• Tidak ada hasil yang ditemukan

Setelah Gerakan 30 September tahun 1965 berhasil ditumpas dan kemudian diketahui bahwa PKI diindikasikan berada di balik peristiwa tersebut, masyarakat menjadi marah. Mereka menuntut pemerintah untuk membubarkan PKI dan mengadili tokoh-tokoh yang terlibat Gerakan 30 September.

Masyarakat umum dan partai-partai politik yang berseberangan dengan PKI secara spontan mulai membentuk berbagai kelompok yang menuntut pertanggungjawaban PKI dan para pendukungnya. Pada 8 Oktober 1965, mulai terjadi demonstrasi massa menuntut pertanggungjawaban PKI . Beberapa kesatuan aksi yang terbentuk pada waktu itu antara lain Kesatuan Aksi Mahasiswa I ndonesia (KAMI ), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar I ndonesia (KAPPI ), Kesatuan Aksi Pelajar I ndonesia(KAPI ), Kesatuan Aksi Buruh I ndonesia(KABI ), Kesatuan Aksi Wanita I ndonesia(KAWI ), Kesatuan Aksi Guru I ndonesia (KAGI ), Kesatuan Aksi Sarjana I ndonesia (KASI ), dan Kesatuan Aksi Pengemudi Becak I ndonesia (KAPBI ).

Kesatuan-kesatuan aksi itu membentuk Front Pancasila yang bersama- sama dengan organisasi yang menentang PKI mengadakan rapat akbar pada 26 Oktober 1965 di Lapangan Banteng Jakarta. Menghadapi arus demontrasi

yang kian deras, Presiden Soekarno berjanji akan mengadakan penyelesaian politik terhadap pemberontakan Gerakan 30 September. Namun, janji tersebut masih belum ditepati. Hal ini menyebabkan para mahasiswa, pelajar, dan kelompok lainnya yang didukung oleh masyarakat luas dan juga ABRI mulai melakukan tindakan yang langsung mengarah kepada PKI dan pendukungnya. Pertikaian langsung antara para pemuda, mahasiswa, pelajar, dan kesatuan aksi lainnya dengan PKI dan pendukungnya tidak dapat dihindarkan. Di beberapa tempat seperti di Jakarta dan Yogyakarta, mahasiswa dan pelajar bahkan telah berkorban jiwa.

Para pemuda anti-PKI di berbagai daerah juga melakukan aksi yang sama melalui berbagai organisasi. Pertikaian langsung dengan PKI dan para pendukungnya tidak dapat dihindari. Di beberapa daerah khususnya di Jawa, Bali, dan Sumatra Utara, situasi berkembang menjadi aksi kekerasan yang menimbulkan korban jiwa yang banyak para anggota PKI beserta pendukungnya serta orang-orang yang diduga menjadi pendukung komunisme. Namun aksi kekerasan ini juga dimanfaatkan oleh kelompok atau individu tertentu untuk kepentingan sendiri. Akibatnya, orang-orang yang tidak ada kaitan dengan PKI atau organisasi pendukungnya juga menjadi korban. Tidak ada yang tahu secara pasti berapa jumlah orang yang telah terbunuh, karena semuanya hanya berdasarkan perkiraan. Perkiraan berdasarkan berbagai laporan, jumlah korban jiwa mencapai ratusan ribu nyawa manusia. Hal yang pasti, sebuah tragedi kemanusiaan yang bertentangan, baik dengan nilai-nilai luhur bangsa I ndonesia maupun hak asasi manusia universal, telah terjadi dalam jangka waktu yang sangat pendek.

Sementara itu, dengan dasar pertimbangan kemelut politik yang tidak menentu dan membumbungnya harga-harga kebutuhan pokok rakyat, KAMI dan KAPPI di hadapan gedung DPRGR pada 10 Januari 1966, mengajukan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura), yaitu

a. bubarkan PKI ;

b. bersihkan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur Gerakan 30 September;

c. turunkan harga.

Menghadapi situasi yang semakin meruncing dan memanas, Presiden Soekarno memanggil seluruh menterinya untuk mengadakan sidang Kabinet di I stana Bogor, Dalam sidang itu, banyak tokoh-tokoh KAMI yang diundang. Namun, di luar I stana Bogor, masyarakat yang berdemontrasi semakin ramai dan semakin berani menuntut dilaksanakannya Tritura.

