• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekuatan Mengikat Putusan Pengadilan Negeri Dalam Kasus-Kasus

3.2. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Pengadilan Negeri Dan Kekuatan Mengikatnya

3.2.2 Kekuatan Mengikat Putusan Pengadilan Negeri Dalam Kasus-Kasus

Sengketa Konsumen Di Indonesia Yang Diselesaikan Melalui Pengadilan Negeri.

Disamping kelima kasus-kasus sengketa konsumen yang telah diuraikan diatas yang diselesaikan oleh BPSK, melalui kajian penelitian ini juga

dikemukakan beberapa perkara sengketa konsumen yang secara konkrit telah diselesaikan oleh beberapa Pengadilan Negeri yang ada di Indonesia melalui putusannya terhadap pihak-pihak yang terlibat pada perkara sengketa konsumen yang bersangkutan antara lain:

1. Gugatan perdata biasa (konvensional) yaitu perkara antara Leo Junatan dan isterinya, Ny.Trianawati selaku para Penggugat melawan produsen mobil merek BMW, yaitu BMW AG (Tergugat I), BMW Group Indonesia (Tergugat II) dan PT. Astra Internasional Tbk (Tergugat III) yang diajukan melalui gugatan perdata biasa ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 11 Oktober 2002 dan terdaftar dalam perkara No. 385/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst.67 Alasan utama gugatan para Penggugat adalah karena selaku Konsumen pengguna mobil BMW yang dibeli dari Tergugat III, ternyata Penggugat terkunci dalam mobil dan tidak dapat dibuka karena seluruh system elektroniknya mati. Akibat terkunci dalam mobil Penggugat hampir mati lemas dan terpaksa menghancurkan kaca yang menyebabkan luka-luka dan harus dirawat di rumah sakit. Oleh karenanya penggugat meminta pertanggung jawaban para tergugat untuk memberi pertanggung jawaban produk (product responsibility).

Majelis Hakim dalam putusannya tanggal 30 Juli 2003, telah memutuskan bahwa gugatan para penggugat dinyatakan tidak dapat diterima karena berdasarkan Pasal 23 UUPK, gugatan seharusnya diajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen, dalam hal ini Pengadilan Negeri

67 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Perkara antara Leo Junatan, dkk vs. BMW AG.

Jakarta Utara, karena penggugat selaku konsumen berdomisili di wilayah Jakarta Utara.68

2. Gugatan class action sebelum UUPK ada ketika pada tanggal 30 April 1997, yaitu perkara antara Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), selaku pengguna (konsumen) tenaga listrik yang selain bertindak untuk dirinya sendiri, juga sekaligus mewakili masyarakat konsumen listrik lainnya sebagai penggugat, mengajukan gugatan terhadap PT. PLN (Persero) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan terdaftar di bawah Register Nomor 134/Pdt.G/1997/PN.Jak.Sel. Alasan gugatan adalah karena penggugat menjadi korban dan mengalami kerugian karena padamnya aliran tenaga listrik di sebagian besar Jawa – Bali pada tanggal 13 April 1997.

Gugatan class action tersebut dinyatakan tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam putusannya tanggal 15 Januari 1998. Pertimbangan Majelis Hakim, antara lain karena saat gugatan diajukan Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan hak-hak konsumen, yang menyatakan bahwa suatu organisasi atau kelompok organisasi dapat mengatas-namakan kepentingan umum/orang banyak, mengajukan gugatan class action di pengadilan mewakili konsumen.69

Terhadap Putusan tersebut penggugat telah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, akan tetapi Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam Putusannya Nomor 221/Pdt/1998/PT.DKI pada tanggal 21

68 Inosentius Samsul, Op.Cit., hal 209

69 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Putusan Perkara antara YLKI vs. PT. PLN (Persero), 15 Januari 1998, Putusan PN Jaksel No. 134/Pdt.G/1997/PN.Jak.Sel.

Juli 1998, menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 134/Pdt.G/1997/PN.Jak.Sel.70

Terhadap putusan tersebut diatas, baik pihak penggugat maupun pihak tergugat tidak mengajukan upaya hukum berupa kasasi ke Mahkamah Agung. Oleh karena itu putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dinyatakan telah berkekuatan hukum tetap.

