• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan dan Sejarah perkembangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil

BAB III. PERANAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM

B. Kedudukan dan Sejarah perkembangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Keberadaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) telah ada sejak zaman Kolonial

Hindia Belanda yang diatur dalam Het Herziene Inlands Reglement (HIR) Staatsblad Tahun

1941 No. 44. Pasal 1 sub 5 dan 6 HIR memberikan kewenangan pejabat yang diberi tugas kepolisian preventif, sedangkan Pasal 39 sub 5 dan 6 HIR memberikan kewenangan pejabat yang diberi tugas mencari kejahatan dan pelanggaran (kepolisian represif baik yang bersifat nonyustisial maupun proyustisial).

HIR yang merupakan pembaruan dari Inlands Reglement (IR), mengadakan

perubahan penting dengan dibentuknya lembaga Openbaar Ministerie atau penuntut umum,

yang dahulu ditempatkan di bawah pamong praja. Dengan perubahan ini maka Openbaar

Ministerie atau parket (parquet) itu secara bulat dan tidak terpisah-pisahkan berada di bawah Officer van Justice dan Procureur General.76

Menurut Daniel S. Lev,77 memang sebelum berlakungan HIR kejaksaan bercabang

dua. Untuk masyarakat Eropa tersedia Officer van Justice yang berpendidikan hukum,

mereka terorganisasi dalam sebuah parket (parquet) yang sangat bergengsi, yang setaraf

dengan hakim dan advokat. Sedangkan jaksa Indonesia adalah pejabat rendahan, dengan sedikit pengetahuan hukum pidana dan hukum acara pidana untuk orang-orang Indonesia,

tetapi tunduk kepada pemerintah Residen Belanda, dan di Landraad pada umumnya

dipandang rendah oleh para hakim dan advokat yang mungkin menangani perkara. Jaksa itulah, bersama dengan para anggota pamong praja di daerah untuk sebagian besar bertindak sebagai penyidik dan penuntut umum bagi orang Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, kewenangan sebagai penuntut umum secara penuh berada pada lembaga kejaksaan. Meskipun demikian, mengenai kewenangan penyidikan dapat dilakukan oleh banyak lembaga seperti polisi, jaksa, polisi khusus, dan polisi pamong praja.

Keberadaan polisi khusus diatur di dalam Keputusan Presiden No. 372 Tahun 1962 yang memberikan tugas kepolisian preventif dan tugas kepolisian represif nonyustisial.

76

Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal. 48.

77

Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, (Jakarta: LP3ES, 1990), hal. 139.

Sementara itu, untuk tugas kepolisian represif proyustisial dilaksanakan oleh pejabat (PPNS) yang diberi tugas untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan-ketentuan HIR, sedangkan di lingkungan pemerintahan daerah telah lama dikenal adanya lembaga polisi pamong praja. Karena lembaga ini pertama kali dibentuk pada tahun 1950 di Yogyakarta.

Kemudian dirubah namanya menjadi pagar baya disesuaikan dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian negara. Selanjutnya dengan Peraturan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah No. 1 Tahun 1963 diubah namanya menjadi pagar praja. Terakhir dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 dikembalikan namanya menjadi polisi pamong praja.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah No. 10 Tahun 1962 ditetapkan bahwa polisi pamong praja (pagar praja) bertugas membantu para pejabat pamong praja dalam melaksanakan tugasnya di bidang ketertiban dan keamanan pada umumnya dan dalam bidang pemerintahan umum yang meliputi fungsi dan tugas antara lain:

1. Pelaksanaan ronda desa/kampong;

2. Penjagaan kerusakan pengairan;

3. Hal memungut pajak;

4. Pengumpulan padi;

5. Pelaksanaan usaha penyuntikan cacar, dan sejenisnya;

6. Melanjutkan perintah pada lurah;

7. Mengadakan kunjungan ke desa-desa dalam daerahnya;

8. Usaha-usaha sensus;

9. Penjagaan pelanggaran terhadap Peraturah Daerah;

Karena fungsi dan tugas Polisi Pamong Praja yang begitu luas, terjadi kerancuan mengenai pelaksanaan tugas Polisi Pamong Praja yang seharusnya bertindak sebagai kepolisian represif nonyustisial. Apalagi, terhadap Polisi Pamong Praja dapat diangkat

sebagai Prajaksa (Hulp Magistrat) bagi mereka yang telah mengikuti latihan dan mendapat

bervet dari kejaksaan sebagai penyidik.78

Keberadaan Polisi Pamong Praja sebagai penyidik berakibat Polisi Pamong Praja melaksanakan pula fungsi kepolisian represif proyustisial yang sama dengan tugas dan fungsi pejabat (PPNS) sebagaimana diatur dalam HIR.

