• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kehilangan Dan Kedukaan

Dalam dokumen T2 752016016 BAB II (Halaman 28-35)

Jakoby mengatakan bahwa kehilangan dan kedukaan adalah emosi sosial,73 artinya di dalam kehilangan dan kedukaan itu ada ikatan sosial yang melekat dengan almarhum. Selama ada hubungan yang intim/ baik atas dasar persahabatan, cinta maka kehilangan dan kedukaan akan ada saat seseorang meninggal, berpisah dan lain-lain. Kehilangan merupakan bagian integral dari suatu kehidupan tetapi bukan sesuatu yang dinginkan. Dari sudut padang sosial, kedukaan dilihat sebagai emosi sosial dan proses interpersonal karena muncul dari suatu hubungan sosial yang intim. Perasaan dan ekspresi kedukaan bervariasi sesuai kondisi sosial dan budaya.74

71Nina R.Jakoby “Grief As A Sosial Emotio:Theoretical Perspektives,” Death Sudies Journal,36 (2012),679-711.

72Doyle Paul Johnson, Teori Sosioligi Klasik,191

73Emosi diartikan sebagai keadaan fisiologi (seperti kegembiraan, kesedihan, kecintaan, keberanian) dan ekspresi melalui wajah, suara, perasaan subjektif.

Secara teoritik, sosial melihat kedukaan sebagai emosi, yang lebih lanjut dijelaskan bahwa, pertama, kedukaan adalah situasi karena kehilangan sesuatu atau seseorang yang penting. Artinya, kehilangan merunjuk pada apa yang dirasakan, sedangkan kedukaan pada apa yang dilakukan. Kedua, sosial membedakan antara kedukaan dan penyakit. Kedukaan bukan penyakit, karena umumya kedukaan dipahami sebagai sesuatu yang normal dan masyarakat tidak bisa membedakan kedukaan secara fisik atau mental sehingga mereka mengatakan bahwa kehilangan nafsu makan, mood sebagai gangguan depresi. Ketiga, kedukaan didefenisikan sebagai bentuk emosi yang

negatif atau „emosional sindrom”75

Di zaman modern ini, masyarakat dicirikan dengan keragaman individu, sosial dan budaya. Selain itu, pengaruh perpindahan demografi, sosial dan geografis, sekularisasi membentuk pengalaman dan kompleksitas kedukaan masyarakat. Sehingga, kedukaan dalam model sosial berfokus pada kehadiran terus-menerus, bercakap-cakap untuk mengembalikan sebuah makna akan hidup. Kedukaan bukan hanya proses batin, mental, karena emosi dibentuk kembali melalui interpersonal, kekerabatan, interaksi sosial dengan orang lain.

Berdasarkan paparan di atas dapat dikatakan bahwa kehilangan dan kedukaan dalam pendekatan sosial adalah emosi. Putusnya hubungan sosial antara orang yang berduka dengan orang yang meninggal. Hal ini menyebabkan apa yang dirasakan (kehilangan) dan apa yang akan dilakukan (kedukaan). Secara sosial, kedukaan bukan penyakit dan kalau sudah terjadi depresi, maka ini adalah emosi negatif.

D.RANGKUMAN

Berdasarkan sejumlah pikiran para ahli di bab dua ini, maka tampak beberapa hal yang menarik, yaitu sebagai berikut:

1. Kematian itu universal, artinya, kematian adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindari oleh manusia. Terhadap kematian, semua kebudayaan pada masing-masing daerah selalu menggambarkan konsep kematian dan ritus-ritus yang berkaitan dengan kematian. Reaksi dari kehilangan adalah kedukaan

(grief) bagi orang yang merasa ditinggalkan. Itu berarti bahwa, setiap manusia

pernah mengalami kehilangan dan secara langsung juga pernah mengalami kedukaan. Kedukaan adalah pengalaman hidup yang universal, yang pernah, sedang atau akan dialami setiap orang pada saat-saat tertentu. Kedukaan adalah proses yang memiliki tahapan emosional yang dapat dikenali dan muncul sebagai akibat peristiwa kehilangan. Walaupun demikian, banyak orang yang tidak mengenali dinamika pengalaman ini oleh karena memiliki mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) yang ada pada setiap orang yaitu menghindarkan dirinya dari perasaan-perasaan negatif.

