• Tidak ada hasil yang ditemukan

Media massa saat sekarang ini merupakan media yang menyampaikan informasi kepada masyarakat sehingga bisa disebut sebagai alat konstruksi sosial yang paling efektif. Permasalahannya, pesan yang dibawa oleh media massa tidak hanya bersifat positif namun juga bisa bersifat negatif, bahkan tak jarang pesan-pesan positif dimodifikasi menjadi negatif. Dalam kaitannya akan permasalahan gender, media massa sebenarnya merupakan alat yang strategis untuk mengubah paradigma masyarakat terhadap tindak kekerasan pada perempuan karena memiliki hegemoni untuk membangun opini publik. Namun, di sisi lain, media massa ternyata menjadi alat yang strategis untuk mengembangkan dan melestarikan tindak kekerasan

pada perempuan. Berkaitan dengan kemampuan media yang dapat menciptakan realitas sosial.

Dunia media adalah dunia yang dengan banyak “dunia”. Setidaknya, ada tiga dunia yang bisa kita ketahui, yakni dunia riil, dunia fiksi, dan dunia virtual. Kekerasan juga harus disoroti dengan menggunakan tiga kategori ini. Yang pertama adalah kekerasan riil. Yang kedua adalah kekerasan fiktif yang dapat kita lihat di dalam sebuah film fiksi, kartun, ataupun komik. Dan ketiga adalah kekerasan simulasi yang ada di dalam dunia virtual, misalnya di dalam video games (Haryatmoko, 2007: 127).

Semuanya yang dijelaskan diatas bukan merupakan kekerasan fisik, tetapi cenderung lebih pada kekerasan yang bersifat simbolik. Dan kekerasan tersebut bisa berlangsung dengan konstan, karena baik para pelaku maupun korban, keduanya menganggap bahwa kekerasan sebagai sesuatu yang wajar. Kekerasan seolah sudah dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dan biasa dalam cara bertindak, dan cara berpikir.

Menurut Haryatmoko ada tiga kategori kekerasan yang harus disorot, yaitu:

a) Kekerasan riil disebut sebagai kekerasan dokumen. Kekerasan ini menggambarkan hal-hal yang dialami oleh pemirsa sebagai fakta kekerasan. Sebagai contoh adalah tayangan-tayangan tentang

pembunuhan, perkelahian, ataupun konflik sosial yang dapat mengundang reaksi emosional yang ada dalam diri pemirsa.

b) Kekerasan fiktif. Kekerasan yang digambarkan dalam kisah fiksi tidak meninggalkan bekas luka pada pemirsa atau pembacanya, terutama pada anak bisa meninggalkan traumatisme dan perilaku agresif. Apa yang disaksikan oleh pemirsa melebihi dari realitas kontak fisik atau kekerasan yang sesungguhnya terjadi. Ada kepura-puraan dan simulasi dalam tayangan perkelahian. Namun, efek bagi pemirsa sama atau bahkan lebih dasyat daripada pertarungan tinju, karate atau bentuk kontak fisik lain. c) Kekerasan simulasi. Kekerasan ini kental di dalam video games, baik

yang online maupun offline. Misalnya ketika seorang penembak di dalam video games melakukan tembakannya dengan menggunakan senapan mesin, serta berhasil membunuh ratusan musuhnya. Kejadian semacam itu tidak menakutkan, tetapi justru meningkatkan ketertarikan dan kenikmatan permainan (Haryatmoko, 2007: 128-133).

Agresi dan kekerasan merupakan fitur yang sangat menonjol dalam sebuah film, program televisi, dan permainan computer, termasuk yang ditujukan kepada anak-anak dan remaja. Cukup banyak waktu yang dihabiskan oleh seseorang dari semua kelompok umur untuk media-media tersebut setiap hari.

terutama yang berkaitan dengan proses menonton oleh anak-anak, selalu menjadi subjek yang penting. Terdapat banyak asumsi tentang efek-efek buruk media, terutama oleh media itu sendiri. Namun, ide media secara langsung memiliki efek-efek terhadap audiens, terutama efek-efek yang bersifat segera, tidak layak dijadikan rujukan awal. Namun, hal ini tidak akan membuat banyak orang tidak lagi meyakini bahwa adalah tidak baik bagi orang-orang untuk menonton film-film yang mengandung kekerasan, “terlalu sering” menonton televisi, mendengarkan music pop yang tidak masuk akal (mindless), membaca komik “sampah”, dan seterusnya (Burton, 2008: 195).

