• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEJADIAN MISTERIUS: 4 ORANG MENGHILANG

Dalam dokumen Goosebumps 48 Pembalasan Di Malam Halloween (Halaman 24-59)

Aku turun dari tempat tidur dan berjalan menghampiri Mom. Shane dan Shana bertukar pandang dengan cemas. Roman muka Walker juga kelihatan waswas. Dengan gelisah ia mengetuk-ngetukkan jari ke meja belajarku.

Aku mengambil koran dari tangan Mom dan mengamati foto keempat orang yang hilang. Tiga pria dan seorang wanita.

"Polisi memperingatkan warga kota untuk berhati-hati," Mom berkata pelan-pelan. Walker menghampiriku dan mengambil koran dari tanganku. Sejenak ia mengamati foto-foto yang terpampang. "Hei—orang-orang ini semuanya gendut!" serunya. Kini kami semua berkerumun di sekeliling Walker dan menatap foto-foto hitam-putih itu. Walker benar. Keempat orang yang hilang memang gendut-gendut. Salah satunya, seorang pria gendut berkepala botak yang memakai sweter, mempunyai paling tidak enam lipatan lemak di bawah dagunya!

"Aneh," aku bergumam.

Shane dan Shana membisu. Mungkin karena terlalu takut.

"Kenapa empat orang gemuk mendadak hilang tanpa bekas?" tanya Walker. Mom menghela napas."Polisi juga bingung," ujar Mom.

"Tapi, Mom, kalau hanya orang dewasa yang hilang, kenapa aku tidak boleh keluar untuk ikut trick-or-treat?" tanyaku.

"Drew boleh ikut, ya?" Shana memohon. "Ini kesempatan terakhir kami untuk keluar pada malam Halloween."

"Sori. Lebih baik jangan," sahut Mom. Ia menggigit bibir. "Tapi kami akan sangat sangat sangat hati-hati!" aku berjanji. "Mom keberatan," Mom menegaskan.

Dan dengan demikian acara Halloween kami sekali lagi rusak total.

Chapter 12

TAPI akhirnya Dad bilang aku boleh keluar pada malam Halloween.

Waktu itu sudah dua hari berlalu. Dan selama itu Dad dan Mom terus membahas masalah itu.

"Kau boleh ikut kalau kau pergi beramai-ramai," kata Dad. "Jangan pergi jauh-jauh. Dan jangan berpisah dari teman-temanmu. Oke, Kurcaci?"

"Thanks, Dad!" aku berseru. Saking gembiranya, aku tidak keberatan dijuluki Kurcaci! Aku malah mengejutkan Dad dengan memeluknya erat-erat.

"Kau yakin Drew akan baik-baik saja?" tanya Mom pada Dad.

"Tentu saja Dad yakin!" seruku. Pokoknya aku takkan membiarkan mereka berubah pikiran.

Cepat-cepat aku menuju ke pesawat telepon untuk memberitahu Walker bahwa rencana kami tidak jadi batal!

"Pada malam Halloween akan ada seribu anak yang berkeliling dari rumah ke rumah," kata Dad pada Mom. "Lagi pula, Drew dan teman-temannya sudah cukup besar dan cukup pintar untuk menjaga diri."

"Thanks, Dad!" aku berseru sekali lagi.

Mom sebenarnya masih ingin mengatakan sesuatu. Tapi aku keburu kabur dari dapur dan berlari ke kamarku sebelum ia sempat mengucapkan sepatah kata pun.

Aku menelepon Walker untuk menyampaikan kabar baik ini. Ia akan menghubungi Shane dan Shana, untuk meminta mereka bersiap-siap pada malam Halloween. Semuanya sudah siap. Sekarang tinggal satu masalah kecil saja. Aku harus bisa membujuk Tabby dan Lee untuk ikut bersama kami.

Aku menarik napas dalam-dalam dan menelepon Tabby. Ibunya mengatakan ia sedang di rumah Lee, untuk membantu Lee mempersiapkan kostum Halloween. Jadi aku bergegas ke rumah Lee.

Waktu itu hari Sabtu sore yang kelabu. Sepanjang pagi turun hujan, dan awan-awan badai masih menyelubungi langit. Rumput di pekarangan rumah-rumah yang kulewati tampak berkilau-kilau karena basah. Aku melompati genangan-genangan air hujan di trotoar. Aku mengenakan sweter abu-abu yang tebal. Tapi udara terasa dingin dan lembap, sehingga aku menyesal tidak melapisinya dengan jaket.

