F. Sistematika Skripsi
2. Kekerasan Simbolis dalam Media Massa
Media massa sebagai sarana komunikasi bisa berupa cetak, audio, visual dan cyber. Eriyanto (2006) mengatakan bahwa pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengkonstruksi realitas, isi media menurutnya adalah hasil para pekerja media mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilih. konstruksi-konstruksi yang diciptakan media direpresentasikan oleh media sehingga menimbulkan simbol-simbol atau unsur budaya yang mendominasi hal ini yang kemudian memunculkan kekerasan secara simbolik. Konsep kekerasan simbolik
menurut Bourdieu merupakan sebuah mekanisme yang digunakan kelompok dominan dalam struktur masyarakat untuk memaksakan secara halus habitus (ideologi, budaya, kebiasaan, atau gaya hidup) terhadap kelompok minoritas (dalam Martono, 2012:39)
Berbagai penelitian mengenai representasi dan kekerasan simbolik dalam media telah banyak dilakukan secara luas, sehingga melalui penelitian tersebut lahirlah konsep yang memanfaatkan berbagai kajian. Penelitian yang dilakukan Murama (2004) dengan judul tesis “Representasi Tubuh Perempuan dalam Media: Suatu Analisis Wacana terhadap Majalah Male Emporium”. Studi ini memfokuskan diri pada representasi tubuh perempuan dalam majalah khusus pria (Male Emporium), yang terbit pada Februari 2001 dan ditujukan khusus untuk laki-laki dewasa yang sudah mapan usia 25-35 tahun. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis wacana kritis (critical discourse analysis) yang bertujuan mengungkap konsep dan ideologi majalah Male Emporium. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini bahwa majalah ME adalah majalah yang cenderung menjadi agen kapitalis yang menjadikan tubuh perempuan sebagai komoditi kepada para konsumennya, dalam hal ini adalah kaum laki-laki. Representasi tubuh perempuan dalam majalah Male Emporium, menguatkan stereotip bahwa perempuan adalah kelompok yang tersubordinasikan dan terpinggirkan di dalam kehidupan masyarakat yang cenderung patriarkis.
Persamaan penelitian Murama dengan penelitian penulis adalah melihat representasi tubuh perempuan di media massa. Penelitian yang dilakukan oleh Murama lebih memfokuskan pada sisi pandang konsumen, sedangkan penelitian penulis melihat kekerasan simbolis yang dialami perempuan, kaitannya dengan representasi tubuh perempuan di media. Perbedaan antara penelitian Murama dengan penelitian penulis memungkinkan untuk memperoleh hasil penelitian yang berbeda.
Penelitian yang dilakukan oleh Morris dan Nichols (2013) dalam jurnal berjudul “Conceptualizing Beauty: A Content Analysis of U.S. and French Women’s Fashion Magazine Advertisements” penelitian ini berokus terhadap representasi konsep cantik pada iklan majalah fashion perempuan di Perancis dan Amerika Serikat. Lebih dari 570 iklan dari sepuluh majalah
fashion perempuan dianalisis menggunakan metode analisis isi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa majalah fashion perempuan di Amerika dan Perancis memasukkan banyak iklan untuk perawatan tubuh, parfum dan
make-up. Model dalam iklan majalah tersebut adalah perempuan cantik
yang menunjukkan senyum bahagia dan keseksian tubuh, senyum tersebut digunakan media iklan untuk membuat konsumen percaya bahwa jika konsumen membeli produk tertentu, konsumen akan menjadi bahagia seperti model dalam iklan. Selain itu terdapat pula penggambaran stereotip jender di media tersebut, yakni laki-laki dalam peran berwibawa dan wanita dalam peran sekunder.
Persamaan penelitian penulis dengan penelitian sebelumnya adalah melihat representasi perempuan di media massa. Penelitian yang dilakukan oleh Morris dan Nichols lebih memfokuskan pada representasi perempuan dan stereotip terhadap perempuan dalam media iklan majalah fashion perempuan di Perancis dan Amerika Serikat, sedangkan penelitian penulis melihat kekerasan simbolis yang dialami perempuan, kaitannya dengan representasi tubuh perempuan di media. Perbedaan penelitian tersebut memungkinkan untuk memperoleh hasil penelitian yang berbeda.
