• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Kekerasan terhadap perempuan juga merupakan masalah yang serius dalam bidang kesehatan, karena melemahkan energi perempuan, mengikis kesehatan fisik dan harga dirinya. Di samping menyebabkan luka-luka, kekerasan, juga memperbesar resiko jangka panjang terhadap masalah kesehatan lainnya, termasuk penyakit kronis, cacat fisik, penyalahgunaan obat dan alkohol, serta depresi. Perempuan dengan riwayat penganiayaan fisik dan seksual juga meningkat resikonya untuk mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit menular seksual, dan kesudahan kehamilan yang kurang baik (Mohammad Hakim, dkk., 2001).

Tidak ada batasan umum tentang kekerasan terhadap perempuan yang disetujui secara universal. Banyak istilah yang digunakan secara berbeda di berbagai tempat dan didapat dari berbagai teori dan disiplin ilmu. Ada konsesus internasional yang menyatakan bahwa penganiayaan terhadap perempuan dan anak perempuan dimanapun terjadinya dikonseptualisasikan dalam kerangka “kekerasan berbasis gender”, yang berangkat dari status subordinasi perempuan dibanding laki-laki dalam mastarakat.

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) secara resmi mendefiniskan kekerasan berbasis gender pertama kali pada tahun 1993 ketika Majelis Umum mengesahkan Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Menurut deklarasi itu:

….kekerasan terhadap perempuan meliputi setiap tindakan pemaksaan secara verbal atau fisik, pemaksaan atau perampasan

kebebasan yang membahayakan jiwa, ditujukan pada perempuan atau gadis yang merugikan fisik maupun psikologis, penghinaan, atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang sehingga mengakibatkan subordinasi perempuan… (Heiss, et al. 1999). .

Kekerasan terhadap perempuan bukanlah hal yang baru. Timbulnya berbagai macam bentuk kekerasan terhadap perempuan disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Bentuk-bentuk kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan terhadap perempuan antara lain adalah perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan domestik, dan pelecehan seksual.

Walaupun sangat merugikan, hampir setiap masyarakat di dunia mempunyai institusi sosial yang melegitimasi, menyamarkan, dan menyangkal terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Ketika kekerasan menimpa pekerja, tetangga, atau kenalan, pelakunya dapat dijatuhi hukuman, namun hal yang sama seringkali tidak dipermasalahkan atau dihukum manakala kekerasan dilakukan laki-laki terhadap perempuan terutama dalam keluarga. Timbulnya berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak disebabkan karena ketidaksetaraan kekuatan yang ada di dalam masyarakat. Fenomena gunung es pada permasalahan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak menunjukkan trend atau kecenderungan yang meningkat. Oleh karena itu perlu diwaspadai dengan cermat dan perlu adanya penanganan yang arif dan bijak sehingga permasalahan kekerasan terhadap perempuan tidak menjadi persoalan yang lebih kompleks.

Di Kabupaten Gunungkidul, beberapa masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak ditangani oleh pihak yang berwenang, seperti Polisi dan diputus perkaranya oleh Hakim. Beberapa kasus kekerasan terhadap perempuan telah terjadi dengan data sebagai berikut.

Tabel 8.1. Jumlah Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga Kabupaten Gunungkidul, Tahun 2005 - 2008

Bentuk Kekerasan 2005 2006 2007 2008

1 2 3 4 5

Kekerasan fisik: pukul/tampar/tendang 6 3 5 6

Diminumi Racun - 1 - -

Pelecehan Seksual - 2 -

Menelantarkan Keluarga/Anak - 2 2 -

Ancaman - 1 1 -

Jumlah 6 9 8 6 Sumber: Polres Gunungkidul

Kekerasan dalam rumah tangga biasanya dilakukan oleh suami terhadap isteri, tetapi ada juga tindak kekerasan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak. Bentuk perlakuan kekerasan terutama adalah kekerasan fisik, pelecehan seksual, dan penelantaran keluarga/anak. Dilihat dari latar belakang sosial ekonominya, kejadian kekekerasan dalam keluarga di Kabupaten Gunungkidul terdapat pada status ekonomi lemah. Dari sekian banyak kasus pada tahun 2005 – 2007, 71 persen kejadian pada keluarga dengan status ekonomi lemah, dan sisanya 29 persen terjadi pada keluarga dengan status ekonomi menengah. Barangkali tekanan ekonomilah yang menyebabkan terjadinya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga tersebut.