Blok terakhir menjelang rumah Lee kulewati sambil berlari kecil, antara lain agar aku tidak kedinginan. Aku berhenti di depan pintu rumah Lee dan mengatur napas.

Kemudian aku menekan bel pintu. Beberapa detik kemudian Lee membuka pintu. "Wah!" aku berseru ketika melihat kostumnya. Di kepalanya berayun-ayun sepasang antena. Ia mengenakan rompi kuning berbulu di atas baju renang cewek bergaris hitam-kuning.

"K-kau jadi lebah?" aku tergagap-gagap.

Lee mengangguk. "Tabby dan aku masih sibuk menyiapkan kostum ini. Tadi pagi kami membeli celana ketat hitam untuk kakiku."

"Keren lho," kataku. Padahal penampilannya benar-benar konyol. Tapi untuk apa aku memberitahunya?

Tabby menyapaku ketika aku masuk ke ruang baca. Ia baru saja mengeluarkan celana ketat Lee dari kotak dan sedang menarik-nariknya.

"Eh, Drew—kayaknya kau tambah kurus, ya?" ia bertanya. "Hah? Masa, sih?"

"Oh. Jadi kau suka pakai sweter yang kedodoran begitu, ya?"

Jailnya memang tak ada habis-habisnya. Ia memalingkan muka. Tapi aku sempat melihatnya cengar-cengir sendiri. Ia pikir dirinya lucu sekali.

"Atau itu kostummu, ya?" ia bertanya.

Aku tidak menggubris leluconnya yang konyol. "Bukan. Kali ini aku jadi pahlawan super," sahutku. "Aku akan memakai jubah dan celana ketat. Kau sendiri mau jadi apa?" "Balerina," jawabnya. Ia menyerahkan celana ketat kepada Lee.

"Untuk apa?" tanya Lee.

"Kita perlu bikin sengat. Untuk ditempel di belakang celanamu."

"Tidak usah!" Lee memprotes. "Aku tidak mau pakai sengat. Aku tidak butuh. Paling-paling juga patah karena kududuki."

Aku membiarkan mereka berdebat selama beberapa menit. Aku sendiri tidak ikut campur. Akhirnya Lee yang menang. Ia tidak sudi pakai sengat. Tabby pasang tampang cemberut. Ia paling sebal kalau keinginannya tidak terpenuhi. Tapi Lee bahkan lebih keras kepala lagi daripada Tabby.

"Begini," aku angkat bicara. "Walker, Shane, Shana, dan aku mau keliling bersama-sama pada malam Halloween nanti." Aku menarik napas dalam-dalam sebelum mengajukan pertanyaan. "Kalian mau ikut?"

"Boleh saja," jawab Lee. "Oke," kata Tabby.

Dan dengan demikian selesailah tugasku. Perangkap sudah terpasang. Tabby dan Lee bakal mengalami Halloween paling menakutkan seumur hidup mereka. Masalahnya, hal yang sama juga terjadi pada kami.

============================== Ebook Cersil (WWW.ebookHP.COM) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ==============================

Chapter 13

WAKTU berjalan dengan lambat. Padahal aku sudah tak sabar menanti Halloween. Akhirnya, malam yang kutunggu-tunggu pun tiba. Saking gugupnya, aku nyaris tidak sanggup menyiapkan kostum pahlawan super yang akan kukenakan.

Kostumku seadanya saja. Aku memakai celana ketat berwarna biru cerah dan kaus biru. Ditambah celana pendek berwarna merah. Untuk jubahku, aku memotong taplak meja bekas berwarna merah dan mengikatnya ke leherku. Selain itu aku mengenakan sepatu bot putih dari bahan vinil. Dan untuk penutup muka, aku memakai topeng merah yang kubuat dari karton.

"Super Drew!" aku berseru sambil berkaca di cermin. Aku tahu kostumku kurang bagus. Tapi aku tidak peduli. Malam ini kostum tidak penting. Malam ini adalah malam teror. Malam untuk menakut-nakuti dua anak brengsek, sampai mereka ngeri setengah mati!