Banyak ahli yang melakukan penelitian terhadap reaksi-reaksi kehilangan yakni kedukaan, menyatakan bahwa kedukaan menimbulkan banyak gejala, seperti Sigmud Freud, dalam karya awalnya “Mourning and Melancholia” menyatakan bahwa depresi atau “melancholia” sebagai kedukaan patogenik.

Pendapat senada juga disampaikan oleh Jackson, yang melihat ada tiga perasaan yang muncul dalam kedukaan, yaitu: shock, cemas dan depresi. Kedukaan lebih dari sekedar gejala penyakit. Wright, juga mengungkapkan bahwa kedukaan adalah suatu penderitaan emosi yang luar biasa.

Hal ini ditantang oleh banyak pemikir ilmu kedukaan lainnya, seperti, Coval MacDonald, Clinebell, Wiryasaputra bahwa tidak semua orang mengalami proses kedukaan akan depresi. Sebab, depresi sangat terkait oleh peristiwa masa lalu sedangkan kedukaan adalah persoalan masa kini

(situasional) dan masa depan. Coval Macdonald, melihat kedukaan dari

prespektif baru, yaitu kedukaan bukan penyakit, tetapi kedukaan adalah bagian hidup yang tidak tampak, terluka tetapi tidak sakit. Clinebell, melihat kedukaan ada pada segala perubahan, kehilangan dan transisi kehidupan manusia.

Ada begitu banyak faktor yang mempengaruhi kedukaan seseorang. Hal ini yang melatarbelakangi sehingga kedukaan masing masing orang berbeda

satu dengan yang lainnya. Tercatat ada empat faktor penting, yakni, pertama kedekatan antara penduka dengan almarhum, merupakan faktor utama dan yang memberikan dampak kuat dalam kedukaan seseorang. Hal ini sangat terkait dengan seberapa urgennya almarhum dalam kehidupan orang yang berduka. Jika, almarhum tidak memainkan peran yang penting dalam hidup orang yang berduka, maka rasa duka tidak begitu dalam, sebaliknya jika peran almarhum sangat signifikan, maka respon kedukaan menjadi lebih mendalam dan kompleks. Kedua, cara dan penyebab kematian seseorang, yakni bagaimana almarhum mengalami kematian. Berbeda seorang anak yang mengalami kehilangan ayahnya yang berusia 90 tahun karena sakit dengan seorang anak yang kehilangan ayahnya yang berusia 35 tahun kerena kecelakaan. Kedukaan seorang istri akibat kehilangan suaminya di usia 41 karena kecelakaan pesawat berbeda dengan kehilangan suaminya akibat sakit strok bertahun-tahun. Artinya kematian tiba-tiba, dan bukan karena sakit menyebabkan semakin dalamnya/rumitnya proses kedukaan. Dinamika kedukaan sangat tergantung pada kematian yang tiba-tiba/tidak terantisipasi dan kedukaan yang terantisipasi. Ketiga, coping orang yang berduka. Artinya, sampai seberapa besar kemampuan orang yang berduka untuk mengatasi rasa kehilangan akibat kematian orang yang dikasihi. Jika coping orang yang berduka baik, maka ia mampu melewati krisis kedukaannya tetapi sebaliknya jika copingnya lemah, maka krisis kedukaan akan lama berakhir dan patogenik (penyakit). Keempat, Sosial-Budaya orang yang berduka. Ini terkait dengan lingkungan sosial dimana orang yang berduka berada. Jika lingkungan sosialnya mengerti seluk beluk kedukaan dan menyediakan saranan pendukung kesembuhan, maka kedukaan dapat diselesaikan dengan baik.

2. Kedukaan itu unik. Sebab, kedukaan menimbulkan banyak gejala. Wiryasaputra mencatat ada tujuh gejala yang sering nampak pada orang yang berduka seperti: air mata dan kepedihan hati, stres, penolakan, marah, depresi, muram, tertekan batin, putus asa, rasa bersalah, menyesal, dan menerima kenyataan. Gejala-gejala ini berbeda pada masing-masing orang yang berduka. Artinya, tidak ada kesamaan antara kedukaan seseorang dengan orang lain.