Timbulnya kerancuan di atas bukan hanya karena kurang adanya kejelasan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tugas dan fungsi Polisi Pamong Praja dan pejabat (PPNS) juga disebabkan adanya “rivalitas” antara lembaga kejaksaan dan kepolisian.

Menurut analisis Daniel S. Lev, 79 rivalitas antara polisi dan jaksa sebenarnya tidak

hanya dalam konteks “perebutan” kekuasaan dan kewenangan dalam sistem peradilan pidana melainkan juga dalam sistem politik. Rivalitas antara polisi dan jaksa muncul dilatarbelakangi adanya perbedaan kedudukan antara polisi dan jaksa sejak masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda dan lemahnya sistem politik untuk menciptakan struktur peradilan yang kuat.

78

Amir Thaib, Peraturan Perundang-undangan yang menjadi Dasar Hukum PPNS di Lingkungan Pemerintahan Daerah, (Semarang: Biro Pemerintahan Umum Pemda Tingkat I Jawa Tengah, 1997), hal. 4

79

“Pertikaian” antara polisi dan jaksa adalah mengenai persoalan yang menyangkut

prosedur dan wewenang melakukan penyelidikan pendahuluan (preliminary investigations)

yang ada di tangan jaksa sebagai kelanjutan dari fungsi para officer van Justice pada zaman

kolonial. Akan tetapi polisi berpendapat bahwa keahlian mereka untuk melakukan penyelidikan pendahuluan jauh lebih tinggi daripada jaksa dan sehubungan dengan adanya perubahan kondisi sebagai akibat revolusi perlu dibuat suatu rumusan baru mengenai fungsi polisi. Apalagi mereka menganggap bahwa kejaksaan merupakan sekedar badan perantara antara Kepolisian dan Pengadilan.

Pertikaian itu mereda pada tahun 1961 dengan diungkapkannya Undang-Undang Pokok Kepolisian dan Kejaksaan UU No. 13 dan No. 15 Tahun 1961) yang menentukan bahwa polisilah yang berwenang mengadakan penyelidikan pendahuluan. Namun kedua undang-undang tersebut mengandung ketentuan rangkap dalam upaya untuk membuat

kompromi dan memberi peluang dibuatnya saling pengertian (gentlemen’s agreement)

mengenai pembagian kerja yang cocok yang dalam kenyataannya tidak mengesampingkan jaksa untuk melakukan penyidikan.

Kemenangan polisi dari pertikaian di atas menurut Daniel S. Lev,80 adalah

kemenangan yang pada pokoknya bersifat politik karena didukung oleh besarnya anggota kepolisian dan statusnya sebagai bagian dari angkatan bersenjata sehingga menjadi kekuatan yang tidak dapat diabaikan, meskipun Presiden Soekarno pada waktu itu mendukung pihak kejaksaan.

Persoalan itu terbuka ketika pada tahun 1959 Jaksa Agung yang baru meminta kekuasaan istimewa dari kabinet untuk memerintahkan pejabat polisi termasuk polisi militer

80

dalam pengusutan kejahatan. Meskipun kekuasaan itu diberikan, dalam kenyataannya di lapangan polisi mengabaikannya.

Begitu pula adanya ketentuan undang-undang yang mendua di atas kemudian menjadi persoalan lebih lanjut antara polisi dengan jaksa yang menimbulkan perselisihan-perselisihan diantara mereka dalam proses penyelidikan dan penyidikan perkara pidana. Di samping itu baik kepolisian dan kejaksaan berhasil mendirikan kementriannya masing-masing dan kemudian mendapat otonomi yang dipeliharanya dengan penuh kewaspadaan sampai terjadinya perubahan politik daro Orde Lama ke Orde Baru. Oleh karena itu, untuk mengatasi kerancuan fungsi dan tugas antara Polisi Pamong Praja dan pejabat (PPNS) diundangkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah yang membedakan keberadaan, tugas dan fungsi antara pejabat (PPNS) dengan Polisi Pamong Praja.