Selain itu, data lain dari Pengadilan Agama Kabupaten Gunungkidul yang memutuskan perkara perceraian menunjukkan bahwa banyaknya kasus gugat cerai yang diajukan oleh istri kepada suami adalah disebabkan karena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan berbagai kasus sebagai berikut.

Tabel 8.2. Jumlah Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga yang Menyebabkan Perceraian di Kabupaten Gunungkidul, Tahun 2005 - 2008

Bentuk Kekerasan 2005 2006 2007 2008

1 2 3 4 5

Kekerasan fisik: pukul/tampar/tendang 10 15 12 14

Minuman Keras 5 6 4 5

Pelecehan Seksual - 2 -

Menelantarkan Keluarga/Anak - - 2 3

Ancaman 2 - - -

Jumlah 17 23 18 22 Sumber: Pengadilan Agama Kabupaten Gunungkidul, 2008

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berupa kekerasan fisik merupakan penyebab gugat cerai yang diajukan pihak istri kepada suami melalui Pengadilan Agama. Jumlah perceraian karena kasus KDRT ini menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun.

BAB IX . MASALAH ANAK

Hal yang perlu mendapat perhatian bekaitan dengan hak anak adalah masalah akte kelahiran. Hal ini penting karena setiap anak memiliki hak untuk mengetahui identitas dirinya, seperti siapa orang tuanya, dimana ia dilahirkan, dan sebagainya. Dengan demikian haknya untuk mendapatkan pendidikan dan memperoleh kehidupan yang layak di kemudian hari akan terjamin.

Kenyataannya, di Indonesia pada umumnya baru sekitar 58,41 persen balita yang memiliki akte kelahiran, demikian pula di wilayah perdesaan sekitar 71,2 persen balita tidak memiliki akte kelahiran. Sebagian besar masyarakat masih menganggap tidak perlu memiliki akte kelahiran karena kurangnya pengetahuan mereka tentang manfaat akte kelahiran bagi anak-anaknya.

Di Kabupaten Gunungkidul, pengurusan akta kelahiran dilakukan di Kantor Catatan Sipil, dengan data sebagai berikut.

Tabel 9.1. Pengurusan Akta Kelahiran di Kabupaten Gunungkidul, Tahun 2006 – 2008

Tahun Laki-laki Perempuan Jumlah

1 2 3 5

Tahun 2006 2.996 2.808 5.804

Tahun 2007 3.420 2.988 6.408

Tahun 2008* 2.151 1.535 3.686

Jumlah 8.567 7.331 1.5898

*) data sampai dengan bulan Juli 2008

Sumber: Kantor Catatan Sipil Kabupaten Gunungkidul

Pengurusan Akta Kelahiran di Kabupaten Gunungkidul semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal itu menunjukkan sudah ada kesadaran dari masyarakat atau

penduduk tentang pentingnya Akta Kelahiran. Pengurusan Akta Kelahiran di Kabupaten Gunungkidul saat ini dipermudah dengan adanya peraturan pemerintah daerah sejak Agustus 2008 dengan membebaskan biaya pengurusan akta kelahiran kepada anak sejak waktu dilahirkan hingga 60 hari kemudian.