Bukti riset tentang kekerasan dalam media, dan kritik terhadap riset ini, mengungkapkan bahwa model efek-efek sederhana tidaklah memadai. Bahkan model efek-efek yang rumit menjadi dipertanyakan karena banyaknya jumlah variabel yang mempengaruhi “pembacaan” materi yang mengandung kekerasan. Riset tentang kekerasan terbagi ke dalam area-area dominan seperti efek, sikap kebudayaan, profil/ tanggapan audiens, institusi, dan faktor-faktor ideologis.

Masalah kunci dalam mengevaluasi kekerasan dan efek-efeknya adalah metodologi riset yang digunakan, kadang-kadang dikombinasikan dengan penegasan-penegasan yang memiliki kekurangan (flawed) bukti – yaitu kepercayaan, bukan keyakinan, yang mengarah ke hasil-hasilnya. Namun, pelbagai kecemasan sosial tentang kekerasan tetap harus ditangani, dan metodologi yang diperbaiki dapat memberikan hasil dalam hal membuat

suatu kaitan antara kekerasan dalam media serta perilaku sosial, yang tidak harus selalu bersifat sebab akibat (Burton, 2008: 203-204).

7. Sinematografi

Sinematografi adalah kata serapan dari bahasa Inggris cinematography yang berasal dari bahasa latin kinema yang berarti “gambar”. Sinematografi dapat diartikan sebagai seni dan teknologi dari fotografi gambar bergerak. (Irawan & Laelasari, 2011: 1).

Kemudian menurut Zoebazary, Sinematografi merupakan bidang ilmu yang membahas tentang teknik penangkapan gambar dan penggabungan gambar tersebut sehingga menjadi rangkaian gambar yang dapat menyampaikan gagasan (Zoebazary, 2010: 53). Jadi, Sinematografi merupakan segala suatu bentuk perbincangan mengenai sinema (perfilman) baik dari estetika, bentuk, fungsi, makna, produksi, proses, maupun penontonnya. Jadi seluk beluk tentang perfilmam dikupas tuntas dalam sinematografi.

Sinematografi juga memiliki objek yang sama dengan fotografi yakni menangkap pantulan cahaya yang mengenai benda. Objeknya yang sama menyebabkan peralatannya pun mirip. Perbedaannya, peralatan dan penyampaian ide dalam fotografi menangkap gambar tunggal, sedangkan sinematografi menangkap dan menyampaikan rangkaian gambar. Jadi,

sinematografi adalah gabungan antara fotografi dengan teknik perangkaian gambar, atau dalam sinematografi disebut montage (Zoebazary, 2010: 53-54).

Sinematografi sangat dekat dengan film, yakni sebagai media penyimpan maupun sebagai genre seni. Film sebagai media penyimpan adalah berupa celluloid, sejenis pita plastik tipis yang dilapisi zat peka cahaya. Pita inilah yang selalu digunakan sebagai media penyimpan di awal pertumbuhan sinematografi. Film sebagai genre seni adalah produk sinematografi (Zoebazary, 2010: 54).

Dalam hal ini sinematografi adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tata cara dan teknis pembuatan sebuah film. Bagaimana sebuah angle dalam kamera menangkap sebuah objek yang diinginkan, besar kecilnya sebuah objek yang tertangkap oleh kamera (shot distance). Pencahayaan, setting dan efek-efek yang dihasilkan oleh teknis-teknis tersebut, termasuk yang ada didalamnya adalah setting pengambilan sebuah gambar serta seluruh yang ada pada dunia rekaan tersebut.

Dalam mendukung untuk pengambilan gambar atau shot, terdapat beberapa elemen yang menggambarkan arti dan makna dari sebuah shot, yaitu:

a) Motivasi

Sebuah gambar atau shot harus memiliki motivasi guna memberi alasan editor untuk memotong dan menyambungkan ke shot berikutnya.

b) Informasi

Sebuah gambar atau shot harus menggambarkan informasi yang akan disampaikan kepada penonton. Shot-shot ini akan menyampaikan sebuah informasi kepada penonton sehingga perlu kreativitas dalam menentukan angle kamera.

c) Komposisi

Perhatikan komposisi gambar agar dapat “berbicara” dengan sendiri. Ada empat bagian yang perlu diperhatikan, dan keempat bagian ini menjadi satu dalam komposisi shot yang akan dibangun, antara lain:

1) Framing, yaitu pembingkaian gambar.

