• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

D. Kecernaan Bahan Organik

Rerata kecernaan bahan organik (BO) ransum sapi PFH jantan selama penelitian tercantum pada Tabel 7.

Tabel 7. Rerata kecernaan bahan organik ransum sapi PFH jantan (%)

Perlakuan Ulangan Rerata

1 2 3

P0 61.56 57.84 55.81 58.40

P1 66.48 61.40 63.38 63.75

P2 62.88 54.77 59.98 59.21

P3 57.71 61.53 57.67 58.97

Rerata kecernaan bahan organik ransum sapi PFH jantan selama penelitian pada perlakuan P0, P1, P2, dan P3 berturut-turut adalah 58.40%, 63.75%, 59.21%, dan 58.97%. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa

kecernaan bahan organik ransum sapi PFH jantan berbeda tidak nyata. Hal ini berarti imbangan antara JKT dengan rumput raja tidak berpengaruh terhadap kecernaan bahan organik ransum sapi PFH jantan. Hal ini disebabkan karena kecernaan bahan organik berbanding lurus dengan kecernaan bahan kering, karena bahan-bahan organik merupakan bagian dari bahan kering dari pakan tersebut.

Bahan organik terdiri dari lemak kasar, serat kasar, protein kasar, dan BETN, dimana karbohidrat (SK dan BETN) difermentasi menghasilkan VFA yang sebagian diserap ternak sebagai sumber energi dan sebagian lagi bersama dengan NH3 (amonia) hasil degradasi dari protein kasar digunakan untuk sintesis protein mikroba. Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa besarnya kandungan bahan organik (BO) jerami kacang tanah adalah 88,73% dan rumput raja sebesar 84,25% sehingga diperoleh besarnya kandungan BO pada perlakuan P0, P1, P2, dan P3 secara berturut-turut adalah 82.43%, 82.88%, 83.33%, dan 83.77% yang memberikan pengaruh yang relatif sama terhadap kecernaan bahan organik. Hal ini menunjukkan bahwa asupan N-amonia dan energi (VFA) dari bahan organik yang masuk ke dalam rumen sebagai media tumbuh mikroba non significant akibatnya kecernaan bahan organik ransum sapi PFH jantan juga berbeda tidak nyata. Kamal (1994) menyatakan bahwa mikroorganisme di dalam rumen dapat membentuk protein tubuhnya dari peptida, asam amino, ataupun dari senyawa N sederhana yang berupa ammonia atau nitrogen non protein yang lain. Untuk keperluan tersebut maka mikroorganisme membutuhkan sumber energi, terutama yang berupa karbohidrat yang mudah dicerna yaitu pati atau gula.

Beberapa hal yang mempengaruhi daya cerna adalah komposisi dan konsumsi pakan (Tillman et al., 1991). Komposisi pakan yang sangat mempengaruhi kecernaan bahan organik selain kandungan bahan organik dari bahan pakan atau ransum perlakuan adalah kandungan PK dan SK dari bahan pakan atau ransum perlakuan yang memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap kecernaan bahan organik ransum sapi PFH jantan.

Berdasarkan Tabel 2 juga dapat diketahui bahwa besarnya kandungan protein kasar (PK) jerami kacang tanah dan rumput raja masing–masing adalah 16,04% dan 11,68% yang memberikan pengaruh yang relatif sama terhadap kecernaan bahan organik. Hal ini di duga kualitas PK JKT hampir sama dengan kualitas PK rumput raja mengakibatkan kecernaan bahan organik yang berbeda tidak nyata. Kualitas protein jerami kacang tanah dan rumput raja dapat dilihat dengan menggunakan penilaian kimiawi atau Chemical Score (Tillman et al., 1991). Asam–asam amino yang paling defisien pada JKT adalah metionin+sistin yaitu sebesar 93%. Berarti metionin+sistin yang terdapat dalam JKT hanya sebesar 7% (100-93) dari metionin+sistin yang terdapat dalam telur (standar). Sedangkan asam–asam amino yang paling defisien pada rumput raja adalah metionin+sistin, isoleusin, dan valin yang sama–sama sebesar 92%. Berarti metionin+sistin, isoleusin, dan valin yang terdapat dalam rumput raja sebesar 8% dari metionin+sistin, isoleusin, dan valin yang terdapat dalam telur (standar). Oleh karena itu chemical score JKT dan rumput raja masing – masing adalah 7% dan 8%.