Masalah anak yang lain, adalah masih adanya anak-anak usia sekolah yang bekerja. Kesulitan ekonomi seringkali memaksa anak untuk bekerja, padahal sebagai anak-anak mereka mempunyai hak untuk belajar dan bermain serta mengalami tumbuh kembang secara wajar, sehingga dapat diharapkan menjadi generasi penerus yang berkualitas. Tetapi karena kondisi ekonomi keluarga yang tidak memadai telah menyebabkan anak-anak terpaksa harus ikut bekerja membantu mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya.

Alasan ekonomi juga berdampak pada tingginya kasus kekerasan terhadap anak. Karena tekanan ekonomi keluarga, orangtua pada umumnya ayah sering melampiaskan kekesalannya kepada ibu (istri) dan anak, sehingga muncul kasus KDRT dan Kekererasan terhadap Anak. Bentuk kekerasan pada anak terutama adalah pelecehan seksual, dan perkosaan, sebagaimana digambarkan pada tabel di bawah ini.

Tabel 9.2. Jumlah Kasus Kekerasan terhadap Anak di Kabupaten Gunungkidul, Tahun 2007 - 2008

Bentuk Kekerasan 2007 2008

1 2 3

Perkosaan 2 3

Pelecehan Seksual / Pencabulan 3 4

Membawa pergi 1

Pemaksaan / Ancaman - 4

Jumlah 6 11

Pada data diatas ditunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak jumlahnya meningkat hampir dua kali lipat dari kasus sebelumnya 2007 ke 2008. Oleh karena itu perlu ada perhatian yang lebih intensif dari orang tua atau keluarga terhadap anak-anaknya. Kemajuan teknologi dan informasi global memungkinkan terjadinya tindak kekerasan terhadap anak karena pelaku biasanya meniru tayangan-tayangan televisi atau film/video (porno dan kekerasan) yang ditayangkan, disewakan atau dijual bebas di masyarakat. Pada beberapa kasus kekerasan terhadap anak, biasanya pelakunya adalah teman sendiri atau orang dewasa yang sudah dikenal dekat oleh korban.

Sebagian besar korban kejahatan perkosaan mempunyai status sosial ekonomi yang relatif rendah, dengan latar belakang ekonomi orang tua yang miskin. Korban kejahatan perkosaan adalah anggota masyarakat yang mempunyai kemiskinan ganda, yaitu miskin pendidikan dan miskin ekonomi.

Perkosaan merupakan kasus yang menimpa harga diri dan martabat perempuan, di mana akibat dari kejadian tersebut korban mengalami trauma psikis. Pandangan orang lain pun tidak sama, ada yang bersimpati pada korban, tetapi ada juga yang sinis dan beranggapan korban memberi andil akan terjadinya tindak perkosaan yang menimpa mereka. Korban kejahatan perkosaan mangalami rasa rendah diri yang sangat sulit diatasi. Kondisi demikian membuat mereka menarik diri dari pergaulan. Rasa rendah diri yang berlebihan membuat mereka sulit untuk bergaul, terlebih dengan lawan jenisnya. Karena keadaan yang menimpa dirinya, para korban kejahatan perkosaan memiliki rasa ketergantungan yang tinggi terhadap keluarganya, mereka menutup diri terhadap orang lain. Penderitaan lahir batin serta traumatik yang bekepanjangan menjadi ciri spesifik dari perempuan korban kejahatan perkosaan. Korban mengalami stress dan depressi karena peristiwa perkosaan yang dialaminya. Penderitaan yang berat tersebut menghilangkan rasa

gembira dan ceria mereka. Kemurungan, kemarahan, kekecewaan, dan rasa tertekan selalu meliputi perasaan. Mereka pesimistis terhadap masa depan.