Aku mengambil dua kantong belanja dari lemari untuk menampung permen yang bakal kami dapat. Lalu aku bergegas menuruni tangga. Aku berharap bisa menyusup keluar dari rumah sebelum kepergok orangtuaku. Aku ingin menghindari ceramah panjang-lebar bahwa aku harus berhati-hati di luar.

Ternyata aku kurang beruntung. Dad mencegatku di kaki tangga. "Wow! Kostummu bagus sekali, Kurcaci!" ia berseru. "Kau jadi apa, sih?"

"Tolong jangan panggil aku Kurcaci," aku bergumam. Aku berusaha menyelinap di sampingnya dan berlari ke pintu depan, tapi Dad menghalang-halangi langkahku. "Tunggu sebentar!" katanya. "Kita bikin foto dulu."

"Aku sudah terlambat," ujarku. Aku telah berjanji pada Walker untuk menemuinya di pojok jalan pukul setengah delapan tepat. Dan sekarang sudah jam delapan kurang seperempat.

"Hati-hati, ya!" Mom memperingatkanku dari ruang baca.

Dad berbalik untuk mengambil kamera. Aku menunggu di kaki tangga sambil mengetuk-ngetukkan jari ke pagar tangga.

"Jangan bicara dengan orang yang tidak kaukenal!" Mom berseru lagi. Itu sih aku sudah tahu dari zaman Taman Kanak-kanak!

"Oke. Satu foto saja," kata Dad sambil membidikku dengan kameranya. "Coba berdiri di depan pintu, Drew. Kau jadi Wonder Woman, ya?"

"Cuma pahlawan super," aku bergumam. "Aku harus berangkat, nih." Ia terus membidikkan kamera. "Senyum, dong!"

Aku meringis.

Ia menekan tombol. "Oh. Tunggu. Lampu kilatnya tidak menyala, ya?" ia bertanya. "Sepertinya Dad lupa menghidupkan lampu kilat." Ia memeriksa kameranya.

"Dad...!" aku mulai memprotes. Aku membayangkan Walker berdiri sendirian di pojok jalan. Ia paling sebal kalau harus menunggu. Ia pasti uring-uringan. Aku juga begitu. "Dad, teman-temanku sudah menunggu."

"Kalau ada orang yang mencurigakan, kau harus segera lari," Mom kembali memperingatkanku dari ruang baca.

"Ayo, sekali lagi, Kurcaci." Dad kembali membidikkan kamera. "Senyum." Ia menekan tombol. Lampu kilatnya tetap tidak menyala.

"Ya ampun..." Sekali lagi Dad memeriksa kameranya. "Ayo dong, Dad..." aku memohon.

"Oh, pantas," Dad bergumam. "Filmnya belum dipasang." Ia menggelengkan kepala. "Tunggu sebentar. Dad mau ambil film dulu di atas. Cuma sebentar, kok."

"Dad...!" aku berseru.

Bel pintu berdering. Kami berdua tersentak kaget. "Pasti anak-anak yang mau minta permen," ujar Dad.

Aku bergegas ke pintu dan membukanya. Seorang anak laki-laki berdiri di depanku. Pakaiannya serbahitam. Ia mengenakan sweter hitam dan celana hitam. Kepalanya tertutup topi rajut berwarna hitam. Wajahnya diberi make-up hitam. Dan ia juga memakai sarung tangan hitam.

"Kostum bagus," puji Dad. "Coba ambilkan permen untuknya, Drew."

Aku mengerang. "Dad, dia tidak mau minta permen. Ini kan Walker." Aku membuka pintu kasa agar Walker bisa masuk.

"Katanya kita mau ketemu di pojok jalan," Walker bersungut-sungut.

Dad mengamati kostum Walker yang serba hitam. "Wah, kau jadi apa, sih?" "Malam gelap yang dihantam badai," jawab Walker.

"Badai? Mana badainya?" tanyaku.

"Ini," sahut Walker. Ia membidikkan pistol air berwarna hitam dan menyemprot wajahku.

Dad langsung tertawa terbahak-bahak. Ia menganggap tingkah Walker lucu sekali. Ia memanggil Mom dari ruang baca agar melihat kostum kami.

"Kalau begini terus, kita tak bakal bisa keluar," aku berbisik kepada Walker. "Kita pasti terlambat untuk menemui Tabby dan Lee."

