sekitar daerah aliran sungai dan juga sangat dipengaruhi oleh iklim serta waktu pengambilan sampel, sehingga nilai faktor fisik kimia perairan bersifat dinamis, artinya tidak dapat dijadikan sebagai indikator dalam pemantauan kualitas air secara kontinu. Faktor utama yang mengendalikan ekosistem dan komunitas adalah energi, faktor fisik kimia lingkungan serta interaksi antara berbagai spesies yang membentuk sistem tersebut.

4.3. Kadar Logam Berat Pb dan Cd pada Air Sungai

Data hasil pengukuran kadar logam berat Pb dan Cd pada air sungai di setiap lokasi penelitian di Sungai Asahan dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Kandungan Pb dan Cd pada air sungai serta standar Baku Mutu berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001.

Keterangan:

Stasiun 1= Sungai Ponot Stasiun 2= Sungai Baturangin Stasiun 3= Sungai Tangga Stasiun 4= Sungai Parhitean Stasiun 5= Sungai Hula-Huli

Berdasarkan Tabel 4.3. di atas diperoleh kandungan rata-rata nilai Timbal (Pb) pada air sungai di setiap stasiun diluar batas baca untuk deteksi limit Pb yaitu <0,01 mg/L. Kadar Pb ini tergolong aman karena di bawah baku mutu air golongan I (Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001) dengan nilai 0,03 mg/L. Hal ini disebabkan karena keberadaan Pb secara alami dan yang bersumber dari aktivitas manusia disekitar sungai Asahan seperti tempat wisata, penambangan batu, pemukiman penduduk, kawasan perkebunan dan persawahan disekitar sungai Asahan, asap yang berasal dari TPL dan kenderaan bermotor sangat kecil sekali di bawah <0,01. Sehingga kadar logam Pb dalam air tidak mampu di baca alat AAS, karena keterbatasan alat tersebut dalam membaca kadar logam Pb.

Kandungan logam kadmium (Cd) diperoleh nilai berkisar antara 0,002-0,007 mg/L. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun 1 (sungai Ponot) sebesar 0,007 mg/L dan nilai terendah terdapat pada stasiun 2 dan 3 (sungai Baturangin dan Tangga) sebesar 0,002 mg/L. Hal ini mungkin disebabkan pada stasiun 1 (sungai Ponot) merupakan daerah wisata yang terdapat puntungan rokok, sisa makanan dan sampah plastik yang mengandung kadmium. Kadar Cd ini tergolong aman karena di bawah baku mutu air golongan I (Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001) dengan nilai 0,01 mg/L.

Parameter Satuan Hasil Baku Mutu S1 S2 S3 S4 S5 Timbal (Pb) mg/L <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 0,03 Kadmium (Cd) mg/L 0,007 0,002 0,002 0,006 0,004 0,01

4.4. Kadar Logam Berat Pb dan Cd pada Ikan

Data hasil pengukuran kadar logam berat Pb dan Cd pada ikan batak di setiap lokasi penelitian di Sungai Asahan dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Kandungan Pb dan Cd pada ikan di stasiun penelitian serta batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan berdasarkan SNI 7387 : 2009.

Keterangan:

Stasiun 1= Sungai Ponot Stasiun 2= Sungai Baturangin Stasiun 3= Sungai Tangga Stasiun 4= Sungai Parhitean Stasiun 5= Sungai Hula-Huli

Berdasarkan Tabel 4.4. di atas diperoleh kandungan rata-rata Timbal (Pb) pada ikan di setiap stasiun diluar batas baca untuk deteksi limit untuk Pb yaitu sebesar <0,054 mg/L. Kandungan rata-rata Kadmium (Cd) pada ikan di setiap stasiun diluar batas baca untuk deteksi limit untuk Cd yaitu sebesar <0,003 mg/L. Berdasarkan SNI 7378 : 2009 tentang batas maksimum cemaran logam dalam makanan, yaitu 0,3 mg/L untuk Timbal (Pb) dan 0,1 mg/L untuk Kadmium (Cd), maka konsentrasi logam Pb dan Cd pada ikan masih memenuhi standar baku mutu layak untuk dikonsumsi. Hal ini disebabkan karena keberadaan Cd secara alami dan yang bersumber dari aktivitas manusia disekitar sungai Asahan seperti tempat wisata, penambangan batu, pemukiman penduduk, kawasan perkebunan dan persawahan disekitar sungai Asahan, industri TPL sangat kecil sekali di bawah <0,054 mg/L untuk Pb dan <0,003 mg/L untuk Cd. Sehingga kadar logam Pb dan Cd dalam tubuh ikan tidak mampu di baca alat AAS, karena keterbatasan alat tersebut dalam membaca kadar logam Pb dan Cd.

Parameter Satuan Hasil Baku Mutu S1 S2 S3 S4 S5 Timbal (Pb) mg/L <0,054 <0,054 <0,054 <0,054 <0,054 0,3 Kadmium (Cd) mg/L <0,003 <0,003 <0,003 <0,003 <0,003 0,1

Keberadaan logam berat di air menimbulkan terjadinya proses akumulasi ditubuh organisme. Akumulasi biologis dapat terjadi melalui absorpsi langsung terhadap logam berat yang terdapat dalam air dan melalui rantai makanan. Akumulasi terjadi karena kecendrungan logam berat untuk membentuk senyawa kompleks dengan zat-zat organik yang terdapat dalam tubuh organisme (Sanusi et al., 1985).

Hubungan antara jumlah absorpsi logam dan kandungan logam dalam air biasanya secara proporsional, dimana kenaikan kandungan logam dalam jaringan sesuai dengan kenaikan kandungan logam dalam air. Pada logam-logam esensial kandungannya dalam jaringan biasanya melalui regulasi (diatur pada batas-batas konsentrasi tertentu kandungan logam konstan), tetapi pada logam-logam non esensial kandungan logam tersebut dalam jaringan naik terus sesuai dengan kenaikan konsentrasi logam dalam air lingkungannya (non regulasi) (Darmono, 1995).

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah:

b. Dari hasil penelitian diperoleh kandungan logam Timbal (Pb) pada air sungai di setiap stasiun diluar batas baca untuk deteksi limit Pb yaitu <0,01 mg/L dan Kandungan logam kadmium (Cd) diperoleh nilai berkisar antara 0,002-0,007 mg/L. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun 1 (sungai Ponot) sebesar

Dokumen terkait