Selain itu, pola pengasuhan yang tidak tepat dimana karena alasan ekonomi, orangtua mencari pekerjaan ke luar daerah, menjadi TKI atau TKW di luar negeri menyebabkan anak dititipkan kepada kerabatnya atau anggota keluarga yang lain, seperti kakek, nenek, paman, atau bibi. Karena kurang kontrol terhadap anak tersebut, dan pengaruh teman sebaya, menjadikan anak terjerumus dalam kegiatan-kegiatan yang negatif, seperti narkoba, pornografi, hingga kehamilan dini. Banyak permohonan dispensasi pernikahan di Pengadilan Agama Kabupaten Gunungkidul karena usia pernikahan yang belum cukup umur bagi calon istri maupun suami. Kasus ini semakin meningkat dari tahun ke tahun, yakni 7 kasus pada tahun 2007 dan meningkat menjadi 23 kasus pada tahun 2008.

BAB X . MASALAH PERDAGANGAN ORANG (TRAFFICKING)

Globalisasi dunia dan perkembangan teknologi sedikit banyak berdampak pada kehidupan masyarakat pada umumnya, dimana akses keluar masuk suatu negara, wilayah, daerah, akan semakin mudah. Jika tidak diantisipasi sejak dini, maka perdagangan manusia atau trafficking semakin rentan. Teknologi internet menyebabkan kemudahan dalam eksploitasi tubuh dan perdagangan perempuan serta anak melalui dunia maya. Trafficking juga diakibatkan oleh rentannya kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Isteri dan anak-anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga menjadi tidak betah di rumah sehingga turun ke jalan, dan istri mencari pekerjaan di luar akibat kekerasan ekonomi yang dialami.

Perdagangan manusia (trafficking) didefinisikan sebagai semua tindakan yang melibatkan pemindahan, penyelundupan atau menjual orang baik di dalam negeri ataupun antar negara melalui mekanisme paksaaan, ancaman, penculikan, penipuan dan memperdaya, atau menempatkan seseorang dalam situasi sebagai tenaga kerja paksa seperti prostitusi paksa, perbudakan dalam kerja domestik, belitan utang atau praktek-praktek perbudakan lainnya. Selain definisi ini pada kasus menyangkut anak diterapkan juga definisi bahwa perdagangan manusia anak juga berlaku baik secara paksaan maupun dengan sukarela. (Mitrawacana, 2008)

Perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak untuk prostitusi dan tenaga kerja paksa adalah satu dari aktivitas kriminal yang berkembang paling cepat di dunia. Walaupun laki-laki juga termasuk sebagai korban, mayoritas dari keseluruhan yang diperdagangkan adalah perempuan dan anak-anak. Menurut perkiraan resmi, antara 1 sampai 2 juta orang perempuan dan anak diperdagangkan setiap tahun di seluruh dunia untuk dijadikan buruh paksa, pekerja rumah tangga, atau dieksploitasi secara seksual. Perdagangan manusia saat ini menjadi sumber keuntungan (ilegal) terbesar ketiga di dunia dalam hal kejahatan yang terorganisir,

setelah obat-obat terlarang dan bisnis senjata, kejahatan yang menghasilkan ratusan trilyun rupiah setiap tahun. Umumnya aliran perdagangan manusia berasal dari daerah yang belum berkembang, dan miskin, ke daerah-daerah yang lebih maju.

Banyak faktor menjadi penyebab munculnya trafficking, pada umumnya karena kemiskinan, keputus-asaan, krisis, atau keterlantaran. Subordinasi terhadap perempuan yang terrefleksikan dalam ekonomi, pendidikan dan kesenjangan kesempatan kerja antara laki-laki dan perempuan menjadi penyebab munculnya

trafficking ini. Banyak masyarakat masih lebih memilih punya anak laki-laki dan

menganggap anak perempuan sebagai beban ekonomi. Bahkan pada beberapa negara yang berada di bawah standar garis kemiskinan, keluarga yang sudah putus asa menjual anak perempuan mereka ke rumah bordil atau dijual ke agen pedagang manusia di sekitar daerahnya untuk mendapatkan uang secara cepat dan menghindari membayar mas kawin bila menikahkan anak perempuannya. (Mitra Wacana, 2008)