3. Gugatan class action setelah UUPK ada ketika pada tanggal 15 Desember 2000, yaitu perkara antara RM Waskito Adiri Wibowo dan kawan-kawan yang merupakan konsumen Elpiji (LPG) selain bertindak untuk dirinya sendiri juga sekaligus mewakili konsumen LPG lainnya di Jabotabek sebagai Penggugat yang mengalami kerugian karena dinaikkannya harga jual LPG sebesar 40% berdasarkan SK No. Kpts-097/C0000/2000-S3 tanggal 2 November 2000, mengajukan gugatan terhadap perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi negara (Pertamina) sebagai Tergugat I dan Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina sebagai Tergugat II di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terdaftar di bawah Register Perkara No.:550/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Pst.71

Alasan utama gugatan adalah karena tergugat I tanpa pemberitahuan sebelumnya baik lisan maupun tertulis dan tanpa proses sosialisasi serta tanpa melibatkan para penggugat berikut konsumen Gas Elpiji (LPG) lainnya telah secara sepihak berdasarkan SK No.: Kpts/097/C0000-2003-S3 tanggal 2

70 Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Putusan Perkara antara YLKI vs. PT. PLN (Persero), 21 Juli 1998, Putusan PT DKI Jakarta No. Nomor 221/Pdt/1998/PT. DKI.

71 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Perkara antara RM Waskito Adiri Wibowo vs.

November 2000, setelah sebelumnya mendapatkan persetujuan dari Tergugat II dalam suratnya No. 47/K/DKPP/2000 telah menaikkan harga jual Gas Elpiji (LPG) sebesar 40% dari harga jual lama Rp. 1.500/Kg sehingga terhitung sejak tanggal 3 November 2000 harga jual gas Elpiji menjadi Rp. 2.100/Kg.

Setelah melalui proses persidangan yang panjang dengan memeriksa saksi-saksi ahli yang diajukan para pihak dan bukti-bukti, Majelis Hakim menilai bahwa Tergugat I dan Tergugat II melakukan perbuatan melawan hukum karena kenaikan harga jual beli Elpiji tersebut haruslah disosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat, khususnya konsumen karena konsumen mempunyai hak-hak dasar tertentu, terlepas dari kaya, miskin ataupun status sosialnya. Hak-hak dasar itu, antara lain: hak untuk memilih dan hak untuk didengar, sebagaimana Guidelines for Consumer

Protection of 1985 yang dikeluarkan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa).

Berdasarkan hal tersebut Majelis Hakim memberi putusan yang pada pokoknya berbunyi sebagai berikut:72

- Mengabulkan gugatan para Penggugat untuk sebagian;

- Menetapkan Para Penggugat bertindak dan berkedudukan hukum untuk mewakili kepentingan hukum masyarakat konsumen elpiji di Jabotabek;

- Menerima gugatan masyarakat konsumen elpiji yang diwakili oleh Para Penggugat;

- Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II melakukan perbuatan melawan hukum;

- Menyatakan Surat Keputusan tanggal 2 November 2000 No. Kpts-097/C0000/2003-S3 adalah tidak sah dan cacat hukum;

- Memerintahkan Tergugat I untuk mencabut Surat Keputusan tanggal 2 November 2000 No. Kpts-097/C0000/2000-S3;

- Menghukum Tergugat I untuk membayar ganti rugi kepada Para Penggugat masing-masing sebesar Rp. 144.000,- per bulannya hingga adanya putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap;

- Menghukum Tergugat I untuk membayar ganti rugi kepada masyarakat konsumen elpiji yang diwakili oleh Para Penggugat masing-masing sebesar Rp. 16.000,- per bulannya hinggga adanya putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap;

- Memerintahkan pembentukan Komisi Pembayaran Ganti Rugi yang anggotanya terdiri dari 3 (tiga) orang wakil dari Para Penggugat dalam perkara ini, dan 2 (dua) orang wakil dari Tergugat I yang mekanisme tugasnya adalah sebagai berikut:

- Komisi dalam waktu sekurang-kurangnya 7 hari kerja, Komisi harus sudah melakukan pemberitahuan kepada para anggota kelompok (class

member) untuk mendaftarkan diri membawa bukti-bukti tersebut, selama

paling lambat 30 hari kerja. Setelah itu komisi menjumlahkan seluruh para anggota kelompok (class member) yang telah diverifikasi dan

memerintahkan Tergugat untuk melakukan pembayaran ganti rugi selambat-lambatnya selama 14 hari kerja setelah diajukan oleh Komisi; - Menolak gugatan selain dan selebihnya;

