• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan hasil analisis kecernaan protein kasar maka didapatkan tabel 9 yang menunjukkan kecernaan protein kasar sapi PO betina berfistula. Tabel 9. Data Kecernaan Protein Kasar Sapi PO Betina Berfistula (%)

Periode Perlakuan TI MK BS I 57,45 69,52 68,07 II 65,85 62,20 81,24 III 83,34 83,88 85,42 Rata-rata 68,88 71,87 78,24

Rata-rata kecernaan protein kasar untuk ransum perlakuan TI, MK, BS masing-masing adalah 68,88; 71,87; 78,24 (%). Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa kecernaan protein kasar dalam perlakuan penggunaan tepung ikan, menir kedelai dan bungkil kelapa sawit terproteksi adalah

berbeda tidak nyata (P ≥ 0,05).

Konsumsi protein kasar pada TI, MK dan BS berbeda nyata sedangkan kecernaan protein kasar berbeda tidak nyata karena perbedaan laju degradasi dari tiap bahan pakan tersebut. Perbedaan degradasi protein bahan pakan di dalam rumen dapat mempengaruhi kualitas pakan terutama banyaknya protein yang lolos dan dapat diabsorbsi dalam usus sehingga berpengaruh terhadap besarnya nilai kecernaan protein. Ditambahkan oleh Winursita (2006), bahan pakan yang lolos dari degradasi rumen akan berpengaruh terhadap laju keluarnya protein pakan dari rumen menjadi lebih cepat kemudian mengalami

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

(2001) menyatakan bahwa degradasi protein dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan rumen, laju kecernaan dan lama tinggal pakan dalam rumen.

Widyobroto et al., (2001) melaporkan bahwa degradasi protein bahan

pakan memiliki besar yang bervariasi. Bungkil inti sawit merupakan bahan

pakan berindeks degradasi rendah 40-50% (Widyobroto et al., 2001); 54,23%

(Sunarso cit Wiryawan et al., 2007) dan bersifat lintas rumen. Sedangkan

menir kedelai merupakan bahan pakan yang memiliki tingkat degradasi relatif tinggi dibanding dengan sumber protein lainnya dapat mencapai 75%

(Klopfenstein, 1986 cit Parakkasi, 1998); 80-90% (Widyobroto et al., 2001).

Sedangkan untuk tepung ikan degradasi proteinnya sebesar 50-70%. Menurut Parakkasi (1998), protein tepung ikan tidak mudah terdegradasi dalam rumen karena kelarutan proteinnya yang rendah (terdegradasi 50% dari total protein). Perbedaan degradasi inilah yang menyebabkan kecernaan protein kasar pada perlakuan tiap bahan pakan berbeda tidak nyata meskipun kandungan protein tiap bahan pakan berbeda.

Selain itu degradasi rumen dapat mempengaruhi produksi NH3. Rerata

produksi NH3 pada TI, MK dan BS sebesar 10,59; 14,51 dan 9,65 mg/100ml

(Lampiran 13). MK menghasilkan konsentrasi NH3 yang cenderung lebih

besar dibandingkan TI dan BS. Tingginya kandungan protein pakan dalam

rumen dapat meningkatkan NH3. Semakin banyak protein terlarut maka

semakin tinggi kosentrasi NH3 di dalam rumen karena sebagian protein

dihidrolisis menjadi peptida, asam amino dan NH3 sebagai produk akhir.

Amonia merupakan sumber N bagi mikroba untuk mempercepat pertumbuhan mikroba maka populasi bakteri akan meningkat, akibatnya degradasi pakan menjadi lebih cepat karena banyaknya mikrobia yang tumbuh.

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Nuswantra et al., (2005) tingginya

degradasi protein ransum mengakibatkan ketersedian prekusor N dalam rumen untuk sinstesis protein mikroba juga tinggi. Sedangkan rerata jumlah protein mikroba rumen yang dihasilkan pada perlakuan TI, MK dan BS sebesar 44,6; 47,3 dan 49,2 mg/100ml (Lampiran 14). Ketersediaan N dan energi secara sinkron penting untuk pertumbuhan mikroba. Energi untuk sintesis protein

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

mikroba dihasilkan dari degradasi karbohidrat. Laju degradasi karbohidrat dan protein pakan dalam rumen berpengaruh terhadap hasil akhir fermentasi dan performan ternak. Apabila substansi N terdegradasi lebih cepat dibandingkan

sumber energi, maka NH3 hasil degradasi protein sebagian besar hilang

bersama sekresi urin.