Kami telah merencanakan segala sesuatu dengan cermat. Tapi sekarang rencana kami terancam gagal total. Perutku serasa diaduk-aduk. Leherku mendadak seperti tercekik jubahku sendiri.

Mom dan Dad masih mengagumi kostum Walker. "Malam gelap yang dihantam badai. Bagus sekali," kata Mom. "Tapi bagaimana orang lain bisa melihatmu dalam gelap? Sebaiknya kau berhati-hati kalau menyeberang jalan."

Bukan main! Malam ini Mom tak bosan-bosannya memberi nasihat kepada semua orang.

Aku tidak tahan lagi. "Kami harus berangkat. Sampai nanti," kataku. Aku mendorong Walker keluar pintu dan segera menyusulnya.

Mom masih menyerukan sesuatu untuk memperingatkan kami, tapi aku sudah tidak mendengarkannya. Aku menyeret Walker ke trotoar, dan kami pun bergegas ke pojok jalan. Di situlah kami seharusnya menunggu Tabby dan Lee. Kedua korban kami.

"Mestinya kau tetap menunggu di sini," aku menegur Walker. "Jangan-jangan Tabby dan Lee kemari tadi dan sekarang sudah pergi lagi."

"Habis, kau telat, sih," Walker memprotes. "Kupikir ada yang tidak beres."

Jantungku berdegup kencang. Aku semakin gelisah. "Oke, oke," ujarku. "Kita harus tetap tenang."

Udara malam terasa dingin. Langit bertaburan bintang. Embun es membuat rumput di pekarangan tampak berkilau-kilau. Bulan sabit seakan-akan melayang di atas atap-atap rumah.

Lampu-lampu di sebagian besar rumah menyala terang. Aku melihat dua kelompok anak kecil di seberang jalan. Mereka bergegas ke rumah yang sama. Seekor anjing

menggonggong di rumah sebelah. Aku menoleh ke pojok jalan, tempat kami seharusnya menunggu Tabby dan Lee. Tak ada siapa-siapa.

Walker dan aku berhenti di bawah lampu penerangan jalan. Aku mengendurkan jubah yang terikat di leherku. Jubah itu benar-benar membuatku tercekik. Ternyata aku kurang pendek memotongnya. Bagian bawahnya basah karena terseret-seret di trotoar.

"Di mana mereka?" tanyaku.

"Kau kan tahu sendiri, mereka selalu telat," sahut Walker. Ia benar. Tabby dan Lee paling senang membuat orang lain menunggu. "Mereka pasti akan segera datang," ujar Walker.

Pekarangan di pojok jalan dibatasi pagar hidup. Walker dan aku mulai mondar-mandir di antara tepi pagar dan tepi jalan. Saking gelapnya kostum Walker, ia sama sekali tak kelihatan kalau berdiri di bayangan pagar.

Tapi suaraku tersangkut di tenggorokan ketika aku mendengar bunyi batuk. Dari balik pagar hidup. Bunyinya aneh sekali. Bukan seperti batuk manusia, melainkan lebih mirip geraman binatang. Aku menoleh dan melihat Walker juga mendengarnya. Ia berhenti mondar-mandir dan menatap pagar. Aku mendengar bunyi berkeresak. Pagar hidup itu seakan-akan bergetar.

"S-siapa itu?" aku tergagap-gagap. Pagar itu kembali bergoyang. "Hei—siapa itu?" seru Walker.

Hening. Pagarnya terguncang-guncang dengan keras.

"Jangan bercanda!" Walker berseru dengan suara gemetaran. Sekali lagi terdengar geraman binatang.

"Ahhh!" aku memekik ketika sepasang makhluk mengerikan menerobos pagar hidup itu. Aku cuma sempat melihat bulu-bulu kusut. Rahang yang ternganga lebar. Dan gigi-gigi yang berlumuran ludah.

Sebelum aku bisa berbalik, sesosok makhluk telah menerjangku sambil menggeram keras. Aku terjatuh ke rumput. Dan kemudian taringnya yang runcing menggigit pundakku.

Chapter 14

AKU memekik kesakitan. Aku berusaha bangkit. Tapi makhluk itu menahan tubuhku di tanah.

"Stop! Stop!" Aku meronta-ronta ketika makhluk itu mulai membelitku dengan jubahku sendiri.

"Hei...!" aku mendengar Walker berseru marah. Tapi aku tidak bisa melihat apa yang sedang terjadi dengannya.