Pihak Tergugat I dan tergugat II mengajukan Banding terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kepada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam perkara Nomor 94/Pdt/2002/PT.DKI pada tanggal 4 Juni 2002 menerima permohonan banding dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Alasan pertimbangan Majelis Hakim Banding adalah karena pokok gugatan adalah dasar kenaikan elpiji berdasarkan adanya 2 (dua) surat keputusan yang dikeluarkan oleh Tergugat I dan Tergugat II masing-masing Surat Keputusan No. Kpts-097/C0000/2002-S3 tanggal 2 November 2000, dan surat Nomor 47/K/DKPP/2000, dan mengingat Tergugat I adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tunduk pada Peradilan Tata Usaha Negara, maka kewenangan mengadili perkara ini menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara DKI Jakarta.73

4. Gugatan Legal Standing dalam kasus “menanggulangi masalah merokok”, dimana yang berkedudukan sebagai para penggugat adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Yayasan Jantung Indonesia, Yayasan Wanita Indonesia Tanpa Tembakau, Yayasan Kanker Indonesia melawan PT Djarum Kudus Tbk, PT HM. Sampoerna., PT Perada Swara Production, PT Citra Lintas Indonesia, PT Metro Perdana Indonesia

Advertising, PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), PT Surya Citra Televisi (SCTV), PT Jurnalindo Aksara Grafika, PT Era Media Informasi, selaku para tergugat.74

Para penggugat menilai bahwa para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, dengan melakukan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dengan sengaja dan bertentangan dengan undang-undang dan/atau Peraturan Pemerintah, kepatutan, kesusilaan, dan memohon kepada hakim agar menyatakan para penggugat sah secara hukum untuk mewakili kepentingan masyarakat didalam penanggulangan bahaya rokok di Indonesia, dan menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad).

Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh para tergugat yang dimaksudkan oleh para penggugat adalah:

a. Melanggar Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 1999 tentang pengamanan rokok bagi kesehatan. Dalam penjelasan Pasal 17 Ayat (2) menentukan bahwa: Iklan rokok pada media elektronik hanya dapat dilakukan pada jam 21.30 sampai dengan jam 05.00 waktu setempat. b. Melanggar tata krama dan tata cara periklanan Indonesia yang disempurnakan Komisi Periklanan Indonesia (KPI), yang menentukan

74 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan , Putusan Perkara antara Yayasan Lembaga Konsumen

bahwa iklan rokok tidak boleh mempengaruhi dan merangsang orang untuk merokok.

c. Melanggar Pasal 17 ayat (1) UUPK, yang menentukan bahwa “pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan. d. Melanggar Undang-Undang No. 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran, yang dalam Pasal 42 ayat (2) huruf c menentukan bahwa “siaran iklan niaga dilarang memuat iklan minuman keras dan sejenisnya, bahan/zat adiktif serta iklan yang menggambarkan penggunaan rokok”.

e. Melanggar Pasal 13 huruf c UU. No. 40 Tahun 1999, perusahaan pers dilarang memuat iklan peragaan wujud rokok dan/atau penggunaan rokok f. Tindakan para tergugat juga bertentangan dengan prinsip ketelitian, kepatutan dan kehati-hatian.

Dalam kasus tersebut hakim mengakui keberadaan dari semua penggugat dapat mengajukan gugatan legal standing walaupun belum terdaftar. Majelis hakim memutuskan untuk mengabulkan gugatan para penggugat untuk sebagian dan menyatakan bahwa para penggugat sah secara hukum untuk mewakili kepentingan masyarakat di dalam penanggulangan bahaya merokok di Indonesia. Dalam hal ini hakim mengakui keberadaan penggugat berdasarkan kenyataan bahwa kegiatan para penggugat adalah berkaitan dengan kepentingan konsumen.

