• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORITIS

A. Komisi Kejaksaan

1. Kedudukan Komisi Kejaksaan Dalam Sistem

Untuk lebih memantapkan kedudukan dan peranan kejaksaan RI

sebagai “badan negara” yang terpisah dari lembaga eksekutif, ditunjuk

seorang Jaksa Agung yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden berdasarkan persetujuan DPR. Kejaksaan RI bertanggung jawab kepada publik secara transparan, dan konsekuensinya lembaga ini harus melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara bebas dan lepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah (eksekutif) dan kekuasaan lainnya, walau perlu juga dibentuk Komisi Kejaksaan yang mengawasi untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan. Komisi ini bertugas membantu Presiden untuk memberdayakan Kejaksaan RI dan memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung dan Jajaran eselon satu di bawahnya.1

Sejak tanggal 22 juli 1960 yaitu ketika Presiden Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 204 Tahun 1960 yang secara tegas memisahkan Kejaksaan dari Kementerian Kehakiman dan Mahkamah Agung, dan menjadikannya sebagai suatu institusi yang berdiri sendiri dan merupakan bagian langsung dari kabinet. Inilah landasan hukum pertama

1

Marwan Effendy,Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum, (Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama,Anggota IKAPI,2005), h.142.

28

yang menempatkan Kejaksaan sepenuhnya sebagai bagian dari ranah kekuasaan Eksekutif.2 Namun beberapa pendapat sarjana hukum bahwa kejaksaan di bawah kabinet pemerintah menyebabkan independensi lembaga Kejaksaan dipertanyakan. Salah satunya adalah Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, SH.

Dari tahun 1945-1959, memang disebut Jaksa Agung pada Mahkamah Agung. Sayang dalam amandemen UUD, kurang diperhatikan faktor sejarah ini, sehingga Jaksa Agung menjadi “pembantu” presiden.

Undang-undang tentang kejaksaan No. 5 tahun 1991 menyebutkan bahwa kejaksaan (Jaksa Agung) adalah alat Pemerintah (yang kemudian diperkuat di dalam Undang-undang No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan di dalam Konsideran dan pada Pasal 2 ayat (1) menyatakan Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang). Jadi, mundur dari semula “Kejaksaan adalah alat negara penegak hukum”. Dengan demikian Jaksa Agung menjadi tidak independen,

sehingga sulit diharapkan penegakan hukum yang independen terbatas dari pengaruh politik.

Pendapat lain mengenai independensi kejaksaan disampaikan oleh Mappi (masyarakat pemantauan peradilan indonesia) dalam sebuah publikasi opini bahwa Kejaksaan saat ini masih berada di bawah

bayang-2

Yusril Ihza Mahendra “Kedudukan Kejaksaan Dan Posisi Jaksa Agung Dalam Sistem Presidensial Di Bawah UUD 1945” (makalah di http://yusril.Ihzamahendra.com/ diakses pada tanggal 3 november 2014

bayang kekuasaan eksekutif, sehingga nampak sulit bagi Jaksa, khususnya Jaksa Agung untuk mandiri. Kenyataan tersebut tidak dapat dipungkiri, karena Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Beberapa kejadian telah membuktikan bahwa dengan Kejaksaan tidak mandiri sangatlah berpengaruh kepada proses penegakan hukum itu sendiri dan akhirnya betul-betul tergantung pada itikad politik pemerintah, dalam hal ini Presiden.3 Khusus untuk lembaga Kejaksaan di dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan bahwa dimungkinkan adanya lembaga pengawas eksternal berdasarkan Pasal 38 disebutkan bahwa untuk meningkatkan kualitas kinerja Kejaksaan maka Presiden dapat membentuk sebuah komisi yang susunan dan kewenangannya diatur oleh Presiden. Keberadaan komisi ini merupakan tuntutan publik untuk mendorong penegakan hukum oleh Kejaksaan lebih efektif, pemerintah dan DPR sepakat membahas mengenai pembentukan sebuah komisi.

Amanah Perpres No. 18 tahun 2010 tentang Komisi Kejaksaan Republik Indonesia mengisyaratkan dibentuknya Komisi Kejaksaan Republik Indonesia adalah dalam rangka upaya meningkatkan kinerja Kejaksaan, amanah tersebut dijabarkan oleh Komisi Kejaksaan Republik Indonesia dalam misinya yang berbunyi: Mewujudkan Kejaksaan yang

3

Asep Rahmat Fajar, S.H. Wajah Lembaga Peradilan Inonesia: Kenyataan Dan Harapan. H.5.

30

Lebih Baik.

Lahirnya Perpres No. 28 Tahun 2010 sebagai implementasi UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia tentu tidak muncul begitu saja, tetapi didasari oleh kondisi yang nyata terutama kinerja Kejaksaan yang dipandang (Publik/Masyarakat) belum lagi memadai terutama dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Masalah perilaku para Jaksa dan Pegawai Tata Usaha yang terjaring melakukan perbuatan tercela masalah profesionalisasi para Jaksa dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, juga menjadi dasar penilaian publik/masyarakat terhadap Kejaksaan.

Komisi Kejaksaan Republik Indonesia dengan peran utama sebagai

lembaga yang bertugas mengawasi perilaku maupun “kinerja” para Jaksa

dan Pegawai Tata Usaha sekaligus juga berperan mencermati proses

penegakan “disiplin” para Jaksa dan Pegawai Tata Usaha, disamping

Kewenangan memberikan reward kepada para Jaksa dan Pegawai Tata Usaha yang berprestasi. Peran lain yang cukup penting dari Komisi Kejaksaan Republik Indonesia adalah memberikan penilaian terhadap Organisasi dan Tata Laksana, Saran dan Prasarana, Sumber Daya Manusia dan Keuangan.

Dari Uraian diatas tergambar sebuah ruang lingkup tugas yang luas, strategis dengan tujuan terwujudnya Kejaksaan yang lebih baik di masa datang.

adalah : Sumber Daya Manusia (personail) yang dalam hal ini adalah para Jaksa dan Pegawai Tata Usaha, yang secara fungsional berarti semua pegawai Kejaksaan yang berstatus Jaksa/Jaksa Penuntut Umum; secara struktural adalah semua pemangku jabatan mulai dari esselon IV sampai dengan esselon I.

Pilar kedua adalah Tata Laksana Organisasi, aturan-aturan baik tentang kepegawaian, keuangan, maupun aturan-aturan yang mengatur tentang masalah teknis operasional, sedangkan pilar ketiga adalah sarana prasarana dan keuangan.

Komisi Kejaksaan Republik Indonesia pada rapat Kerja (Rakornas) tahun 2011 ini dalam posisi sebagai mitra dari pengawasan internal menyampaikan tulisan ini sebagai bagian tanggung jawab Komisi Kejaksaan Republik Indonesia terhadap amanah Undang-undang yang menjadi dasar keberadaan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia.

2. Visi, Misi Strategis serta Kode Etik Komisi Kejaksaan Republik

Dokumen terkait