"Jangaaan! Lepaskan aku!" aku menjerit. Dengan mengerahkan segenap tenaga, aku meraih ke atas—dan mengayunkan tangan ke wajah makhluk itu. Tapi betapa kagetnya aku ketika wajah itu tiba-tiba terlepas dengan mudah. Sebuah topeng. Aku sedang memegang sebuah topeng karet.

Aku sempat tercengang sebelum mengenali wajah di balik topeng itu. Todd Jeffrey. Ya. Todd Jeffrey, anak SMU yang dua tahun lalu menakut-nakuti kami di pesta Halloween Lee.

"Todd," aku bergumam. Dengan kesal aku menarik jubah yang membelit diriku. "Kena kau! Kena kau!" ia berbisik. Ia melepaskanku dan membiarkanku berdiri. "Dasar brengsek!" aku mengumpat, lalu melempar topeng karet itu ke wajahnya. Ia menangkapnya dengan sebelah tangan dan tertawa. "Hei Drew, ini kan cuma main-main."

"Hah? Main-main? Main-main?" aku berseru kesal. Aku bangkit dan segera menepis-nepis bajuku. Jubahku berantakan, penuh daun-daun basah berwarna cokelat.

Walker sempat bergumul dengan makhluk yang satu lagi. Makhluk itu melepaskan topengnya. Dan tentu saja ia adalah Joe, teman Todd yang menyebalkan.

"Moga-moga kalian tidak terlalu ngeri!" ia mengejek kami. Ia dan Todd langsung terpingkal-pingkal. Mereka berhigh-five sambil tertawa sampai terbungkuk-bungkuk. Sebelum aku sempat mencaci-maki mereka, aku mendengar tawa lain. Di luar

dugaanku, Tabby dan Lee muncul dari balik pagar. Dan beramai-ramai mereka menertawakan Walker dan aku.

"Grrrrr!" aku menggeram kesal. Saat itu aku berharap diriku benar-benar seorang pahlawan super. Betapa inginnya aku memberi kepalan tinju super ke wajah mereka. Atau paling tidak, merentangkan jubahku dan terbang pergi—terbang ke tempat jauh supaya aku tak perlu bertemu lagi dengan mereka.

"Selamat Halloween, Drew!" seru Tabby dengan nada mengejek.

"Selamat Halloween!" Tabby dan Lee mengulangi berbarengan sambil nyengir lebar. "Sudah berapa lama kau dan Lee bersembunyi di situ?" aku bertanya dengan kesal. "Cukup lama!" sahut Lee sambil cekikikan. Ia dan Tabby kembali terbahak-bahak. "Kami sudah sejak tadi berdiri di situ," ujar Tabby. "Halloween memang asyik, ya?" Aku menggeram tertahan. Tapi aku diam saja. Tenang saja, Drew, aku berkata dalam hati. Tabby dan Lee dan kedua teman mereka memang mempermainkan dirimu. Tapi bukan mereka yang akan tertawa nanti. Setelah ini, giliran Walker dan aku yang tertawa. Kalau Shane dan Shana sudah datang, mereka akan ketakutan setengah mati.

Todd dan Joe kembali memasang topeng monster masing-masing. Mereka mendongakkan kepala dan melolong bagaikan serigala.

"Mereka tidak ikut keliling bersama kita—kan?" aku bertanya pada Tabby.

Tabby menggelengkan kepala. Ia membetulkan letak mahkota di rambutnya yang pirang.

"Maaf saja," Todd menyahut dari balik topengnya yang mengerikan. "Trick-or treat kan acara anak-anak. Acara untuk anak-anak ingusan seperti kalian."

"Kalau begitu, kenapa kalian pakai kostum monster segala?" tanya Walker. "Untuk menakut-nakuti anak kecil," jawab Joe. Ia dan Todd kembali tertawa. Joe meraih topengku dan melorotkannya sampai ke daguku.

Todd mengusapkan punggung tangannya ke wajah Walker sehingga make-upnya berantakan. Lalu mereka lari untuk mencari korban baru.

Dasar brengsek. Aku bersyukur mereka pergi. Aku memperhatikan kedua pengacau itu untuk memastikan mereka tidak berubah pikiran dan kembali lagi kemari.

