• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Akal Terhadap Wahyu

AKAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM

C. Kedudukan Akal Terhadap Wahyu

Kedudukan akal dalam dunia islam adalah sebagai pengijtihad. Maksudnya para mujtahid menggunakan akal fikiran mereka untuk mencari satu keputusan dalam syariat. Sesuai dengan difinisinya juga ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (Al-Faqih) dalam mencari tahu tentang hukum-hukum syari’at. Jadi bagi para mujtahid akal sangatlah penting peranannya, dalam memikirkan sesuatu masalah membutuhkan akal yang cemerlang supaya mendapatkan hasil yang maksimal dalam menentukan hukum.

112

Ibid., h. 165. Sesungguhnya pertentangan akal dengan syariat takkan terjadi manakala dalilnya shahih dan akalnya sehat. Namun terkadang muncul ketidakcocokan akal dengan dalil walaupun dalilnya shahih.

113

Ijtihad didalam islam telah melahirkan mazhab-mazhab fiqh yang menggambarkan kecemerlangan akal pemikiran, namun fiqh pun masih membutuhkan pemikiran lebih lanjut tentang hukum-hukum yang ada didalamnya. Dengan menggunakan akal yang cemerlang para mujitahid akal memutuskan segala perkara dengan maksima dan tanpa mengada-ada. Karena itu seorang mujitahid jika hendap mengijtihadkan suatu perkara maka akalnay harus tenang dan tidak semerautan. Karena ketenangan akal mempengaruhi hasil dari ijtihad itu sendiri. Seorang mujitahid bahkan tidak akan mampu mengijtihadkan suatu perkara jika akal fikirannya belum tenang. Jika akal fikirannnya sudah tenang maka para mujitahid akan mampu memecahkan segala perkara dengan mudah dan maksimal. Dari itu sangat luarbiasa sekali fungsi dan peranan akal dalam islam. Denga menggunakan akal fikiran para mujitahid bisa memutuskan suatu perkara dengan baik dan maksimal. Jadi akal dapat difungsikan sebagai pengijtihad atau kedudukannya sebagai pengijtihad.114

Sebab Islam sangat mengharagai kebebasan berfikir, karena suatu peradaban tidak akan pernah bangun tanpa kebebasan ini. Pemikiran bebas dapat membuka pintu pengetahuan sehingga karenanya bangsa-bangsa dan peradabannya tumbuh berkembang.

Pemikiran adalah buah akal. Akal salah satu nikmat Tuhan yang dianugrahkan kepada manusia. Islam menganggap akal sebagai salah satu unsur keberadaannya dan suatu energi hidup didalam bangunannya yang tinggi. Karena itu islam selalu mengontrolnya dan memberinya batas-batas tertentu yang harus dilalui gerakannya, dan tidak boleh melangkah lebih jauh melalui batas-batas itu, agar tidak terjadi kerusakan dan kemudaratan di dalam kehidupan ini. Akal harus bergerak di bawah sinar roh islam yang datang untuk menyelamatkan manusia seluruhnya dari mara bahaya dan kerusakan.

114

Muktar Yahya dan Faturrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1983), h.385.

Pada dasarnya dan gerak alamiahnya, pemikiran merupakan dialog antara tidak dan ya. Karena itu sikap menolak dan menerima secara mutlak dan buta tidak dipandang sebagai pemikiran. Sikap menolak secara mutlak adalah sikap kebandelan anak kecil, dan sikap menerima secara mutlak merupakan sikap budak. Allah-lah yang maha luas ilmu-Nya dan mengetahui kebenaran secara ilmulyakin, yaitu pengetahuan yang tidak mengenal “kalau....kalau....kalau..”. Sedangkan pengetahuan kita sebagai manusia, paling tingginyapun adalah pengetahuan yang memungkinkan penggantian dan perubahan, kita masih dapat menguatkan suatu pengganti atas pengganti yang lain. Tidaklah suatu pemikiran kecuali memberikan kemungkinan benar bagi pemikiran-pemikiran lain.

Pendapat yang kita kemukakan adalah pendapat yang mungkin diterima dan ditolak melalui dialog-dialog, dan kita sendiri dapat menolak dan menerima pendapat-pendapat lain yang muncul.Adalah watak pemikiran bebas untuk selalu tampak sebagai suatu dialog yang seimbang. Seseorang tidak dapat memaksakan pemikirannya kepada orang lain, dan tidak mengikutinya kecuali dengan benar.

Dalam hubungannya dengan manusia, Abu A’la Al-Mawdudi yang dikuti olah Ahmad An-Na’im, membagi kebebasan berfikir kepada tiga kelompok seperti berikut:

Pertama, kelompok yang semata-mata berdasar kepada kebebasan akal dalam segala urusan kehidupan. Mereka mempercayai sepenuhnya dan merasa cukup dengan apa yang dihasilkan oleh akal manusia.

Kedua, kelompok yang pada lahirnya mengikuti suatu agama, namun mereka lebih suka mengikuti pemikiran dan pendapat sendiri. Dalam masalah kepercayaan dan aturan-aturan kehidupan, mereka tidak lebih suka kembali kepada agamanya.

Ketiga, kelompok yang tidak mempergunakan akal, mengkebirinya, dan dengan serta merta berdiri di belakang orang lain, bertaklid buta.115

115

Abdullah AhmadAn Na‟im, Dekonstruksi Syari‟ah, terj. Amiruddin Arrani dan Ahmad Suaedy, (Yogyakarta: LkiS, 1997), h. 32-35.

Kelompok pertama sangat menghargai kebebasan, akan tetapi tidak mengetahui batasan-batasannya yang benar. Kebebasan berfikir jenis ini berbahaya bagi peradaban, karena diantara yang dituntut oleh kebebasan ialah agar seseorang tidak mempercayai sesuati kecuali benar menurut pendapatnya sendiri, dan tidak menempuh suatu jalan kecuali yang dibenarkan oleh akalnya sendiri.

Berbeda dengan kebebasan ini, kebebasan menuntut kesepakatan semua pihak terhadap unsur-unsur dan aturan-aturan peradaban, pemikiran dan sebagian kepercayaan, kemudian mewujudkannya di dalam kehidupan mereka. Kebebasan berfikir yang tidak terbatas bertentangan dengan watak peradaban.

Kelompok kedua lebih jelek keadaannya dari kelompok pertama. Kelompok pertama sekedar sesat, namunkelompok kedua ini pembohong, munafik, penipu, penyembunyi sesuatu.

Kelompok ketiga, tingakt terendah dipandang dari sudut kemampuan akalnya. Dua kelompok pertama membawa akal keluar kemampuannya, sedangkan kelompok ketiga tidak memfungsikan akal.116

Di dalam khazanah fiqh islam, dapat dijumpai rumusan-rumusan hukum yang menggambarkan kebebasan berfikir di dalam islam. Ibn Taymiyah yang kendatipun mengakui kelebihan dan keutamaan imam-imam fiqh yang dihormati oleh kaum muslimin, menyatakan: “Tidaklah benar apabila seseorang berpegang pada suatu mazhab tertentu yang dipilihnya, padahal ia mendapatkan kebenaran pada mazhab lain. Ia harus menjadi pencari kebenaran, tidak boleh panatik kepada seorang imam dan tidak melihat syariat kecuali dengan dan dari pandangannya sendiri. Sebab seseorang dapat diambil dan ditinggalkan pendapatnya kecuali seiring dengan taman muliaMuhammad SAW.117

116

Ibid., , h. 32-35.

117

BAB III