Dari uraian keempat perkara sengketa konsumen tersebut diatas yang telah diputus oleh beberapa Pengadilan Negeri melalui gugatan perdata biasa,

gugatan perwakilan kelompok (class action) dan gugatan legal standing sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan oleh undang-undang yaitu 14 (empat belas) hari sejak putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak, selanjutnya para pihak tidak mengajukan upaya hukum berupa banding ke Pengadilan Tinggi. Sehingga putusan majelis hakim Pengadilan Negeri tersebut sudah berkekuatan hukum tetap dan memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak. 3.3. Komparasi Putusan BPSK Dan Putusan Pengadilan Negeri Berkaitan

Dengan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Putusan Majelis BPSK dapat dibedakan atas 2 (dua) jenis putusan, yaitu: 1) Putusan BPSK dengan cara konsiliasi atau mediasi

Putusan dengan cara konsiliasi atau mediasi pada dasarnya hanya mengukuhkan isi perjanjian perdamaian, yang telah disetujui dan ditandatangani oleh kedua belah pihak yang bersengketa.

2) Putusan BPSK dengan cara arbitrase

Putusan BPSK dengan cara arbitrase seperti halnya putusan perkara perdata, memuat duduknya perkara dan pertimbangan hukumnya.75

Sama halnya dalam sidang di Pengadilan Negeri, dalam sidang arbitrase di BPSK juga terlebih dahulu diusahakan perdamaian antara kedua belah pihak oleh para arbiter. Jika usaha perdamaian ini berhasil, dalam arti para pihak mau berdamai didepan arbitrase, maka majelis arbitrase akan membuat suatu akta perdamaian dan menghukum kedua belah pihak untuk mematuhi isi perdamaian tersebut. Jika perdamaian tersebut tidak berhasil dicapai oleh para pihak, maka

75 Aman Sinaga, 2004, Peran Dan Fungsi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam

majelis arbitrase akan meneruskan pemeriksaan terhadap materi sengketa tersebut.

Berdasarkan Pasal 39 Kepmen No. 350/2001 disebutkan bahwa putusan majelis BPSK sedapat mungkin didasarkan atas musyawarah untuk mencapai mufakat, namun jika telah diusahakan sungguh-sungguh ternyata tidak berhasil kata mufakat, maka putusan diambil dengan suara terbanyak (voting). Hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi atau mediasi dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh konsumen dan pelaku usaha, selanjutnya dikuatkan dengan putusan BPSK. Hal ini sama dengan dasar putusan majelis hakim di Pengadilan Negeri dalam pengambilan putusan yang mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat.

Bila dilihat dari sistematika putusan hakim di pengadilan negeri yang terdiri atas 5 (lima) bagian, yaitu kepala putusan, duduk perkara, pertimbangan hukum, amar putusan dan penutup putusan. Kepala putusan terdiri atas judul dan nomor putusan serta titel eksekutorial. Berbeda halnya dengan putusan arbitrase BPSK yang tidak memuat title eksekutorial yaitu “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang ditulis ditengah halaman pertama dengan huruf kapital. Titel eksekutorial merupakan salah satu kunci agar putusan dapat dieksekusi. Tanpa titel eksekutorial maka putusan tidak dapat dieksekusi.76

Menurut Pasal 37 ayat (5) Kepmen No. 350/2001 disebutkan bahwa keputusan majelis dalam konsiliasi dan mediasi tidak memuat sanksi administratif, sedangkan hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara

76 Hasan Bisri, 2008, Teknik Pembuatan Putusan, Makalah yang disampaikan untuk Diklat Cakim angkatan ke III di Pusdiklat MA-RI, Bogor, hal 2

arbitrase dibuat dengan putusan majelis yang ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis. Keputusan majelis dalam arbitrase dapat memuat sanksi administratif.

Putusan BPSK dapat berupa: 1) Perdamaian,

2) Gugatan ditolak, atau 3) Gugatan dikabulkan.

Bila dibandingkan dengan putusan Pengadilan Negeri dari segi isinya, maka putusan hakim Pengadilan Negeri dapat di bedakan menjadi 3 (tiga) macam yaitu hakim menolak gugatan, atau hakim mengabulkan gugatan, atau hakim tidak menerima gugatan.