Menurut Soebarinoto et al., (1991) protein yang tahan terhadap degradasi

mikrobia rumen, akan langsung masuk ke dalam abomasum dan usus halus. Namun protein yang tidak tahan terhadap degradasi rumen akan mengalami hidrolisis menjadi peptida oleh enzim proteolisis yang dihasilkan mikrobia. Sebagian peptida digunakan untuk membentuk protein tubuh mikrobia dan sebagian yang dihidrolisis menjadi asam amino. Kurang lebih 82% mikrobia rumen akan merombak asam amino menjadi amonia yang untuk selanjutnya digunakan untuk menyusun protein tubuh mikrobia. Namun kelebihan produksi amonia sampai mencapai konsentrasi 98,3 mg% tidak lagi merangsang pertumbuhan mikroba, tetapi akan diserap rumen dan akhirnya diekskresikan dalam urin.

G. Nutritive Value Index Bahan Kering (NVI BK)

Berdasarkan hasil analisis data nutritive value index bahan kering maka

didapatkan tabel 10 yang menunjukkan NVI BK sapi PO betina berfistula.

Tabel 10. Data Nutritive Value Index Bahan Kering Sapi PO Betina

Berfistula (gram/ekor/hari) Periode Perlakuan TI MK BS I 2517,56 3985,82 4288,73 II 3734,9 3416,9 2744,32 III 2771,45 3803,08 2621,55 Rata-rata 3007,97 3735,27 3218,2

Rata-rata Nutritive Value Index bahan kering (NVI BK) pada perlakuan TI,

MK, BS masing-masing 3007,97; 3735,27 dan 3218,2 (gram/ekor/hari). Hasil analisis variansi NVI BK dari ketiga macam perlakuan yaitu penggunaan tepung ikan, menir kedelai dan bungkil kelapa sawit terproteksi menunjukkan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

Pemberian tepung ikan, menir kedelai dan bungkil sawit yang terproteksi berbeda tidak nyata terhadap konsumsi bahan kering dan kecernaan bahan kering sehingga berkorelasi positif dengan NVI BK. NVI BK tergantung pada konsumsi bahan kering dan kecernaan bahan kering.

Menurut Soebarinoto (1991), fungsi produktif pakan dapat diukur dengan

Nutritive Value Index yang merupakan hasil kali konsumsi dengan kecernaan

relatif dan menduga jumlah konsumsi zat makanan tercerna. Besarnya NVI BK menunjukkan banyaknya bahan kering yang tercerna oleh ternak perlakuan. Blakely dan Bade (1991) menyatakan bahwa angka kecernaan nutrien yang dapat dimanfaatkan oleh ternak.

H. Nutritive Value Index Bahan Organik (NVI BO)

Berdasarkan hasil analisis nutritive value index bahan kering maka

didapatkan tabel 11 yang menunjukkan NVI BO sapi PO betina berfistula.

Tabel 11. Data Nutritive Value Index Bahan Organik Sapi PO Betina

Berfistula (gram/ekor/hari) Periode Perlakuan TI MK BS I 2451,27 3868,25 4197,17 II 3571,86 3413,1 2729,04 III 2564.13 3592,05 2556,97 Rata-rata 2862,42 3624,47 3161,06

Rata-rata Nutritive Value Index bahan organik (NVI BO) ransum

perlakuan TI, MK dan BS berturut-turut adalah 2862,42; 3624,47 dan 3161,06 (gram/ekor/hari). Hasil analisis variansi menunjukkan berbeda tidak nyata (P ≥ 0,05), hal ini berarti bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada NVI BO didalam penggunaan tepung ikan, menir kedelai dan bungkil sawit terproteksi.