Kasus trafficking biasa dilakukan oleh sekelompok orang atau sindikat yang mendapatkan korbannya dengan berbagai cara. Terkadang para perempuan diculik dari suatu saerah dan di kirim daerah lain. Pada kasus lain, korban terlebih dahulu diiming-imingi dengan tawaran pekerjaan, para sindikat ini meminta korban untuk secara sukarela bekerja lintas daerah untuk memenuhi kebutuhan hidup layak, gaji tinggi, menjadi model, menjadi penari, pekerja rumah tangga, dan lain sebagainya. Para penjual ini mengiklankan pekerjaan ini seperti para agen di biro jodoh di koran-koran lokal. Di beberapa kasus, para sindikat juga mendekati korban atau keluarganya secara langsung dengan menawarkan pekerjaan yang menjanjikan di luar daerah atau bahkan di luar negeri.

Walau tidak bisa berlaku secara umum per person, mayoritas perempuan yang diperdagangkan adalah berusia dibawah 25 tahun, dan banyak diantara mereka berusia remaja tanggung. Karena ketakutan para pelanggan terhadap

ancaman infeksi HIV-AIDS memaksa para penjual manusia ini merekrut perempuan yang muda atau anak-anak sekitar 7 tahun dengan asumsi mereka belum terkena HIV-AIDS.

Trafficking juga menjadi ancaman bagi sebagian masyarat di Kabupaten

Gunungkidul, Kondisi lingkungan fisik geografis yang keras, kemiskinan, kondisi sosial, dan tekanan ekonomi seringkali menjadi alasan seseorang untuk meninggalkan daerah asalnya menuju daerah lain untuk bekerja. Mereka termasuk rentan untuk mengalami trafficing karena belum mengenal daerah tujuan dan tidak mempunyai famili atau kerabat di daerah tujuan sehingga dapat masuk dalam lingkaran sindikasi perdagangan orang.

Tenaga kerja pembantu rumah tangga (PRT) rentan alami trafficking. Tanpa adanya perjanjian kerja yang jelas, para pembantu rumah tangga akan semakin rentan mengalami trafficking. Belajar dari banyaknya kasus yang antara lain tampak dalam kekerasan yang dialami PRT domestik maupun tenaga kerja Indonesia (TKW) di luar negeri, pemerintah pun harus lebih serius menangani permasalahan ini. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Tjoet Njak Dien, sebuah LSM yang mendampingi PRT, menyampaikan bahwa selama ini pemahaman umum mengenai trafficking masih terbatas pada perdagangan manusia. Padahal, apabila seseorang ditawari pekerjaan dan di dalamnya ada unsur penipuan, itu sudah dikategorikan sebagai trafficking, termasuk juga di dalamnya apabila ada unsur pemaksaan, seperti pemaksaan kerja anak untuk melunasi utang orangtua. Tanpa adanya perjanjian kerja, PRT akan semakin rentan mengalami trafficking karena tidak memiliki posisi tawar yang kuat dengan para majikan. Akibatnya, mereka makin berisiko mengalami kasus-kasus kekerasan, pelecehan seksual, gaji tak terbayar, atau jam kerja tak terbatas. Selain itu, LSM ini juga mencatat bahwa sudah banyak orang yang ditawari bekerja sebagai PRT di suatu daerah, tetapi pada akhirnya dibawa ke daerah lain dan harus mengalami kerja paksa, serta beragam bentuk kekerasan. (http://www2.kompas.com/)

Di Kabupaten Gunungkidul terdapat beberapa perempuan yang menjadi PRT di derah lain dan mendapat pendampingan dari LSM Tjoet Njak Dien tersebut, diantaranya dari Tepus (100 orang), Gedaren, Bendo Gede, Ponjong (32 orang), Banyumeneng, Panggang (20 orang). Para PRT dan masyarakat luas perlu diberi sosialisasi mengenai isu trafficking karena belum semua PRT memahami tentang

trafficking. Mereka juga belum punya cukup keberanian untuk melaporkan

ketidakadilan yang diterima dari majikannya, apalagi jika tidak memiliki perjanjian kerja. Penanganan berbasis komunitas pun perlu terus digalakkan sehingga warga dapat segera melaporkan jika ada yang mengalami trafficking.