Akan tetapi metode ini mempunyai keterbatasan yang serius apabila ada beberapa defisiensi (Tillman et al., 1991). Sehingga metode chemical score diduga belum bisa menunjukkan kualitas protein yang sesungguhnya dari rumput raja dan JKT, karena terdapat defisiensi yang nyata dari asam amino esensial JKT yaitu tryptophan (Hartadi et al., 1990). Oleh karena itu dilakukan penghitungan lebih lanjut dengan menggunakan metode Esential Amino Acid Index (EAAI). Menurut Tillman et al (1991) indeks ini diadakan untuk mengurangi keterbatasan pada metode nilai kimiawi. Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai EAAI JKT sebesar 19,22 dan rumput raja sebesar 10,88. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas protein jerami kacang tanah yang lebih baik dari rumput raja masih memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata tetapi cenderung meningkat (P>0,07) terhadap kecernaan bahan organik ransum sapi PFH jantan.

Sebenarnya protein yang dibutuhkan oleh ternak ruminansia sebagian dipenuhi dari protein mikrobial dan sebagian lagi dari protein pakan yang

lolos dari degradasi rumen (Siregar, 1994). Apabila protein pakan yang lolos dari degradasi rumen cukup tinggi maka konsentrasi amonia dalam rumen juga cukup tinggi begitu pula sebaliknya. Menurut Mc Donald et al (1988) apabila protein tahan dari degradasi mikrobia rumen maka konsentrasi amonia rumen akan rendah dan pertumbuhan mikrobia rumen lambat. Amonia merupakan hasil degradasi protein pakan dalam rumen disamping peptida dan asam amino. Amonia bersama dengan VFA (hasil fermentasi karbohidrat) berguna untuk sintesis protein mikrobia. Oleh karena itu dengan mengetahui nilai degradasi protein kasar dalam rumen maka dapat diduga pula pengaruhnya terhadap kecernaan BO ransum sapi PFH jantan. Berdasarkan penelitian yang dilaporkan oleh Isnaniyati (1998) bahwa nilai degradasi teori PK JKT sebesar 86,42% dan rumput raja sebesar 74,34% sehingga dapat diketahui persentase degradasi PK JKT lebih tinggi dari rumput raja. Hal ini menunjukkan bahwa dengan persentase degradasi PK JKT yang lebih tinggi dari rumput raja memberikan pengaruh yang relatif sama pada ketersediaan nutrien (amonia) dalam rumen yang diperlukan mikroba sehingga kecernaan bahan organiknya relatif sama.

Disamping PK, kandungan SK JKT (29.48%) yang lebih tinggi daripada rumput raja (Tabel 2) juga memberikan pengaruh yang relatif sama terhadap kecernaan bahan organik ransum sapi PFH jantan. Hal ini menunjukkan bahwa mikroba di dalam rumen masih toleran terhadap kenaikan serat kasar pada keempat ransum perlakuan.

Kecernaan bahan organik selain dipengaruhi oleh komposisi pakan, juga dipengaruhi oleh konsumsi pakan. Konsumsi bahan organik yang berbeda tidak nyata mengakibatkan kecernaan bahan organik berbeda tidak nyata pula. Hal ini menunjukkan bahwa dengan konsumsi bahan organik yang relatif sama maka kemungkinan ketersediaan nutrien untuk pertumbuhan mikroorganisme di dalam rumen tersebut relatif sama. Kamal (1994) menyatakan bahwa aktifitas mikroorganisme mengikuti bahan pakan yang dikonsumsi, sehingga jika konsumsi pakannya sama maka diduga pertumbuhan dan perkembangan mikrobianya juga sama.

Dokumen terkait