"Suasana jadi meriah kalau ada mereka," kata Lee. Ia meletakkan kantong permennya yang berwarna jingga-hitam di rumput. Kemudian ia mengotak-atik antena lebah di kepalanya.

Aku mendengar beberapa anak tertawa di seberang jalan. Aku menoleh dan melihat empat anak kecil—semuanya berkostum monster atau hantu—berlari ke pintu depan sebuah rumah.

"Ayo, kita mulai saja," ujar Tabby. "Aku bisa kedinginan kalau cuma berdiri saja di sini."

"Shane dan Shana mana?" tanya Lee. "Kupikir mereka juga mau ikut." "Yeah. Mereka akan menyusul nanti," sahutku.

Kami menyeberangi jalan dan menuju ke rumah pertama, sebuah rumah besar yang terbuat dari batu bata. Jendelanya dihiasi labu yang diukir membentuk seraut wajah yang menyeringai.

Aku melirik jam tangan. Dan memekik tertahan. Sudah hampir jam delapan lewat seperempat. Seharusnya Shane dan Shana menemui kami pukul delapan tepat di pojok jalan. Ke mana mereka? Mereka tidak pernah terlambat. Tidak pernah. Aku menelan ludah. Jangan-jangan Halloween tahun ini bakal berantakan lagi. Jangan-jangan ada sesuatu yang tidak beres.

Chapter 15

KAMI berhenti di teras depan rumah itu dan mengintip melalui pintu kaca. Seekor kucing berbulu jingga dengan mata besar berwarna biru cerah menatap kami dari balik pintu itu.

Aku menekan bel pintu. Beberapa detik kemudian seorang wanita muda bercelana jeans dan berkaus kerah tinggi berwarna kuning membuka pintu sambil tersenyum. Ia

membawa keranjang berisi cokelat Snickers dan Milky Ways.

"Kostum kalian bagus sekali," ia berkata sambil memasukkan sepotong cokelat ke kantong permen kami masing-masing.

"Drew—kantongmu dibuka, dong!" kata Tabby dengan nada tinggi. "Oh. Sori." Aku masih sibuk memikirkan Shane dan Shana.

Aku menyodorkan kantong permenku ke hadapan wanita muda itu. Kucing tadi menatapku dengan matanya yang biru.

"Kau jadi putri raja, ya?" wanita itu bertanya pada Tabby. "Bukan. Balerina," sahut Tabby.

"Dan kau pasti sepotong arang," kata wanita itu pada Walker.

"Yah, kira-kira begitulah," Walker bergumam. Ia tidak menampilkan atraksi "malam gelap yang dihantam badai". Tampaknya Walker juga kuatir karena Shane dan Shana belum muncul.

"Selamat Halloween," kata wanita itu, lalu menutup pintu.

Kami turun dari teras dan melintasi rumput yang berselubung embun es ke pekarangan sebelah. Ketika aku menoleh ke belakang, kulihat kucing tadi masih memperhatikan kami.

Rumah yang kami datangi ternyata gelap. Karena itu kami segera menuju ke rumah berikutnya. Sekelompok anak sudah menggerombol di depan pintu. Mereka berseru, "Trick or treat! Trick or treat!"

"Kenapa mereka belum datang?" aku berbisik kepada Walker. Ia angkat bahu.

"Kalau mereka sampai tidak muncul..." kataku. Tapi kemudian aku sadar Tabby sedang memperhatikanku. Karena itu aku langsung tutup mulut.

Kami menunggu sampai kelompok anak itu pergi, lalu menggantikan mereka di depan pintu. Sepasang anak kecil—anak laki-laki dan anak perempuan berumur sekitar tiga atau empat tahun—membagi-bagikan kantong kecil berisi popcorn manis.

Mereka tertawa sewaktu melihat kostum Lee. Mereka ingin memegang antena di kepalanya. Salah satu dari mereka bertanya kenapa Lee tidak punya sengat. "Soalnya sudah kupakai untuk menyengat anak nakal," sahut Lee.

Kedua anak kecil itu mengamati kostum Walker sambil mengerutkan kening. Tampaknya mereka agak ngeri melihatnya.

"Kau monster, ya?" si anak perempuan bertanya dengan waswas. "Bukan. Aku sepotong arang," jawab Walker.

Dalam dokumen Goosebumps 48 Pembalasan Di Malam Halloween (Halaman 24-59)

Dokumen terkait