• Tidak ada hasil yang ditemukan

DPR “BERTEKUK LUTUT” PADA PEMERINTAH

H. Kehadiran Anggota DPR dalam Rapur

Rapat paripurna (Rapur) pada Masa Sidang-Masa Sidang sebelumnya menghendaki kehadiran fisik dari anggota DPR untuk memenuhi kuorum.

Namun dalam MS III TS 2019-2020 ini dimana pandemi Covid 19 mulai dan

148http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/28488/t/Puan+Maharani+Serukan+Solidaritas+Int ernasional+Atasi+Pandemi+Covid-19

149http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/28654/t/Tatib+Pengambilan+Keputusan+Perlu+Di tinjau+Ulang

150http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/28317/t/Rai+Wirajaya+Gantikan+Hendrawan+Sup ratikno+sebagai+Wakil+Ketua+BAKN

77

sedang berlangsung memaksa DPR melakukan Rapur secara virtual. Meski demikian, untuk memenuhi kuorum maka suatu Rapur harus dihadiri oleh 50%

plus satu Anggota DPR, baik secara fisik maupun virtual. Meski demikian, kehadiran anggota DPR dalam Rapur tetap rendah. Mestinya, dengan ketentuan baru DPR, anggota DPR bisa menghadiri Rapur dari manapun, baik di rumah, kantor, tempat melakukan kunjungan, atau sedang menunggu sesuatu di suatu tempat. Jadi sebenarnya tidak ada alasan lagi untuk mangkir kecuali sedang sakit parah karena tidak bisa mengaktifkan ponsel

Dalam MS III ini, rata-rata kehadiran fisik anggota DPR dalam Rapur hanya 39,5 dan rata-rata secara virtual 277,5 sehingga kehadiran rata-rata dalam setiap Rapur hanya 317 orang atau 55,13% dari seluruh anggota DPR yang berjumlah 575 orang (Lihat Tabel). Jadi meski ada kelonggaran dimana anggota DPR bisa hadir secara virtual tetapi jumlah yang hadir tetap segitu saja, sama dengan Rapur-rapur pada MS sebelumnya. Jangan-jangan anggota DPR yang bersedia hadir ya hanya yang itu-itu saja, lalu kemana anggota DPR yang lainnya itu. Jadi dapat disimpulkan bahwa kemalasanlah yang menjadi penyebab ketidakhadiran anggota DPR pada Rapur dalam MS ini.

Pimpinan DPR perlu terus mencari formula yang tepat agar kehadiran anggota DPR dalam Rapur tidak saja bertujuan untuk memenuhi kuorum, melainkan juga menjadi gambaran bahwa kehadiran anggota DPR merupakan hal yang sangat penting. Sebab disamping memiliki hak konstitusional, anggota DPR juga harus memenuhi kewajiban konstitusionalnya. Jadi mesti ada suatu daya paksa (apapun bentuknya) agar DPR pada akhirnya memahami bahwa mereka mempunyai kewajiban konstitusional untuk hadir dalam setiap rapat, terutama rapat paripurna. Daya paksa itu dapat berupa sanksi lisan dan tertulis, sanksi administrative (tidak memberikan atau mengurangi hak-hak tertentu), hingga pemberhentian sementara (skors) dan pemecatan.

Tabel. Kehadiran Anggota DPR Dalam Rapur Pada MS III TS 2019-2020

No Rapur Jumlah

Anggota

Hadir %

Fisik Virtual Total 1. Rapur Pembukaan MS III 30 Maret

2020

575 45 297 342 59,48

2. Rapur 2 April 2020 575 31 278 309 53,74

3. Rapur 5 Mei 2020: Laporan BURT 575 36 280 316 54,96 4. Rapur Penutupan MS III 12 Mei

2020

575 46 255 301 52,35

TOTAL 575 158 1.110 1.268 220,53

Rata-rata 39,5 277,5 317 55,13

78 Keterangan: Diolah dari berbagai sumber

I. Beberapa Catatan

DPR tidak dapat menghentikan tugas dan fungsi konstotusionalnya hanya gara-gara pandemi Covid 19. Oleh karena itu, tepatlah keputusan yang diambil sebagaimana disampaikan Ketua DPR bahwa DPR tetap bekerja dalam menjalankan tugas konstitutionalnya di tengah pandemi virus Corona (Covid-19) ini. Fungsi pokok DPR yang sangat strategis tersebut jika tidak dijalankan akan membuat Negara ini lumpuh, dimana Pemerintah tidak akan dapat berjalan tanpa DPR. Berbagai usaha telah dilakukan DPR, mulai dari pembahasan hingga pengesahan Perppu No. 1 Tahun 2020 menjadi UU, memberikan masukan kepada Pemerintah, menggalang dana dan bantuan karitatif bagi masyarakat, hingga melakukan edukasi dan penjelasan bagaimana masyarakat harus menyikapi pandemi Covid 19. Semua usaha ini perlu diapresiasi karena wakil rakyat sudah memiliki kesadaran (empati dan simpati) atas penderitaan rakyat. Semoga sikap dan kesadaran ini terus hidup dan menjadi roh bagi DPR dalam melaksanakan tugasnya yang selama ini dinilai tidak optimal membela rakyat.