2) Illusion of depth, yaitu kedalaman dimensi gambar. 3) Subject or object, yaitu subjek atau objek gambar. 4) Color, yaitu warma.

d) Sound (suara)

Faktor suara sangat mempengaruhi makna gambar. Shot sangat dipengaruhi dan mempengaruhi kebutuhan suara, baik dalam bentuk sound effect, live sound record, sampai pembuatan musik ilustrasi pendukung suasana.

e) Camera angle

Sudut pengambilan gambar akan memberi kekuatan pada sebuah shot. Point of view ini akan menempatkan arah pandangan mata penonton. Sehingga, apabila arah itu keliru maka penonton akan mempunyai

pandangan yang keliru dari sebuah shot. Jika hal tersebut terjadi maka seluruh elemen yang ada menjadi tidak berlaku lagi. Walaupun warna, suara, dan objek tetap indah, tetapi jika kamera angle salah maka arah pandang shot menjadi gagal.

f) Continuity

Continuity bisa disebut sebagai kontinuitas dari sambungan shot yang dapat melengkapi isi cerita maupun karya visual. Potongan gambar harus disiapkan sesuai dengan kontinuitas yang diinginkan. Ada lima faktor kontinuitas yang harus diperhatikan saat shooting, yaitu:

1) Contents continuity

Kontinuitas atau kesinambungan gambar pada isi cerita yang terangkum dalam sambungan berbagai shot. Dalam hal ini bisa berbentuk benda (tata artistik/ properti), sinar cahaya (tata cahaya), wardrobe, dan make-up.

2) Movement continuity

Kontinuitas atau kesinambungan gambar pada gerakan yang direkayasa ataupun yang terjadi dengan sendirinya (natural). Gerakan dalam adegan diperankan oleh pemain dan figuran, sedangkan natural merupakan gerakan yang terjadi karena faktor alam.

3) Position continuity

posisi properti (tata artisitik), dan berbagai posisi lainnya yang disesuaikan dengan komposisi gambar dalam berbagai sudut arah kamera.

4) Sound continuity

Kontinuitas atau kesinambungan suara dalam gambar, baik yang bersifat direct sound (suara yang kangsung direkam saat shooting) maupun indirect sound (sound effect dan ilustrasi musik).

5) Dialogue continuity

Kontinuitas atau kesinambungan dialog yang terwujud dalam percakapan para pemeran sesuai dengan tuntutan cerita dan logika visual. Seluruh elemen ini saling terkait, terangkai, dan terikat (Al-Firdaus, 2010: 148-152).

Adapun dalam sinematografi juga terdapat angle kamera, yaitu cara pengambilan sebuah gambar atau shot dalam sebuah film. Berikut macam-macam dari angle, yaitu:

a) Bird Eye View

Teknik pengambilan gambar yang dilakukan dengan posisi kamera berada lebih tinggi jauh dari objek. Hasilnya akan menunjukkan adanya lingkungan yang luas, dan benda-benda lain tampak kecil.

b) High Angle

Sudut pengambilan gambar tepat diatas objek, sehingga memberi kesan pendek, kecil, rendah, hina, perasaan kesepian, kurang gairah, dan

bawahan.

c) Normal Angle (Eye level)

Sudut pengambilan gambar yang menunjukkan posisi kamera sejajar dengan ketinggian mata objek yang diambil.

d) Low Angle

Teknik pengambilan gambar yang diambil dari bawah objek, seperti pandangan mata kodok. Kesan yang ditimbulkan adalah keagungan, kekuasaan, kuat, dominan, dan dinamis.

e) ECU (Extreme Close Up)

Pengambilan suatu gambar yang menampilkan bagian tertentu dari tubuh manusia atau menampilkan detail objek. Pengambilan gambar sangat dekat, dan hanya menampilkan bagian tertentu pada tubuh objek. Misalnya pengambilan gambar pada bagian mata atau mulut.

f) CU (Close Up Shot)