BAB XI . PENUTUP

11.1. Kesimpulan

Dari Statistik Gender dan Analisis Kabupaten Gunungkidul yang disusun berdasarkan sumber data dari BPS, yakni data Sensus, Supas, Susenas, dan data dari berbagai instansi terkait lainnya, ditemukan beberapa hal, antara lain:

1. Pada tahun 2007, penduduk Kabupaten Gunungkidul tercatat berjumlah 685.210 jiwa yang terdiri dari 335.411 orang (48,35 persen) laki-laki dan 349.799 orang (51,65 persen) perempuan, sementara sex ratio-nya sebesar 96 berarti setiap 100 perempuan terdapat lebih kurang 96 penduduk laki-laki. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Gunungkidul adalah 0,99 persen per tahun.

2. Berdasarkan komposisi penduduk dari kelompok umurnya, struktur penduduk Kabupaten Gunungkidul tergolong ke dalam piramida ekspansif, karena jumlah penduduk usia muda (umur 15 – 60 tahun) lebih banyak daripada penduduk berusia tua dengan persentase lebih dari 50 persen. Struktur penduduk yang demikian disebabkan karena pada periode sebelumnya tingkat kelahiran hidup relatif lebih besar daripada tingkat kematian, sehingga pada tahun-tahun berikutnya, jumlah penduduk usia muda lebih besar persentasenya.

3. Jumlah penduduk nonproduktif di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2007 adalah 280.196 jiwa dan penduduk usia produktif adalah 405.014 jiwa, dengan demikian angka ketergantungan (dependency ratio) di

Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2007 adalah sebesar 69,18 atau dengan kata lain, setiap seratus orang penduduk usia produktif akan menanggung sebanyak 69 orang penduduk yang nonproduktif.

4. Usia perkawinan pertama bagi perempuan yang pernah kawin di Kabupaten Gunungkidl terbesar persentasenya adalah pada usia 19-24 tahun.

5. Penduduk usia 10 tahun ke atas di Kabupaten Gunungkidul yang telah melek huruf dan dapat membaca/menulis huruf latin dan atau lainnya mencapai 76,4 persen pada tahun 2006 dan 76,66 persen pada tahun 2007, berarti ada peningkatan meskipun persentasenya masih belum memadai (hanya sebesar 0,26 persen).

6. Partisipasi sekolah bagi penduduk di Kabupaten Gunungkidul usia 10 tahun ke atas, adalah 14,05 persen. Namun jika diamati pada jenis kelamin, ternyata partisipasi sekolah bagi penduduk perempuan usia 10 tahun masih lebih rendah daripada partisipasi laki-laki.

7. Di Kabupaten Gunungkidul masih cukup banyak dijumpai anak putus sekolah, baik di tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), maupun Sekolah Menengah Atas (SMA). Angka putus sekolah tertinggi ada pada jenjang SMP. Tekanan ekonomi, kondisi geografis dan aksesibilitas ke sekolah merupakan salah satu sebab siswa megalami putus sekolah.

8. Masih perlu perhatian pemerintah dan masyarakat tentang kondisi kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Gunungkidul. Angka kehamilan dini di Gunungkidul cukup tinggi termasuk angka abortus. Oleh karena itu perlu digalakkan kampanye kesehatan reproduksi secara intensif

.

9. Data Susenas 2006 dan 2007, menunjukkan bahwa di Kabupaten Gunungkidul, proses persalinan mayoritas ditolong oleh dokter, bidan, dan tenaga medis lainnya yakni 95,33 persen, dan 4,67 persen ditolong oleh dukun. Hal itu menunjukkan adanya peningkatan kesadaran masyarakat dan pengetahuannya untuk mendapatkan pertolongan dari tenaga medis yang berkualitas dalam persalinannya.