Namun di balik itu semua, sikap DPR yang begitu mudah menyetujui Perppu No.

1 Tahun 2020 menjadi UU memunculkan berbagai pertanyaan dari public.

Pertama, betul bahwa dalam keadaan darurat seperti masa Pandemi Covid 19 ini perlu adanya kebijakan yang cepat tapi tidak melupakan ketepatan prosedur yang mesti dilalui. Dalam pembahasan Perppu di DPR sebagaimana diuraikan dalam evakin bidang legislasi dan anggaran, tidak banyak rapat yang dilakukan sebagaimana biasanya dalam membahas perubahan postur APBN/APBN-P.

Tidak semua Komisi DPR melakukan rapat dengan Mitra Kerjanya, lalu sekali rapat di Banggar maka pembahasan itu selesai. Selain itu, Menkeu beberapa kali mengubah sendiri postur APBN tanpa melakukan pembahasan lagi dengan Banggar DPR sehingga tindakan Menkeu bisa dikategorikan melanggar UU dan kesepakatan politik yang telah dibuat bersama sebelumnya. Namun terhadap hal ini DPR tidak bisa berbuat apa-apa (untuk hal ini bisa ditengok dalam evaluasi bidang legislasi dan anggaran).

Kedua, sesungguhnya dalam pembahasan Perppu No. 1 Tahun 2020 muncul banyak sekali pendapat dan sikap anggota DPR sebagai individu yang sangat kritis. Misalnya, setiap perubahan postur APBN harus dibicarakan dengan seksama karena harus ditetapkan dengan UU sehingga pembahasannya pun harus sama seperti menyusun UU. Namun pendapat kritis secara individu anggota DPR ini hilang bak ditelan bumi ketika fraksi-fraksi di DPR menyampaikan pendapatnya (kecuali Fraksi PKS yang meski menyetujui Perppu No. 1 Tahun 2020 menjadi UU tapi memasukkan pendapat itu sebagai catatan dalam pendapat Fraksi). Dengan demikian, yang berlaku di DPR adalah pendapat Fraksi atau yang berdaulat itu adalah Fraksi dan bukan anggota DPR sebagai

79

wakil rakyat. Jadi sistem fraksi di DPR ikut menyumbang atas rapuhnya checks and balances antara DPR terhadap Pemerintah.

Ketiga, begitu besarnya koalisi pendukung Pemerintah di DPR juga ikut memandulkan DPR dalam menjalankan tugas dan fungsi pokoknya. Sebagai pendukung Pemerintah sudah barang tentu kelompok yang ada di DPR ini akan (selalu) memenuhi kehendak Pemerintah. Kalau tidak mendukung dipastikan dicap sebagai oposisi. Disinilah muncul dilemma, bagaimana seharusnya berperan sebagai lembaga legislative yang seharusnya dapat mendukung program Pemerintah yang baik dan menolak permintaan Pemerintah yang tidak sesuai peraturan perundang-undangan dan kepentingan rakyat. Jika ke depan DPR akan tetap seperti ini, dikhawatirkan Pemerintah (eksekutif) akan berjalan semaunya tanpa mendapat pengawasan yang sepadan dari DPR.

Keempat, melakukan sikap empati dan simpati kepada masyarakat adalah hal yang sangat baik. Namun yang perlu diberi catatan adalah bahwa DPR itu badan legilatif dan bukan eksekutif atau eksekutor program seperti yang dilakukan oleh Pemerintah. Tugas utama dari DPR adalah mengawasi apa yang telah dilakukan Pemerintah sebagai eksekutor program yang telah disepakati bersama ketika membahas APBN. Jadi DPR seharusnya focus dalam pegawasan ketimbang ikut-ikutan melakukan tugas Pemerintah.

Terkait kehadiran anggota DPR dalam rapat-rapat, khususnya rapat paripurna (Rapur) pada umumnya sudah memenuhi syarat dasar kuorum. Hanya saja, meski sudah terjadi perubahan atau penyempurnaan aturan tentang pelaksanaan rapat-rapat yaitu penyelenggaraan rapat secara virtual, kehadiran anggota dalam setiap Rapur tidak beranjak jauh (lebih baik) dari sebelumnya. Kehadiran anggota DPR cuma segitu saja atau rata-rata sekitar 55%, lalu kemana anggota lainnya yang 45%. Perubahan aturan yang memudahkan bagi anggota DPR untuk hadir (secara virtual) gagal mendongkrak kehadiran mereka dalam setiap Rapur.