Pengambilan gambar dari dekat yang menonjolkan bagian kepala sampai bahu. Hal itu merupakan bagian dari emosi/reaksi dari objek utama (marah, kesal, dan lain-lain).

g) MCU (Medium Close Up Shot)

Pengambilan gambar yang menampilkan dari bagian ujung kepala sampai dada sehingga memenuhi bingkai (frame gambar).

h) MS (Medium Shot)

i) Long shot

Jenis pegambilan gambar dari jarak yang cukup jauh hingga seluruh pemandangan dapat ditampilkan didalam gambar. Long shot digunakan untuk mengantarkan mata penonton kepada keluasan suasana dan objek. Fungsinya untuk menunjukkan objek dengan latar belakangnya.

j) Wide Angle/landscape

Lensa dengan focal length kurang dari 25mm untuk kamera film 16mm, atau 50mm untuk kamera film 35mm, yang menghasilkan pemandangan lebih luas terhadap suatu area (Al-Firdaus, 2010: 109-121).

8. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah terdapat adegan kekerasan dalam film Indonesia bergenre komedi periode oktober-desember 2010 yang cenderung menggunakan adegan berunsur kekerasan fisik maupun kekerasan psikologis.

F. Matriks

Kerangka Teori

Definisi Konseptual R. Audi merumuskan “violence” sebagai serangan atau

penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang; atau serangan, penghancuran, perusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan ganas atas milik atau sesuatu yang secara potensial dapat menjadi milik seseorang (R. Audi dalam Windhu, 1992: 63).

Kekerasan digambarkan sebagai nilai-nilai social yang mengandung kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak (Santoso, 2002: 9).

Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertuutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (deffensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain (Santoso, 2002: 11).

Menurut Geen, kekerasan merupakan salah satu subtipe agresi yang menunjuk pada bentuk-bentuk agresi fisik ekstrem. Kekerasan didefinisikan sebagai “pemberian tekanan intensif terhadap orang atau property dengan tujuan merusak, menghukum, atau mengontrol” (Geen dalam Krahe, 2005: 20).

1) Kekerasan fisik

Kekerasan secara fisik adalah menyakiti tubuh manusia secara jasmani bahkan bisa sampai pada pembunuhan. Kekerasan fisik selalu berbentuk langsung, baik menggunakan barang maupun tanpa menggunakan barang.

2) Kekerasan psikis

Kekerasan secara psikis merupakan bentuk tekanan yang dimaksudkan melemahkan kemampuan mental seseorang. Tetapi kekerasan juga bisa dilakukan tanpa adanya obyek dan bisa juga dilakukan dengan merusak yang menjadi milik orang lain (Galtung dalam Windhu, 1992: 68).

Kerangka Teori

Definisi Konseptual

Definisi Operasional Angle camera Sinematografi dapat diartikan sebagai seni dan teknologi dari fotografi gambar bergerak. Sinematografi merupakan bidang ilmu yang membahas tentang teknik menangkap gambar dan menggabung-gabungkan gambar tersebut sehingga menjadi rangkaian gambar yang dapat menyampaikan ide atau cerita tertentu (Irawan & Laelasari, 2011: 1)

Angle kamera

Sudut pengambilan gambar akan memberikan kekuatan sebuah shot. Point of view ini akan menempatkan arah pandangan mata penonton. Sehingga, apabila arah itu keliru maka penonton akan mempunyai pandangan yang keliru dari sebuah shot. Jika hal tersebut terjadi maka seluruh elemen yang ada menjadi tidak berlaku lagi. Walaupun warna, suara, dan objek tetap indah, tetapi jika kamera angle salah maka arah pandang shot menjadi gagal (Al-Firdaus, 2010: 150).

Sinematografi adalah gabungan antara fotografi dengan teknik perangkaian gambar, atau dalam sinematografi disebut montage (Zoebazary, 2010: 54).

high angle

low angle close up

extreme close up medium shot bird view Wide/landscape Long shot Medium Close Up

Definisi Operasional Kekerasan fisik Kekerasan psikis memukul menendang, menampar membanting menyiram menusuk membenturkan melempar barang/orang mendorong menginjak mencekik menarik paksa menjegal menghimpit menabrak mengusir meremehkan memprofokasi menakut-nakuti mengatai

mencemooh mengancam membentak

menggunjing

G. Definisi Konseptual

Dokumen terkait