Oleh sebab itu, lebih lanjut dikatakan bahwa dinamika berduka orang di Indonesia tidak selamanya berjalan secara mekanis dan sistematis seperti yang dipaparkan oleh para ahli-ahli kedukaan. Dalam klien yang satu dengan klien yang lain dinamika berduka berbeda sehingga dalam mengatasi dinamika berduka membutuhkan kepekaan batin orang-orang yang mempunyai hubungan dekat dengan orang yang berduka, termasuk dalam hal ini yang memberi pertolongan atau pendamping pastoral.

3. Ada tugas bersama dalam kedukaan. Alan D.Wolfelt menyatakan enam tugas bersama dalam kedukaan, yaitu: pertama, harus ada pengakuan terhadap realitas kematian. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya upacara pemakaman. Kedua, merangkul kesedihan artinya mengungkapkan kesedihan dengan cara yang sehat sebagai cara mengungkapkan pikiran yang menyakitkan. Ketiga, mengingat orang yang meninggal. Untuk menyembuhkan kesedihan dalam kedukaan, kita perlu menggeser hubungan dengan orang yang meninggal dari kebersamaan fisik menjadi kenangan. Semakin kita mampu bercerita kisah kematian sebagai sebuah kenangan maka semakin besar kemungkinan kita dapat mendamaikan kesedihan. Keempat, mengembangkan identitas yang baru bahwa orang yang berduka telah berstatus janda, duda, anak yatim/piatu sehingga mereka dan orang lain pun tahu peran tersebut.

Kelima, mencari makna dengan mempertanyakan apa yang akan teralami di

balik peristiwa ini sehingga membuat orang yang berduka pun menyadari

bahwa “bagaimana” ia akan hidup ke depan tanpa almarhum dan keenam, harus terbuka menerima dukungan orang lain. Sebab, kehadiran banyak orang adalah aspek yang sangat penting dari sebuah penyembuhan kedukaan.

Lebih lanjut, Clinbel menambahkan bahwa pada saat terjadi kehilangan, kebutuhan untuk dihibur sangat kuat. Tindakan gereja dalam ibadah penghiburan dapat memberi hiburan yang menenangkan batin bagi orang yang mengalami kehilangan. Dengan kehadiran fisik maupun pemberian makanan, menyatakan berlangsungnya terus kehidupan meskipun terjadi kematian. 4. Pastoral selalu dikatakan sebagai sebuah pekerjaan dari Pelayan gereja

“pastor” dalam konotasi prakteknya berarti merawat dan memelihara, yang kemudian dihubungkan dengan diri Yesus sebagai “Pastor Sejati” atau “Gembala Yang Baik” (Yoh.10). Dengan demikian, pekerjaan pastoral bukan hanya pekerjaan yang dimonopoli oleh pastor/pendeta saja, tetapi juga setiap orang yang menjadi pengikutNya.

Dalam pastoral ada dua pendekatan, yaitu pendampingan pastoral dan konseling pastoral. Secara fungsi, yaitu menyembuhkan, mendukung, membimbing, rekonsiliasi, memeilihara dan mengutuhkan, kedua pendekatan ini sama tetapi secara teknis pelaksanaan keduanya berbeda. Pendampingan adalah suatu upaya menolong orang lain dalam relasi yang sejajar antara pendamping dan didampingi sehingga keduanya memiliki kesempatan untuk bertumbuh bersama. Pendampingan adalah proses perjumpaan yang melahirkan kepedulian dan empatik. Pendampingan adalah proses yang long time (sepanjang waktu) dan bisa dilakukan oleh siapapun. Sedangkan, konseling pastoral ada pada tataran pendampingan yang harus menyelesaikan masalah klien secara maksimal dan sesuai kemampuan konselor. Perbedaan keduanya terletak pada pelaksanaan dimana konseling pastoral dilakukan ketika seseorang (klien) sementara ada dalam masalah dan membutuhkan pertolongan sedangkan pendampingan pastoral dilakukan seumur hidup, di ruang dan diwaktu manapun. Pendampingan menjadi dasar bagi pemahaman kita tentang konseling atau pendampingan merupakan landasan yang kuat bagi konseling. Itu berarti bahwa pendampingan dapat kita lakukan tanpa konseling, tetapi sebaliknya kita tidak bisa melakukan konseling tanpa pendampingan. Keduanya adalah tindakan penggembalaan, pendampingan dan konseling yang bersifat integratif, yakni dalam kaitan prespektif menyeluruh yang meliputi aspek fisik, mental, spiritual dan sosial.