Penelitian yang dilakukan oleh Winarnita (2011) dengan judul jurnal “Asian Women in Australian Soap Operas: Questioning Idealized Hybrid Representation”. Penelitian yang dilakukan oleh Winarnita melihat representasi perempuan Asia dalam karakter sinetron dan drama televisi di Australia yang berokus pada perdebatan tentang penggabungan 'etnis' identitas dalam multikultural Australia. Teori yang digunakan untuk menganalisis penelitian tersebut adalah teori Hibriditas. Hasil Analisis karakter ini menunjukkan bahwa wanita Asia masih ditampilkan sebagai identitas yang terpinggirkan di dalam identitas masyarakat Australia, melalui stereotip mereka sebagai perempuan yang feminin, eksotis dan mesum.
Persamaan penelitian penulis dengan penelitian yang dilakukan Winarnita adalah melihat representasi perempuan di media massa. Namun teori yang digunakan memiliki perbedaan, penelitian penulis menggunakan teori kekerasn simbolik sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Winarnita
menggunakan teori Hibriditas. Berdasarkan persamaan dan perbedaan tersebut, dapat dikatakan bahwa penelitian yang akan dilakukan penulis memperoleh hasil yang berbeda.
Martono (2012) dalam bukunya “Kekerasan Simbolik di Sekolah” mengungkapkan hasil penelitiannya bahwa buku pembelajaran BSE (Buku Sekolah Elektronik) di sekolah menjadi salah satu media kekerasan simbolik. Hasil penelitian mengenai Kekerasan simbolik dalam BSE tersebut adalah adanya dominasi kelas sosial, yakni sebagian besar kalimat dan gambar dalam buku tersebut dominan memuat habitus kelas atas, sedangkan habitus kelas bawah yang digambarkan dalam buku tersebut jumlahnya lebih sedikit.
Penelitian penulis memiliki persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Martono yakni penggunaan teori kekerasan simbolik oleh Pierre Bourdieu. Teori tersebut digunakan untuk mengungkapkan bagaimana kekerasan simbolik dalam media. Perbedaan terletak pada fokus penelitian, Martono mengambil fokus kekerasan simbolik buku pembelajaran BSE di sekolah kaitannya dengan kelas sosial, sedangkan penilitian penulis lebih berfokus pada kekerasan simbolik di media massa
online website Wolipop terhadap tubuh perempuan. Terdapat pula perbedaan
dalam metode yang digunakan, penelitian yang dilakukan penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan semiotika sosial Halliday, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh martono menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif.
Penelitian lain dilakukan oleh Roekhan (2009) dengan judul jurnal “Kekerasan Simbolik di Media Massa”, memperoleh hasil penelitian mengenai beberapa aspek kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik tersebut meliputi bentuk-bentuk, strategi, dan dampak terhadap pembaca berkaitan dengan pemberitaan kasus semburan lumpur lapindo di koran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekerasan simbolik yang terdapat dalam koran belum tampak secara nyata pengaruhnya. Penelitian Roekhan menggunakan metode analisis wacana kritis yang dikembangkan oleh Airclough, sumber data diperoleh dari teks berita di koran dan teks penerimaan pembaca.
Penelitian yang dilakukan penulis memiliki kesamaan dengan penelitian Roekhan yaitu pada kekerasan simbolik dalam media massa. Perbedaan terletak pada fokus penelitian, di mana Roekhan berfokus pada aspek kekerasan simbolik berupa bentuk-bentuk, strategi, dan dampak. Penulis memfokuskan penelitian pada representasi kekerasan simbolik dalam media massa online website Wolipop dan habitus dominan dalam media tersebut terhadap perempuan. Berdasarkan persamaan dan perbedaan tersebut, dapat dikatakan bahwa penelitian yang akan dilakukan penulis memperoleh hasil yang berbeda.
Penelitian selanjutnya oleh Alnashava (2012) dengan judul tesis “Representasi Kekerasan Simbolik pada Hubungan Romantis dalam Serial Komedi Situasi Komedi How I Met Your Mother”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serial komedi tersebut menampilkan kekerasan
simbolik dengan memproduksi mitos perempuan. Kekerasan dapat dilihat pada hubungan romantis sebagai objek seks, makhluk yang emosional, dan pihak yang harus rela berkorban. Penelitian menggunakan teori kekerasan simbolik Pierre Bourdieu mengungkapkan pula adanya ideologi patriarki yang dominan dibalik komedi situasi How I Met Your Mother.
Penelitian yang dilakukan penulis memiliki persamaan dengan penelitian Alnashava, yakni melihat kekerasan simbolik pada media massa terhadap perempuan. Perbedaan terletak pada metode yang digunakan Alnashava yaitu analisis semiotika Roland Barthes, sedangkan metode yang digunakan pada penelitian penulis adalah kualitatif dengan pendekatan semiotika sosial Halliday. Perbedaan metode tersebut akan menjadikan hasil penelitian penulis berbeda dengan penelitian Alnashava.