Peraturan mengenai pejabat (PPNS) terdapat di dalam Pasal 43 Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 sebagai berikut;

1. Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran atas ketentuan Peraturan Daerah

dilakukan oleh alat-alat penyidik dan penuntut sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

2. Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditunjuk Pegawai-Pegawai Daerah yang diberi

tugas untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran atas ketentuan-ketentuan Peraturan Daerah.

Adapun mengenai Polisi Pamong Praja diatur dalam Pasal 86 Undang-Undang No. 5 Tahun 1974;

1. Untuk membantu Kepala Wilayah dalam menyelenggarakan pemerintahan umum dibedakan satuan Polisi Pamong Praja.

2. Kedudukan, tugas, hak, dan wewenang Polisi Pamong Praja yang dimaksud ayat (1)

ditetapkan oleh Mendagri.\

Ketetapan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) sebagaimana dimaksudkan di atas sampai saat ini masih belum diterbitkan sehingga pelaksanaan tugas Polisi Pamong Praja di daerah belum mantap. Meskipun demikian sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 pada umumnya tugas Polisi Pamong Praja melakukan tugas kepolisian preventif dan kepolisian represif nonyustisial.

Dalam melaksanakan fungsi tersebut di atas, Polisi Pamong Praja antara lain melakukan penertiban-penertiban;

1. Pelanggaran perizinan.

2. Kelestarian lingkungan hidup dan pemukiman.

3. Ketentraman penduduk dan sarana fasilitas umum.

4. Tertib lalu lintas, tertib bangunan, izin bangunan, tuna wisma, tuna warga, dan

masalah-masalah sosial lainnya.81

Berlakunya Undang-Undang No. 1 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mencabut berlakunya HIR dan peraturan perundangan lain yang mengatur hukum acara pidana, dengan pengecualian sebagaimana tercantum dalam Pasal 284 KUHAP.

Meskipun masih terdapat adanya berbagai lembaga kepolisian, KUHAP hanya mengakui Polisi Negara Republik Indonesia (Polri) dan PPNS sebagai penyidik seperti

81

dirumuskan dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP yang menyatakan: “Penyidik adalah (a) pejabat polisi negara Republik Indonesia (b) pejabat penyidik pegawai negeri sipil tertentu yang

diberi wewenang khusus oleh undang-undang.”

Dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP selanjutnya dikatakan :Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a. Penjelasan Pasal 7 ayat (2) KUHAP juga menjelaskan “Yang dimaksud dengan “penyidik dalam ayat ini” adalah, misalnya penjabat bea cukai, pejabat imigrasi dan penjabat kehutanan, yang melakukan tugas penyidikan sesuai dengan wewenang khusus yang

diberikan oleh undang-undang yang menjadi dasar hukum masing-masing”. Dengan

demikian, maka dalam hukum acara pidana Indonesia yang dapat melakukan kegiatan penyidikan (tindakan kepolisian represif proyustisial) hanyalah Polri dan PPNS. Sedangkan lembaga-lembaga kepolisian lainnya, seperti pamong praja dan polisi khusus tidak diperkenankan.

Kemudian hal tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 27 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian) yang juga merumuskan “Penyidik pegawai negeri sipil yang dapat disingkat PPNS adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berdasarkan undang-undang ditunjuk selaku penyidik dan mampunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup

undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing”. Selanjutnya dalam UU Kepolisian

dinyatakan “yang melaksanakan fungsi kepolisian adalah kepolisian negara Republik Indonesia yang dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh :

a. Alat-alat kepolisian khusus.

b. Penyidik pegawai negeri sipil.

c. Bentuk-bentuk pengamanan swakarsa” (Pasal 4 ayat (1)”.

“Pengembangan fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c melaksanakan fungsi kepolisian sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.”(pasal 4 ayat (1)”.

Pada Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Kepolisian dikemukakan “Yang dimaksud dengan kata “dibantu” pada ayat ini adalah dalam lingkup pelaksanaan fungsi kepolisian, tidak bersifat struktural. Huruf a, Yang dimaksud dengan alat-alat kepolisian khusus menurut undang-undang ini adalah alat-alat atau badan-badan pemerintahan yang oleh atau atas kuasa undang-undang diberi wewenang untuk melaksanakan fungsi kepolisian di bidangnya

masing-masing.”

