• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekhususan dalam UU 21/2007

BAB I PEMAHAMAN KONSEP DALAM TPPO

1. TPPO menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 (UU 21/2007)

1.3. Kekhususan dalam UU 21/2007

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum mengeluarkan surat Nomor: B-185/EJP/03/2005 tentang Pola Penanganan Perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang. Surat ini menegaskan bahwa:

• Protokol Palermo dijadikan rujukan untuk mengidentifikasi TPPO

• Agar suatu kejadian dapat dikategorikan sebagai TPPO, maka kejadian tersebut harus memenuhi kriteria proses, cara, dan tujuan

• Persetujuan dianggap tidak relevan jika unsur cara telah terpenuhi

• Perlunya koordinasi antara penuntut umum dengan penyidik untuk memaksimalkan penyidikan UU 21/2007 juga mengatur beberapa kekhususan yang menyebabkan penuntutan kasus TPPO dapat menyimpangi konsep hukum pidana dan hukum acara pidana yang ditemukan dalam tindak pidana biasa. Berikut uraian mengenai kekhususan dalam UU 21/2007.

1.3.1. Aspek Hukum Acara Pidana

Beberapa aspek hukum acara pidana dalam UU 21/2007 yang berbeda dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah sebagai berikut:

1. Tambahan alat bukti mencakup:

a. Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

b. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik (Pasal 29 UU 21/2007), termasuk tidak terbatas pada:

1. Tulisan, suara, atau gambar;

2. Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau

3. Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

Contoh dari data, rekaman, atau informasi yang dimaksud adalah catatan rekening bank, catatan usaha, catatan keuangan, catatan kredit, hutang, atau catatan transaksi korporasi lainnya, catatan perjalanan, catatan komunikasi antar-orang, pernyataan tersumpah yang didapat dari negara asing yang diperoleh melalui bantuan hukum timbal balik antara Indonesia dengan negara lain.

2. Satu saksi dinyatakan cukup apabila disertai alat bukti sah lainnya. Pasal 30 UU 21/2007 menyatakan bahwa keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya. Sehingga, keterangan satu saksi, misalnya saksi korban, ditambah dengan satu alat bukti lagi, baik itu surat atau keterangan terdakwa misalnya, sudah dianggap sebagai alat bukti yang sah.

3. Penyadapan terhadap telepon atau alat komunikasi yang diduga digunakan untuk mempersiapkan dan melakukan TPPO dapat dilakukan penyidik dengan bukti permulaan yang cukup (Pasal 31 ayat (1) UU 21/2007) dengan seizin Ketua Pengadilan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

4. Pemblokiran terhadap harta kekayaan tersangka atau terdakwa TPPO dilakukan oleh penyedia jasa keuangan atas perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim (Pasal 32 UU 21/2007). 5. Pelapor dapat meminta identitasnya dirahasiakan pada tahap penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan di pengadilan (Pasal 33 ayat (1) UU 21/2007). Kewajiban merahasiakan identitas ini diberitahukan kepada saksi dan orang lain yang bersangkutan dalam perkara TPPO sebelum dilakukan pemeriksaan (Pasal 33 ayat (2) UU 21/2007).

6. Saksi dan/atau korban dapat meminta kepada hakim untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan tanpa kehadiran terdakwa (Pasal 37 ayat (1) UU 21/2007). Terdakwa akan diminta keluar ruang sidang. Pemeriksaan terhadap terdakwa dapat dilanjutkan setelah hakim memberitahukan keterangan yang disampaikan oleh saksi dan/atau korban ketika terdakwa di luar ruang sidang (Pasal 37 ayat (3) UU 21/2007).

7. Pemeriksaan saksi dan/atau korban anak dapat dilakukan di luar sidang pengadilan menggunakan rekaman apabila disetujui oleh hakim (Pasal 40 UU 21/2007).

1.3.2. Aspek Hukum Pidana

Beberapa aspek hukum pidana dalam UU 21/2007 yang berbeda dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah sebagai berikut:

1. Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain untuk melakukan TPPO namun tindak pidananya tidak terjadi, dalam hal ini menyuruhlakukan/doenplegen gagal, maka dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling sedikit R p40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah) (Pasal 9 UU 21/2007).

2. Setiap orang yang membantu (medeplichtige) atau melakukan percobaan (poging) untuk melakukan TPPO dipidana sebagaimana pelaku yang melakukan TPPO pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6. Ancaman hukumannya adalah pidana penjara minimal 3 (tiga) tahun dan maksimal 15 (lima belas) tahun degan pidana denda minimal Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan maksimal Rp 600.000.000,000 (enam ratus juta rupiah) (Pasal 10 UU 21/2007).

3. Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan TPPO dipidana yang sama sebagaimana pelaku dalam pelaku yang melakukan TPPO pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6. Ancaman hukumannya adalah pidana penjara minimal 3 (tiga) tahun dan maksimal 15 (lima belas) tahun dengan pidana denda minimal Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan maksimal Rp 600.000.000,000 (enam ratus juta rupiah) (Pasal 11 UU 21/2007).

4. Setiap orang yang memanfaatkan korban dengan melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul, mempekerjakan korban untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari TPPO yang terjadi, dipidana sebagaimana pelaku yang melakukan TPPO pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6. Ancaman hukumannya adalah pidana penjara minimal 3 (tiga) tahun dan maksimal 15 (lima belas) tahun degan pidana denda minimal Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan maksimal Rp 600.000.000,000 (enam ratus juta rupiah) (Pasal 12 UU 21/2007).

5. Diaturnya tindak pidana lain yang berkaitan dengan TPPO dalam UU 21/2007 sebagai berikut:

Pasal Tindak pidana Unsur Pidana

Pasal 19 Memalsukan

keterangan/dokumen • Setiap orang• Memberikan atau memasukkan

keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen lain

• Untuk mempermudah terjadinya TPPO

Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).

Pasal 20 Memberikan

kesaksian palsu/alat bukti dan barang bukti palsu dalam sidang pengadilan

• Setiap orang

• Memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi • Secara melawan hukum • Di sidang pengadilan

TPPO

Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).

Pasal 21 Ayat (1): Penyerangan fisik terhadap

saksi atau petugas persidangan

• Setiap orang

• Melakukan penyerangan fisik terhadap saksi atau petugas

• Di persidangan dalam perkara TPPO

Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Ayat (2):

Penyerangan fisik yang menyebabkan luka berat

Unsur pada ayat (1) ditambah dengan unsur “mengakibatkan saksi atau petugas di persidangan luka berat”

Pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

Ayat (3):

Penyerangan fisik yang menyebabkan kematian

Unsur pada ayat (1) ditambah dengan unsur “mengakibatkan saksi atau petugas di persidangan mati”

Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 22 Menggagalkan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan • Setiap orang • Dengan sengaja • Mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung • Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara perdagangan orang

Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 23 Membantu pelarian

pelaku TPPO dari proses peradilan pidana

• Setiap orang • Membantu pelarian

pelaku TPPO

• Dari proses peradilan pidana

• Dengan:

a. Memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku b. Menyediakan tempat

tinggal bagi pelaku c. Menyembunyikan

pelaku; atau d. Menyembunyikan

informasi keberadaan pelaku

Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun

dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit

Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 24 Memberitahukan

identitas saksi atau korban

• Setiap orang • Memberitahukan

identitas saksi atau korban

• Padahal kepadanya sudah diberitahukan bahwa identitas saksi atau korban tersebut harus dirahasiakan

Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).

1.3.3. Hak saksi dan/atau korban

Selain hak saksi dan/atau korban yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan perubahannya dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, UU 21/2007 juga mengatur hak-hak saksi dan korban dalam kasus TPPO, di antaranya:

a. Hak pelapor untuk dirahasiakan nama dan alamatnya dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 33 ayat (1) UU 21/2007);

b. Hak saksi dan/atau korban untuk didampingi oleh advokat dan/atau pendamping lainnya (Pasal 35 UU 21/2007);

c. Hak korban untuk mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus dalam tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di depan sidang pengadilan (Pasal 36 ayat (1) UU 21/2007); d. Hak saksi dan/atau korban meminta kepada hakim ketua sidang untuk memberikan keterangan

di depan sidang pengadilan tanpa kehadiran terdakwa (Pasal 37 ayat (1) UU 21/2007);

e. Hak saksi dan/atau korban untuk memperoleh kerahasiaan identitas (Pasal 44 ayat (1) UU 21/2007);

f. Hak korban atau ahli warisnya untuk memperoleh restitusi (Pasal 48 ayat (1) UU 21/2007); g. Hak korban untuk memperoleh rehabilitasi kesehatan, sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial

dari pemerintah (Pasal 51 ayat (1) UU 21/2007);

h. Hak masyarakat untuk memperoleh perlindungan hukum saat berperan membantu pencegahan dan penanganan TPPO (Pasal 62 jo. Pasal 60 dan Pasal 61 UU 21/2007).

Dokumen terkait