Nutritive Value Index Bahan Organik (NVI BO) dapat digunakan untuk mengukur fungsi produktif pakan serta untuk menduga banyaknya bahan

organik yang tercerna (Astuti, 2009 cit Wahyu, 2006)

Nutritive Value Index Bahan Organik (NVI BO) berhubungan erat dengan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

bahan kering. Sehingga NVI BO berbanding lurus dengan NVI BK. Bahan organik terdiri dari lemak, protein kasar, serat kasar dan BETN

(Tillman et al., 1991) dan bahan kering terdiri dari lemak, protein kasar, serat

kasar, BETN dan abu (Kamal, 1994), sehingga NVI BO berbanding lurus dengan NVI BK.

I. Nutritive Value Index Protein Kasar (NVI PK)

Berdasarkan hasil analisis nutritive value index protein kasar maka

didapatkan tabel 12 yang menunjukkan NVI PK sapi PO betina berfistula.

Tabel 12. Data Nutritive Value Index Protein Kasar Sapi PO Betina

Berfistula (gram/ekor/hari) Periode Perlakuan TI MK BS I 374,37 633,85 531,89 II 534,6 542,79 532,45 III 502,44 766,31 526,73 Rata-rata 461,47 647,65 530,36

Rata-rata Nutritive Value Index protein kasar (NVI PK) pada ketiga

ransum perlakuan TI, MK dan BS masing-masing adalah 478,34; 647,00 dan 528,60 (gram/ekor/hari). Analisis variansi menunjukkan hasil berbeda tidak

nyata (P ≥ 0,05), hal ini berarti bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata

NVI PK pada penggunaan tepung ikan, menir kedelai dan bungkil sawit terproteksi.

NVI menunjukkan jumlah nutrien yang tercerna oleh ternak dalam penelitian ini. NVI PK berhubungan erat dengan konsumsi protein dan kecernaan protein. Apabila konsumsi pakan dan kecernaan meningkat maka

hasil Nutritive Value Index, dalam hal ini protein juga akan meningkat. Pada

kecernaan protein didapatkan hasil yang berbeda tidak nyata sehingga berbanding lurus dengan besar NVI PK meskipun pada konsumsi protein didapatkan hasil yang berbeda nyata.

Angka kecernaan nutrien dapat menunjukkan banyaknya nutrien yang dapat dimanfaatkan oleh seekor ternak (Blakely dan Bade, 1991). Jadi NVI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

PK dapat digunakan untuk mengukur fungsi produktif pakan serta untuk menduga banyaknya protein kasar yang tercerna.

Berdasarkan kandungan asam amino bahan pakan menurut

Hartadi et al., (1997) didapatkan skor kimia hasil perhitungan dengan metode

Tillman et al., (1991) untuk tepung ikan yaitu sebesar 32,77, menir kedelai

18,62 dan bungkil kelapa sawit sebesar 9,59.

Menurut Abun (2006), kualitas protein pada dasarnya ditentukan oleh komposisi asam amino dan ketersediaan biologisnya. Biasanya penentuan pola Esensial Asam Amino (EAA) protein diperkirakan dari kebutuhan EAA pakan, spesies, dan nilai skor kimia hasil uji biologis. Skor kimia 100 menunjukan suatu tingkat asam amino essensial dalam protein suatu bahan pakan sama dengan tingkat kebutuhan EAA untuk ternak (dinyatakan dalam

persen dari total EAA serta cystine dan tyrosine). Skor kimia protein diambil

dari persentase EAA suatu bahan pakan dibandingkan dengan pola kebutuhan. Metode penilaian kualitas protein ini didasarkan pada konsep bahwa nilai protein tergantung kepada jumlah EAA dalam protein, yang dibandingkan terhadap referensi protein.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh adalah bahan pakan tepung ikan, menir kedelai dan bungkil kelapa sawit yang terproteksi dengan formaldehid memiliki potensi yang sama sebagai bahan pakan karena memberikan hasil yang sama antara kecernaan bahan kering, bahan organik dan protein kasar pada sapi PO betina berfistula.

B. Saran

Tepung ikan, menir kedelai dan bungkil kelapa sawit terproteksi dengan formaldehid dapat digunakan sebagai pakan sapi PO, tetapi perlu pertimbangan khusus dalam hal biaya agar pemeliharaan ternak lebih efisien dan menguntungkan.

Dokumen terkait