10. Beberapa indikator gizi Kabupaten Gunungkidul yang meliputi status gizi balita, kurang energi protein, dan anemia menunjukkan bahwa, status gizi balita di Kabupaten Gunungkidul tergolong baik. Namun demikian masih ditemui beberapa balita yang memiliki gizi kurang, gizi buruk, dan gizi lebih. 11. Program Keluarga Berencana yang telah dicanangkan oleh pemerintah

sejak awalnya hingga sekarang telah banyak melibatkan peran perempuan. Banyak alat/cara KB yang dikhususkan bagi perempuan seperti MOW, AKDR/IUD, suntik, susuk dan pil. Alat kontrasepsi yang paling banyak dipakai oleh PUS di Kabupaten Gunungkidul adalah suntik (40,17 persen), kemudian IUD (25,35 persen), pil (20,57 persen), implant (7,39 persen), dan MOW (4,79 persen). Partisipasi laki-laki (suami) dalam mengikuti program KB masih perlu ditingkatkan, karena masih sedikit yang menjadi akseptor KB dengan menggunakan kondom atau melakukan operasi (MOP=vasektomi).

12. Perempuan yang bekerja di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2007 persentasenya masih lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, yaitu sebesar 45,04 persen perempuan bekerja, dan 54,96 persen laki-laki bekerja. Lebih besarnya persentase laki-laki yang bekerja disebabkan pada umumnya laki-laki adalah kepala rumah tangga yang memiliki

tanggung jawab terhadap kebutuhan rumah tangga. Sebaliknya, perempuan pada umumnya bukan sebagai pencari nafkah yang utama. Karena merasa bukan sebagai pencari nafkah utama, perempuan banyak yang mengurus rumah tangga terutama pada saat anak-anak masih kecil yaitu saat masih memerlukan perhatian khusus.

13. Sejak tahun 2003 hingga tahun 2007 semakin banyak tenaga kerja yag ditempatkan melalui program Informasi Pasar Kerja (IPK) yang dikelola oleh Dinas Nakertrans Kabupaten Gunungkidul. Tenaga kerja tersebut ditempatkan dalam satu provinsi (AKL), antar provinsi (AKAD), bahkan antar negara (AKAN) dengan negara tujuan antara lain: Malaysia, Korea, Taiwan dan Arab Saudi.

14. Persentase perempuan yang menganggur di Kabupaten Gunungkidul masih cukup besar (50,23 persen). Untuk mengatasi hal itu, beberapa dinas dan lembaga terkait telah menyelengarakan program-program pemberdayaan perempuan untuk mengatasi tingkat pengangguran tersebut, antara lain melalui kegiatan koperasi wanita, pemberdayaan perempuan tani dan istri nelayan melalui kelompok perempuan pembudidaya ikan, pengolah ikan atau pedagang ikan yang tergabung dalam kelompok Mina Boga, Mina Mandiri, dan Badri Manunggal.

15. Kegiatan perempuan di sektor publik terus mengalami peningkatan meskipun jumlahnya masih berlum sebanding dengan laki-laki. Persentase perempuan sebagai pegawai negeri sipil (PNS) masih lebih rendah dibanding laki-laki (38 persen : 62 persen). Sementara itu jumlah guru perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Terutama di jenjang pendidikan taman kanak-kanak (TK) persentase guru perempuan adalah 96,60

persen, sementara guru laki-laki hanya 3,40 persen. Tingginya persentase guru perempuan di jenjang pendidikan TK dan SD berkaitan dengan anggapan bahwa guru perempuan lebih sabar, ulet, dan lemah lembut menghadapi anak-anak.

16. Di sektor publik lainnya yakni di bidang legislatif, perempuan belum dapat menyampaikan aspirasinya dengan baik, karena keterwakilan perempuan di dalam legislatif jumlahnya berlum memadai. Hanya satu orang dari 45

Dokumen terkait