Pengaturan lebih lanjut mengenai PPNS terdapat di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 1983 tentang pedoman Pelaksanaan KUHAP. Pasal 2 ayat (1) PP No. 27 Tahun 1983 menyatakan “Syarat kepangkatan untuk dapat diangkat menjadi PPNS sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Gol. II/b) atau yang disamakan dengan itu. “Selanjutnya, ditentukan dalam Pasal 2 ayat (5) PP No. 27 Tahun 1983 : “PPNS diangkat oleh Menteri Kehakiman atas usul dari departemen yang membawahi pegawai negeri tersebut. Menteri Kehakiman sebelum melaksanakan pengangkatan terlebih dahulu mendengar pertimbangan Jaksa Agung dan Kapolri.

Hal yang terpenting pula Pedoman Pelaksanaan KUHAP menghilangkan tugas dan

tugas dan wewenang penyidikan di lingkungan pemerintahan daerah (Pasal 37 PP No. 27 Tahun 1983).

Ketentuan mengenai KUHAP di atas sebenarnya menindaklanjuti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 10 Undang-UNdang No. 13 Tahun 1961 tentang Pokok-Pokok Kepolisian Negara (UU Kepolisian) yang menyatakan berikut :

“Mengingat adanya wewenang Kepala Daerah yang memegang pimpinan kebijaksanaan politik polisionil dan koordinasi dinas-dinas vertikal di daerahnya

maka Kepala Daerah dapat menggunakan kepolisian negara yang ada dalam

daerahnya untuk melaksanakan wewenangnya dengan memperhatikan hierarki dalam kepolisian negara.”

Pasal di atas pada dasarnya menegaskan bahwa baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah hanya ada satu lembaga kepolisian, yaitu kepolisian negara. Akan tetapi dalam

rangka untuk melaksanakan single administrasion yang memberikan wewenang kepada

Kepala Daerah sebagai “panguasa tunggal” di daerahnya, maka seyogianya lembaga kepolisian secara taktis operasional ditempatkan di bawah komando kepala wilayah (Gubernur/Bupati,Walikota) selaku penguasa tunggal di daerah, yaitu agar dapat diciptakan “kesatuan komando” yang sesungguhnya.82

Hal itu tercermin dari istilah yang digunakan Pasal 10 UU Kepolisian yaitu “Kepala Daerah dapat menggunakan kepolisian negara” yang lebih tegas maknanya dari pada istilah “dapat meminta bantuan”.

82

Djenal Hoesen Koesoemahatmadja, Fungsi dan Struktur Pamong Praja, (Bandung: Alumni, 1978), hal. 139.

Dalam pasal 5 instruksi menteri dalam negeri dan Panglima Angkatan Kepolisian No. 4 Tahun 1969 dan Pol 25/Instr/Pangdak/1969 tentang kerjasama politik Polisi dicantumkan sebagaiberikut “Dalam hal bantuan angkatan kepolisian diminta oleh kepala daerah, maka permintaan bantuan ini diajukan kepada Panglima/ komando-komando daerah angkatan kepolisian setingkat di daerah dengan menyebutkan (a) alasan-alasan, (b) bentuk bantuan yang diharapkan. Dengan demikian, dalam prakteknya kepala wiayah tidak begitu saja dapat menggunakan kepolisian negara, tetapi sebelum dapat menggunakannya, kepala daerah harus dapat melalui prosedur tertentu.

Tahun 1984 oleh Menteri Kehakiman dikeluarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M-04-PW.07.03 tahun 1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengusulan dan Pengangkatan dan Pemberhentian PPNS. Untuk menindaklanjuti Keputusan Menteri Kehakiman tersebut, diterbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 23 Tahun 1986 tentang Kedudukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintahan Daerah yang mengatur mengenai kedudukan, dan tugas, syarat-syarat untuk diangkat, pengusulan, penunjukan dan pengangkatan, mutasi dan pemberhentian, dan bidang penyidikan PPNS di daerah. Keputusan Menteri inilah yang menjadi landasan hukum dibentuknya PPNS di lingkungan pemerintah daerah sehingga keberadaan PPNS dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai penyidik terhadap pelanggaran-pelanggaran peraturan daerah terus berkembang sampai dengan sekarang.