1) Gugatan dikabulkan

Putusan hakim akan mengabulkan gugatan penggugat apabila dalam persidangan ternyata penggugat dapat membuktikan dalil-dalil yang diajukannya dan gugatan tersebut sesuai dengan hukum dan rasa keadilan. 2) Gugatan ditolak

Hakim akan menjatuhkan putusan menolak gugatan apabila dalam persidangan ternyata penggugat tidak dapat membuktikan gugatannya. 3) Gugatan tidak diterima (niet onvankelijk verklaard/NO)

Hakim akan menjatuhkan putusan tidak menerima gugatan apabila terdapat cacat formal dalam gugatan. Perbedaan pokok antara gugatan ditolak dengan gugatan tidak diterima adalah dalam gugatan tidak

diterima, hakim sama sekali tidak mengadili pokok perkara. Sedangkan dalam gugatan ditolak, hakim telah mengadili pokok perkara.

Menurut Pasal 19 ayat (1) UUPK berbunyi pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran akibat mengkonsumsi barang yang diperdagangkan, dan/atau kerugian konsumen atas jasa yang dihasilkan. Manakala gugatan dikabulkan, maka dalam amar putusan ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha, dapat berupa pemenuhan:

1) Menurut Pasal 19 ayat (2) UUPK, ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam putusan bentuk ganti kerugian tersebut dapat berupa:

a. Pengembalian uang atau atau penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya atau perawatan.

b. Pemberian santunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Ganti kerugian tersebut dapat pula ditujukan sebagai penggantian kerugian terhadap keuntungan yang akan diperoleh apabila tidak terjadi kecelakaan, atau kehilangan pekerjaan atau penghasilan untuk sementara atau seumur hidup akibat kerugian fisik yang diderita, dan sebagainya.

2) Berdasarkan Pasal 40 Kepmen No. 350/2001, ditentukan bahwa sanksi administratif berupa penetapan ganti kerugian paling banyak Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

Menurut Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, sanksi administratif dapat dibebankan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap:77

1) Tidak dilaksanakannya pemberian ganti kerugian oleh pelaku usaha kepada konsumen, dalam bentuk pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis, maupun perawatan kesehatan atau pemberian santunan atas kerugian yang diderita oleh konsumen.

2) Terjadinya kerugian sebagai akibat kegiatan produksi iklan yang dilakukan oleh pelaku usaha periklanan.

3) Pelaku usaha yang tidak dapat menyediakan fasilitas jaminan purna jual, baik dalam bentuk suku cadang maupun pemeliharaannya, serta pemberian jaminan atau garansi yang telah ditetapkan sebelumnya. Ketentuan ini berlaku baik terhadap pelaku usaha yang memperdagangkan barang dan/atau jasa.

Berdasarkan Pasal 19 ayat (4) UUPK bahwa gugatan ganti kerugian secara perdata, tidak menutup kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan dari pelaku usaha. Ganti kerugian yang dapat digugat oleh konsumen maupun yang dapat dikabulkan oleh majelis BPSK adalah ganti kerugian yang nyata/riil yang dialami oleh konsumen.

UUPK tidak mengenal gugatan inmateriil, yaitu gugatan ganti kerugian atas hilangnya kesempatan untuk mendapatkan keuntungan, kenikmatan, nama baik dan sebagainya. Oleh sebab itu, majelis BPSK dilarang mengabulkan gugatan inmateriil yang diajukan oleh konsumen.78 Sebaliknya dalam upaya

77 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit., hal 84

melindungi konsumen, UUPK memberi wewenang kepada BPSK untuk menjatuhkan sanksi administratif yang dibebankan kepada pelaku usaha untuk dibayarkan kepada konsumen.

Ganti kerugian berupa sanksi administratif adalah berbeda dengan ganti kerugian yang nyata/riil yang dialami konsumen yang digugat melalui BPSK. Majelis BPSK selain mengabulkan gugatan ganti kerugian yang nyata, yang dialami konsumen juga berwenang menambahkan ganti kerugian berdasarkan sanksi administratif tersebut. Besarnya ganti kerugian tersebut tergantung pada nilai kerugian konsumen akibat memakai, menggunakan, atau memanfaatkan barang dan/atau jasa produsen atau pelaku usaha.