Pendampingan dan konseling dalam budaya harus membahas budaya dalam konteks psikologi karena dasar pendampingan berakar pada psikologi. Dalam hal ini, psikologi memiliki tiga tujuan, yaitu budaya sebagai konsep abstrak, budaya sebagai konseptual kelompok, dan budaya diinternalisasi oleh anggota kelompok. Berdasarkan pada tiga ciri khas budaya di atas, budaya

dapat didefenisikan sebagai tingkah laku individu dan masyarakat terikat oleh kebudayaan yang dalam perspektif psikologi pendampingan wujudnya terlihat dalam berbagai aturan atau norma yang khusus, dimana aturan dan norma tersebut menjadi kontrol bagi masyarakat. Sehingga kebudayaan adalah proses yang dipelajari dan berkembang serta nilai-nilai yang ada diambil sekelompok masyarakat. Nilai atau aturan tersebut menjadi sebuah sistem nilai yang diatur. Nilai-nilai ini menjadi tolak ukur individu dalam keterikatannya dengan masyarakat dengan keunikan yang dimiliki sebagai identitas kelompok. Nilai-nilai dalam budaya diwariskan dari generasi ke generasi untuk menghidupkan manusia sehingga manusia menemukan makna dan nilai di dalamnya. Apa yang tertuang dalam perilaku-perilaku di masyarakat menjadi dasar bagi ilmu psikologi untuk memahami keberadaan seseorang, sehingga pengetahuan psikologi dalam konteks budaya menjadi dasar untuk membantu konselor melakukan pendampingan dan konseling pastoral.

5. Manusia adalah mahkluk sosial. Ia ada dan berkembang bersama dengan individu yang lain. Manusia juga disebut mahkluk ber-solidaritas karena terkait dengan sifat solider, sifat satu rasa (senasib), perasaan setia kawan antara sesama anggota masyarakat. Robert H. Laver, mengatakan bahwa solidaritas kelompok bisa muncul dari ikatan kekeluargaan karena keluarga bisa membentuk kelompok masyarakat lewat ikatan-ikatan kekeluargaan di antara mereka. Emile Durkheim, menggemukakan dua bentuk solidaritas, yakni solidaritas mekanik dan organik. Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu

“kesadaran kolektif” dan yang menunjuk pada “totalitas kepercayaan dan

setimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada masyarakat yang sama atau solidaritas mekanik sangat terkait dengan individu-individu yang memiliki sifat yang sama dan menganut kepercayaan dan pola normatif yang sama pula. Sedangkan, solidaritas organik didasari pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi akibat adanya spesialisasi dalam pembagian kerja. Untuk mempertahankankan saling ketergantungan, dibutuhkan hukum yang bersifat memulihkan.

6. Proses sosialisasi oleh manusia sebagai mahkluk sosial berlangsung sepanjang kehidupannya lewat interaksi dengan orang-orang disekitarnya yang mentransmisikan nilai-nilai atau norma-norma tertentu. Agen sosialisasi ini merupakan significant others (orang yang paling dekat). Dengan menjadikan manusia sebagai agen sosialisasi menyatakan bahwa antar manusia memiliki sikap ketergantungan satu dengan yang lain dalam berbagai hal, termasuk kematian. Kematian dalam proses interaksi adalah suatu usaha dari mereka yang masih hidup untuk melanggengkan hubungan relasi sosial yang terputus. 7. Kehilangan dan kedukaan dalam sosial adalah emosi. Dari sudut pandang

sosial, kedukaan dilihat sebagai emosi sosial dan proses inetrpersonal karena muncul dari suatu hubungan sosial yang intim. Secara teoritik, dapat dijelaskan, pertama, kedukaan adalah situasi karena kehilangan sesuatu atau seseorang yang penting. Artinya, kehilangan merunjuk pada apa yang dirasakan, sedangkan kedukaan pada apa yang dilakukan. Kedua, sosial membedakan antara kedukaan dan penyakit. Kedukaan bukan penyakit, karena umumya kedukaan dipahami sebagai sesuatu yang normal dan masyarakat tidak bisa membedakan kedukaan secara fisik atau mental sehingga mereka mengatakan bahwa kehilangan nafsu makan, mood sebagai gangguan depresi.

Ketiga, kedukaan didefenisikan sebagai bentuk emosi yang negatif atau

Dalam dokumen T2 752016016 BAB II (Halaman 28-35)

Dokumen terkait