C. Tugas, Wewenang Dan Kewajiban PPNS Perpajakan Dan Penyidik Polri

Dari beberapa peraturan perundang-undangan yang menyebut tentang PPNS seperti KUHAP, Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Kepolisian pada dasarnya merumuskan pengertian PPNS dengan unsur-unsur sebagai berikut:

1. PPNS adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang

2. Wewenang khusus tersebut adalah wewenang untuk melakukan penyidikan

tindak pidana

3. Tindak pidana yang dimaksud adalah tindak pidana tertentu yang menjadi

lingkup tugas suatu departemen atau instansi

4. PPNS harus memenuhi persyaratan tertentu, antara lain serendah-rendahnya

pangkat Pengatur Muda Tingkat I Gol II/ b dan berijazah SLTA

5. PPNS diangkat oleh Menteri Kehakiman setelah mendapat pertimbangan dari

Kapolri dan Jaksa Agung

6. Dalam pelaksanaan tugasnya (penyidikan), PPNS berada di bawah koordinasi

dan pengawasan (korwas) penyidik POLRI

Selanjutnya mengenai tugas dan wewenang PPNS meliputi sebagai berikut:

1. Melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran undnag-undang atau tindak pidana

di bidang masing-masing

2. PPNS mempunyai wewenang penyidikan sesuai dengan undang-undang yang

menjadi dasar hukumnya

3. Dalam melakukan tugas sebagaimana dimaksud di atas, PPNS tidak berwenang

melakukan penangkapan dan atau penahanan

Penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan pada dasarnya memang merupakan tindakan penegakan hukum yang dianggap perlu,karena dengan dilakukan penyidikan yg bermuara pada tuntutan hukum dengan ancaman pidana di harapkan akan memberi pengaruh (detterent effect) terhadap kepatuhan wajib pajak. Penyidikan adalah upaya akhir (ultimatun remedium) dalam rangka upaya penegakan hukum pajak jika upaya lain sebelumnya tidak

cukup memadai untuk diterapkan.83 Dalam penanganan kasus perpajakan ada 2 sanksi perpajakan yang dikenakan yaitu sanksi pidana dan sanksi perdata.

Sanksi pidana perpajakan diatur sebagai berikut :

1. Barang siapa karena kealpaannya

a) Tidak mengembalikan/menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak kepada

Direktorat Jendral Pajak.

b) Menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak tetapi isinya tidak benar atau tidak

lengkap dan atau melampirkan keterangan yang tidak benar.

Sehingga menimbulkan kerugian pada negara ,dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6(enam)bulan atau denda setinggi-tingginya sebesar 2(dua) kali pajak yang terhutang

2. Barang siapa dengan sengaja

a) Tidak mengembalikan /menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak kepada

Direktorat Jendral Pajak.

b) Menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak tetapi isinya tidak benar atau tidak

lengkap dan atau melampirkan keterangan yang tidak benar

c) Memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain yang palsu atau

dipalsukan seolah-olah benar.

d) Tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya.

e) Tidak menunjukan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan.

Sehingga menimbulkan kerugian pada Negara ,dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2(dua )tahun atau denda setinggi-tingginya sebesar 5(lima) kali pajak yang terutang.

83

3. Terhadap bukan Wajib Pajak yang bersangkutan yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf “d”dan”e”, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau dneda setinggi-tingginya Rp.2.000.000,00 (dua juta rupiah). Pengertian bukan Wajib Pajak diatas adalah pejabat yang bertugas dan perkerjaannya berkaitan dan perkerjaannya berkatian langsung atau ada hubungannya dengan objek pajak atau pihak lainnya.ancaman pidana pada angka 2 dilipatkan dua apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana dibidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalanin sebagian atau seluruh pidana penajra yang dijatuhkan atau sejak dibayarnya denda, Selanjutnya tindak pidana tidak dapat dituntut setelah lampau 10(sepuluh)

tahun sejak berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan .84

Agar suatu peradilan dapat merupakan suatu peradilan administrasi, maka disamping unsur-unsur tersebut dipenuhi, harus ada unsur-unsur lainnya, yakni;