Perlu diperhatikan bahwa sesuai dengan ketentuan Kepmen No.350/2001, BPSK berwenang menjatuhkan ganti kerugian berdasarkan sanksi administratif kepada pelaku usaha jika penyelesaian sengketanya dilakukan dengan cara arbitrase saja. Hal ini dapat dimengerti karena putusan BPSK dengan cara konsiliasi atau mediasi semata-mata dijatuhkan berdasarkan surat perjanjian perdamaian yang dibuat dan ditandatangani oleh kedua belah pihak yang bersengketa, sehingga ganti kerugian berdasarkan sanksi administratif tidak diperlukan sesuai dengan ketentuan Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) Kepmen No.350/2001.

Menurut Pasal 38 Kepmen No. 350/2001 disebutkan majelis wajib memutuskan sengketa konsumen tersebut selambat-lambatnya dalam waktu 21 hari kerja terhitung sejak gugatan diterima BPSK. Setelah putusan BPSK diberitahukan, selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari kerja sejak putusan

dibacakan, konsumen dan atau pelaku usaha yang bersengketa wajib menyatakan menerima atau menolak putusan BPSK.

Apabila konsumen dan atau pelaku usaha menolak putusan BPSK, maka mereka dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari kerja terhitung sejak putusan BPSK diberitahukan. Sebaliknya apabila konsumen dan pelaku usaha menerima putusan BPSK, maka pelaku usaha wajib menjalankan putusan tersebut selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari sejak menyatakan menerima putusan tersebut.

Putusan BPSK yang tidak diajukan keberatan oleh pelaku usaha, dimintakan penetapan fiat eksekusinya kepada Pengadilan Negeri ditempat tinggal konsumen yang dirugikan. Pelaku usaha yang menolak putusan BPSK, tetapi tidak mengajukan keberatan setelah melampaui batas waktu untuk menjalankan putusan, maka dianggap menerima putusan.

Berdasarkan Pasal 41 ayat (1) sampai ayat (6) Kepmen No. 350/2001, disebutkan bahwa apabila selambat-lambatnya 5 hari kerja setelah batas waktu mengajukan keberatan dilampaui, pelaku usaha tidak menjalankan kewajiban sebagaimana tertuang dalam putusan BPSK, maka BPSK menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan berlaku.

Mengacu pada ketentuan Pasal 54 ayat (3) UUPK maupun Pasal 42 ayat (1) Kepmen No. 350/2001 tersebut, putusan BPSK adalah final dan mengikat, dan tidak dimungkinkan lagi untuk mengajukan banding atau keberatan. Sebaliknya, dalam Pasal 56 ayat (2) UUPK, masih dibuka peluang untuk mengajukan

keberatan kepada Pengadilan Negeri, dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan BPSK diberitahukan. Permasalahan timbul karena UUPK tidak menegaskan secara limitatif luas lingkup adanya keberatan terhadap putusan BPSK.

Memperhatikan praktik peradilan saat ini, implementasi intrumen hukum keberatan masih membingungkan dan menimbulkan berbagai persepsi, terutama para hakim, manakala tidak ada panduan yang jelas dan konsisten, terhadap penafsiran maksud suatu undang-undang, apalagi jika pedoman untuk melaksanakan undang-undang tersebut tidak tersedia di pengadilan. Oleh karena itu, timbul disparitas putusan terhadap suatu sengketa konsumen yang pada dasarnya merupakan suatu upaya keberatan terhadap putusan BPSK, yang mengakibatkan pada dewasa ini, dalam implementasinya tidak ada konsistensi dan kesatuan pendapat dari berbagai putusan pengadilan.

Berikut ini ditampilkan tabel komparasi perbedaan putusan BPSK dan putusan Pengadilan Negeri (PN) berkaitan penyelesaian sengketa konsumen:

No Bidang-Bidang Yang Di

Komparasi

Putusan PN Putusan BPSK

1. Sanksi Administratif PN tidak mengenal sanksi administratif. Majelis Hakim tidak dapat mengabulkan gugatan administratif BPSK mengenal sanksi administratif. Majelis BPSK dapat mengabulkan gugatan administratif

2. Gugatan Inmateriil PN mengenal

gugatan inmateriil. Majelis hakim dapat mengabulkan gugatan inmateriil BPSK tidak mengenal gugatan inmateriil. Majelis BPSK tidak dapat mengabulkan gugatan inmateriil 3. Titel Eksekutorial Putusan PN memakai titel BPSK tidak

eksekutorial dalam bentuk irah-irah

Dokumen terkait