Dalam sidang kabinet tersebut Presiden Soekarno sekali lagi berjanji akan memberikan penyelesaian politik, bahkan menawarkan jabatan menteri kepada siapa saja yang sanggup menurunkan harga. Janji penyelesaian politik yang diucapkan Presiden Soekarno dalam sidang kabinet Dwikora, diwujudkan dengan merombak susunan Kabinet Dwikora menjadi Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Kabinet Dwikora yang disempurnakan itu dikenal dengan sebutan Kabinet 100 Menteri karena itu terdiri dari 100 orang menteri yang

banyak memihak kepada PKI . Pada 24 Februari 1966, Kabinet Dwikora dilantik di I stana Merdeka Jakarta. Pada saat pelantikan Kabinet Dwikora inilah salah seorang mahasiswa UI yang sedang berdemonstrasi bernama Arief Rahman Hakim gugur akibat bentrokan dengan pasukan pengawal presiden.

Melihat penyelesaian politik yang dilakukan Presiden Soekarno tidak sesuai dengan kehendak rakyat, tentu saja rakyat sangat marah. Terjadilah gelombang aksi demonstrasi yang semakin besar yang kini ditujukan langsung kepada Presiden Soekarno.

Presiden Soekarno yang mer asa tersinggung dengan kesatuan-kesatuan aksi yang mendemonstrasinya, segera membalas dengan membubarkan KAMI pada 26 Februari 1966 dan menutup kampus Universitas I ndonesia pada 3 Maret 1966. Tindakan Presiden Soekarno itu semakin memperuncing keadaan. Arus demonstrasi semakin keras dan membanjiri Jakarta. Keadaan kota semakin tidak menentu.

Pada 11 Maret 1966, di I stana Negara dilangsungkan sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Namun, sebelum sidang berakhir, terdengar berita dari Komandan Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa Brigjen Sabur, bahwa di luar I stana Bogor banyak pasukan yang tidak dikenal identitasnya. Mendengar laporan itu, Presiden Soekarno gusar dan menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri I I Dr. J. Leimena. Selanjutnya, beliau bersama Wakil Perdana Meteri I Dr. Subandrio dan Wakil Perdana Menteri I I I Chaerul Saleh meninggalkan sidang menuju I stana Bogor.

Setelah sidang selesai, tiga orang perwira TNI AD masing-masing Mayor Jenderal Basuki Rahmat Menteri Veteran, Brigadir Jenderal M. Yusuf Menteri Perindustrian Dasar, dan Brigadir Jenderal Amir Mahmud Panglima Kodam V/ Jaya menyampaikan hasil sidang Kabinet Dwikora itu kepada Letnan Jenderal Soeharto, yang kebetulan tidak hadir karena sakit. Ketiga perwira TNI -AD itu, meminta izin Letnan Jenderal Soeharto untuk menemui Presiden Soekarno di I stana Bogor. Letnan Jenderal Soeharto mengijinkan ketiga perwira TNI -AD untuk menemui Presiden Soekarno dan menyampaikan pesan, bahwa Letnan Jenderal Soeharto sanggup menyelesaikan kemelut politik dan memulihkan keamanan dan ketertiban di ibu kota.

Setelah melakukan pembicaraan beberapa jam, Presiden Soekarno akhirnya setuju memberikan perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat dan Pangkopkamtib untuk memulihkan keadaan dan wibawa pemerintah pada 11 Maret 1966. Dalam menjalankan tugas, penerima mandat juga diharuskan melaporkan segala sesuatu kepada presiden. Karena

surat itu dibuat pada 11 Maret, surat itu dikenal dengan sebutan

Surat

Perintah Sebelas Maret ( Supersemar) .

Dengan Surat perintah tersebut, Letnan Jenderal Soeharto memiliki kekuatan hukum untuk memenuhi tuntutan rakyat. Oleh karena itu, Letnan Jenderal Soeharto mengambil beberapa tindakan di antaranya adalah membubarkan PKI pada 12 Maret 1966 dan mengamankan 15 orang menteri

Kabinet Dwikora yang Disempurnakan yang diduga terlibat Gerakan 30 September.

Turunnya Surat Perintah Sebelas Maret merupakan jawaban terhadap berbagai tuntutan mahasiswa dan rakyat yang menginginkan pembubaran PKI . Hal ini merupakan tonggak sejarah kelahiran Orde Baru.

Dokumen terkait