a. Bahwa salah satu pihak yang berselisih harus administrasi yang menjadi terikat

karena perbuatan salah seorang pejabat dalam batas wewenangnya;

b. Diberlakukannya “Hukum Publik” atau Hukum Administrasi terhadap persoalan

yang diajukan.85

Landasan hukum mengenai sanksi administrasi diatur dalam masing-masing pasal UU KUP, diatur dengan tegas mengenai hak dan kewajiban wajib pajak dan hak dan kewajiban fiskus, dalam rangka penegakan hukum pajak (tax law enforcement). Sanksi administrasi dapat dijatuhkan apabila wajib pajak melakukan pelanggaran , terutama atas kewajiban yang ditentukan dalam UU KUP dapat berupa sanksi administrasi bunga, denda,

84

Waluyo, Perpajakan Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2002), hal.424. 85

kenaikan. Sedangkan sanksi pidana bisa berupa hukuman kurungan dan berupa hukuman

penjara.86

Sanksi administrasi perpajakan diatur dalam UU KUP sebagai berikut:

a. Sanksi Berupa Denda

1. Pasal 7, denda administrasi sebesar Rp.50.000 dan Rp.100.000 terlambat

lapor menyampaikan SPT masa dan SPT tahunan.

2. Pasal 8 ayat(3), denda sebanyak 2 kali (200%) jumlah pajak kurang di bayar

membetulkan SPT telah dilakukan tindakan pemeriksaan oleh fiskus tapi belum dilakukan penyelidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan wajib pajak sesuai yang dimaksud dalam pasal 38.

b.Sanksi Berupa Bunga

1. Pasal 8 ayat(2), membetulkan SPT atas kemauan sendiri masih dalam jangka

waktu 24 bulan belum dilakukan tindakan pemeriksaan oleh fiskus. Besarnya bunga 2% sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT berakhir sampai tanggal pembayaran.

2. Pasal 14 ayat(1) huruf b, SPT yang telah disampaikan telah diteliti oleh

fiskus terdapat salah tulis salah hitung. Kekurangan tersebut dikenakan sanksi bunga 2% sebulan untuk selama-lamanya 24 bulan, dihitung dari terkurangnya pajak atau bagian tahun atau tahun pajak.

3. Pasal 19 ayat(3) wajib pajak yang diperoleh menujukan permohonan

perpanjangan SPT, dan dikanulkan ternyata perhitungan sementara pajak yang terhutang terdapat selisih pajak yang kurang dibayar. Atas kekurangannya dikenakan bunga 2% sebulan yang dihitung dari saat

86

Devano Sony,Kurnia Rahayu Siti, Perpajakan: Konsep Teori Dan Isu, (Jakarta: Kencana, 2006), hal198.

berakhirnya kewajiban menyampaikan SPT sampai dengan hari dibayarkannya kekurangan pembayaran tersebut.

c. Sanksi Brupa Kenaikan

1. Pasal 8 ayat(4) dan (5), membetulkan SPT telah lebih dari 24 bulan, fiskus

belum menerbitkan SKP, wajib pajak mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT dengan laporan sendiri yang mengakibatkan:

(a) Pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar

(b) Rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil

(c) Jumlah harta menjadi lebih besar

(d) Jumlah modal menjadi lebih besar

Pajak yang kurang dibayar yang timbul akibat pembetulan SPT harus dilunasi ditambah sanksi administrasi kenaikan sebesar 50% dari pajak yang kurang dibayar.

2. Pasal 13 ayat(1) huruf b, SPT tahunan yang tidak disampaikan dalam

waktu yang ditentukan, setelah ditegur secara tertulis tetapi tidak disampaikan. Ditetapkan secara jabatan SKPKB ditambah sanksi kenaikan 50% untuk PPh badan/atau PPh orang pribadi. Sedang untuk PPh potongan pungutan dikenakan sanksi kenaikan 100% dari pajak yang

kurang dibayar.87

Wewenang penyidik perpajakan diatur dalam UU KUP No.28 tahun 2007 Pasal 44 Ayat(2) yaitu: wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat(1) adalah :

87

b. Menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;

c. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau

badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;

d. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan

dengan tindak pidana di bidang perpajakan;

e. Memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di

bidang perpajakan;

f. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,

Dokumen terkait